PEMBATUBARAAN
Secara umum telah diterima bahwa
batubara berasal dari tumbuhan yang
karena proses-proses geologi, maka
terbentuklah endapan batubara yang
kita lihat sekarang. Pembentukan
tumbuhan mati menjadi gambut dan
batubara melalui dua tahap, yaitu
tahap diagenesa gambut (peatification)
dan tahap pembatubaraan
(coalification).
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi proses biokimia yang
secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zone, yaitu zone permukaan yang umumnya
perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zone tengah sampai
kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer (Teichmuller, 1982). Pada
zone peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri
aerob akan menyebabkan oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan
yang material utamanya adalah cellulose. Senyawa-senyawa protein dan gula
cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah menjadi glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O C6H12O
(cellulose)
(glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan menuju pada penguraian
lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung membentuk koloid dan
umumnya
disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan material resin
umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan bertambahnya kedalaman,
sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut
tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata lain
tidak terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri
anaerob saja yang berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk
gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka bakteri aerob akan berkurang
(mati) dan diganti dengan bakteri anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan
bakteri makin berkurang dan hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer,
polymerisasi, dan reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari
substansi organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen,
selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi
H2O, CH4, CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan
kandungan karbon relatif cepat sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45-50%
sampai 55-60%. Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%.
Kandungan karbon yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan
3.
4.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984) menyebutkan bahwa pada rumpun
tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox (Eh)
memegang peranan penting untuk aktifitas bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen
menentukan apakah proses penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi
organik dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses
biokimia di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.
2.
Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan tumbuhan akan berubah menjadi humus
akibat oleh terbatasnya oksigen dari atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara
yang dihasilkan berupa humic coal.
3.
Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang
terakmulasi dapat mencegah terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi
dan adanya bakteri anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian
terakumulasi dan menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.
Secara umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis (Diessel, 1992), yaitu:
1.
a.
Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang mempunyai kandungan karbon
tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan tumbuhan ini sebelum sedimentasi berakhir telah
mengalami dehidrasi pada suatu periode kering dan oksidasi yang intensif (fusinitisasi). Ada tiga model
proses fusinitisasi, yaitu:
b.
Pengawetan akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid humik yang kemudian
terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan melanjutkan hidrolisa. Hasilnya disebut oxisemifusinite yang memperlihatkan efek humifikasi akibat mikroba dengan baik.
c. Pembentukan semifusinit sebagai akibat dekomposisi selektif oleh organisme terhadap jaringan kayu,
terutama jaringan yang lunak (degrado semifusinit).
d.
Akibat pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka akan menyebabkan
perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan dengan berbedanya kedalaman.
TAHAP GEOKIMIA/PEMBATUBARAAN
(COALIFICATION)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia
atau tahap pembatubaraan disebut
sebagai tahap fisika-kimia
(physicochemical stage), yaitu tahap
perubahan dari gambut menjadi
batubara secara bertingkat (brown coal,
sub-bituminous coal, bituminous coal,
semi anthracite, anthracite, metaanthracite) yang disebabkan oleh
peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen,
maka akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat
dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan
mengakibatkan peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan meningkat
dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal. Kenaikan temperatur
dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut
menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas
(H2O, CH4, CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan kalor.
Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang menentukan
kualitas batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri
menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta
hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan
reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.
2.
3.
Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai
tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada
tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom
oksigen tertinggal di molekul.
4.
5.
Meningkatnya tekanan dapat disebabkan oleh penambahan ketebalan lapisan penutup (lapisan
sedimen di atasnya) atau penurunan post-depositional. Akibat tekanan yang tinggi, maka porositas
pada gambut akan menurun dan sejalan dengan terdekomposisinya senyawa OH grup akan
mengakibatkan menurunnya kandungan air. Di samping itu, grup senyawa yang lain (COOH, CH3, CO)
akan terpecah, sehingga terbentuk karbondioksida dan makin meningkatnya oksigen yang hilang,
maka kandungan karbon akan meningkat.
Derajat batubara tergantung pada temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan beku, gradien
geotermal, dan konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier di Upper Rhein Graben
dengan gradien hidrotermal 7-80C/100 m, menghasilkan batubara bituminous pada kedalaman 1500
m, sedangkan di daerah dingin yang gradien hidrotermalnya 40C/100m dapat mencapai derajat yang
sama pada kedalaman 2600m.
Pengaruh waktu akan berarti bila diikuti temperatur yang tinggi, seperti contoh berikut ini. Di Gulf
Coast of Louisiana yang mengandung batubara Miosen Akhir, terbenam pada kedalaman 5440 m
selama 17 juta tahun dengan temperatur 1400C menghasilkan high volatile bituminous (35-40% VM),
sedangkan pada batubara Karbon dengan kedalaman yang sama selama 270 juta tahun hanya
mencapai low volatile bituminous (14-16% VM). Contoh lain yang terkenal adalah lignit di Moscow
Basin yang berumur Karbon Bawah, tetapi sampai sekarang tidak pernah menjadi batubara, karena
temperaturnya tidak tercapai.
2.
3.
4.
5.
6.
KARAKTERISTIK BATUBARA
Karakteristik batubara dapat dinyatakan berdasarkan sifat
fisika dan sifat kimia yang dimilikinya. Karakteristik batubara
yang menunjukkan sifat fisikanya diantaranya nilai density,
kekerasan, ketergerusan (grindability), warna, dan pecahan.
Sedangkan sifat kimia batubara merupakan kandungan
senyawa yang terkandung dalam batubara tersebut
diantaranya kandungan Karbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen,
dan Sulfur.
Specific gravity batubara berkisar dari 1.25 g/cm3 hingga 1.70 g/cm3, pertambahannya sesuai
dengan peningkatan derajat batubara. Specific gravity batubara turun sedikit pada lignit yaitu
1.5 g/cm3 hingga bituminous yaitu 1.25 g/cm3. Kemudian akan naik lagi menjadi 1.5 g/cm3
untuk antrasit hingga 2.2 g/cm3 untuk grafit.
Berat jenis batubara sangat bergantung pada jumlah dan jenis mineral yang dikandung abu dan
juga kekompakan porositasnya. Kandungan karbon juga akan mempengaruhi kualitas batubara
dalam penggunaan. Batubara jenis yang rendah menyebabkan sifat pembaka-ran yang tidak
baik.
b.
Kekerasan
Kekerasan batubara berkaitan dengan struktur batubara yang ada. Keras atau lemahnya
batubara juga terkandung pada komposisi dan jenis batubaranya. Uji kekerasan batubara dapat
dilakukan dengan mesin Hardgrove Grindibility Index (HGI). Nilai HGI menunjukan nilai kekersan
batubara. Nilai HGI berbanding terbalik dengan kekerasan batubara. Semakin tinggi nilai HGI ,
maka batubara tersebut semakin lunak. Sebaliknya, jika nilai HGI batubara tersebut semakin
rendah maka batubara tersebut semakin keras.
c.
Warna
Warna batubara bervariasi mulai dari berwarna coklat pada lignit
hingga warna hitam legam pada antrasit. Warna variasi litotipe
(batubara yang kaya akan vitrain) umumnya berwarna cerah.
d.
Goresan
Goresan batubara warnanya berkisar antara terang sampai coklat
tua. Lignit mempunyai goresan hitam keabu-abuan, batubara
berbitumin mempunyai warna goresan hitam, batubara cannel
mempunyai warna goresan dari coklat hingga hitam legam.
e.
Pecahan
Pecahan dari batubara memperlihatkan bentuk dari potongan
batubara dalam sifat memecahnya. Ini dapat pula memeperlihatkan
sifat dan mutu dari suatu batubara. Antrasit dan batubara cannel
mempunyai pecahan konkoidal. Batubara dengan zat terbang tinggi,
cenderung memecah dalam bentuk persegi, balok atau kubus.
c. Oksigen
Oksigen yang terdapat dalam batubara merupakan oksigen yang tidak reaktif. Sebagaimana dengan
hidrogen kandungan oksigen akan berkurang selam evolusi atau pembentukan air dan
karbondioksida. Kandungan oksigen dalam lignit sekitar 20% atau lebih. Sedangkan dalam batubara
berbitumin sekitar 4% hingga 10% dan sekitar 1,5% hingga 2% dalam batubara antrasit.
d. Nitrogen
Nitrogen yang terdapat dalam batubara berupa senyawa organik yang terbentuk sepenuhnya dari
protein bahan tanaman asalnya dan jumlahnya sekitar 0,55% hingga 3%. Batubara berbitumin
biasanya mengandung lebih banyak nitrogen daripada lignit dan antrasit.
e. Sulfur
Sulfur dalam batubara biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan kemungkinan berasal dari
pembentuk dan diperkaya oleh bakteri sulfur. Sulfur dalam batubara biasanya kurang dari 4%, tetapi
dalam beberapa hal sulfurnya bisa mempunyai konsentrasi yang tinggi. Sulfur terdapat dalam tiga
bentuk, yaitu :
Sulfur Piritik (Piritic Sulfur),Sulfur Piritik biasanya berjumlah sekitar 20% hingga 80% dari total sulfur
yang terdapat dalam makrodeposit (lensa, urat, kekar, dan bola) dan mikrodeposit (partikel halus
yang menyebar).
Sulfur Organik,Sulfur Organik biasanya berjumlah sekitar 20% hingga 80% dari total sulfur, biasanya
berasosiasi dengan konsentrasi sulfat selama pertumbuhan endapan.
Sulfat Sulfur, Sulfat terutama berupa kalsium dan besi, jumlahnya relatif kecil dari seluruh jumlah
sulfurnya.
JENIS-JENIS BATUBARA
Antrasit (C94OH3O3), adalah kelas batubara tertinggi dengan warna hitam
berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% 98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8%. Antarsit memiliki kandungan kalori yang
paling tinggi yaitu diatas 7777 kcal/kg.
Gambut (C60H6O34), adalah kelas batubara yang paling rendah nilai kalorinya
dibawah 3500 kcal/kg dengan kandungan kadar air diatas 75% dari beratnya.