BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates.
Soranus dari Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang
mempengaruhi stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia
mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke.
Hippocrates menyebutnya dalam bahasa Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk
oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit
saraf yang paling banyak menarik perhatian (Aliah et al, 2007; Sutrisno 2007)
Penderita Stroke saat ini menjadi penghuni terbanyak di bangsal atau
ruangan pada hampir semua pelayanan rawat inap penderita penyakit syaraf.
Karena, selain menimbulkan beban ekonomi bagi penderita dan keluarganya,
Stroke juga menjadi beban bagi pemerintah dan perusahaan asuransi kesehatan.
Berbagai fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini, Stroke masih
merupakan masalah utama di bidang neurologi maupun kesehatan pada umumnya.
Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan strategi penangulangan stroke
yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif.
1.2 TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui definisi Stroke
2. Untuk mengetahui epidemiologi stroke
3. Untuk mengetahui klasifikasi Stroke
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Menurut WHO (World Health Organisation), stroke adalah menifestasi klinik dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang
berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut,
tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno
apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks
(CVA) dan Stroke (Aliah et al, 2007).
Stroke dapat disebabkan baik iskemik (80%) maupun hemoragik (20%). Stroke
Hemorrhagic meliputi pendarahan di dalam otak (intracerebral hemorrhage)
sebanyak 15% dan pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada
jaringan yang melindungi otak (subarachnoid hemorrhage) sebanyak 5% (Warlow,
2008).
2.2. EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di
dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin
penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang (Feigin, 2006)
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di
dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah
meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan
17,5 juta kasus stroke di dunia (Sutrisno, 2007)
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker.
Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke.
Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus
lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita
lumpuh dan kehilangan pekerjaan (Sutrisno, 2007)
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita
kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh
total dari serangan stroke dan kecacatan (Sutrisno, 2007)
2.3. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan
arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri
serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah
bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis (Aliah et al,
2007)
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna
vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu
mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas
medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri
basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani
darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis (Aliah et al,
2007)
2.4 FISIOLOGI
Sistem
karotis
terutama
melayani
kedua
hemisfer
otak,
dan
sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor.
Dua faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem
arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor
ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya
(kemampuan untuk membeku) (Aliah et al, 2007).
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor
jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh
darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan
berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol
otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal
bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg) (Aliah et al, 2007).
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya
seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol.
Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang
asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah
parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi
(Aliah et al, 2007).
Viskositas/kekentalan
darah
yang
tinggi
mengurangi
ADO.
Sedangkan
Rasa bebal atau mati mendadak atau kehilangan rasa dan lemas pada
muka, tangan atau kaki, terutama pada satu bagian tubuh saja.
di paru; dan embolisasi lemak dan udara atau gas Nitrogen (seperti penyakit
caisson) (Hassman, 2010).
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet (Hassman, 2010).
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan
vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke
trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis) (Hassman, 2010).
B. Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya
ateroma) dan arteriolosklerosis (Aliah et al, 2007; Gilardo 2010).
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah, oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran
darah aterom, terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli, dan
menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek (Aliah et al, 2007).
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak antara lain (1)
Keadaan pembuluh darah (bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh thrombus/embolus), keadaan darah (viskositas darah yang
10
meningkat, polisetemia, dan anemia berat), tekanan darah sistematik, dan kelainan
jantung (Aliah et al, 2007).
C. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan
perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa
gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau
qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria,
ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejalagejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan
(Hassman, 2010).
Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala diatas juga penting untuk menentukan
perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu
dalam mencari gejalah atau onset stroke seperti stroke terjadi saat pasien sedang
tertidur, pasien tidak mampu untuk mencari pertolongan, penderita atau penolong
tidak mengetahui gejala-gejala stroke, dan beberapa kelainan yang gejalanya
menyerupai stroke seperti kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural
hematom, ensefalitis, dan hiponatremia (Hassman, 2010)
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan
menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi meningen (Hassman, 2010).
10
11
11
12
Lakunar stroke. Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri
perforans kecil di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark
biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese motorik saja,
sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.
2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula
menunjukkan
faktor
resiko
stroke
seperti
polisitemia,
trombositosis,
12
13
13
14
c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA).
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang
menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA
juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense (Hassman, 2010).
d. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal
pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya
memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang
(Hassman, 2010, Li, 2010).
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2
standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted
imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan
sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat
mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga
dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung
perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan
(Hassman, 2010).
e. USG, EKG, dan Roentgen Dada
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau
oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih
lanjut termasuk di antaranya arteri serebri media, arteri karotis intrakranial, dan
arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan EKG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua
pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal EKG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
14
15
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah foto thoraks (Hassman, 2010).
D. Penatalaksanaan
Target manajemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien
dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan
dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba.
Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi,
pengontrolan tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan dari
pemberian terapi trombolitik (Hassman, 2010; Giraldo,2010)
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari
intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka
target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena
untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika
pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya
hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non
hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
atau pun GERD (Hassman, 2010; Price, 2008; Ngurah, 2007; Hughes & Miller,
2003).
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia
jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat
15
16
16
17
17
18
darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah
selama opname jika TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg
maka dapat diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang
selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse
hingga 2-8 mg/menit. Namun jika TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik
121-140 mmHg dapat diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine
infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam. Penggunaan nifedipin
sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi
ekstrim (Hassman, 2010; Price, 2008; Ngurah, 2007; Hughes & Miller, 2003).
f. kontrol demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma
neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia
otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor (Hassman, 2010; Price, 2008;
Ngurah, 2007; Hughes & Miller, 2003).
g. kontrol edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan
pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
cepat (Hassman, 2010; Price, 2008; Ngurah, 2007; Hughes & Miller, 2003).
h. kontrol kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel
kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan
(Hassman, 2010; Price, 2008; Ngurah, 2007; Hughes & Miller, 2003).
18
19
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena
akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang
mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya (Majalah
Kedokteran Atma Jaya, 2002).
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke)
di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah
onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau
hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat
pengakuan FDA pada tahun 1996 (Majalah Kedokteran Atma Jaya, 2002).
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg)
diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.
Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil
dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian
kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien
yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral
dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa (Majalah Kedokteran Atma Jaya, 2002).
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk
mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar
sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela
waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti
rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute
19
20
20
21
21
22
Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang
diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain
adalah kemungkinan terjadi resistensi aspirin pada dosis rendah. Hal ini
memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic
acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid
oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis
rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak
pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti
bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita (Wibowo & Gofir, 2004).
Tiklopidin dan klopidogrel. Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal
dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau klopidogrel.
Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan
melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan
penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan
antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan
nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup
tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21
persen dengan penggunaan tiklopidin.
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap
terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan
sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin
lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah
serangan ulang stroke iskemik.
22
23
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4
persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah
putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi
jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik
(Wibowo & Gofir, 2004).
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik
dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang
terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan
jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai
terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada
manusia (Majalah Kedokteran Atma Jaya, 2002).
f. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien
semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka
pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan (Simon, 2010).
23
24
E. Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang. Edema serebral yang signifikan
setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak jarang (10-20%). Indikator awal
iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator independen
untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,
meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih
lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya
trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan
neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang
memerlukan evakuasi. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode
24
25
25
26
26
27
B. Manifestasi Klinis
Dari semua penyakit serebrovaskular, stroke hemoragik merupakan yang
paling dramatis. Stroke hemoragik mempunyai morbiditas yang lebih parah
dibanding dengan stroke iskemik, begitu juga tingkat mortalitas yang lebih
tinggi. Pasien dengan stroke hemoragik mempunyai defisit neurologis yang
sama dengan stroke iskemik namun cenderung lebih parah (Nassisi, 2008).
Beberapa gejala khas terjadinya perdarahan intraserebral (Ropper, 2005) yaitu
hipertensi reaktif akut, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk, dan kejang.
Adapun sindroma utama yang menyertai stroke hemorhagik menurut Smith
(2005) dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu:
27
28
28
29
sinyal pada MRI. CT scan dapat mendiagnosa secara akurat suatu perdarahan
akut. Lesi menjadi hipodens dalam 3 minnggu dan kemudian membentuk
suatu posthemorrhagic pseudocyst. Perbedaan antara posthemorrhagic
pseudocyst dari kontusio lama, lesi iskemik atau bahkan astrositoma mungkin
dapat menjadi sulit. MRI dapat membedaakan 5 stage dari perdarahan
berdasarkan waktunya yaitu: hiperakut, akut, subakut stage I, subakut stage II,
dan kronik.
Penggunaan angiography pada diagnosis dari PIS (Perdarahan Intra Cerebral)
menurun setelah adanya CT dan MRI. Peranan utama dari angiografi adalah
sebagai alat diagnosis etiologi dari PIS non-hipertensif seperti AVM,
aneurysm, tumor dll, PIS multipel, dan juga PIS pada tempat-tempat atipikal
(hemispheric white matter, head of caudate nucleus). Walaupun demikian
penggunaannya tetap terbatas oleh karena perkembangan imaging otak yang
non-invasif (El Mitwalli, 2000).
D. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan stroke meliputi (PERDOSSI, 2007):
1. Penatalaksanaan Umum Stroke Akut
a. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
Evaluasi cepat dan diagnosis oleh karena jendela terapi stroke akut sangat
pendek, evaluasi dan diagnosis klinik harus cepat. Evaluasi gejala dan
tanda klinik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologik dan skala stroke, dan studi diagnostik stroke akut (CT scan
tanpa kontras, KGD, elektrolit darah, tes fungsi ginjal, EKG, penanda
iskemik jantung, darah rutin, PT/INR, aPTT, dan saturasi oksigen).
29
30
Terapi Umum
Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan. perbaikan jalan nafas dengan
pemasangan pipa orofaring. Pada pasien hipoksia diberi suplai oksigen
Stabilisasi hemodinamik. berikan cairan kristaloid atau koloid intravena
(hindari cairan hipotonik), optimalisasi tekanan darah (bila tekanan
darah sistolik < 120mmHg dan cairan sudah mencukupi dapat diberikan
obat-obat vasopressor), pemantauan jantung harus dilakukan selama 24
jam pertama (bila terdapat CHF konsul ke kardiologi).
Pemeriksaan awal fisik umum. tekanan darah, pemeriksaan jantung,
pemeriksaan neurologi umum awal (Derajat kesadaran, Pemeriksaaan
pupil dan okulomotor, Keparahan hemiparesis)
Pengendalian peninggian TIK. pemantauan ketat terhadap risiko edema
serebri (perburukan gejala dan tanda neurologik pada hari pertama
stroke), Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan
pasien yang mengalami penurunan kesadaran, sasaran terapi pada TIK <
20 mmHg , elevasi kepala 20-30, hindari penekanan vena jugulare,
hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari
hipertermia, jaga dalam keadaan normovolemia, osmoterapi atas indikasi
( manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam,
kalau perlu diberikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV),
intubasi untuk menjaga normoventilasi, drainase ventrikuler dianjurkan
pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar
Pengendalian Kejang. bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 520 mg dan diikuti phenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit. Pada stroke perdarahan intraserebral
dapat diberikan obat antiepilepsi profilaksis, selama 1 bulan dan
kemudian diturunkan dan dihentikan bila kejang tidak ada.
Pengendalian suhu tubuh. setiap penderita stroke yang disertai demam
harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya. Beri
asetaminophen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5C
30
31
31
32
c. Penatalaksanaan Khusus
1. Farmakologis
Terapi hemostatik
Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
hemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemophilia yang resisten
terhadap pengobatan factor VII replacement dan juga bermanfaat untuk
penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
Aminocaproic acid terbukti tidak mempunyai efek yang menguntungkan.
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highlysignificant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
Reversal of Anticoagulation
Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya di berikan
fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin
K.. Prothrombic complex concentrate suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII,IX, X, menormalkan INR lebih
cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah
sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
Dosis tunggal intravena rFVIIa 10/kg- 90 /kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tepat diikuti dengan coagulation factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
Pasien PIS akibat penggunaan unfractioned or low moleculer weight
heparin diberikan Protamine Sulfat dan pasien dengan trombositopenia
atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal
32
33
33
34
untuk memudahkan
pemeriksaan
dapat
dilakukan
dengan
sistem
lain,
misalnya sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada
pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan
antara lain:
1.Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik (Djoenaidi, 1988)
Tanda/Gejala
Skor
2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
6,5
6,5
3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
6,5
Waktu istirahat/duduk/tidur
34
35
Sangat hebat
10
Hebat
7,5
Ringan
Tak ada
5. Muntah
Langsung habis serangan
10
7,5
Tak ada
6. Kesadaran
Hilang waktu serangan (langsung)
10
10
Hilang pelan-pelan
7. TD Sistolik
Waktu serangan sangat tinggi(>220/110)
7,5
7,5
10
Tidak didapatkan
9. Pupil
Isokor
Anisokor
10
Midriasis kanan/kiri
10
10
Pendarahan retina
7,5
Normal
Pembacaan:
Total score: <20 : Stroke Non Hemoragik
>20 : Stroke Hemoragik
35
36
Pembacaan:
Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)
> + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)
+ 14: Kemungkinan infark dan perdarahan 1 : 1
< + 4: Kemungkinan perdarahan 10%
Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik (infark)
76-82%.
Ketetapan keseluruhan: 76-82%.
36
37
Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.
37
38
38
39
BAB 3
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik
fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat,
selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa
ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler
2. Di Indonesia, stroke menduduki posisi ketiga penyakit utama yang
menyebabkan kematian setelah jantung dan kanker.
3. Stroke dapat dibagi menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Dimana
gejala dan penatalaksanaannya juga berbeda.
39
40
BAB 4
ANAMNESA
Pasien laki-laki berumur 47 tahun datang dengan keluhan lemas pada sisi sebelah
kanan tubuh sejak 4 jam SMRS.
Menurut keterangan dari istri pasien, sebelumnya pasien baru saja selesai senam
pagi di rumah dan hendak berangkat untuk kerja bakti. Pasien tiba-tiba merasa sisi
sebelah kanan tubuhnya lemas sehingga pasien dipapah ke tempat tidur dan
dibaringkan. Kelemahan tubuh sebelah kanan dirasakan oleh pasien secara
bertahap dari rasa lemah hingga sama sekali tidak dapat diangkat. Saat itu pasien
masih dapat berbicara. Sekira 1 jam setelah serangan pasien tidak dapat berbicara
dengan baik (pelo). Istri pasien menyatakan pasien tidak terjatuh dan tidak
kehilangan kesadarannya. Pasien kemudian segera dibawa ke rumah sakit. Pasien
tidak mengeluhkan sakit kepala, mual, muntah, pusing berputar dan penglihatan
berbayang. Namun sejak 2 jam SMRS pasien mengeluh bicara pelo dan sering
tersedak bila minum atau makan.
Pasien merupakan penderita diabetes mellitus sejak 6 tahun yang lalu. Berobat
di Puskesmas namun tidak teratur. Pasien juga akhir-akhir ini berobat ke
akupunktur di dokter puskesmas, sudah pertemuan yang kelima kali. Riwayat
penyakit jantung disangkal. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat merokok dan
meminum alcohol disangkal.
Riwayat keluhan yang sama sudah pernah dialami oleh pasien pada bulan Mei
2009, pasien mengalami kelemahan pada sisi kiri tubuh dan bicara pelo, saat itu
dikatakan penyebab stroke karena penyumbatan. Dirawat ke Rumah Sakit, saat
pulang bicara sudah tidak pelo, namun masih merasa lemah pada sisi kiri tubuh.
Kaki kiri sudah dapat digerakkan namun lengan atas kiri masih lemah.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
41
42
PT.
Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G., 2008.
Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan
prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba
Medika. Hal: 53-73.
World Health Organization, 2005. WHO STEPS Stroke Manual: The WHO
STEPwise Approach to Stroke Surveillance. World Health Organization.
42