KotaSurabaya 2010 11 PDF
KotaSurabaya 2010 11 PDF
SALINAN
PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA SURABAYA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf k
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
merupakan jenis pajak daerah kabupaten/kota;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan di wilayah Kota Surabaya serta sebagai
pelaksanaan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu
mengatur ketentuan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan dalam Peraturan Daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Mengingat
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu
saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam
Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
11. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD
adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administratif berupa bunga dan/atau denda.
12. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya
disingkat
SKPDKB
adalah
surat
ketetapan pajak
yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
13. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang
selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
14. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya
disingkat
SKPDLB
adalah
surat
ketetapan pajak
yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang.
15. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat
SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
16. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD
adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan
dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh Kepala Daerah.
17. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat
SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
18. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan
dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan
Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan
Keberatan.
BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK
Pasal 2
Setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dipungut pajak
dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 3
(1)
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2)
(3)
(4)
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
b. negara/daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau
perwakilan
lembaga
internasional
yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan
nama;
e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau
kepentingan ibadah.
Badan
yang
digunakan
untuk
Pasal 4
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan.
Pasal 5
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan.
BAB III
DASAR PENGENAAN,
TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 6
(1)
Tanah
dan
(2)
peseroan
atau
badan
hukum lainnya
sebagai
kelanjutan dari
(4)
(5)
Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah
dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebesar Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 7
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan
sebesar 5% (lima persen).
Pasal 8
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (4) atau Pasal 6 ayat (5).
BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 9
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut
di wilayah daerah.
BAB V
SAAT TERUTANGNYA PAJAK
Pasal 10
(1)
sejak
tanggal
dibuat
dan
sejak
tanggal
dibuat
dan
sejak
tanggal
dibuat
dan
sejak
tanggal
dibuat
dan
sejak
tanggal
dibuat
dan
10
terjadinya
BAB VI
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 11
(1)
(2)
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Pasal 12
(1)
(2)
Pasal 13
(1)
(2)
(3)
11
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 14
(1)
(2)
BAB VII
PEMBAYARAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 15
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
12
Pasal 16
(1)
(2)
Bagian Kedua
Keberatan dan Banding
Pasal 17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 18
(1)
13
(2)
(3)
Pasal 19
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
14
Bagian Ketiga
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 21
(1)
(2)
(3)
BAB VIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 22
(1)
(2)
15
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Tata
cara
pengembalian
kelebihan
pembayaran
pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.
BAB IX
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 23
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
16
Pasal 24
(1)
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2)
(3)
BAB X
KETENTUAN BAGI PEJABAT
Pasal 25
(1)
(2)
(3)
Pasal 26
(1)
(2)
(1)
17
(2)
(3)
BAB XI
PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1)
(2)
(3)
(4)
BAB XII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 29
(1)
(2)
(3)
(1)
18
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 30
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala
sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk
membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
dan ayat (2) adalah :
ayat (1)
a.
Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi
ahli dalam sidang pengadilan;
b.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 31
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah.
ini,
19
(2) Wewenang
adalah :
Penyidik
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
20
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
(1)
(2)
Pasal 33
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah
melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau
berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 34
(1)
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang
karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2)
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
(3)
(4)
Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi
seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan
tindak pidana pengaduan.
21
Pasal 35
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2) merupakan penerimaan negara.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Kepala
Daerah.
Pasal 37
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kota Surabaya.
Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 29 Nopember 2010
WALIKOTA SURABAYA,
ttd
TRI RISMAHARINI
Diundangkan di Surabaya
pada tanggal 29 Nopember 2010
SEKRETARIS DAERAH KOTA SURABAYA,
ttd
SUKAMTO HADI, SH.
Pembina Utama Madya
NIP. 19570706 198303 1 020
LEMBARAN DAERAH KOTA SURABAYA TAHUN 2010 NOMOR 11
Salinan sesuai dengan aslinya
a.n. SEKRETARIS DAERAH
Asisten Pemerintahan
u.b
Kepala Bagian Hukum,
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA
NOMOR 11 TAHUN 2010
TENTANG
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
I.
UMUM
Pajak Daerah merupakan kontribusi wajib bagi daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain daripada itu,
Pajak Daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang
memiliki peranan yang sangat strategis dalam meningkatkan kemampuan
keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan
pelayanan umum.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan
bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan merupakan jenis Pajak
Kabupaten/Kota, sehingga Pemerintah Kota Surabaya berwenang memungut Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan kepada orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan di wilayah kota Surabaya.
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan di wilayah Kota Surabaya serta sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah perlu mengatur ketentuan tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah ini diharapkan menjadi landasan hukum dalam
Pengenaan Pajak Daerah kepada orang pribadi atau badan sehubungan dengan
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Selain itu dengan berlakunya Peraturan
Daerah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, memberikan kepastian
hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan
pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
II.
: Cukup jelas.
Pasal 2
: Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
: Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1 : Cukup jelas.
penggabungan dari
dengan cara tetap
salah satu badan
usaha lainnya yang
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
Ayat (4)
Huruf a
: Cukup jelas.
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Huruf f
: Cukup jelas.
Pasal 4
: Cukup jelas.
Pasal 5
: Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
: Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
: Cukup jelas.
Huruf c
: Cukup jelas.
Huruf d
: Cukup jelas.
Huruf e
: Cukup jelas.
Huruf f
: Cukup jelas.
Huruf g
: Cukup jelas.
Huruf h
: Cukup jelas.
Huruf i
: Cukup jelas.
Huruf j
: Cukup jelas.
Huruf k
: Cukup jelas.
Huruf l
: Cukup jelas.
Huruf m
: Cukup jelas.
Huruf n
: Cukup jelas.
Huruf o
: Cukup jelas.
Ayat (3)
: Contoh :
1. Wajib Pajak A membeli tanah dan bangunan
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga
transaksi) Rp. 130.000.000,00 (seratus tiga puluh
juta rupiah). NJOP Pajak Bumi dan Bangunan
adalah sebesar Rp. 135.000.000,00 (seratus tiga
puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai
sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah Rp.
135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta
rupiah) dan bukan Rp. 130.000.000,00 (seratus
tiga puluh juta rupiah).
2. Wajib Pajak B membeli tanah dan bangunan
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga
transaksi) Rp. 140.000.000,00 (seratus empat
puluh juta rupiah). NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan adalah sebesar Rp. 135.000.000,00
(seratus tiga puluh lima juta rupiah), maka yang
dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp.
140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah)
dan bukan Rp. 135.000.000,00 (seratus tiga puluh
lima juta rupiah).
Ayat (4)
Ayat (5)
Rp.400.000.000,-
Rp. 75.000.000,-(-)
Rp.325.000.000,-
Pasal 7
: Cukup jelas.
Pasal 8
: Contoh :
Wajib Pajak membeli tanah dan bangunan dengan
Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP)
Rp. 80.000.000, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp. 75.000.000,-(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP)
Rp. 5.000.000, Pajak yang terutang
(5% x Rp. 5.000.000,-)
Rp.
250.000, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Rp. 250.000,-
Pasal 9
: Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
: Cukup jelas.
Huruf c
: Cukup jelas.
Huruf d
: Cukup jelas.
Huruf e
: Cukup jelas.
Huruf f
: Cukup jelas.
Huruf g
: Cukup jelas.
Huruf h
: Cukup jelas.
Huruf i
: Cukup jelas.
Huruf j
: Cukup jelas.
Huruf k
: Cukup jelas.
Huruf l
: Cukup jelas.
Huruf m
: Cukup jelas.
Huruf n
: Cukup jelas.
Huruf o
Ayat (2)
Pasal 11
: Cukup jelas.
: Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
: Cukup jelas.
Ayat (2)
: Contoh:
Wajib pajak memperoleh tanah dan bangunan pada
tanggal 20 Maret 2011.
Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP)
Rp.115.000.000, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp. 75.000.000,-(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP)
Rp. 40.000.000, Pajak yang terutang
5% x Rp. 40.000.000,Rp. 2.000.000,-
Ayat (2)
: Contoh :
Berdasarkan contoh dalam Pasal 12 ayat (2),
bahwa Wajib pajak memperoleh tanah dan
bangunan pada tanggal 20 Maret 2011 kemudian
telah dilakukan pemeriksaan pada 20 Desember
2011 ditemukan bukti yang menyebabkan
diterbitkannya SKPDKB. Pada tanggal 20 Maret
2012 dilakukan pemeriksaan dan ditemukan bukti
baru.
Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP)
Rp.115.000.000, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp. 75.000.000,-(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak (NPOPKP)
Rp. 40.000.000, Pajak yang terutang
(5% x Rp. 40.000.000,-)
Rp. 2.000.000,-
10
4.500.000,2.000.000,-(-)
2.500.000,-
: Cukup jelas.
11
Pasal 14
Ayat (1)
: Cukup jelas.
Ayat (2)
: Contoh :
Dari perolehan tanah dan bangunan pada tanggal
21 September 2011, Wajib Pajak terutang pajak
sebesar Rp. 5.000.000,- Pada saat terjadinya
perolehan tersebut, pajak dibayar sebesar
Rp. 4.000.000,-. Atas kekurangan pajak tersebut
diterbitkan STPD
tanggal 23 Desember 2011
dengan perhitungan :
Kekurangan Bayar
Rp. 1.000.000, Bunga
(4bulan x 2% x Rp. 1.000.000,-) Rp. 80.000,-(+)
Jumlah yang harus dibayar
pada STPD
Rp. 1.080.000,Tagihan pajak yang terutang dalam STPD sebesar
Rp.1.080.000,Contoh seperti tersebut di atas, ternyata hasil
pemeriksaan SPTPD tanggal 18 Januari 2012,
ditemukan salah hitung yang menyebabkan pajak
kurang dibayar Rp. 1.500.000,Atas kekurangan tersebut diterbitkan STPD pada
tanggal 20 Januari 2012 dengan perhitungan :
Kekurangan Bayar
Rp. 1.500.000, Bunga
(4bulan x 2% x Rp. 1.500.000,-) Rp. 120.000,-(+)
Jumlah yang harus dibayar
pada STPD
Rp. 1.620.000,Tagihan pajak yang terutang dalam STPD sebesar
Rp.1.620.000,-
Pasal 15
: Cukup jelas.
Pasal 16
: Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
: Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
: Pengertian
diluar
kekuasaannya
adalah
keterlambatan Wajib Pajak yang bukan karena
kesalahannya,
misalnya
adanya
musibah
kebakaran.
Ayat (4)
: Cukup jelas.
12
Ayat (5)
: Cukup jelas.
Ayat (6)
Pasal 18
: Cukup jelas.
Pasal 19
: Cukup jelas.
Pasal 20
: Cukup jelas.
Pasal 21
: Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Ayat (2)
: Cukup jelas.
Ayat (3)
: Cukup jelas.
Ayat (4)
: Cukup jelas.
Ayat (5)
: Cukup jelas.
Ayat (6)
: Cukup jelas.
Ayat (7)
: Cukup jelas.
Pasal 23
: Cukup jelas.
Pasal 24
: Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
: Cukup jelas.
13
Ayat (2)
Ayat (3)
: Cukup jelas.
Pasal 26
: Cukup jelas.
Pasal 27
: Cukup jelas.
Pasal 28
: Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
: Yang
dimaksud
dengan
instansi
yang
melaksanakan pemungutan adalah Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya
melaksanakan pemungutan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan.
Ayat (2)
Ayat (3)
: Cukup jelas.
Pasal 30
: Cukup jelas.
Pasal 31
: Cukup jelas.
Pasal 32
: Cukup jelas.
Pasal 33
: Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal 35
: Cukup jelas.
Pasal 36
: Cukup jelas.
Pasal 37
: Cukup jelas.