PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan
penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan
dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas
dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu
dilakukan autopsi ditemukan tidak ada sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich
kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan pada fungsi sumsum
tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia aplastik.
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Insidensi anemia aplastik
diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat.
Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan seperti
peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor genetik.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia
yang tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan
peningkatan paparan dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas
merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti
kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan
aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga
diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif,
3
saat
didiagnosis,
dan
bagaimana
respon
tubuh
terhadap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukiahemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik
toksik.1
2.2 Epidemiologi Anemia Aplastik
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki dan
perempuan, namun dalam beberapa penelitian insidens pada laki-laki lebih banyak
dibanding wanita.1
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat
dengan insiden 1-3 per 1 juta pertahun. Insiden terjadinya anemia aplastik atau
hipoblastik di Eropa dan Israel adalah dua kasus per 1 juta populasi setiap
tahunnya. Distribusi umur biasanya biphasik, yang berarti puncak kejadiannya
pada remaja dan puncak kedua pada orang lanjut usia.3,4
Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kirakira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand
dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Peningkatan insiden ini diperkirakan
berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan
kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak
ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika. Faktor
lingkungan mungkin infeksi virus antara lain virus hepatitis diduga memegang
peranan penting4,5
5
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.5 Patogenesis Anemia Aplastik
Pansitopeni dalam anemia aplastik atau hipoplastik menggambarkan
kegagalan proses hematopoitik yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah sel
primitif hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang.
Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan kimia
seperti benzen, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel hematopoetik
yang tidak bergerak. Mekanisme kedua didukung oleh observasi klinik dan studi
laboratorium , yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft versus host disease,
eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan
kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan anemia aplastik
masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses imunologik. Sel
sitokin T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel
hematopoetik dalam menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinasis
seperti interferon dan tumor nekrosis factor .6
Ada 3 teori yang dapat mcnerangkan patofisiologi penyakit ini yaitu:
Kerusakan sel induk hematopoitik, Kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang,
Proses imunologik yang menekan hematopoisis. Keberadaan sel induk
hematopoitik dapat diketahui lewat petanda sel yaitu CD 34, atau dengan biakan
sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoitik dikenal sebagai longterm
culture initiating cell (LTC-IC), long-term marrow culture (LTMC), jumlah sel
induk sangat menurun hingga 1-10 % dari normal. Demikian juga pengamatan
pada cobble stone area forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti
klinis yang menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan
transplantasi sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa
dengan pemberian sel induk dari luar akan terjadi rekontruksi sumsum tulang
pada pasien anemia aplastik.1
8
sumsum
tulang
singeneik
oleh
karena tiadanya
masalah
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering
dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi
kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan
rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 3). Pada tabel 3
terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang
paling sering dikemukakan.
Tabel 3. Keluhan Pasien Anemia Apalastik2
Jenis Keluhan
Pendarahan
%
83
Lemah badan
80
Pusing
69
Jantung berdebar
36
Demam
33
26
Sesak nafas
23
Penglihatan kabur
19
Telinga berdengung
13
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali,
yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien
sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya
splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Tabel 4. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat
%
100
10
Pendarahan
63
Kulit
34
Gusi
26
Retina
20
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
16
Hepatomegali
Splenomegali
2.7 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia
disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas
sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah
putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan
trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah
neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9
11
pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada
individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat
bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan
kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
2.8.2 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya
memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran
elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
2.9 Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai
dengan pansitopenia perifer. Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia
aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10
persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang.
Beberapa
ciri
dapat
membedakan
anemia
aplastik
dengan
sindrom
dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel
limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14 Pansitopenia dengan normoselular
sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE),
infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas
membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Terapi
Manajemen awal anemia aplastik berat yang terjadi pendarahan akibat
trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia
dan monositopenia
dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat
penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering dipakai
sefalosforin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah ada sesuaikan hasil dengan
tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun maka pikirkan
pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin B atau flukonasol
parenteral. Pemberian obat antibiotik hendaknya yang tidak menyebabkan depresi
sumsum tulang.2,3,15
Tranfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat kuman
gram negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada
antibiotika adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya
sangat pendek.2 Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell
atau (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia
yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb
normal, karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan
dipersiapkan untuk transplantasi sumsum tulang pemberian tranfusi harus lebih
berhati-hati.2,3,16
Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfuse konsentrat trombosit
jika terdapat pendarahan mayor atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm 3.
Pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena
timbulnya antibody anti-trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan
kulit.2,3
2.10.3 Terapi untuk memperbaiki sumsum tulang.
Beberapa tindakan dibawah ini diharapkan dapat merangsang pertumbuhan
sumsum tulang. Miskipun penelitian menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon
diberikan dalam dosis 2-3 mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12
minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati2
Kortikosteroid dosis rendah menengah. Fungsi steroid dosis dosis rendah
belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100 mg/hari. Jika dalam 4
minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping
yang serius.2 Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Faktor (GM-CSF)
15
terhadap hemopoiesis. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat
terjadi reaksi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. 2.3.4
Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan
terapi definitive yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat
mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor yang
compatible sehingga pilihan terapi terapi ini pada kasus anemia aplastik berat.
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus yang berumur
dibawah 40 tahun, diberikan sikloforin-A untuk mengatsi graf versus host disease
(GvHD), transplantasi sumsum tulang memberikan kesembuhan jangka panjang
pada 60%-70% kasus, dengan kesembuhan koplit. Meningkatnya jumlah
penderita yang tidak cocokdengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi
sumsum tulang pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun yang tidak
mendafatkan donor yang cocok dari saudaranya.18
2.11 Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.
Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah
netrofil kurang dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik
berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter)
dikaitkan dengan
respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi
sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih
baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara
terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien
mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun
dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak
40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan
menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar
11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum
17
transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan
dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi
dalam hal conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria,
sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang
pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan
selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif,
hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat
walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
BAB III
KESIMPULAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh
18
bersifat
lokal
maupun
bersifat
sistemik.
Trombositopenia
dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami
depresi paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia
aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda
regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang
sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan mengandung banyak sel
lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis. Tidak terlihat
penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan dua
dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10
g/dl). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 2550% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil <
0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat
berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
19
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC
dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi
infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi
standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia pasien,
biasa anak anak mempunyai prgnosa yg lebih baik, ada tidaknya donor dengan
HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum tulang allogenik serta apakah pasien
telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum tranplantasi sumsum tulang.
Perrtimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan
prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia.
Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia
aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid
akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum
tulang.9
DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobes Clinical
Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta.
20
21