Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gel yang kadang disebut jelly merupakan sistem semi padat (massa
lembek) terdiri atas suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau
molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel dianggap dapat
terbentuk akibat panggumpalan sebagian sol cair. Pada penggumpalan ini,
partikel-partikel sol akan bergabung membentuk suatu rantai panjang, rantai ini
kemudian akan saling bertaut sehingga menbentuk suatu struktur padatan dimana
medium pendispersi cair terperangkap dalam lubang-lubang struktur tersebut.
Dengan demikian terbentuk suatu massa berpori yang semi padat dengan struktur
gel (Depkes, 1979).
Gel merupakan suatu sistem yang dapat diterima untuk pemberian oral,
dalam bentuk sediaan yang tepat, atau sebagai kulit kapsul yang dibuat dari
gelatin dan untuk bentuk sediaan obat long acting yang diinjeksikan secara
intramuscular, cairan oral, dan basis suppositoria (Depkes, 1979).
Untuk kosmetik, gel telah digunakan dalam berbagai produk kosmetik,
termasuk pada shampo, parfum, pasta gigi, kulit dan sediaan perawatan rambut.
(Depkes, 1995).
Menurut Anief, jelly (gel) adalah suatu salep yang lebih halus, umumnya
cair dan mengandung sedikit atau tanpa lilin dipergunakan terutama pada
membran mukosa, sebagai pelicin atau dasar salep terdiri campuran sederhana
dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah. Washable Jelly mengandung
mucilagines seperti Gom, Tragacanth, Amylum, Pektin dan Alginat. Sebagai
contoh: Starch Jellies (10% Amylum dengan air mendidih) (Anief, 1993).
Salah satu derivat sintesis dari substansi alam Yang digunakan untuk
membuat gel yaitu Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC). HPMC merupakan
suatu polimer glukosa yang tersubstitusi dengan hidroksipropil dan metil pada
gugus hidroksinya. Nama lain dari Hidroksipropil Metilselulose adalah Cellulose,
HPMC, Metocel, Methylcellulose propylene glycol ether, Metolose, Pharmacoat
(Ansel, 1989).
1.2 Prinsip Percobaan
1

Prinsip pembuatan gel yaitu apabila senyawa polimer/makromolekul yang


bersifat hidrofil/hidrokoloid didispersikan kedalam air maka akan mengembang
sehingga terjadi proses hidrasi molekul air melalui pembentuka ikatan hydrogen,
dimana molekul-molekul air akan terjebak didalam struktur molekul kompleks
tersebut dan akan terbentuk massa gel yang kaku/kenyal.
1.3 Tujuan Percobaan
- Mengetahui bentuk sediaan gel
- Mengetahui basis gel serta sifat-sifatnya
- Mengetahui pembuatan gel berdasarkan basis gel
- Mengetahui persyaratan gel
- Mengetahui cara evaluas gel

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Gel

Gel yang kadang disebut jelly merupakan sistem semi padat (massa
lembek) terdiri atas suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau
molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri
atas jaringan partikel kecil yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase
(misalnya gel aluminium hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel
dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang dinyatakan sebagai magma
(misalnya magma bentonit), di mana massanya bersifat tiksotropik, artinya massa
akan mengental jika didiamkan dan akan mencair kembali jika dikocok. Jika
massanya banyak mengandung air, gel itu disebut jelly (Syamsuni, 2006).
Gel merupakan sediaan semi padat yang jernih, tembus cahaya dan
mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai kekuatan yang
disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi. Dalam
industri farmasi, sediaan gel banyak digunakan pada produk obat-obatan,
kosmetik dan makanan. Polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel
farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta
bahan-bahan sintetis dan semisintetis seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa,
karboksimetilselulosa, dan karbopol yang merupakan polimer vinil sintetis dengan
gugus karboksil yang terionisasi (Depkes, 1995).
Gel dapat diberikan untuk penggunaan topikal atau dimasukkan ke dalam
lubang tubuh. Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar
serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan
antara molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat
dari makromolekul sintetik (misalny karbomer) atau dari gom alam (misalnya
tragakan). Sediaan tragakan disebut juga mucilago, walaupun gel-gel ini
umumnya mengandung air, etanol dan minyak dapat digunakan sebagai fase
pembawa. Sebagai contoh, minyak mineral dapat dikombinasi dengan resin
polietilena untuk membentuk dasar salep berminyak (Depkes, 1995).
Menurut Ansel, Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat
yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang
kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan. Gel dalam nama
makromolekulnya disebarkan ke seluruh caiarn sampai tidak terlihat ada batas di
antaranya, cairan ini disebut gel satu fase. Dalam hal di mana massa gel terdiri

dari

kelompok-kelompok

partikel

kecil

yang

berbeda,

maka

gel

ini

dikelompokkan sebagai sistem dua fase dan sering pula disebut magma atau susu.
Gel dan magma dianggap sebagai dispersi koloid oleh karena masing-masing
mengandung partikel-partikel dengan ukuran koloid (Ansel, 2005).
Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling
menganyam dari fase terdispers yang mengurung dan memegang medium
pendispers. Perubahan dalam temperatur dapat menyebabkan gel tertentu
mendapatkan kembali bentuk cairnya. Gel mempunyai sifat tiksotropi dimana gel
menjadi encer setelah pengocokan dan segera menjadi setengah padat atau padat
kembali setelah dibiarkan tidak terganggu untuk beberapa waktu tertentu.
Tiksotropi adalah suatu sifat yang diinginkan dalam suatu sistem farmasetis cair
yang idealnya harus mempunyai konsistensi tinggi dalam wadah, namun dapat
dituang dan tersebar dengan mudah (Ansel, 1989).
Kandungan air yang tinggi dalam basis gel dapat menyebabkan terjadinya
hidrasi pada stratum korneum sehingga akan memudahkan penetrasi obat melalui
kulit. Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk
menghasilkan efek terapetik pada tempat- tempat spesifik di jaringan epidermis.
Gel mempunyai sifat yang menyejukkan, melembabkan, mudah penggunaannya,
mudah berpenetrasi pada kulit sehingga memberikan efek penyembuhan. Secara
ideal, basis dan pembawa harus mudah diaplikasikan pada kulit, tidak mengiritasi
dan nyaman digunakan pada kulit. Basis gel yang digunakan dalam sediaan gel
adalah hidroksipropil metil selulosa (HPMC) yang merupakan derivat sintetis
selulosa dan termasuk dalam basis hidrofilik (Lachman, 1989).
Keuntungan dan Kekurangan Sediaan Gel
- Keuntungan sediaan gel :
Untuk hidrogel : efek pendinginan pada kulit saat digunakan; penampilan
sediaan yang jernih dan elegan; pada pemakaian di kulit setelah kering
meninggalkan film tembus pandang, elastis, daya lekat tinggi yang tidak
menyumbat pori sehingga pernapasan pori tidak terganggu; mudah dicuci dengan
air; pelepasan obatnya baik; kemampuan penyebarannya pada kulit baik.
- Kekurangan sediaan gel :

Untuk hidrogel : harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air
sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar gel
tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut sangat mudah
dicuci atau hilang ketika berkeringat, kandungan surfaktan yang tinggi dapat
menyebabkan iritasi dan harga lebih mahal.
Penggunaan emolien golongan ester harus diminimalkan atau dihilangkan
untuk mencapai kejernihan yang tinggi.
Untuk hidroalkoholik : gel dengan kandungan alkohol yang tinggi dapat
menyebabkan pedih pada wajah dan mata, penampilan yang buruk pada kulit bila
terkena pemaparan cahaya matahari, alkohol akan menguap dengan cepat dan
meninggalkan film yang berpori atau pecah-pecah sehingga tidak semua area
tertutupi atau kontak dengan zat aktif (Lachman, 1989).
2.2 Penggolongan Gel
2.2.1 Berdasarkan sifat fasa koloid
- Gel anorganik, contoh : bentonit magma
- Gel organik, pembentuk gel berupa polimer
2.2.2 Berdasarkan sifat pelarut
- Hidrogel (pelarut air)
Hidrogel pada umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang
saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi
ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel mempunyai
biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai tegangan permukaan
yang rendah dengan cairan biologi dan jaringan sehingga meminimalkan kekuatan
adsorbsi protein dan adhesi sel; hidrogel menstimulasi sifat hidrodinamik dari gel
biological, sel dan jaringan dengan berbagai cara; hidrogel bersifat lembut/lunak,
elastis sehingga meminimalkan iritasi karena friksi atau mekanik pada jaringan
sekitarnya. Kekurangan hidrogel yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan
yang rendah setelah mengembang. Contoh : bentonit magma, gelatin
- Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh : plastibase (suatu polietilen dengan BM rendah yang terlarut
dalam minyak mineral dan didinginkan secara shock cooled), dan dispersi logam
stearat dalam minyak.

- Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang rendah diketahui
sebagai xerogel. Xerogel sering dihasilkan oleh evaporasi pelarut, sehingga sisa
sisa kerangka gel yang tertinggal. Kondisi ini dapat dikembalikan pada keadaan
semula dengan penambahan agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan
matriks gel. Contoh : gelatin kering, tragakan ribbons dan acacia tears, dan
sellulosa kering dan polystyrene (Lachman, 1989).
2.2.3 Berdasarkan bentuk struktur gel
-

Kumparan acak
Heliks
Batang
Bangunan kartu

(Lachman, 1989).

2.2.4 Berdasarkan jenis fase terdispersi


- Gel fase tunggal, terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba
sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan
antara molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat
dibuat dari makromolekul sintetik (misal karbomer) atau dari gom alam
(misal tragakan). Molekul organik larut dalam fasa kontinu.
- Gel sistem dua fasa, terbentuk jika masa gel terdiri dari jaringan partikel
kecil yang terpisah. Dalam sistem ini, jika ukuran partikel dari fase
terdispersi relatif besar, masa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai
magma. Partikel anorganik tidak larut, hampir secara keseluruhan
terdispersi pada fasa kontinu (Ansel, 2005).
2.3 Sifat / Karakteristik Gel
Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain. Pemilihan bahan
pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan yang baik selama
penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan diberikan kekuatan atau daya
yang disebabkan oleh pengocokan dalam botol, pemerasan tube, atau selama
penggunaan topical (Lachman, 1989).
Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan
yang diharapkan. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat
tinggi atau BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau

digunakan). Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi satelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh polimer
seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang akan
membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan tersebut akan
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation (Lachman, 1989).
Sifat dan karakteristik gel adalah sebagai berikut :
1. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.
Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar polimer di
dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang.
2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel.
Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang
tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat
adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada
ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga
memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada
hidrogel maupun organogel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui
penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan
hingga suhu tertentu. Polimer separti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang
dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu larutan tersebut
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.
4. Efek elektrolit.
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel
hidrofilik dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut
yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik

dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan


mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel
Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium
yang disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai
kalsium alginat yang tidak larut.
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur
gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang
terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan
jalan aliran non Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan
peningkatan laju aliran (Lachman, 1989).
2.4 Pembuatan Gel
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam formulasi :
1. Penampilan gel : transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang
terdispersi, dimana dengan jumlah pelarut yang cukup banyak membentuk gel
koloid yang mempunyai struktur tiga dimensi.
2. Inkompatibilitas dapat terjadi dengan mencampur obat yang bersifat kationik
pada kombinasi zat aktif, pengawet atau surfaktan dengan pembentuk gel yang
bersifat anionik (terjadi inaktivasi atau pengendapan zat kationik tersebut).
3. Gelling agents yang dipilih harus bersifat inert, aman dan tidak bereaksi
dengan komponen lain dalam formulasi.
4. Penggunaan polisakarida memerlukan

penambahan

pengawet

sebab

polisakarida bersifat rentan terhadap mikroba.


5. Viskositas sediaan gel yang tepat, sehingga saat disimpan bersifat solid tapi
sifat soliditas tersebut mudah diubah dengan pengocokan sehingga mudah
dioleskan saat penggunaan topikal.
6. Pemilihan komponen dalam formula yang tidak banyak menimbulkan
perubahan viskositas saat disimpan di bawah temperatur yang tidak terkontrol.

7. Konsentrasi polimer sebagai gelling agents harus tepat sebab saat


penyimpanan dapat terjadi penurunan konsentrasi polimer yang dapat
menimbulkan syneresis (air mengambang diatas permukaan gel)
Pelarut yang digunakan tidak bersifat melarutkan gel, sebab bila daya
adhesi antar pelarut dan gel lebih besar dari daya kohesi antar gel maka sistem gel
akan rusak (Allen, 2002).
Dalam pembuatan gel semua bahan harus dilarutkan dahulu pada pelarut
atau zat pembawanya sebelum penambahan gelling agent. Pada pembuatan
sediaan gel ini digunakan gelling agent hidroksipropil metil selulosa, dimana
pembuatannya basis gel (HPMC) dilarutkan/ didispersikan terlebih dahulu baru
kemudian ditambahkan bahan pembawa (vehicle) yang sebelumnya sudah
dicampur, kemudian diaduk sampai homogen (Allen, 2002).
Secara umum pembuatan gel dan basis larut air dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
a. Pembuatan gel dengan air dingin
Basis dikembangkan dengan dalam air dingin sambil diaduk sampai terbentuk
campuran yang homogen, kemudian zat aktif dan bahan lainnya ditambahkan
kedalamnya sambil diaduk sampai terbentuk gel yang jernih.
b. Pembuatan gel dengan air panas
Basis dikembangkan dalam air panas, kemudian diaduk sampai terbentuk
campuran yang homogen, kemudian didalamnya ditambahkan zat aktif dan bahan
lainnya sambil diaduk sampai terbentuk gel yang jernih (Allen, 2002).
2.5 Evaluasi Sediaan Gel
Tujuan dilakukannya pengujian kontrol kualitas adalah untuk menjamin
kualitas produk sampai ke konsumen. Parameter untuk mngevaluasi gel (Rowe et
al., 2006) antara lain:
1. Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan pemeriksaan secara visual setelah gel
berada dalam wadah, dengan melihat bentuk atau penampakan dan adanya daya
agregat. Syarat homogenitas adalah tidak boleh mengandung bahan kasar yang
dapat teraba(Syamsuni, 2006).

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah sediaan yang telah


dibuat homogen atau tidak. Caranya, gel dioleskan pada kaca transparan dimana
sediaan diambil 3 bagian yaitu atas, tengah dan bawah. Homogenitas ditunjukkan
dengan tidak adanya butiran kasar (Mappa, 2013).
2. pH
pH formulasi gel ditetapkan dengan menggunakan pH meter digital. pH sediaan
disesuaikan dengan pH kulit berkisar 5-6,5 (Lachman, 1994).
Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel untuk
menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada kulit. pH sediaan gel diukur
dengan menggunakan stik pH universal. Stik pH universal dicelupkan ke dalam
sampel gel yang telah diencerkan, diamkan beberapa saat dan hasilnya
disesuaikan dengan standar pH universal. pH sediaan yang memenuhi kriteria pH
kulit yaitu dalam interval 4,5 6,5 (Mappa, 2013)
3. Kadar Obat
Kadar obat diukur dengan menggunakan alat Spektrofotometri. Sediaan
gel yang baik tidak mempengaruhi kandungan obat didalamnya.
4. Viskositas
Pengukuran viskositas gel dilakukan dengan menggunakan Viscotester
Brookfield, untuk mengetahui kekentalan gel.
5. Daya Sebar
Salah satu kriteria gel yang ideal adalah memiliki kemampuan daya sebar
yang baik. Sediaan gel diharapkan dapat menyebar ketika diaplikasikan pada area
kulit. Keberhasilan terapi formula juga tergantung pada nilai sebar.
6. Uji Iritasi Kulit
Gel diaplikasikan pada punggung tikus untuk mengetahui apakah gel
tersebut mengiritasi kulit atau tidak, diamati selama 7 hari secara visual ada
tidaknya eritema dan edema.
7. Uji Stabilitas
Formulasi sediaan yang mengandung kadar air yang tinggi dan terdiri dari bahan
padat, harus disimpan pada temperatur yang dingin sebelum 14 hari (Lachman,
1994).

10

2.6 Absorpsi Obat Melalui Kulit


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan.
Prinsip absorpsi obat atau zat melalui kulit adalah difusi pasif oleh karena itu
perlu dipahami ini mengenai prinsip dasar difusi zat melalui membran. Difusi
pasif adalah proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke
daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul
(Anief, 1997).
Tujuan umum dari penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk
menghasilkan efek terapetik pada jaringan epidermis. Daerah yang terkena
umumnya adalah epidermis dan dermis (Lachman, 1994).
Faktor- faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu:
a) Konsentrasi obat
b) Luas area pemakaian
c) Afinitas obat dalam pembawa/ basis versus afinitas obat terhadap kulit
d) Basis (vehicle)
e) Hidrasi kulit
f) Perlakuan terhadap kulit
g) Stratum corneum (tebal/ tipis)
h) Lamanya pemakaian
(Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008).
Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi
langsung obat melalui stratum corneum. Stratum corneum terdiri atas kurang
lebih 40% protein dan 40% air dengan lemak. Komponen lemak dipandang
sebagai faktor utama yang bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat
melalui stratum corneum. Setelah obat melalui stratum corneum, kemudian
diteruskan ke jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Bila
obat mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke
dalam sirkulasi umum (Ansel, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi bahan obat dari sediaannya ke dalam
kulit :

11

a. Sifat kulit, yaitu kondisi kulit, jenis kulit, dan perlakuan kulit.
b. Sifat dan pengaruh obat, yaitu konsentrasi, kelarutan di dalam basis,
ukuran molekul, daya difusi, kecepatan pelarutan, daya disosiasi, distribusi
antara fase basis, situasi distribusi antara sediaan dan kulit.
c. Sifat dan pengaruh sediaan obat, yaitu sifat pembawa (hidrofil, lipofil,
jenis

emulsi),

tingkat

keteraturan

fase

pembentuk

perancah

(ketergantungan dari teknik pembuatan) (Voigt, 1984).


2.7 Pengemasan dan Penyimpanan Gel
Penyimpanan dalam wadah tertutup baik, dalam botol mulut lebar,
terlindungi dari cahaya, ditempat sejuk. Pada etiket harus tertera Kocok dahulu
(Syamsuni, 2006).
Sediaan yang mengandung air seperti halnya gel baik dikemas didalam
tube. Ada beberapa macam tube antara lain tube plastik, tube timah, dan tube
alluminium. Tube plastik baik digunakan untuk mengurangi resiko kontaminasi
pada saat penggunaannya, tube timah sering digunakan karena sifatnya tidak
mudah bereaksi, sedangkan tube alumium jarang digunakan karena sifatnya bisa
berinterkasi dengan bahan penyusun formula atau gel tersebut (Collect dan
Aulton, 1990).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1

Alat
-

3.2

Beaker glass
Cawan porselin
Lumpang dan stamper
Spatula
Sudip
Batang pengaduk
Objek glass
Timbangan gram
Timbangan miligram
Kertas perkamen
Bahan

HPMC

12

Propilen glikol
Metil Paraben
Minyak sereh

3.3

Formula

R/

HPMC

2,5%

Propilen glikol

15

Metil Paraben

0,1%

Minyak sereh

1%

Aquadest

ad

100

m.f. jelli
3.4
1.
2.
3.
4.
5.

Perhitungan Bahan

HPMC
Propylenglikol
Metil Paraben
Minyak sereh
Aquadest

: 2,5/100 100 = 2,5 gram


: 15 gram 1 = 15 gram
: 0,1/100 100 = 0,1 gram
: 1/100 100 = 1 gram
: 100 ( 2,5 g + 15 g + 0,1 g + 1 g)
= 100 - 18,6
= 81,4 ml

3.4 Prosedur Kerja


1. Timbang sejumlah HPMC, zat aktif dan zat tambahan lainnya
2. Kembangkan HPMC dengan air panas 50 ml
3. Tambahkan HPMC yang sudah dikembangkan ke dalam campuran zat aktif
dan zat tambahan lainnya sambil diaduk terus-menerus hingga homogen tapi
jangan terlalu kuat karena akan menyerap udara sehingga menyebabkan
timbulnya

gelembung

udara

dalam

sediaan

yang

nantinya

dapat

mempengaruhi pH sediaan.
4. Gel yang sudah jadi dimasukkan ke dalam pot plastik dan diberi etiket.
3.5 Evaluasi
a. Uji homogenitas (F.Ind.Ed.III, 1979)
Alat : Objek glass/kertas perkamen
Cara : Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lainnya
yang cocok harus menunjukkan susunan yang homogen.
b. Uji Viskositas
Alat : Viskometer Brookfield type RVF 100

13

Cara : Sebanyak 150 ml gel dimasukkan ke dalam beaker glass. Celupkan


spindel no. 5 kedalam gel. Hidupkan alat dengan menekan saklar
kearah on, biarkan piringan skala penunjuk berputar sampai stabil (6
x putaran), tekan pemutar handle pemutar piringan skala agar
kedudukan penunjuk skala dapat dibaca dengan jelas, lalu tekan
saklar ke arah off. Ulangi cara yang sama dengan memasukkan
spindel no.4, 3 dan 2,5. Catat skala yang ditunjukkandan besarnya
viskositas dihitung.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
- Dari hasil uji homogenitas, gel yang telah dibuat memberikan hasil baik
-

yaitu homogen.
Uji Viskositas
50 Rpm = 52,4 %
Cp = 6290

4.2 Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah membuat gel yang merupakan sediaan
semi padat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan
dispersi koloid mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling
berikatan pada fase terdispersi.
Pada percobaan ini dilakukan uji homogenitas dan uji viskositas gel, uji
homogenitas

dilakukan

untuk

mengetahui

kehomogenan

sediaan

yang

dibuat. Homogenitas sediaan dapat dilihat dari ketercampuran bahan-bahan yang


digunakan pada basis semisolida. Uji ini dilakukan dengan cara tiap sediaan
diletakkan pada objek glass lalu dilekatkan objek glass lainnya dan dilihat
homogenitas sediaan. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, isi dari kedua
sediaan salep mempunyai homogenitas yang baik dimana tidak terdapat serbuk
yang tidak halus di objek glass.
Uji viskositas gel dilakuan dengan cara Sebanyak 150 ml gel dimasukkan
ke dalam beaker glass. Celupkan spindel no. 5 kedalam gel. Hidupkan alat dengan
14

menekan saklar kearah on, biarkan piringan skala penunjuk berputar sampai stabil
(6 x putaran), tekan pemutar handle pemutar piringan skala agar kedudukan
penunjuk skala dapat dibaca dengan jelas, lalu tekan saklar ke arah off. Ulangi
cara yang sama dengan memasukkan spindel no.4, 3 dan 2,5. Catat skala yang
ditunjukkan dan besarnya viskositas dihitung. Dari hasil pengujian yang telah
dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
- Gel dibuat dengan menggunakan basis gel yaitu kombinasi propilenglikol
-

dan metil paraben


Pembuatan dilakukan dengan cara melarutkan metil paraben terlebih dahulu,
lalu ditambah HPMC (dikembangkan selama 15 menit), kemudian ditambah

propilenglikol. Digerus homogen


Uji homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan gel ke objek glass,

Setelah di evaluasi gel memiliki homogenitas yang bagus


Uji viskositas gel dilakuan dengan cara Sebanyak 150 ml gel dimasukkan ke
dalam beaker glass. Celupkan spindel kedalam gel.

5.2 Saran
- Pada saat melakukan penggerusan diharapkan praktikan benar-benar
menggerus dengan baik dan benar-benar halus agar gel yang dihasilkan
-

mermiliki homogenitas yang baik.


Setelah gel selesai digerus sebaiknya sebelum melakukan uji viskositas agar
terlebih dahulu membiarkan gel selama beberapa hari agar pada gel tidak
terdapat gelembung udara sehingga pada saat pengujian diperoleh hasil yang
baik.

15

DAFTAR PUSTAKA
Allen, L., V., (2002). The Art, Science and Technology of Pharmaceutical
Compounding. Washington D.C: American Pharmaceutical Association.
Anief, Moh. (1993). Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, C.H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
Ansel, C.H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
DITJEN POM. (1979). Famakope Indonesia edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
DITJEN POM. (1995). Famakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Lachman, L., H.A. Lieberman., dan J. L. Kaning. (1994). Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Terjemahan oleh : S. Suyatmi. Jakarta: UI Press.
Mappa, Tiara., Hosea Jaya Edy., dan Novel Kojong. (2013). Formulasi Gel
Ekstrak Daun Sasaladahan (Peperomia pellucida (L.) H.B.K) Dan Uji
Efektivitasnya Terhadap Luka Bakar Pada Kelinci (Oryctolagus Cuniculus.
Dalam Jurnal Ilmiah Farmasi. 2 (2): 49-55.
Rowe, R. C., P.J. Sheskey., dan S.C. Owen. (2006). Handbook of Pharmaceutical
Excipients edisi V. Washington: American Pharmaceutical Press.
Syamsuni, A. (2006). Ilmu Resep. Jakarta: EGC.
Sulaiman, T. N. S., dan Kuswahyuning, R., (2008), Teknologi dan Formulasi
Sediaan Semipadat. Yogyakarta: UGM Press.
Voight, S. (1995). Buku Pelajaran Tekhnologi Farmasi edisi ke-5. Yogyakarta:
UGM Press.

16

LAMPIRAN

17

Anda mungkin juga menyukai