Anda di halaman 1dari 16

CASE REPORT

Seorang pria berusia 22 tahun dating ke RSGMP UNSOED dengan keluhan gusi
bawah belakang sakit dan sedang bengkak. Sakit sudah dirasakan sudah lama dan sering
kambuhan, seminggu terakhir mengeluh sakit kembali. Pemeriksaan objektif gusi belakang
bengkak, terlihat mahkota klinis gigi 38 sebagian terpendam miring kea rah mesial.
Pemeriksaan radiografi terlihat gambaran gigi 38 kearah mesio oklusal dan tidak mengalami
kelainan periapikal. Diagnosa gigi 38 impaksi klas IA. Rencana Perawatan odontektomi
dengan teknik separasi tanpa pembukaan flap.

Gambar 1. Gambaran radiografi gigi 38

PEMBAHASAN

A. IMPAKSI
1. Definisi
Gigi impaksi adalah gagalnya erupsi gigi pada posisi fungsional normal,
berhubungan dengan kekurangan ruang (pada arkus dental), obstruksi oleh gigi lain
atau berkembang dalam posisi yang abnormal. Gigi impaksi dapat berupa impaksi
seluruhnya yaitu ketika gigi seluruhnya ditutupi oleh haringan lunak dan sebagian
atau sepenuhnya ditutupi oleh tulang alveolus, atau impaksi sebagian, ketika gigi
gagal untuk erupsi ke pisisi fungsional normalnya. Gigi impaksi paling banyak terjadi
pada gigi bungsu atau molar ketiga (Rahayu, 2014).
2. Proses Pembentukan Gigi Bungsu
Proses pembentukan gigi bungsu diawali sebelum usia 12 tahun dan
pertumbuhannya berakhir pada usia sekitar 25 tahun. Pada usia tersebut gigi bungsu
akan terbentuk sempurna. Secara garis besar pertumbuhan gigi bungsu berlangsung
pada usia 12 tahun sebagian mahkita benih gigi bungsu mulai terbentuk, lalu pada
usia 14 tahun mahkita gigi sudah terbentuk lengkap, selanjutnya pada usia 17 tahun
mahkota gigi dan akar gigi mulai terbentuk sebagian hingga usia 25 tahun mahkota
dan akar gigi terbentuk sempurna. Dalam proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga
mulut, benih gigi akan menembus tulang alveolar dan mukosa gingiva diatas benih
gigi. Hal itu terjadi akibat dorongan kea rah permukaan karena pertumbuhan/
pertambahan panjang akar disertai retraks operculum atau gingiva yang semula
menutupinya (Rahayu, 2012).
3. Etiologi
a. Penyebab lokal:
1) Posisi yang tidak teratur dari gigi-geligi dalam lengkung rahang.
2) Densitas (kepadatan) tulang di atas dan sekitarnya.

3) Keradangan yang menahun dan terus menerus sehingga dapat menyebabkan


bertambahnya jaringan mukosa di sekitarnya.
4) Tanggalnya gigi sulung yang terlalu cepat, ini mengakibatkan hilang atau
berkurangnya tempat untuk gigi permanen penggantinya
b. Penyebab sistemik :
1) Herediter : Dimana rahangnya sempit sedangkan gigi geliginya besar.
2) Miscegenation (percampuran ras) : Misalnya, perkawinan campuran dari satu
ras yang mempunyai gen dominan, gigi besar dan ras lainnya dominan pada
rahang yang kecil atau sempit.
3)

Penyebab postnatal : Semua keadaan-keadaan yang dapat mengganggu


pertumbuhan anak, misalnya penyakit: ricketsia, anemia, syphilis, TBC,
gangguan kelenjar endokrin, malnutrisi.

c. Keadaan yang jarang ditemukan:


1) Cleidoncranial disostosis : Keadaan kongenital yang jarang ditemukan, dimana
terlihat cacat ossifikasi dari tulang tengkorak, hilangnya sebagian atau
seluruhnya tulang clavicula, terlambatnya exfoliasi gigi sulung, gigi permanen
tidak erupsi dan terdapat rudimenter supernumerary teeth.
2) Oxycephali : Suatu keadaan dimana terlihat kepala yang meruncing seperti
kerucut. Pada keadaan ini terdapat gangguan pada tulang-tulang kepala.
3) Progeria : Bentuk tubuh yang kekanak-kanakan ditandai dengan perawakan
kecil, tidak adanya rambut pubis, kulit berkerut, rambut berwarna keabu-abuan
tetapi wajah, sikap serta tingkah lakunya seperti orang tua.
4) Achondoplasia : Herediter, terdapat gangguan kongenital dari skeleton
sehingga menyebabkan dwarfism (kerdil).
5) Cleft palate : Fisura pada langit-langit yang kongenital, disebabkan adanya
defect atau cacat pada pertumbuhan waktu embrio.
4. Klasifikasi
3

a. Berdasarkan sifat jaringan


Berdasarkan sifat jaringan, impaksi gigi molar ketiga dapat diklasifikasikan
menjadi
1) Impaksi jaringan lunak : adanya jaringan fibrous tebal yang menutupi gigi
terkadang mencegah erupsi gigi secara normal. Hal ini sering terlihat pada
kasus insisivus sentral permanen, di mana kehilangan gigi sulung secara dini
yang disertai trauma mastikasi menyebabkan fibromatosis
2) Impaksi jaringan keras : Ketika gigi gagal untuk erupsi karena obstruksi yang
disebabkan oleh tulang sekitar, hal ini dikategorikan sebagai impaksi jaringan
keras. Di sini, gigi impaksi secara utuh tertanam di dalam tulang, sehingga
ketika flap jaringan lunak direfleksikan, gigi tidak terlihat. Jumlah tulang
secara ekstensif harus diangkat, dan gigi perlu dipotong-potong sebelum
dicabut.
b. Klasifikasi Pell dan Gregory
Klasifikasi Pell dan Gregory menghubungkan kedalaman impaksi terhadap
bidang oklusal dan garis servical gigi molar kedua mandibular dalam sebiah
pendekatan dan diameter esiodistal gigi impaksi terhadap ruang yang tersedia
antara permukaan distal gigi molar kedua dan ramus ascendens mandibular dalam
pendekatan lain.

Gambar 2 : Klaifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah menurut Pell dan Gregory
Sumber : Monaco G, 2004

1) Berdasarkan relasi molar ketiga bawah dengan ramus mandibular, klasifikasi


sebagai berikut (Pedersen, 2012):
a) Klas I : Diameter anteroposterior gigi sama atau sebanding dengan ruang
antara batas anterior ramus mandibula dan permukaan distal gigi molar
4

kedua. Pada klas I ada celah di sebelah distal Molar kedua yang potensial
untuk tempat erupsi Molar ketiga.
b) Klas II: Sejumlah kecil tulang menutupi permukaan distal gigi dan ruang
tidak adekuat untuk erupsi gigi, sebagai contoh diameter mesiodistal gigi
lebih besar daripada ruang yang tersedia. Pada klas II, celah di sebelah
distal M
c) Klas III: Gigi secara utuh terletak di dalam mandibula akses yang sulit.
Pada klas III mahkota gigi impaksi seluruhnya terletak di dalam ramus
2) Berdasarkan jumlah tulang yang menutupi gigi impaksi, dapat dikelompokkan
berdasarkan kedalamannya, dalam hubungannya terhadap garis servikal Molar
kedua disebelahnya. Faktor umum dalam klasifikasi impaksi gigi rahang atas
dan rahang bawah :
a) Posisi A: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada tingkat yang sama dengan
oklusal gigi molar kedua tetangga (Pedersen, 2012). Mahkota Molar ketiga
yang impaksi berada pada atau di atas garis oklusal (Balaji, 2009).
b) Posisi B: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada pertengahan garis servical
dan bidang oklusal gigi molar kedua tetangga (Balaji, 2009). Mahkota Molar
ketiga di bawah garis oklusal tetapi di atas garis servikal Molar kedua
(Pedersen, 2012).
c) Posisis C: Bidang oklusal gigi impaksi berada di bawah tingkat garis servikal
gigi molar kedua. Hal ini juga dapat diaplikasikan untuk gigi maksila (Balaji,
2009). Mahkota gigi yang impaksi terletak di bawah garis servikal (Pedersen,
2012)

Gambar 3 : Klasifikasi impaksi molar ketiga menurut Pell dan Gregory.


Sumber : Fragiskos D, 2007

3) Berdasarkan kedalaman impaksi dan jaraknya ke molar kedua

a) Posisi A : permukaan oklusal gigi impaksi sama tinggi atau sedikit lebih
tinggi dari gigi molar kedua.
b) Posisi B : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada pada pertengahan
mahkota gigi molar kedua atau sama tinggi dari garis servikal
c) Posisi C : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada di bawah garis
servikal molar kedua.
4) Posisinya berdasarkan jarak antara molar kedua rahang bawah dan batas
anterior ramus mandibular
a) Klas I : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibular
cukup lebar mesiodistal molar tiga bawah
b) Klas II : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibular
lebih kecil dari lebar mesiodistal molar tiga bawah
c) Klas III : gigi molar tiga bawah terletak di dalam ramus mandibular
c. Klasifikasi Winter
Winter mengajukan sebuah klasifikasi impaksi gigi molar ketiga mandibular
berdasarkan hubungan gigi impaksi terhadap panjang aksis gigi molar kedua
mandibula. Beliau juga mengklasifikasikan posisi impaksi yang berbeda seperti
impaksi vertikal, horizontal, inverted, mesioangular, distoangular, bukoangular,
dan linguoangular (Balaji, 2009). Quek et al mengajukan sebuah sistem klasifikasi
menggunakan protractor

ortodontik.

Dalam penelitian mereka,

angulasi

dideterminasikan menggunakan sudut yang dibentuk antara pertemuan panjang


aksis gigi molar kedua dan ketiga. Mereka mengklasifikasikan impaksi gigi molar
ketiga mandibula sebagai berikut (Obimakinde, 2009) :
1) Vertikal (10o sampai dengan -10o)
2) Mesioangular (11o sampai dengan -79o)
3) Horizontal (80o sampai dengan 100o)
4) Distoangular (-11o sampai dengan -79o)
5) Lainnya (-111o sampai dengan -80o)
d. Klasifikasi impaksi gigi berdasarkan archer dan kruger berdasarkan pada inklinasi
impaksi gigi molar ketiga terhadap panjang axis gigi molar kedua

Gambar 4 : Klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah menurut Archer dan Kruger (1
mesioangular, 2 distoangular, 3 vertical, 4 horizontal, 5 buccoangular, 6
linguoangular, 7 inverted)
Sumber : Fragiskos D, 2007

1) Mesioangular

: Gigi impaksi mengalami tilting terhadap molar kedua dalam


arah mesial.

2) Distoangular

: Axis panjang molar ketiga mengarah ke distal atau ke


posterior menjauhi molar kedua.

3) Horisontal
4) Vertikal

: Axis panjang gigi impaksi horizontal


: Axis panjang gigi impaksi berada pada arah yang sama

dengan axis panjang gigi molar kedua


5) Bukal atau lingual: Sebagai kombinasi impaksi yang dideskripsikan di atas, gigi
6) Transversal

juga dapat mengalami impaksi secara bukal atau secara lingual


: Gigi secara utuh mengalami impaksi pada arah bukolingual

B. ODONTEKTOMI
1. Definisi
Definisi odontektomi menurut Pederson (2012) yaitu pengeluaran satu atau
beberapa gigi secara bedah dengan cara membuka flap mukoperiostal, kemudian
dilakukan pengambilan tulang yang menghalangi dengan tatah atau bur. Odontektomi
adalah pengeluaran gigi yang dalam keadaan tidak dapat bertumbuh atau bertumbuh
sebagian (impaksi) dimana gigi tersebut tidak dapat dikeluarkan dengan cara
pencabutan tang biasa (forceps technique) melainkan diawali dengan pembuatan flap
mukoperiostal, diikuti dengan pengambilan tulang yang meghalangi pengeluaran gigi
tersebut.
2. Indikasi
7

a. Pencabutan preventif atau profilaktik


Secara umum sebaiknya gigi molar ketiga impaksi dicabut pada usia dibawah
25-26 tahun, ini merupakan tindakan profilaktik atau preventif yaitu pencegahan
terhadap terjadinya patologi yang berasal dari folikel dan infeksi (rasa sakit)
akibat erupsi yang lambat dan sering tidak sempurna. Alasan pencabutan pada usia
tersebut karena, mineralisasi tulang mengakibatkan pencabutan gigi lebih sulit dan
lebih traumatik sesudah usia 25 atau 26 tahun, dan celah ligamentum
periodontium mengecil atau tidak ada.
b. Patologi atau infeksi
Pencegahan patologis yang potensial atau infeksi merupakan indikasi
pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi. Patologi folikular meliputi kista
odontogenik atau neoplasma dan kadang-kadang lesi yang maligna. Abnormalitas
erupsi sering mengakibatkan pembentukan operkulum, suatu flap gingival yang
menutupi sebagian mahkota gigi yang erupsi. Poket di bawah operkulum tersebut
sering menjadi daerah yang menjebak sisa makanan dan tempat proliferasi
mikroorganisme. Radang atau pembengkakan yang terjadi dapat mengakibatkan
infeksi akut yaitu perikoronitis.
c. Prostetik atau restoratif
Diperlukan untuk mencapai jalan masuk ke tepi gingiva distal dari molar
kedua di dekatnya.
3. Kontraindikasi
a. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut.
b. Sebelum panjang akar mencapai sepertiga atau dua pertiga dan apabila tulang
yang menutupinya terlalu banyak (pencabutan prematur).
c. Jika kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur penting di sekitarnya
atau kerusakan tulang pendukung yang luas misalnya rasio risiko atau manfaat
tidak menguntungkan.
d. Apabila tulang yang menutupinya sangat termineralisasi dan padat, yaitu pasien
yang berusia lebih dari 26 tahun.
e. Apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu
oleh kondisi fisik atau mental tertentu.
8

4. Komplikasi pencabutan gigi


a. Komplikasi Intraoperatif
1) Perdarahan
Perdarahan merupakan ancaman, perdarahan merupakan komplikasi yang paling
ditakuti, karena dokter maupun pasiennya dianggap mengancam kehidupan.
Pasien dengan gangguan pembekuan darah yang tidak terdiagnosis sangatlah
jarang. Pasien yang beresiko mengalami perdarahan adalah seorang alkoholik
yang menderita sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan atau psien
yang minum aspirin dosis tinggi atau agen anti radang lain yang non-seroid.
Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk menghadapi
kejadian yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Tindakan
untuk mengontrol perdarahan diantaranya:
a) Tekanan meruapak tindakan segera, baik tekanan dengan tangan atau
tekanan tidak langsung dengan kassa.
b) Klem atau pengikatan digunakan untuk mengontrol perdarahan dari
pembuluh darah.
c) Klip hemostatik digunakan untuk mengontrol perdarahan dari pembuluh
darah yang sulit diikat.
d) Elektrokauterisasi untuk perdarahan dari pembuluh darah kecil atau
rembesan.
e) Pemberian bahan-bahan hemostatik (gelfoam, surgicel, thrombostat)
2) Fraktur
Fraktur bisa mengenai akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi,
prossus alveolaris dan mandibula, sehingga tekanan harus terkontrol untuk
menghindari fraktur-fraktur tersebut. Selain itu pemeriksaan radiografi sebelum
pembedahan juga diperlukan untuk mengetahui adanya akar yang mengalami
dilaserasi atau getas.
3) Pergeseran
Seluruh gigi atau fragmen akar bisa masuk ke sinus maksilaris, fossa infra
temporalis, hidung, canalis mandibularis atau ruang sub mandibula. Bagian yang
paling sering adalah sunus maksilaris. Kejadian ini sering terjadi akibat dari usaha

untuk mengambil fragmen atau ujung akar gigi molar atau premolar kedua atas
melalui alveolus dengan tekanan elevator yang berlebihan ke arah superior.
4) Cedera jaringan lunak
Cedera jaeingan lunak yang paling umum adalah lecet atau luka sobek dan luka
bakar atau abrasi. Lecet sering terjadi akibat retraksi berlebihan dari flap yang
kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat yang tak diharapkan
yaitu pada tepi tulang atau pada tempat penyambungan tepi-tepi flap. Komplikasi
ini bisa dihindari dengan mebuat flap yang lebih besar dan menggunakan retrkasi
yang ringan saja. Luka bakar atau abrasi terjadi akibat dari tertekannya bibir yang
dalam keadaan teranastesi oleh pegangan handpiece. Luka bakar labial bisa diatasi
dengan aplikasi salep antibiotik atau steroid.
5) Empisema subkutan
Sering terjadi pada regio maksila dan disebabkan oleh adanya udara yang masuk,
bisa berasal dari udara yang keluar dari handpiece.
6) Cedera saraf
Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi adalah divisi
ketiga dari nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior sangat dekat dengan regio
apikal gigi molar ketiga dan kadang molar kedua.
5.

Komplikasi pasca bedah


a. Perdarahan
Perdarahan ringan dari alveolar normal apabila terjadi pada 12-24 jam pertama
ssudah

pemcabutan

atau

pembedahan

gig.

Penekanan

oklusal

dengan

menggunakan kasa merupakan jalan terbaik untuk mengontrol dan dapat


merangsang oembentukan bekuan dara yang stabil.
b. Rasa sakit
Pengontrolan rasa sakit sangat tergantung pada dosis dan cara pemberian obat atau
kerjasama dengan pasien. orang dewasa sebaiknya mulai meminum obat
pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada
delapan jam pertama setelah pembedahan, dosis dewasa untuk obat analgesik nonnarkotik atau narkotik dapat dilipatgandakan.

10

c. Edema
Edema meruoakan kelanjutan normal dari setiap pemcabutan dan pembedahan
gigi, serta merupakan rekasi normal dari jaringan terhadap cidera. Usaha-usaha
untuk mengontrol edema mencakup termal (dingin), fifik (penekanan) dan obatobatan.
d. Reaksi terhadap obat
Reaksi akibat obat-obatan yang relatif sering terjadi segera setelah operasi adalah
mual muntah karena menelan analgesik narkotik atau non-narkotik. Keadaan ini
dapat mengakibatkan siklus emesis atau perdarahan. Muntah dapat mengungkit
bekuan darah dan perdarahan akan timbul pada saat pasien menelan darah, yang
akan mengakibatkan emesis.
6. Komplikasi beberapa saat setelah pembedahan
a. Alveolitis
Komplikasi yang paling sering adalah dry socket atau alveolitis. Biasanya dimulai
pada hari ke 3-5 sesudah operasi. Keluhan utamanya adalah rasa sakit yang sangat
hebat. Pada pemeriksaan terlihat alveolar yang terbuka , terselimuti kotoran dan
dikelilingi berbagai tingkatan peradangan dari gingiva. Etiologi dari alveolitis ini
adalah hilangnya bekuan darah akibat lisis. Penatalaksanaannya diirigasi dengan
larutan saline yang hangat dan kuretase.
b. Infeksi
Pencegahan infeksi didasarkan atas potensi penyebaran infeksi. Pencabutan suatu
gigi yang melibatkan proses infeksi akut, yaitu perikoronitis atau abses bisa
mengganggu proses pembedahan. Terapi antibiotik yang sesuai (kadar penisilin
terapetik dalam darah dicapai 1 jam sesudah pemberian secara oral) dan apabila
diindikasikan, insisi dan drainase digunakan untuk mengontrol keadaan akut.
Apabila akan segera dilakukan pembedahan, pemberian anastesi lokal diberikan 1
jam setelah pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi. Pencabutan
gigi tertentu yang mengalami sepsis lokal baik yang sudah dirawat atau belum,

11

misalnya deposit kalkulus yang banyak dan gingivitis akut atau kronis sebaiknya
dihindari. Profilaksis sebelum pencabutan (skaling) yang dilakukan 2-3 hari
sebelum pencabutan gigi merupakan cara efektif untuk mengurangi kontaminasi
lokal.
7. Pencabutan molar ketiga impaksi
Pada pencabutan molar ketiga impaksi terdapat beberapa hal secara umum yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Sedasi
Persyaratan pertama keberhasilan pembedahan adalah pasien relaks dengan
anestesi yang efektif. Pada kasus dilakukan anestesi blok mandibula, dengan
menganestesi nervus alveolaris inferior, nervus lingualis, dan nervus bukalis longus
menggunakan teknik fisher (Purwanto dan Juwono, 2012). Bahan anestesi yang
digunakan adalah pehacain yang tiap ml berisi lidokain HCL 20 mg dan adrenalin
0,0125 mg (Mims, 2014).
b. Desain flap
Flap yang sering digunakan adalah envelope tanpa insisi tambahan, direflesikan
dari leher m1 dan m2 tetapi dengan perluasan lateral kearah m3. Aspek lingual
perlu dihindari untuk mencegah cedera pada nervus lingualis (Pederson, 2012).
c. Pengambilan tulang
Teknik ini digunakan apabila impaksi gigi m3 terhalang oleh tulang alveolar.
Pengambilan tulang menggunakan bur dan irigasi menggunakan saline. Teknik
yang biasa dilakukan adalah membuat parit sepanjang bukal dan distal untuk
melindung crista obliqua eksterna tetapi tetap memiliki jalan masuk yang cukup
(Pederson, 2012).
d. Pemotongan terencana
Dasar pemikiran dari pemotongan adalah menciptakan ruang yang bisa digunakan
untuk mengungkit dan mengeluarkan segmen mahkota atau sisa akar (Pederson,
2012).
e. Tindakan pasca pencabutan

12

Kegagalan pembersihan sisa folikel setelah pencabutan dapat mengakibatkan


penyembuhan yang lama atau perkembangan patologis dari sisa epitel
odontogenik. Setelah folikel dibersihkan, alveolus diirigasi dengan saline.
Kemudian diletakan tampon diatas bekas pencabutan dan pasien dianjurkan untuk
tetap mengigit paling tidak 1-1,5 jam (Pederson, 2012).
f. Instruksi pasca bedah
Pasien ditekankan untuk mengkonsumsi analgesi yang diberikan kemudian
diinformasikan bahwa puncak rasa sakit sesudah pembedahan impaksi adalah
selama kembalinya sensasi daerah operasi sedangkan pembengkakan maksimal
terjadi 24 jam pasca pencabutan (Pederson, 2012).
Pada kasus pasien dengan impaksi m3 kelas 1 mesioangular dilakukan sesuai
dengan teori pencabutan m3 impaksi hanya saja pada kasus tidak diperlukan
pembuatan flap dan pengambilan tulang dikarenakan pada kasus m3 mengalami
erupsi sebagian tidak selurunya impaksi. Pada kasus dilakukan pemotongan gigi
untuk kasus mesioangular, dengan terencana karena pemotongan tulang lebih sedikit
dan mengakibatkan trauma yang lebih kecil. Pemotongan gigi pada kasus impaksi
mesioangular diawali dengan memotong mahkota bagian distal atau separuh bagian
distal gigi bawah yang impaksi. Bur diletakan pada garis servikal memotong gigi ke
aksial 2/3 atau 3/4 menembus lingual dan bukal. Dilanjukan dengan menggunakan
elevator/bein untuk mematahkan gigi menjadi dua bagian dari daerah bifurkasi. Sisa
gigi impaksi disorong kearah celah yang terbentuk menggunakan tang sisa akar
dengan menggunakan elevator lurus sebelumnya pada bagian mesiobukal (Gambar 4).
Gaya ini akan melepaskan gigi dari lingir distal molar dua (Pederson, 2012).

13

Gambar 5 Pemotongan terencana pada kasus impaksi mesioangular

8. Medikasi
Kontrol rasa sakit pasca bedah diperlukan beberapa obat, operator diharuskan
meresepkan obat analgesik yang poten untuk setiap pasien (Pederson, 2012).
Analgesik non steroid anti inflamasi dapat diberikan pada pasien sebagai contoh yaitu
asam mefenamat, ibuprofen, asetaminopen,kalium diklofenak, natrium diklofenak,
dll. Analgesik ini dapat diberikan untuk sekitar 3-4 hari dan hanya dikonsumsi bila
nyeri saja. Kontrol pembengkakan pasca pembedahan beberapa operator juga
memberikan 8 mg dexamethasone sebelum pembedahan karena memberikan efek anti
inflamasi yang lama pasca bedah (Rahayu, 2014).

Antibiotik diresepkan untuk

mencegah adanya infesi bakteri yang disebabkan karena tindakan pembedahan.


Antibiotik spektrum luas dapat diresepkan pada pasien dalam kasus ini seperti
amoxicilin, eritromisin, dan metronidazol. Antibiotik ini diberikan untuk 3-5 hari
pasca pembedahan dan pasien diinstruksikan untuk menghabiskan antibiotik tersebut
(Priyanto, 2010).
Pada kasus pasien diresepkan obat analgesik dan antibiotik. Analgesik yang
diberikan yaitu asam mefenamat yang hanya dikonsumsi bila nyeri saja untuk 3 hari
dan untuk mendapatkan analgesik yang lebih poten juga dikombinasikan dengan
menggunakan kalium diklofenak untuk konsumsi 3 hari. Asam mefenamat dan kalium
diklofenak ini merupakan obat non-steroid anti inflamasi yang juga selain memiliki
sifat analgesik juga memiliki sifat antiinflamasi dan antipiretik (Priyanto, 2010). Obat
14

antibiotik yang dipilih merupakan spektrum luas yaitu amoxicilin yang diresepkan
untuk 5 hari dan diinstruksikan kepada pasien untuk menghabiskan konsumsi obat
antibiotik.

15

Daftar Pustaka

Balaji SM. Oral and maxillofacial surgery. Delhi: Elsevier; 2009,p.233-5


Fragiskos, D., 2007, Oral surgery, Editor: Schroder GM, Heidelberg, Berlin:Springer, p.126
Mims, 2014, Mims Edisi Bahasa Indonesia Vol 15, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Monaco G, Montevecchi M, Bonetti GA, Gatto MRA, Checchi L. Reliability of panoramic
radiographyin evaluating the topographic relationship between the mandibular
canal and impacted third molars. JADA American Dental Association
2004;135:315
Obimakinde OS. Impacted mandibular third molar surgery; an overview. Dentiscope
2009;16:2-3
Pederson, Gordon., 2012, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta: EGC
Priyanto, 2010, Farmakologi Dasar. Depok: Leskonfi.
Purwanto dan Juwono, 2012, Petunjuk Praktis Anestesi Lokal, Jakarta:EGC
Rahayu, Sri. 2014. Odontektomi Tatalaksana Gigi Bungsu Impaksi. E-Journal WIDYA
Kesehatan dan Lingkungan. Vol (1) 81-89.

16

Anda mungkin juga menyukai