Anda di halaman 1dari 16

AIA Financial

Menjembatani
Kesenjangan Proteksi,
Melindungi Indonesia
Hasil survei AIA Financial terhadap tingkat proteksi masyarakat Indonesia

Erika Sulistianti termenung sendirian di sudut meja makan


rumahnya. Seratus hari yang lalu, suaminya mendadak
kesakitan sambil memegang dadanya di seberang meja itu.
Meski sang suami, yang bekerja di eksplorasi pertambangan
itu sudah lama menderita penyakit jantung, dia tetap optimistis
bisa melewati dan melawan penyakit mematikan ini. Seperti
pemeriksaan rutin biasanya, pagi itu Erika segera mendatangi
rumah sakit yang terdekat dari rumahnya untuk mendapatkan
nomor antrian, sedangkan sang suami menunggu di rumah
untuk dijemput kembali. Malangnya, ketika tiba di rumah,
harapannya pupus, sang suami sudah menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
Peristiwa itu seolah masih segar dalam ingatannya sesegar air
yang mengalir dari sudut langit-langit rumahnya yang bocor di
pojok belakang. Siapa yang mengira suaminya bakal begitu
cepat meninggalkannya. Dia harus mengatur ulang hidupnya,
termasuk mencari tukang untuk membetulkan atap rumahnya.
Santunan dari kantor sang suami mulai terasa menipis.
Simpanannya sedikit demi sedikit makin terkikis. Walau dia juga
bekerja, tetapi tahun depan kedua putrinya yang berusia 14
dan 17 tahun akan mengikuti ujian masuk SMA dan perguruan
tinggi. Tentu biayanya tidak sedikit.
Seketika terlintas dalam benaknya, bagaimana kalau dirinya
tiba-tiba dipanggil juga oleh yang Maha Kuasa. Siapa yang
akan menopang hidup kedua putrinya?

Pendahuluan :

Membangun kesadaran
berasuransi
M

emprediksi masa depan bukanlah sesuatu yang mudah.


Apalagi jika masa depan itu berhubungan dengan proteksi atas
perlindungan diri dan dana cadangan. Tak ada satu orang pun
yang ingin menyongsong masa depan dengan kesusahan atau
kemalangan. Ironisnya, tidak banyak orang yang sadar bahwa
masa depan itu serba tidak pasti sehingga risiko itu seharusnya
dikalkulasi sejak dini.
Survei yang digagas oleh AIA Financial, bekerja sama dengan
MarkPlus Insight pada 2011, menemukan fakta bahwa tiga dari
lima orang Indonesia tidak punya persiapan jika menghadapi risiko
kesehatan atau kematian. Bukan hanya dana cadangan untuk
berjaga-jaga, mereka juga tidak melindungi dirinya dan keluarganya
dengan asuransi apabila menghadapi musibah yang tak terduga.
Hanya 17,5 persen orang Indonesia di kota-kota besar yang sudah
memiliki asuransi jiwa. Sedangkan secara nasional, hanya 16 persen
orang Indonesia yang sudah memiliki asuransi jiwa (Perasuransian
Indonesia 2009, Bapepam-LK).
Sangat sedikit orang Indonesia yang mempunyai asuransi jiwa.
Salah satu penyebabnya adalah, karena asuransi masih dianggap
sebagai barang mewah. Asuransi dianggap sebagai sebuah barang
ideal yang dicita-citakan dan diharapkan dapat diraih seiring dengan
meningkatnya pendapatan. Padahal semakin hari biaya pengobatan
semakin mahal. Berdasarkan Global Medical Trends Survey Report
2011 dari Towers Watson, biaya pengobatan di Indonesia telah
meningkat 10 hingga 14 persen dalam tiga tahun terakhir. Biaya ini
akan terus meningkat dalam lima tahun ke depan seiring dengan
makin berkembangnya pemakaian teknologi pengobatan baru yang
ikut mendongkrak biaya jasa kesehatan secara keseluruhan.
Kekeliruan persepsi tentang asuransi mungkin tak harus terjadi
seandainya informasi yang kita terima cukup lengkap. Hingga kini,
masih banyak orang yang menggantungkan masa depannya kepada
nasib semata. Maka, setelah meluruskan kekeliruan ini barulah
kita dapat memulai membangun kesadaran betapa pentingnya
menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tak pasti di masa
depan.

Kesenjangan
Perlindungan dan
Kekeliruan Persepsi
M

eski sudah memiliki asuransi, namun belum tentu kita sudah


bebas dari persoalan karena ternyata proteksinya tidak mencukupi.
Apalagi mereka yang tidak dilindungi asuransi atau tidak memiliki
dana cadangan. Berapa perkiraan dana yang kita bayangkan
dapat melindungi keluarga dari risiko kesehatan, kecelakaan yang
menyebabkan cacat permanen, hingga kematian? Bagaimana
kalau asuransi atau simpanan uangnya tak memadai?
Pengetahuan soal besarnya kesenjangan antara perkiraan
kebutuhan dan perlindungan yang tersedia sangat berguna dalam
menganalisa kondisi masyarakat. Berdasarkan pengetahuan ini
kita dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang
kebutuhan dasar asuransinya.
Hasil studi AIA Financial ini juga menyimpulkan bahwa perkiraan
risiko yang dirasakan rata-rata keluarga Indonesia di kota-kota
besar nilainya secara total mencapai Rp 137 juta. Kebutuhan
proteksi paling banyak terserap untuk menghadapi kematian, yaitu
sebesar Rp 53 juta, lalu cacat permanen akibat kecelakaan Rp 36
juta, penyakit berat Rp 35 juta, dan penyakit ringan Rp 13 juta.
Tetapi, dengan tingkat inflasi rata-rata per tahun sekitar 6,5 persen
harga pangan, tagihan listrik, perbaikan rumah, biaya kesehatan
dan pendidikan yang meningkat setiap tahunnyajustru dalam
kenyataannya, total nilai risiko ini akan jauh lebih besar dari yang
bisa kita bayangkan atau perhitungkan sekarang. Oleh karena itu,
kebutuhan proteksi dalam kondisi nyata pasti lebih besar daripada
temuan hasil survei tersebut.
Perkiraan total nilai risiko berbeda jika kita memilah antara
responden yang memiliki asuransi dengan yang tidak memiliki
asuransi. Mereka yang memiliki asuransi punya perkiraan nilai
risiko hampir mencapai Rp 380 juta, sedangkan yang tidak memiliki
asuransi hanya sebesar Rp 86 juta.

Sedangkan dana cadangan yang tersedia untuk melindungi


keluarga dari musibah di masa depan rata-rata hanya mencapai
Rp 6 juta. Bagi mereka yang memiliki asuransi, dana cadangannya
hampir mencapai Rp 25 juta, namun yang tidak memiliki asuransi
simpanannya rata-rata hanya Rp 2 juta.
Mereka yang memiliki asuransi secara relatif sudah punya kesadaran
betapa penting mengantisipasi setiap kejadian yang tak terduga di
masa depan. Mereka juga sudah dapat memperkirakan berapa nilai
kebutuhan proteksi yang seharusnya tersedia. Karena itu, perkiraan
nilai risiko dan alokasi dana untuk berjaga-jaga jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, mereka yang tidak punya asuransi seringkali
menganggap asuransi itu hanyalah beban di sisi sumber daya
keuangannya. Fakta membuktikan, hampir 1 dari tiga responden
yang tidak punya asuransi mengatakan tak punya uang untuk
membelinya. Sementara, satu dari sepuluh orang hanya pasrah
saja pada nasibnya.
Bagi yang memiliki asuransi, persepsi nilai kebutuhan proteksi
mereka adalah 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak memiliki hal ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat
kesadaran atas risiko di masa depan.
Kembali ke ilustrasi kejadian yang dialami Erika di awal tulisan
ini, kita dapat menyimpulkan bahwa meski ada dana cadangan,
ternyata tetap tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya,
termasuk membayar berbagai tagihan, berobat ke rumah sakit,
atau menjamin masa depan anaknya. Ada tiga kemungkinan
penyebabnya: pendapatan rendah, kebutuhan finansial yang
semakin meningkat, atau salah memperkirakan total nilai risikonya
sejak awal, sehingga dana cadangannya tidak cukup.

Survei yang sama menemukan kesenjangan antara kebutuhan


proteksi dengan dana yang tersedia, baik itu dari asuransi atau dana
cadangan dengan rata-rata sebesar Rp 106 juta atau 77 persen dari
perkiraan total nilai risiko. Mengingat rata-rata penghasilan keluarga
yang tak sampai Rp 5 juta per bulannya dan dana cadangan Rp 6
juta, keluarga yang ditinggalkan harus mencari bantuan finansial
kurang lebih 20 kali dari penghasilan mereka apabila musibah
tiba-tiba terjadi. Hal ini tentu mencerminkan sulitnya mengatasi
kesenjangan proteksi tersebut.
Hanya dengan memproteksi diri dan keluarga melalui asuransi,
maka kesenjangan dapat ditutup dan mampu memberikan jaminan
keuangan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.
Mereka yang memiliki asuransi menilai risiko masa depan lebih
tinggi, yaitu sebesar Rp 210 juta. Sedangkan, mereka yang tidak
memiliki asuransi menilai risiko masa depan sebesar Rp 86 juta.
Bagi yang memiliki asuransi mempunyai kesenjangan proteksi
sebesar 55 persen, sementara yang tidak adalah sebesar 98
persen. Hal ini menunjukkan betapa riskan hidup mereka yang tak
memiliki asuransi. Selain lebarnya kesenjangan, perkiraan mereka
tentang nilai risiko juga terlalu kecil dibanding kebutuhan aktual.
Angka kesenjangan perlindungan secara nasional untuk mereka
yang sudah memiliki asuransi adalah Rp 2.200 triliun. Kesenjangan
proteksi bagi mereka yang tidak memiliki asuransi mencapai Rp
4.100 triliun. Dengan memperhitungkan penduduk Indonesia yang
mencapai 237 juta jiwa dan rata-rata jumlah anggota keluarga empat
jiwa, maka total kesenjangan proteksi seluruh keluarga Indonesia
diperkirakan mencapai Rp 6.280 triliun. Angka ini mendekati hasil
survei Swiss Re 2010 yang menyatakan kesenjangan proteksi di
Indonesia mencapai Rp 6.300 triliun atau US$ 711 miliar (dengan
kurs 1 US$ = Rp 8.900).

Dapat dipastikan keluarga yang tidak memiliki asuransi akan


mengalami penurunan standar kualitas hidup jika tiba-tiba
mengalami musibah, kecuali mereka melakukan perubahan yang
mendasar.
Belanja asuransi seharusnya menjadi kebutuhan dan prioritas lebih
tinggi dalam daftar pengeluaran. Masyarakat Indonesia memiliki
tanggung jawab kepada keluarga dan diri mereka sendiri, untuk
menentukan prioritas dan memastikan bahwa keuangan keluarga
sudah seimbang, meliputi tingkat cakupan asuransi jiwa yang
memadai.
Persepsi bahwa asuransi itu mahal dan tidak terjangkau tidaklah
benar, dan hal ini haruslah diperbaiki. Sebagai contoh, seorang
pengajar di sebuah lembaga pendidikan, berusia 38 tahun, sudah
menikah, tidak merokok, punya dua orang anak. Beliau bisa mulai
memproteksi diri dari risiko kematian akibat kecelakaan, dengan
hanya membayarkan premi yang nilainya tidak lebih dari harga
semangkuk mi instan setiap bulannya.
Asuransi seharusnya tidak dipandang sebagai beban pada sumber
daya keuangan apabila kita mampu merencanakan keuangan
dengan baik. Asuransi bukan beban tetapi aset; ini adalah
perlindungan bagi kita dan keluarga yang bisa diandalkan terutama
jika musibah terjadi. Kata asuransi dan terjangkau seyogyanya
berjalan beriringan. Untuk itu, informasi yang tepat dan lengkap
penting ditekankan oleh seluruh pelaku industri asuransi.

Dinamika Berasurasi
di Kota-kota Besar
P

erbedaan pola perilaku, budaya dan biaya hidup di antara


kota-kota dapat mempengaruhi persepsi orang berasuransi dan
tingkat kesadaran menghadapi musibah yang tak terduga. Walau
begitu, hasil studi AIA Financial tidak menemukan pola yang teratur
yang menjadi ciri khusus satu kota tertentu.
Survei menyimpulkan, hanya bagian kecil saja responden yang
membeli sendiri perlindungan asuransinya. Kebanyakan responden
mendapat perlindungan asuransi dari kantornya masing-masing.
Yang cukup melegakan adalah besarnya kesadaran mereka
yang sudah memiliki asuransi di semua kota yang disurvei untuk
memproteksi juga pasangan dan anak-anaknya, dan tidak semata
untuk dirinya sendiri saja.
Responden yang tinggal di Jakarta, Semarang, dan Bodetabek
(Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) umumnya mendapat asuransi
dari kantornya hanya untuk perlindungan kematian. Sedangkan
perlindungan untuk penyakit kritis seperti jantung, tumor, diabetes
atau stroke, mereka membelinya sendiri secara terpisah. Secara
umum responden di kota-kota ini lebih banyak yang hanya
memproteksi diri dan keluarganya dari penyakit umum dan
kecelakaan yang menyebabkan cacat.
Di Jakarta dan Bodetabek, separuh responden sudah memiliki
asuransi atau tabungan untuk memproteksi risiko kesehatan dan
kematian. Sedangkan di Surabaya, Palembang dan Balikpapan,
tidak banyak responden yang memiliki tabungan atau melindungi
dirinya dengan asuransi kesehatan, jika dibandingkan dengan kota
lainnya. Responden yang memiliki jumlah simpanan khusus atau
asuransi yang nilainya terbesar berasal dari Makassar, Medan,
Semarang dan Palembang.
Kesadaran betapa perlunya memiliki asuransi atau dana simpanan
mendapat perhatian yang serius bagi responden di Makassar,
Medan, Palembang, Jakarta dan Semarang dengan mengalokasikan
dana yang lebih besar untuk kebutuhan itu. Sebaliknya, responden
di Balikpapan, Yogyakarta dan Bandung termasuk yang paling
sedikit alokasi finansialnya. Alokasi yang kecil untuk responden di
Yogyakarta dan Balikpapan ini sejalan dengan perkiraan jumlah
kebutuhan mereka untuk memproteksi diri dan keluarganya yang
juga paling kecil di antara kota lainnya.

Di sisi lain, di antara mereka yang tidak memiliki asuransi, kebutuhan


proteksinya yang nilainya paling tinggi berada di Bodetabek yang
mencapai Rp 212 juta. Tetapi secara umum mereka yang tidak
memiliki asuransi sesungguhnya adalah orang-orang yang paling
rendah kesadarannya tentang perlunya dana yang cukup untuk
menghadapi musibah yang tak terduga.
Kesadaran responden tentang risiko dan kerugian finansial di
masa depan juga berbeda-beda di antara kota-kota. Responden
di Jakarta, Bodetabek, dan Palembang dapat menilai risikonya
lebih tinggi ketimbang mereka yang tinggal di Yogyakarta, Malang,
Bandung dan Cirebon.
Kesenjangan asuransi, tanpa memasukkan uang tabungan,
yang terbesar berada di Balikpapan (88 persen), Jabodetabek
(86 persen), Bandung (85 persen), dan Surabaya (83 persen).
Sebaliknya kesenjangan asuransi yang paling rendah berada di
Makassar (51 persen) dan Semarang (66 persen). Sementara itu,
apabila uang tabungan responden ikut kita perhitungkan, maka
kesenjangan proteksi yang paling tinggi berada di Balikpapan (89
persen) dan Jabodetabek (sekitar 84 persen).
Minat membeli asuransi juga berbeda di antara kota-kota. Beberapa
responden yang tinggal di Bandung dan Makassar tertarik membeli
asuransi untuk melindungi diri dan keluarganya dari risiko penyakit
umum, juga untuk proteksi penyakit kritis dan kematian. Sebaliknya,
mereka yang tidak berminat membeli asuransi kebanyakan karena
alasan tidak punya uang berasal dari Semarang, Surabaya, Medan,
Cirebon, Yogyakarta dan Balikpapan. Responden yang beralasan
kurang informasi paling besar persentasenya berasal dari Malang,
Makassar dan Bandung.

Kami Sudah Bergerak,


tapi Mari Kita Bergerak
Lebih Cepat
M

asyarakat Indonesia perlu merencanakan persiapan bagi


tanggungan mereka. Cara termudah untuk melakukannya adalah
cukup dengan bertanggung jawab melindungi diri sendiri. Sehingga,
orang yang dicintai dapat melanjutkan sisa hidupnya tanpa kesulitan
keuangan karena ketidakhadiran pencari nafkah atau ketika pencari
nafkah mengalami cacat permanen.
Sebagai sebuah komunitas, menjadi tanggung jawab kita bersama
untuk memastikan bahwa semua orang Indonesia dilindungi. Ketika
anggota masyarakat mengalami kejatuhan dan tak berdaya karena
cakupan manfaat asuransinya tidak mencukupi, kita ikut menderita.
AIA Financial, sebagai sebuah perusahaan asuransi dapat berbagi
keahlian dan pengetahuan, namun tentu tidak bisa melakukannya
sendirian. Kita membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat
Indonesia untuk ikut bertanggung jawab atas kesenjangan
perlindungan dengan bertindak menjembatani keadaan ini sedini
mungkin.
Kita juga perlu bekerja sama dengan organisasi publik dan swasta
yang potensial sebagai pemangku kepentingan dalam mendidik
secara terus-menerus masyarakat Indonesia tentang mendapatkan
perlindungan asuransi jiwa yang memadai.
Lebih dari itu semua, kita membutuhkan tingkat keterlibatan
langsung dari negara yang sesuai dan kami berharap dapat
berdiskusi mendalam dengan instansi pemerintah terkait. Bersamasama, kami ingin membantu membuat masa depan Indonesia lebih
aman.

Banyak orang Indonesia tak cukup perlindungannya. Kami berharap


ini tidak berlangsung lama. Melalui lokakarya pendidikan, acaraacara pameran, seminar dan instrumen keuangan, AIA Financial
ingin memperlihatkan apresiasi yang lebih pada kebutuhan
proteksi yang cukup dan bagaimana mencapainya. Kami memiliki
jaringan, dan konsultan keuangan AIA Financial dapat membantu
memberikan pemahaman dan kesadaran di dalam masyarakat.
AIA Financial berusaha berperan aktif dalam menanggulangi
situasi kesenjangan perlindungan ini dan berkomitmen memenuhi
kebutuhan proteksi dan tabungan masyarakat Indonesia secara
lintas generasi. Pada saat yang sama, kami mendorong masyarakat
Indonesia untuk memainkan peran lebih aktif dalam menjembatani
kesenjangan perlindungan mereka.

Lima Cara Mudah


Mencapai Proteksi
Optimum
1.
2.

3.
4.
5.

Mengetahui cakupan proteksi Anda. Setiap tahun biaya kesehatan


terus meningkat. Anda perlu mengetahui berapa jumlah proteksi yang
Anda miliki atau yang disediakan oleh kantor. Setelah itu apakah jumlah
proteksi tersebut sudah mencukupi seluruh kemungkinan kebutuhan
Anda di masa depan jika terjadi musibah yang tak diinginkan.
Mengetahui prioritas Anda. Mulailah menyusun prioritas alokasi
keuangan Anda. Mungkin Anda sudah mulai menabung dan memiliki
dana cadangan. Namun menabung saja tidaklah cukup, karena bisa
jadi dana yang ditabung akan habis apabila terjadi musibah. Dengan
memiliki asuransi, Anda mempunyai proteksi yang cukup yang bisa
diandalkan menghadapi risiko tak terduga di masa depan. Alokasikan
dana untuk tabungan dan asuransi yang seimbang sehingga keduanya
dapat saling mendukung.
Mengetahui risiko Anda. Setiap individu punya risiko yang berbeda
yang melekat pada diri dan lingkungannya, apakah itu di sekitar
tempat kerja atau tempat tinggalnya. Orang yang bekerja di lokasi
berbahaya punya risiko lebih tinggi ketimbang orang yang bekerja di
rumah saja. Demikian juga dengan penyakit-penyakit bawaan atau
yang pernah muncul dalam sejarah kesehatan keluarga. Bangunlah
kesadaran tentang risiko diri sendiri.
Ajarkan anak Anda untuk mengelola keuangan mereka. Ajarkan
anak-anak Anda cara menyimpan dan mengelola keuangan mereka.
Beri seseorang ikan, Anda sudah memberinya makan untuk hari ini.
Ajarkan seseorang memancing, dan Anda sudah memberinya makan
seumur hidup. Mereka akan tumbuh menjadi individu yang mandiri
dan cerdas, yang secara efektif dapat mengelola keuangan mereka
sendiri dan mendidik anak-anak mereka sendiri juga.
Konsultasilah dengan ahli perencana keuangan di kantor
perwakilan asuransi yang siap membantu Anda atau berdiskusi
dengan keluarga dan teman yang paham soal keuangan untuk
mengkaji kembali kebijakan keuangan Anda. Ini harus dilakukan
setiap tahun atau ketika ada perubahan yang signifikan dalam hidup
Anda seperti memutuskan menikah, memulai sebuah keluarga
atau membeli rumah baru. Hal ini untuk memastikan bahwa secara
keuangan Anda siap apabila menghadapi keadaan yang tidak
menguntungkan.

Fakta - Fakta Penting

Setiap 1.000 orang Indonesia, 8 orang diantaranya terkena


stroke. Stroke merupakan penyebab utama kematian pada
semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang
meninggal di Indonesia, 1 di antaranya karena stroke.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Kematian akibat penyakit tidak menular meningkat menjadi 59,5


persen pada 2007, dari sebelumnya 41,7 persen pada 1995.
(Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Antara,
2011).

10 penyebab kematian di Indonesia menurut survei World Health


Organization (2002) adalah jantung koroner, tuberkolosis,
kelainan pembuluh darah, penyakit pernapasan, penyakit bayi
baru lahir, penyakit paru-paru, kecelakaan lalu-lintas, diabetes
mellitus, darah tinggi, diare.

Biaya pengobatan kesehatan di Indonesia meningkat 10 hingga


14 persen dalam tiga tahun terakhir (Towers Watson 2011 Global
Medical Trends).

Rata-rata pendapatan keluarga yang disisihkan untuk menabung


hanya 18 persen, sedangkan untuk asuransi hanya 10 persen.
Padahal, biaya pengobatan tiap tahunnya terus meningkat. (AIA
Financial protection gap survey bekerja sama dengan MarkPlus
Insight, 2011).

Kesenjangan proteksi kematian di Indonesia meningkat ratarata 11 persen per tahun (Swiss Re Mortality Protection Gap:
Asia-Pacific 2011).

Jumlah pemegang polis asuransi jiwa baru mencapai 38 juta


unit, dengan total uang pertanggungan sebesar Rp 1.361 triliun.
(Perasuransian Indonesia 2009, Bapepam-LK).

AIA Financial

Menara Matahari Lt. 8, Jl. Bulevar Palem Raya No. 7, Karawaci, Tangerang 15811

AIA Customer Care Hotline: 500 980

AIA-FINANCIAL.CO.ID

Anda mungkin juga menyukai