Anda di halaman 1dari 21

Laporan Diskusi Kasus

ISPA
Modul Elektif Farmakologi

Oleh :

Almira Dwina R
Arifah Shabrina
Aulia Ajrina
Bening Putri R U
Fithriyah

Febri Hanifa
Mutia Oktavia
Puspa Antika
Siti Yayah
Tenia Alfitri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NOVEMBER 2015

PEMICU
Kasus 1
Seorang wanita usia 16 tahun dibawa ibunya ke Puskesmas karena demam dan nyeri
tenggorokan sejak 2 hari lalu. Keluhan tersebut tidak disertai batuk dan pilek. Pasien
sudah makan tablet parasetamol namun belum ada perbaikan. Pemeriksaan fisik :
suhu 40C faring bengkak dan hiperemis, tonsil T2-T2, terdapat pus di kedua tonsil.
Kasus 2
Sama dengan kasus 1 tetapi suhu 37,8 C
Kasus 3
Sama dengan kasus 2 pasien kembali hari ke 5, masih demam, batuk dengan banyak
riak.
Pertanyaan :
1. Buat diagnosis kerja ketiga kasus tersebut
2. Pemeriksaan apa saja yang perlu dilakiukan untuk masing-masing pasien?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien-pasien tersebut ? apa saja obat yang dapat
dipakai untuk mengatasi penyakit ini ? bagimana cara pemakaian dan berapa
lama obat harus diberikan ?
4. Bagaimana prognosis penyakit masing-masing ? komplikasi apa yang dapt
terjadi ?
5. Jelaskan mekanisme kerja, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, dan
aspek farmakokinetik dari berbagai antibiotik yang sering digunakan pada
kasus-kasus tersebut, yang saudara resepkan !
6. Apa edukasi yang anda berikan untuk pasien-pasien tersebut sehubungan
dengan penyakitnya dan obat yang anda berikan ?
7. Buatlah resep untuk pasien-pasien tersebut sesuai dengan obat-obat yang telah
ada pilih.

Jawaban

1) Diagnosis Kerja
1. Diagnosis : Tonsilofaringitis akut
An. Perempuan, 16 thn, demam dan nyeri tenggorokan sejak 2
hari yang lalu, dengan paracetamol belum membaik. Pemeriksaan fisik :
suhu 400C, faring bengkak dan hiperemis, tonsil T2-T2, pus (+) kedua
tonsil.
Penyebab tersering dari tonsilofaringitis akut adalah virus, namun
dewasa ini sering diiringi dengan infeksi bakteri. Pada anak, dilaporkan tahun
2008 di India sebanyak 15% - 40% penyebab tonsilofaringitis adalah virus,
sisanya adalah infeksi bakteri dan 48% infeksi streptococcus beta hemolitikus
grup A.1
Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, ditemukan adanya tanda dan gejala tonsilofaringitis akut
e.c susp bakteri dengan diagnosis banding infeksi streptococcus beta
hemolitikus group A dan infeksi virus.1,2

Gambar 1. Kriteria berdasarkan etiologi tonsilofaringitis akut


Sumber : Conseil Du Medicament, 2010

Berdasarkan kriteria diatas, dapat dikatakan bahwa pada pasien ini


kemungkinan besar merupakan suatu infeksi bakteri yang disebabkan oleh
infeksi streptococcus beta hemolitikus grup A.
Untuk menentukan infeksi streptococcus beta hemolitikus grup A,
terdapat algoritma kriteria tersendiri dalam terapi dan edukasi, mengingat
bakteri ini merupakan bakteri yang mampu melakukan reproduksi di jaringan
avaskular lainnya, seperti katup jantung dan juga glomerulus ginjal, sehingga
menimbulkan komplikasi yang cukup serius pada penderita.2

Gambar 2. Skor Centor


Sumber : American Family Physician, 2009

Berdasarkan Skor Centor yaitu 3, didapatkan bahwa kemungkinan


pasien ini menderita infeksi streptococcus beta hemolitikus grup A sebesar
28% - 35%, sehingga diagnosis sementara adalah tonsilofaringitis akut ec
susp. Infeksi bakteri streptococcus beta hemolitikus group A. 1,3
2. Diagnosis : Tonsilofaringitis akut
An. Perempuan, 16 thn, demam dan nyeri tenggorokan sejak 2
hari yang lalu, dengan paracetamol belum membaik. Pemeriksaan fisik :
suhu 37,80C, pharynx bengkak dan hiperemis, Tonsil T2-T2, pus (+)
kedua tonsil.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat dikatakan
bahwa adanya keluhan timbul sejak 2 hari, disertai demam yang tidak terlalu
tinggi, mengarahkan diagnosis kepada tonsilofaringitis akut ec susp. Infeksi
virus dengan diagnosis banding infeksi bakteri, meskipun pada
pemeriksaan fisik didapatkan terdapat pus pada kedua tonsil. Berdasarkan
patogenesisnya, infeksi virus pada tonsil dan faring dapat menimbulkan
hipersekresi sekret pada mukosa yang timbul akibat reaksi inflamasi.4
3. Diagnosis : Tonsilofaringitis akut ec bakteri dengan bronchitis akut dd/
bronchopneumonia
An. Perempuan, 16 thn, demam dan nyeri tenggorokan sejak 2
hari yang lalu, dengan paracetamol belum membaik. Pemeriksaan fisik :
suhu 37,80C, pharynx bengkak dan hiperemis, Tonsil T2-T2, pus (+)
kedua tonsil. Pasien kembali hari ke 5, masih demam, batuk dengan
banyak riak.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, didapatkan
bahwa demam yang berlanjut sampai hari ke 5 menunjukkan bahwa adanya
infeksi bakteri, karena demam yang diakibatkan oleh virus timbul 2-5 hari.
Jika hari kelima masih terjadi demam yang belum membaik dengan
pengobatan yang diberikan, bahkan disertai batuk berdahak, perlu
diperhatikan adanya infeksi bakteri yang juga sudah mengenai bagian

bronchus menjadi suatu bronchitis akut dan tidak menutup kemungkinan


parenkim

paru

juga

sudah

terinfeksi

sehingga

menyebabkan

bronkopneumonia.4-5

2) Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin (hemoglobin, leukosit, trombosit, eritrosit)
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk melihat apakah leukosit
meningkat yang menandakan adanya infeksi bakteri.1
b. Apusan tenggorok
Pemeriksaan apusan tenggorok dilakukan agar sekret pada tonsil dapat
di kultur untuk memastikan adanya bakteri spesifik dengan melakukan
pewarnaan gram. Pewarnaan gram hanya dapat menentukan bakteri tersebut
gram positif atan negatif dan menunjukan bentuknya. Pada kasus ini
streptoccus beta hemolitikus grup adalah gram positif, maka hasil apusan
menunjukan bakteri terwarnai ungu. Jika terwarnai merah maka bakteri
tersebut gram negatif.1

3) Tatalaksana
a. Non medikamentosa
Edukasi yang dapat diberikan pada kasus 1 sampai 3 tidaklah
berbeda, karena ketiga kasus diatas mengalami tonsilofaringitis akut yang
dicurigai karena infeksi bakteri ataupun infeksi virus. Edukasi yang dapat
diberikan berupa :1
-

Kepatuhan terhadap waktu minum obat

Jika demam, berikan obat demam yang diresepkan

Hindari makanan padat yang sulit ditelan seperti kerupuk, karena


akan mudah tersedak

Banyak minum air putih agar tenggorokan tidak kering dan


mengurangi rasa nyeri

Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran


bakteri yang menyebabkan peradangan

Hindari allergen yang mungkin memicu alergi, karena akan


menambah rasa tidak nyaman pada tenggorokan bahkan saluran
pernafasan

b. Medikamentosa
Pada kasus 1 dan 3, terapi medikamentosa (farmakologi) dengan
antibiotik dan analgetik atas indikasi adanya infeksi bakteri yang masih
harus dibuktikan dengan kultur apusan tenggorok. Antibiotik yang
diberikan untuk terapi empiris ditujukan untuk menangani infeksi akut dan
mencegah gejala sisa.3-4

Gambar
3. Regimen
Antibiotik
Pada penjelasan terapi
tabel
diatas, dapat
dikatakan bahwa pilihan

pertama terapi empiris


dapat
diberikan
merupakan golongan beta
Sumber :yang
Infectious
Disease
Advice Access,USA.2012
laktam, yang bekerja dalam menghambat sintesis dinding sel dari bakteri. 1
Pilihan beta laktam yang dapat dipikirkan pada kasus 1 dan 3 berdasarkan
ketersediaannya di Indonesia dan mengacu pada guideline yang ada, yaitu
penicillin G atau amoxicillin. 1-3

Injeksi benzathine penicillin G diberikan secara intravena ataupun


intramuskular, dengan dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau
1.200.000 IU (BB>30 kg). penicillin G diberikan satu kali satu dosis,
karena kerja obat lebih lama dibandingkan amoxicillin dengan pemberian
oral 10 -1 5 mg/KgBB yang dapat diberikan 3-4 kali per hari.1,6
Selain pengobatan antibiotik untuk menghilangkan bakteri
penyebab, pada tonsilofaringitis akut dapat juga diberikan antipiretik
sebagai penurun demam pasien dan analgetik untuk mengurangi keluhan
nyeri menelan. Obat yang bersifat antipiretik dan analgetik yaitu
acetaminophen (paracetamol) atau ibuprofen, yaitu golongan NSAID.
Kedua obat ini memiliki efek antipiretik dan analgesik, namun ibuprofen
dinyatakan memiliki efek iritasi lambung lebih besar dibandingkan
paracetamol.7 Oleh sebab itu, untuk kenyamanan pasien bisa diberikan
paracetamol dengan dosis 10 15 mg/KgBB per kali pemberian, bisa
diberikan 3-4 kali dengan dosis maksimum 1000 mg.7
Pada kasus 3 dengan tonsilofaringitis akut ec susp. bakteri dengan
bronkitis akut dd/ bronkopneumonia, perlu diberikan obat batuk untuk
menangani batuk berdahak yang dikeluhkan pasien. Pilihan obat batuk
yang bisa diberikan, yaitu ekspektoran atau mukolitik.5
Ekspektoran memiliki mekanisme kerja yang meningkatkan
sekresi mukus saluran pernafasan, sedangkan mukolitik bekerja dalam
menguraikan fibrin-fibrin yang ada pada mukus sehingga mukus tidak
kental dan mudah dikeluarkan.6-7
Sediaan gliseril guaikolat jarang beredar sebagai obat tunggal,
lebih

sering

ditemukan

kombinasi

dengan

obat

batuk

jenis

simpatomimetik atau dengan antihistamin. Oleh karena itu, pada kasus 3


disarankan penggunaan ambroxol Hcl 30 mg diberikan 3 kali sehari.
Selain sesuai untuk keluhan, juga harga yang ekonomis dan mudah
didapatkan.8

4) Prognosis dan Komplikasi

PROGNOSIS1-3
1. Tonsilofaringitis akut ec. Susp. Infeksi bakteri dd/ GABHS, infeksi virus
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : bonam
2. Tonsilofaringitis akut ec. Infeksi virus dd/ infeksi bakteri
Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: bonam
: bonam
: bonam

3. Tonsilofaringitis akut ec. susp Infeksi bakteri dengan bronchitis akut dd/
bronchopneumonia
Prognosis :
Ad vitam
Ad sanationam
Ad functionam

: bonam
: dubia ad bonam
: bonam

KOMPLIKASI1-3
Kasus 1 dan 3
1. Abses peritonsilar
2. Bronchitis akut
3. Pneumonia
4. GNAPS ( GlomeruloNefritis Akut Post Streptococcal )
5. Rheumatic Heart Disease
6. Otitis Media Akut
Kemungkinan komplikasi yang terjadi pada kasus 1 dan 3, lebih kepada
timbulnya abses peritonsil, bronchitis akut, ataupun pneumonia. Hal ini

dikarenakan, sesuai dengan usia pasien dan perjalanan penyakit yang


mengarahkan kepada kemungkinan komplikasi tersebut,
GNAPS, rheumatic Heart disease, dan otitis media akut yang diakibatkan
oleh bakteri pada usia remaja memiliki kemungkinan yang kecil untuk timbul
sebagai komplikasi, mengingat perjalanan penyakit tersebut bersifat kronik
dengan gejala akut.

5) PEMILIHAN ANTIBIOTIK
Berikut ini adalah P drug antibiotik pada kasus ini :
Obat
Penisilin G
Penisilin V
Amoksisilin
Sefadroksil

Efficacy
+++
+++
+++
+++

Safety
++
++
+++
++

Suitability
+++
+++
+++
+++

Cost
+++
++
+++
+

Berdasarkan P drug di atas, maka pada pasien ini diputuskan untuk


dilakukan pemberian antibiotik berupa amoksisilin. Berikut ini adalah
mekanisme kerja, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, dan aspek
farmakokinetik dari masing-masing antibiotik :
1. Penisilin G dan Penisilin V
a) Farmakodinamik
Sebagai antibiotik golongan -laktam, maka antibiotik ini
memiliki

kemampuan

untuk

mematikan

bakteri

melalui

mekanisme lisis dan mekanisme non lisis. Mekanisme lisis terjadi


ketika penisilin mengganggu keseimbangan antara penggabungan
peptidoglikan yang diperantarai PBP (Penicillin Binding Protein)
dan aktivitas murein hydrolase yang mengakibatkan proses
autolysis. Sedangkan mekanisme non lisis melibatkan protein
mirip holing pada membran bakteri yang menghancurkan potensial
membran.8

Penisilin G dan penisilin Vsangat aktif terhadap galur


kokus gram positif yang peka, namun sangat mudah terhidrolisis
oleh penisilinase, sehingga tidak efektif terhadap sebagian besar
galur S.aureus. Penisilin G juga memiliki aktivitas terhadap
berbagai spesies kokus gram positif dan negatif, meskipun banyak
bakteri yang sebelumnya peka saat ini menjadi resisten. Spektrum
antimikroba penisilin G dan penisilin V untuk mikroorganisme
gram positif aerob sangat mirip, namun penisilin G lebih aktif lima
sampai sepuluh kali terhadap spesies Neisseria yang peka penisilin
dan terhadap kuman anaerob tertentu. Namun, tidak ada satu pun
jenis penisilin yang efektif terhadap amoeba, plasmodia, ricketia,
jamur, ataupun virus.8
b) Farmakokinetik
i.

Absorpsi

Pemberian penisilin G secara oral


Hanya sekitar sepertiga dosis oral diabsorpsi dari
usus pada kondisi yang mendukung. Cairan
lambung pada pH 2 langsung memusnahkan
antibiotik ini. Absorpsinya berlangsung cepat,
konsentrasi maksimum dalam darah dicapai dalam
waktu 30 sampai 60 menit. Konsentrasi puncak
sekitar 0,5 U/ml setelah pemberian dosis oral
400.000 U (250 mg) pada orang dewasa. Adanya
makanan dapat mengganggu absorpsi semua jenis
penisilin di usus, sehingga pemberian penisilin G
per oral harus diberikan minimal 30 menit sebelum
makan atau 2 jam sesudah makan.8

Pemberian penisilin V secara oral

Dibanding penisilin G, penisilin V lebih stabil


dalam suasana asam, sehingga diabsorpsi lebih baik
dari saluran gastrointestinal. Pada dosis oral yang
ekuivalen, penisilin V menghasilkan konsentrasi
plasma dua sampai lima kali lebih besar dari
penisilin G. Konsentrasi puncak dalam darah
setelah dosis oral 500 mg hampir mencapai 3ug/ml
pada orang dewasa.8

Pemberian penisilin G secara parenteral


Setelah

diinjeksikan

secara

intramuskuler,

konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam


waktu 15 hingga 30 menit. Nilai ini menurun secara
cepat karena waktu paruh penisilin G adalah 30
menit. Injeksi 300.000 U penisilin G prokain
memberikan konsentrasi puncak dalam plasma
sekitar 0,9 ug/ml dalam waktu 1 sampai 3 jam.
Dosis 600.000 U menghasilkan konsentrasi yang
sedikit lebih tinggi dan bertahan 4 hingga 5 hari.
Penisilin G benzatin diabsorpsi dengan sangat
lambat dari depot intramuskuler dan menghasilkan
durasi antibiotik terlama, yaitu hingga sekitar 26
hari.8
ii.

Distribusi
Didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, namun
konsentrasinya dalam berbagai cairan dan jaringan tubuh
sangat berbeda. Volume distribusinya sekitar 0,35 liter/kg.
Sekitar 60% penisilin G dalam plasma terikat dengan
albumin secara reversibel. Obat ini tidak mudah memasuki
cairan serebrospinal jika meningens dalam keadaan normal.

Namun, jika meningens mengalami inflamasi, penisilin


akan mudah berpenetrasi.8
iii.

Ekskresi
Dalam kondisi normal, penisilin G dieliminasi dengan
cepat dari dalam tubuh, terutama oleh ginjal dan sedikit
melalui empedu dan rute lainnya. Sekitar 10% obat
dieliminasi melalui filtrasi glomerulus dan 90% melalui
sekresi tubulus. Kapasitas sekresi tubulus maksimal untuk
penisilin pada pria dewasa normal sekitar 3 juta unit per
jam.8

c) Kontraindikasi
Penggunaan penisilin dikontraindikasikan pada pasien dengan
hipersensitivitas terhadap penisilin.7
d) Efek samping

Reaksi hipersensitivitas, dimana senyawa ini merupakan


penyebab paling umum pada alergi obat. Manifestasi alergi
terhadap penislin berdasarkan urutan frekuensinya yang
semakin menurun antara lain adalah ruam makulopapular,
ruam urtikaria, demam, bronkospasme, vaskulitis, serum
sickness, dermatitis eksfoliatif, sindrom Steven-Johnson, dan
anafilaksis.8

Efek

toksik

depresi

sumsum

tulang

belakang,

granulositopenia, hepatitis.7
e) Interaksi obat
Penisilin berinteraksi dengan probenesid. Probenesid akan
memblok sekresi penisilin dari tubulus ginjal, sehingga dapat
meningkatkan konsentrasi plasma penisilin. Selain itu, probenesid
juga menyebabkan penurunan volume distribusi penisilin secara
signifikan. Probenesid secara kompetitif juga menghambat

transport aktif penisilin dari cairan serebrospinal ke dalam aliran


darah, sehingga dapat meningkatkan konsentras penisilin di dalam
cairan serebrospinal.8
2. Amoksisilin
a) Farmakodinamik
Seperti golongan -laktam lainnya, maka antibiotik ini
memiliki

kemampuan

untuk

mematikan

bakteri

melalui

mekanisme lisis dan mekanisme non lisis. Mekanisme lisis terjadi


ketika penisilin mengganggu keseimbangan antara penggabungan
peptidoglikan yang diperantarai PBP (Penicillin Binding Protein)
dan aktivitas murein hydrolase yang mengakibatkan proses
autolysis. Sedangkan mekanisme non lisis melibatkan protein
mirip holing pada membrane bakteri yang menghancurkan
potensial membran.7,8
Amoksisilin merupakan penisilin semisintetik yang rentan
terhadap penisilinase dan secara kimia serta farmakologis
berhubungan dekat dengan ampisilin. Amoksisilin bersifat
bakterisida bagi bakteri gram positif dan gram negatif. Galur yang
resisten terhadap penisilin dapat dianggap resisten pula terhadap
amoksisilin.8
b) Farmakokinetik
Obat ini stabil dalam suasana asam dan dirancang untuk
penggunaan oral. Absorpsinya dari saluran gastrointestinal lebih
cepat dan lebih sempurna daripada ampisilin. Konsentrasi puncak
amoksisilin dalam plasma dicapai dalam waktu 2 jam dan rata-rata
sekitar 4 ug/ml jika diberikan 250 mg. Adanya makanan tidak
mempengaruhi absorpsinya. Waktu paruh obat ini sekitar 80 menit.
Sekitar 20% amoksisilin terikat oleh protein plasma. Sebagian

besar dosis antibiotik ini diekskresikan dalam bentuk aktif dalam


urin.8
c) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap penisilin.7
d) Efek samping

Reaksi hipersensitivitas, dimana senyawa ini merupakan


penyebab paling umum pada alergi obat. Manifestasi alergi
terhadap penislin berdasarkan urutan frekuensinya yang
semakin menurun antara lain adalah ruam makulopapular,
ruam urtikaria, demam, bronkospasme, vaskulitis, serum
sickness, dermatitis eksfoliatif, sindrom Steven-Johnson, dan
anafilaksis.7

Efek

toksik

depresi

sumsum

tulang

belakang,

granulositopenia, hepatitis.

Efek gastrointestinal : mual, muntah, diare.8

e) Interaksi obat
Sama dengan penisilin, obat ini berinteraksi dengan obat
probenesid,

dimana

probenesid

dapat

menunda

ekskresi

amoksisilin sehingga konsentrasi plasma amoksisilin akan


meningkat.7
3. Sefadroksil
a) Farmakodinamik
Sefadroksil merupakan golongan sefalosporin generasi pertama,
dimana mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis
dinding sel bakteri dengan cara yang mirip dengan penisilin.
Antibiotik ini memiliki kemampuan untuk mematikan bakteri
melalui mekanisme lisis dan mekanisme non lisis. Mekanisme lisis
terjadi

ketika

penisilin

mengganggu

keseimbangan

antara

penggabungan peptidoglikan yang diperantarai PBP (Penicillin


Binding

Protein)

dan

aktivitas

murein

hidrolase

yang

mengakibatkan proses autolisis. Sedangkan mekanisme non lisis


melibatkan protein mirip holing pada membrane bakteri yang
menghancurkan

potensial

membran.

Sebagai

golongan

sefalosporin generasi pertama, maka obat ini memiliki aktivitas


yang baik terhadap bakteri gram positif dan aktivitas yang relatif
sedang terhadap bakteri gram negatif.8
b) Farmakokinetik
Sefadroksil stabil dalam asam lambung dan diabsorpsi dengan baik
setelah pemberian oral. Kadar puncak rata-rata dalam darah,
masing-masing adalah 16 dan 28 mcg/ml yang tercapai dalam
waktu 1,5 sampai 2 jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg
dan 1 g. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Sefadroksil
memasuki hampir seluruh jaringan dan cairan tubuh. Lebih dari
90% dosis diekskresi dalam bentuk yang tidak berubah melalui
urin dalam waktu 24 jam. Waktu paruh dalam serum lebih kurang
1,5 jam.8
c) Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap sefalosporin.8
d) Efek samping

Hipersensitivitas

Nefrotoksik

Gangguan GI tract : mual, muntah, diare, gejala colitis


pseudomembran

Vaginitis

Neutropenia

Peningkatan enzim transaminase7

e) Interaksi obat

Probenesid menghambat sekresi sebagian besar sefalosporin di


tubulus

ginjal,

sehingga

dapat

meningkatkan

konsentrasi

sefadroksil di dalam plasma.8

6) Edukasi Pasien
Edukasi yang dapat diberikan pada kasus 1 sampai 3 tidaklah berbeda,
karena ketiga kasus diatas mengalami tonsilofaringitis akut yang dicurigai karena
infeksi bakteri ataupun infeksi virus. Edukasi yang dapat diberikan berupa :
-

Kepatuhan terhadap waktu minum obat

Jika demam, berikan obat demam yang diresepkan

Hindari makanan padat yang sulit ditelan seperti kerupuk, karena akan
mudah tersedak

Banyak minum air putih agar tenggorokan tidak kering dan mengurangi
rasa nyeri

Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran bakteri


yang menyebabkan peradangan

Hindari alergen yang mungkin memicu alergi, karena akan menambah


rasa tidak nyaman pada tenggorokan bahkan saluran pernafasan1

7) Resep
a. Kasus I

b. Kasus II

c. Kasus III

DAFTAR PUSTAKA

1. Shulman S.Bisno A.Clegg H. Geber M.et all.

Clinical

Practice Guideline for the Diagnosis and Management of Group A


Streptococcal Pharyngitis. Infectious Diseases Society of America.
USA;2012
2. McIsaac W.Kellner J.et all.Empirical Validation Guidelines for the
Management of Pharyngitis in children and Adults. JAMA;USA;2014
3. Beth A.Choby M.et all. Diagnosis and Treatment of Streptococcal
Pharyngitis.University

of

Tennesse

College

of

Medicine;Tennessee.2009
4. Efiaty AS,Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, et all
editors. Buku

ajar

ilmu kesehatan telinga

hidung

tenggorokan kepala leher. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
5. M. Nawal Lutfiyya, Eric Henley, et al. Diagnosis and Treatment of
Community

Acuired

Pneumonia.

Am

Fam

Physician. 2006 Feb 1;73(3):442-450


6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta;2003
7. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia, 2007.
8. Hardman, Joel G, Et All. Dasar Farmakologi Terapi volume 2

Goodman & Gilman. Jakarta. EGC.2012

Anda mungkin juga menyukai