Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Embriologi Tonsil
Tonsil terbentuk dari lapisan endidermal pada minggu ketiga sampai
dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima
pasang kantong faring. Masing-masing kantong akan membentuk organ penting
lainnya. Lapisan epitel kedua dari kantong faring berproliferasi dan membentuk
tunas yang akan menembus ke jaringan mesenkim di sekitarnya. Selanjutnya
tunas-tunas tersebut akan dilapisi oleh jaringan mesodermal sehingga membentuk
primodial dari tonsila palatina. Selama bulan ketiga dan kelima, tonsil akan
dikelilingi oleh jaringan limfatik. Bagian kantong yang tertinggal akan ditemukan
pada saat dewasa sebagai fosa tonsilaris.8

Gambar 2.1 Pembentukan Tonsil

II.2 Anatomi Tonsil


Tonsil merupakan masa bulat yang kecil, khususnya jaringan limfoid. Tonsil
adalah bagian dari faring. Faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Tonsil terdapat dibagian nasofaring dan orofaring.
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung di atas palatum molle sedangkan
orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle

sampai pinggir atas epiglotis. Tonsil terdiri dari tonsila lingualis, tonsila palatina,
tonsila faringealis (adenoid) dan tonsila tuba Eustachius.1,2,7

Gambar 2.2 Cincin Waldeyer

II.2.1 Tonsila Lingualis


Tonsila lingualis adalah kumpulan folikel limfe pada dasar jalur orofaring,
pada akar lidah. Bagian dasar dari orofaring dibentuk oleh segetiga posterior lidah
(yang hampir vertikal) dan celah antara lidah serta permukaan anterior epiglotis.
Membran mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irreguler,
yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya, disebut tonsila
lingualis.1,2,6

Gambar 2.3 Tonsila Lingualis

II.2.2 Tonsila Palatina


Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring didalam fosa tonsilaris. Fosa tonsilaris merupakan
sebuah celah berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring diantara arcus
palatoglosus di depan dan arcus palatopharyngeus di belakang. Setiap tonsil
diliputi oleh membran mukosa dan permukaan tengahnya yang bebas menonjol ke
dalam faring. Pada permukaanya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk
kripta tonsilaris. Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis
jaringan fibrosa, disebut capsula.1,2,7

Gambar 2.4 Tonsila Palatina

Arteri yang mendarahi tonsila adalah arteri tonsilaris yang merupakan


cabang dari arteri facialis. Vena0vena menembus musculus constrictor pharyngis
superior dan bergabung dengan vena palatina externa, vena pharyngealis atau
vena facialis. Pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodus lomfoidei
profundi.1,2,7
Tonsila palatina mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak.
Sesudah pubertas, bersamaan dengan jaringan-jaringan limfoid di dalam tubuh
lainnya, akan mengalami atrofi secara perlahan-lahan. Tonsila palatina merupakan
tempat infeksi yang sering dan menimbulkan sakit leher dan panas.1,2

II.2.3 Tonsila Faringealis (Adenoid)


Tonsila faringeal terletak di bagian atas nasofaring. Bagian atas nasofaring
dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis.
Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila faringealis terdapat di dalam
submukosa daerah ini. Tonsila faringealis disebut juga adenoid tonsil.1,2

Gambar 2.5 Tonsila Faringealis

II.3 Fisiologi Tonsil


Tonsil merupakan salah satu organ limfatik selain limpa, kelenjar getah
bening dan usus buntu. Seluruh organ sekunder tersebut terletak dimana limfosit
berkumpul dan berkaitan dengan antigen, kemudian akan berproliferasi dan secara
aktif melawan kuman. Tonsil berbentuk cincin yang berguna sebagai pelindung
diantara rongga mulut dan faring, karena lokasinya tersebut tonsil merupakan
pelindung pertama dari mikroorganisme yang masuk memlalui hidung dan mulut.3
Pada tonsil terdapat sel B dan sel T sebagai sistem imun. Sel B dan sel T
tersebut dipersiapkan untuk memberikan perlawanan terhadap antigen yang
masuk ke dalam jaringan dan cairan tubuh.3
II.4 Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Weldayer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius.
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat

terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Klasifikasi tonsilitis dapat
dibedakan menjadi:4,5
a. Tonsilitis akut
b. Tonsilitis membranosa
c. Tonsilitis Kronik
II.4.1 Tonsilitis Akut
II.4.1.1 Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak lukaluka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.5
II.4.1.1.1 Terapi
yang diberikan adalah istirahat, minum yang cukup, analgetika dan antivirus
diberikan jika gejala berat.5
II.4.1.2 Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. 4,5
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang
lepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak
kuning.5
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi
tonsil.5
II.4.1.2.1 Gejala dan Tanda

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Masa inkubasi 2-4 hari


Nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan
Demam dengan suhu yang tinggi
Rasa lesu
Rasa nyeri di sendi-sendi
Tidak nafsu makan
Rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih

(referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (N.IX)


h. Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat
detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.5
II.4.1.2.2 Terapi
Antibiotik spektrum luas seperti penisilin dan eritromisin. Antipiretik dan
obat kumur yang mengandung desinfektan.5
II.4.1.2.3 Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil, abeses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis
serta septikemia akibat infeksi v.Jugularis interna (sindrom Lemierre).5
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok) gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).4,5

Gambar 2.6 Tonsilitis Folikularis

2.7 Gambar Tonsilitis Lakunaris

II.4.2 Tonsilitis Membranosa


II.4.2.1 Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada
bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Coryne bacterium
diptheriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian

atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. 5
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.5
II.4.2.1.1 Gejala dan Tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal
dan gejala akibat eksotoksin.5
a. Gejala umum
Seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan.5
b. Gejala lokal
Tampak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu
ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
menyerupai leher sapi atau disebut juga Burgemeesters hals.5
c. Gejala akibat eksotoksin
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis
sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albuminuria.5
II.4.2.1.2 Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan


pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah semu
dan didapatkan Corynebacterium diphteriae.5
II.4.2.1.3 Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari.5
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk
simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus
istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.5
II.4.2.1.4 Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.5
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio cordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan
otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.5
II.4.2.2 Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu
sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini
jarang ditemukan. 5
II.4.2.3 Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulsero membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C. 5
II.4.2.3.1 Gejala

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Demam sampai 39 C
Nyeri kepala
Badan lemah
Kadang-kadang terdapat gangguan pencernaan
Rasa nyeri dimulut
Hipersalivasi
Gigi dan gusi mudah berdarah

II.4.2.3.2 Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta alveolaris, mulut berbau dan kelenjar
submandibula membesar. 5
II.4.2.4 Penyakit Kelainan Darah
Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan
infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Kadang-kadang terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring serta
pembesaran kelenjaran submandibula. 5
II.4.2.4.1 Leukimia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi
dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak
ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat di
tenggorok. 5
II.4.2.4.2 Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di
sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia
dan saluran cerna. 5
II.4.2.4.3 Infeksi mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.
Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan.
Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regioinguinal. Gambaran
darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas
yang lain ialah kesangguapan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel daraj
merah domba (reaksi Paul Bunnel). 5

10

II.4.3 Tonsilitis Kronik


Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman
berubah menjadi kuman golongan gram negatif. 5
II.4.3.1 Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
limfa submandibula.

II.4.3.2 Gejala dan Tanda


a.
b.
c.
d.

Tonsil membesar dengan dengan permukaan yang tidak rata.


Kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus
Rasa mengganjal di tenggorok
Rasa kering di tenggorok dan napas berbau

II.4.3.3 Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uweitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria dan furunkulosis. 5
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma. 5
II.5 Indikasi Tonsilektomi
11

The American Academi of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical


Indicators Compendium tahun 1995 menyatakan:
a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasila.
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara.
d. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus B
hemoliticus.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif.

12

Anda mungkin juga menyukai