yaitu :
(Mycobacterium Tuberculosis). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui
udara (pernapasan) ke dalam paru-paru, kemudian menyebar dari paru-paru ke organ tubuh yang
lain melalui peredaran darah, yaitu : kelenjar limfe, saluran pernafasan atau penyebaran langsung ke
organ tubuh lain (Depkes RI, 2002).
Tuberkulos adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat
juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer
2001).
2. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis. . Kuman Mycobacterium Tuberkulosis
adalah kuman berbentuk batang aerobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive
terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smelzer, 2001: 5584).
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini
terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant.Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali
dan menjadikan tuberculosis aktif lagi (Bahar, 1999: 715).
Sifat lain kuman ini adalah kuman aerob, sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenani
jaringan yang lebih tinggi kandungan oksigennya.Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal
paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal inimerupakan tempat prediksi
penyakit tuberculosis.
Kuman TBC menyebar melalui udara (batuk,tertawa dan bersin) dan melepaskan droplet. Sinar
matahari langsung dapat mematikan kuman, akan tetapi kuman dapat hidup beberapa jam dalam
suhu kamar (Dep Kes RI 2002).
3. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka
terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui
inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan reaksi
inflamasi Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ,basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus
biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih
besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun
tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses
dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga
menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel
epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi nekrosis
ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami
nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast,
menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan
parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening
regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah
nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas.
Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan
trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat
terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta
jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus
pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut
fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut
yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak
dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan
lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui
kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran
limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu
fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar
ke organ-organ tubuh.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem
pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan
gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa,
dan tuberkulosis milier.
4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik tetapi
progresif. Biasanya tiga minggu atau lebih dan ada dahak. Selain tanda-tanda tersebut diatas,
penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya keluhan yang
muncul adalah :
1. Demam : terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
2. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan produksi
radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan sputum ).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4. Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat
di waktu di malam hari.
5. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Klasifikasi penyakit
1.1. Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+).
1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis
aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberculosis aktif. TBC Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgan dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas
.1.2. Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
1. TBC ekstra-paru ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
6. Penatalaksanaan
Pengobatan TBC Paru
Tujuan pemberian obat pada penderita tuberculosis adalah: menyembuhkan, mencegah
kematian,dan kekambuhan, menurunkan tingkat penularan (Depkes RI. 2002).
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai timbul
masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan beberapa obat
ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga
oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3/
2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap
lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ / 7RH. Departemen Kesehatan RI selama ini
menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE / 5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 1218 bulan
dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS ( E ). Bila setelah dua bulan BTA menjadi
negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah dua bulan masih positif, tahap intensif
diperpanjang lagi selama 2 4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi
primer terhadap INH rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3. Pasien dengan TB berat
( meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis ), R dan H harus diberikan setiap
hari selama 6 7 bulan. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T ).
2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE / 1RHZE. Bila setelah tahap intensif BTA
menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA
tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4
bulan BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 3 hari, lalu diperiksa biakan dan
resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih
mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah
tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus diawasi dengan ketat di RS rujukan.
Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar. Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H,
maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5 R3H3E3 yang perlu
diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka
pasien tidak perlu diobati lagi.
3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas dari 10
cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi
dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T )
4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya R dan
H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan
obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya,
sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan
harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru telah mulai dengan paduan
obat : 2RHZE / 4R3HE ( kategori I ), 2 RHZSE / 1 RHZE / 5 R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3
( kategori IV ).
Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis ( hilangnya keluhan, nafsu makan
meningkat, berat badan naik dan lain-lain ), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi
sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang
memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi
dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi
pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi pengobatan.
Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk
perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu pemeriksaan darah
terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah perifer. Asam urat darah perlu diperiksa bagi
yang memakai obat Z. bila terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena R dan H ), maka obat
yang hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan.
R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi
yang memakai E, sedangkan tes audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 2 bulan pengobatan tahap intensif
tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap obat anti TB
makin meningkat dan sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika,
diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadap obat anti TB saat ini sudah dapat
dideteksi dengan cara PCR-SSCP (Single Stranded Confirmation Polymorphism) dalam waktu satu
hari. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA yang resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan
60% terhadap S.
Ada 3 Dampak masalah.
a. Terhadap individu.
1. Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang
tinggi.
2. Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus
sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan.
3. Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga klien selalu
mengisolasi dirinya.
4. Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan Tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh
juga menganggap penyakitnya yang manakutkan
5. Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga.
1. Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan dari
keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan
upaya pencegahan penularan penyakit.
2. Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga,
maka akan menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3. Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4. Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar masyarakat belum tahu pasti
tentang penyakit TB Paru .
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan Penderita TB Paru positif
tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi
oleh karena cara penularan penyakit TB Paru
.Untuk keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dilakukan strategi DOTS
(Directly Observed Treatmen Shortcourse). Strategi ini merupakan yang paling efektif untuk
mengontrol pengobatan tuberculosis .
Lima langkah strategi DOTS adalah dukungan dari semua kalangan, semua orang yang batuk dalam
3 minggu harus diperiksa dahaknya, harus ada obat yang disiapkan oleh pemerintah, pengobatan
harus dipantau selama 6 bulan oleh Pengawas Minum Obat (PMO) dan ada system
pencatatan/pelaporan.
1. Pengkajian
Lima tahap proses keperawatan terdiri dari pengkajian terhadap keluarga, identifikasi masalah
keluarga dan individu (diagnosa keperawatan), rencana keperawatan, implementasi rencana
pengerahan sumber-sumber dan evaluasi perawatan.
Proses keperawatan memiliki tahapan-tahapan yang saling bergantung dan disusun secara
sistematis untuk menggambarkan perkembangan dari tahap satu ke tahap lain, (Friedman,1998:55).
Menurut Friedman (1998:56) proses pengkajian keperawatan dengan pengumpulan informasi
secara terus-menerus terhadap arti yang melekat pada informasi yang sedang dikumpulkan
tersebut. Pengkajian yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi dengan cara sistematis,
Keluarga baru belajar memecahkan masalah. Dengan keadaan tersebut berpengaruh pada tingkat
kesehatan keluarga. Social ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan masalah
kesehatan yang mereka hadapi disebabkan karena ketidak mampuan dan ketidak tahuan dalam
mengatasi masalah yang mereka hadapi (Effendy,1998). Tidak adanya riwayat keluarga yang
mempunyai masalah kesehatan tidak berpengaruh pada status kesehatan keluarga.
Data lingkungan
1. Karakteristik rumah
Keadaan rumah yang sempit, ventilasi kurang, udara yang lembab termasuk rumah dengan kondisi
di bawah standart kesehatan. Salah satu factor yang bisa menyebabkan kuman tuberculosis
bertahan hidup adalah kondisi udara yang lembab (Depkes RI, 2002).
a. Karakteristik lingkungan
Lingkungan rumah yang bersih, pembuangan sampah dan pembuangan limbah yang benar dapat
mengurangi penularan TBC dan menghambat pertumbuhan bakteri tuberkulosa. TBC sangat erat
berhubungan dengan kondisi lingkungan yang kumuh .
b. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Kuman tuberculosis dapat menular dari ke orang melalui udara. Semakin sering kontak langsung
dengan penderita bereksiko sekali tertular TBC. Terutama yang merawat di rumah berkesempatan
terkena TBC dari pada yang berada di tempat umum
2. Struktur keluarga
a. Pola komunikasi
Bila dalam keluarga komunikasi yang terjadi secara terbuka dan dua arah akan sangat mendukung
bagi penderita TBC. Saling mengingatkan dan memotivasi penderita untuk terus melakukan
pengobatan dapat mempercepat proses penyembuhan.
b. Struktur peran keluarga
Bila anggota keluarga dapat menerima dan melaksanakan perannya dengan baik akan membuat
anggota keluarga puas dan menghindari terjadinya konflik dalam keluarga dan masyarakat.
c. Struktur kekuatan keluarga
Kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk
mengubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan. Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan secara musyawarah akan dapat menciptakan suasana kekeluargaan. Akan timbul
perasaan dihargai dalam keluarga.
d. Nilai atau norma keluarga
Perilaku individu masing-masing anggota keluarga yang ditampakan merupakan gambaran dari nilai
dan norma yang berlaku dalam keluarga.(Suprajitno,.2004: 7)
3. Fungsi Keluarga (Friedman, 1998)
a. Fungsi Afektif
Keluarga yang saling menyayangi dan peduli terhadap anggota keluarga yang sakit TBC akan
mempercepat proses penyembuhan. Karena adanya partisipasi dari anggota keluarga dalam
merawat anggota keluarga yang sakit.
b. Fungsi Sosialisasi dan Tempat Bersosialisasi
Fungsi keluarga mengembangkan dan melatih untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan
rumah untuk berhubungan dengan orang lain.
Tidak ada batasan dalam bersosialisasi bagi penderita dengan lingkungan akan mempengaruhi
kesembuhan penderita asalkan penderita tetap memperhatikan kondisinya .Sosialisasi sangat
diperlukan karena dapat mengurangi stress bagi penderita.
c. Fungsi Perawatan/Pemeliharaan Kesehatan
Dikaitkan dengan kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas keluarga di bidang kesehatan
yaitu :
Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan
segala sesuatu tidak akan berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya
dan dana keluarga habis. Ketidak sanggupan keluarga dalam mengenal masalah kesehatan pada
keluarga salah satunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan . Kurangnya pengetahuan
keluarga tentang pengertian, tanda dan gejala, akibat, pancegahan, perawatan dan pengobatan
TBC.
Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai
dengan keadaan keluarga,dengan pertimbangkan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan menentukan tindakan .keluarga.Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh
keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi bahkan teratasi. Ketidak
sanggupan keluarga mengambil keputusan dalam melakukan tindakan yang tepat, disebabkan
karena keluarga tidak memahami mengenai sifat, berat dan luasnya masalah serta tidak merasakan
menonjolnya masalah.
Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
Keluarga dapat mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan.
Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit dikarenakan tidak mengetahui cara
perawatan pada penyakitnya. Jika demikian, anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan dapat dilakukan di institusi
pelayanan kesehatan.
Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
Pemeliharaan lingkungan yang baik akan meningkatkan kesehatan keluarga dan membantu
penyembuhan. Ketidakmampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan bisa di sebabkan karena
terbatasnya sumber-sumber keluarga diantaranya keuangan, kondisi fisik rumah yang tidak
memenuhi syarat.
Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga
Kemampuan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan akan membantu anggota
keluarga yang sakit memperoleh pertolongan dan mendapat perawatan segera agar masalah
teratasi.
4. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.Dan juga
tempat mengembangkan fungsi reproduksi secara universal, diantaranya : seks yang sehat dan
berkualitas, pendidikan seks pada anak sangat penting.
5. Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti kebutuhan makan, pakaian dan
tempat untuk berlindung (rumah).Dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
6. Koping keluarga
Bila koping keluarga tidak efektif terhadap stressor yang akan menyebabkan stress yang
berkepanjangan.Hal ini akan mempengaruhi daya tahan tubuh .
2. Perumusan Diagnosa Keperawatan
Perumusan diagnosis keperawatan keluarga menggunakan aturan yang telah disepakati, terdiri dari
Masalah (problem, P) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang
dialami oleh keluarga atau anggota (individu).
Penyebab (etiology ,E) adalah suatu pernyataan yang dapat menyebabkan masalah dengan
mengacu kepada lima tugas keluarga, yaitu mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat,
merawat anggota keluarga, memelihara lingkungan, atau memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan .
Tanda (Sign, S) adalah sekumpulan data subyektif dan obyektif yang diperoleh perawat dari keluarga
secara langsung atau tidak yang mendukung masalah dan penyebab.
Apabila perawat merumuskan diagnosis keperawatan lebih dari satu perlu dilakukan skor Proses
skoring menggunakan skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglaya (1978). Proses scoring
untuk setiap diagnosis keperawatan:
Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang di buat perawat.
Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan dengan bobot.
Skor yang diperoleh
_______________ x bobot
Skor tertinggi
Jumlah skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama dengan jumlah bobot, yaitu 5).
Tipologi diagnosis keperawatan keluarga dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a) Diagnosis actual adalah masalah keperwatan yang sedang dialami oleh keluarga dan
memberi motivasi.
e. Sarana dan prasarana yang ada pada keluarga
Dengan adanya sarana dan prasarana yang baik pada keluarga akan memudahkan keluarga dalam
memberikan perawatan dan pengobatan pada anggota keluarga yang menderita TBC.
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Menurut Friedman (1998) evaluasi
didasarkan pada bagaimana efektifnya intervensi-intervensi yang dilakukan oleh keluarga, perawat
dan yang lainnya. Ada beberapa metode evaluasi yang dipakai dalam perawatan. Faktor yang paling
penting adalah bahwa metode tersebut harus disesuaikan dengan tujuan dan intervensi yang
sedang dievaluasi. Bila tujuan tersebut sudah tercaapai maka kita membuat recana tindak lanjut.