PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan
jaringan transparan yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat
tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular,
dan deturgenses. Deturgens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam
mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih
berat daripada cedera pada epitel.
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema
lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah
beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air
mata menjadi hipertronik. Proses penguapan air dari film air mata prakornea
dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.
Mata dapat terkena berbagai kondisi. Beberapa diantaranya bersifat
primer, sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain. Kebanyakan
kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal, dapat dikontrol dan
penglihatan dapat dipertahankan (Brunner dan Suddarth, 2001).
Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh,
terutama yan menyebabkan cedera selular lokal akibat kompetisi
metabolisme, toksin, replikasi intraselular/respon antigen antibodi
Inflamasi dan infeksi dapat terjadi pada beberapa struktur mata dan
terhitung lebih dari setengah kelainan mata. kelainan-kelainan yang umum
terjadi pada mata orang dewasa meliputi radang/inflamasi pada kelopak
mata, konjungtiva, kornea, koroid badan ciriary dan iris. Katarak
Manfaat
Agar mahasiswa mampu mengetahui macam-macam gangguan pada
kornea dan asuhan keperawatan pada pasien dengan keratitis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11 - 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki
indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara
dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia.
Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus
humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva (AAO, 2008). Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550
m, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm
(Riordan-Eva, 2010).
2.2
Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel (Riordan-Eva, 2010).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran
limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea
(substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel
yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan
bercabang (Eroschenko, 2003).
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel
posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet
merupakan membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003) dan memiliki
resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 1993).
2.3
Edema Kornea
Secara anatomis debedakan atas edema epitel dan edema stroma.
Epitel kornea yang normal tidak terlihat dengan mikroskop slit lamp,
pada edema lapisan epitel ini kehilangan homogenitasnya dan
menjadi tampak pada pemeriksaan menggunakan slit lamp. Edema
stroma menyebabkan hilangnya transparansi kornea diterangkan oleh
terjadinya pembelokan cahaya oleh fibril stroma yang membengkak.
2.4.3
2)
3)
4)
5)
11
12
c. Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di
Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial
yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam
improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi
keraomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang
dihadapi, dapat dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin,
golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen
Untuk golongan II: topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast)
Amphoterisin B, natamycin, imidiazole.
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur
sejati. Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
2.4.5
Keratitis Non-Infeksi
1. Ulkus dan Infiltrat Marginal
Kebanyakan ulkus kornea marginal bersifat jinak namun
sangat sakit. Ulkus ini timbul akibat konjungtivitis bakteri akut
atau menahun, khususnya blefarokonjungtivitis stafilokok dan
lebih jarang konjungtivitis Koch-Weeks (Haemophilus
aegyptus). Namun ulkus-ulkus ini bukan proses infeksi dan
kerokan tidak mengndung bakteri penyebab. Ulkus timbul
akibat sensitisasi terhadap produk bakteri, antibodi dari
13
14
16
Keratitis Epitelial
1. Keratitis Klamidia
Kelima jenis utama konjungtivitis klamidia (trakoma,
konjungtivitis inklusi, limfogranuloma venereum okuler primer,
konjungtivitis parkit atau psittacosis, dan konjungtivitis
pneumonitis kucing) disertai dengan lesi kornea. Namun hanya
trakoma dan limfagranuloma venereum, lesinya dapat
menyebabkan kebutaan atau merusak penglihatan.
Keratokonjungtivitis klamidia dapat diobati dengan sulfonamida
sistemik (kecuali infeksi C psittaci, yang resisten terhadap
sulfonamide), tetrasiklin, dan eritromisin.
2. Keratitis Epitel Induksi Obat
Keratitis epitelial tidak jarang ditemukan pada pasien yang
memakai obat anti-virus (idoxuridine dan trifluridine) dan
beberapa antibiotika spektrum luas dan spektrum sedang seperti
neomycin, gentamicin, dan tobramycin. Umumnya berupa
keratitis superfisial, terutama mengenai belahan bawah kornea
dan fissura interpalpebrae.
3. Keratokonjungtivitis Sicca (Sindrom Sjgren)
Filamen-filamen epitelial di kuadran bawah kornea
merupakan tanda utama penyakit autoimun ini, karena sekret
kelenjar lakrimalis dan kelenjar lakrimalis tambahan berkurang.
Juga terdapat keratitis epitelial berbintik-bintik yang terutama
mengenai kuadran bawah. Kasus berat menampakkan
pseudofilamen mukosa yang melengket pada epitel kornea. Pada
17
Kelainan Bentuk
1. Keratokonikus
Biasanya merupakan kelainan sporadis kadang diturunkan.
Penipisan bagian tengah kornea menyebabkan distorsi kornea
konikal. Penglihatan terganggu namun tidak terdapat nyeri. Pada
awalnya astigmatisme yang ditimbulkan dapat dikoreksi dengan
kacamata atau lensa kontak. Pada kasus berat mungkin
diperlukan cangkok kornea.
2.4.8
2. Arkus Lipid
Ini merupakan deposit lipid putih di perifer yang berbentuk
cincin, terpisah dari limbus dengan jelas. Paling sering terlihat
pada manula normal (arkus senilis) namun pada pasien muda
dapat merupakan tanda adanya suatu hiperlipidemia. Tidak
memerlukan terapi.
2.4.10 Cangkok Kornea
19
2.5 Patofisiologi
Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, maka kebanyakan lesi
kornea, superfisial maupun profunda (dalam) akan menimbulkan rasa sakit
dan fotofobia. Rasa sakit ini diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama
palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi
kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan terutama jika terletak di
pusat.
Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris
mengalami radang yang sakit. Dilatasi iris adalah fenomena refleks yang
disebabkan oleh iritasi pada ujung saraf kornea. Fotofobia, yang berat pada
20
21
22
23
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Asuhan Keperawatan Keratitis
3.1.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Suku bangsa
e. Pekerjaan
f. Pendidikan
g. Status menikah
h. Alamat
i. Tanggal MRS
2. Keluhan Utama
a. Gangguan penglihatan (visus menurun)
b. Mata sakit
c. Lakrimasi
3. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Mata merah dan bengkak
b. Merasa kelilipan
c. Gangguan penglihatan (visus menurun)
d. Mata sakit, gatal, silau
e. Fotofobi, lakrimasi, blefarospasme
f. Adanya flikten/infiltrat pada kornea
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pernah menderita konjungtivitis/herpes
b. Trauma
5. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
1) Hiperemi pada konjungtiva
2) Adanya flikten/infiltrat pada kornea
3) Adanya lakrimasi
4) Mata tampak merah dan bengkak
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemulasan fluorescen
b. Tes Schirmer
c. Keratometer
d. Fotokeratoskop
e. Topografi
3.1.2
Diagnosa Keperawatan
24
dan perawat.
Intervensi Keperawatan
Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan penurunan
tajam penglihatan ditandai dengan visus menurun, silau,
adanya flikten pada kornea, merasa kelilipan.
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: visus kembali normal, tidak tampak luka cedera pada
anggota tubuh.
Intervensi
Tentukan tajam penglihatan pada
Rasional
Kebutuhan individu dan pilihan
kedua mata.
terhadap cedera.
Mencegah terjadinya cedera pada
25
menggaruk mata.
mata.
kebutuhan.
Ketidaksesuaian antara petunjuk
verbal nyeri.
verbal/non-verbal dapat
memberikan petunjuk derajat
nyeri, kebutuhan/keefetifan
intervensi.
Memfokuskan kembali
kemampuan koping.
Analgetik menekan impuls nyeri
analgetik.
situasi.
Dorong pasien untuk mengakui
mengatasi.
Memindahkan pasien dari stress
luar meningkatkan relaksasi dan
dan jujur.
sehubungan dengan
ketidaktahuan dan memberikan
dasar untuk pilihan informasi
tentang pengobatan.
Perilaku yang berhasil dapat
mengidentifikasi perilaku
koping.
Rasional
Mengembangkan rasa
terapeutik pasien-perawat.
perawat.
Keluarga mungkin secara
27
keluarga.
keadaannya
Konfrontasi pasien terhadap
pertahanan.
Rasional
Kemampuan aktivitas klien
merupakan gambaran untuk
kebutuhan pribadinya.
tindakan.
Perawatan dirinya sendiri akan
meningkatkan perasaan harga
diri.
Peningkatan aktivitas secara
secara bertahap.
perawat.
Meningkatkan harapan terhadap
28
peningkatan kemandirian.
berpartisipasi.
Kolaborasi dengan ahli terapi
Berguna dalam
fisik.
memformulasikan program
latihan berdasarkan kemampuan
klien.
3.1.4
3.1.5
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi hasil menggunakan kriteria evaluasi yang telah
ditentukan pada tiap tahap perencanaan keperawatan, dilakukan
secara periodik, sistematis terencana.
29
BAB 4
PENUTUP
3.2 Kesimpulan
3.3 Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
Vaughan, Daniel, Asbury, Taylor, Eva, Paul, Riodan. 2000. Oftalmologi Umum
Ed: 14. Jakarta: Widya Medika
James, Bruce, Chew, Chris, Bron, Anthony. 2006. Lecture Notes: Oftalmologi Ed:
9. Jakarta: EMS
dr. Hamurwono, Guntur, Bambang, dkk. 2002. ILMU PENYAKIT MATA: Untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Ed: 2. Jakarta: Sagung Seto
Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta Edisi-3Jjilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Engram, Barbara. 1994. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC
Doengoes, E. Marilynn, Moorhouse, Geissler. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta: EGC
31