Anda di halaman 1dari 32

KESELAMATAN KERJA DAN

KETENAGAKERJAAN(K3)

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
Undang undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan

Oleh :
Nama : 1. Dedek Okta Wijaya
2. Jaka Oktasanova
3. Novi Retno Sari
4. Reta Triprima Nindianti

(061130400292)
(061130400299)
(061130400304)
(061130400308)

Pembimbing : Adi Syakdani, S.T

PROGRAM DIPLOMA III


TEKNIK KIMIA

POLITEKNIK NEGRI SRIWIJAYA


PALEMBANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat, taufik, serta hidayahnya kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
Bapak Adi Syakdani, M.T. selaku dosen pembimbing yang telah mengajarkan mata kuliah
Keselamatan Kesehatan Kerja dan Hukum Ketenagakerjaan (K3) serta membantu dalam
kesulitan yang kami hadapi dalam pembuatan makalah ini.
Orang tua kami yang tak henti-hentinya memberikan support baik secara materi maupun
dukungan, serta semangat dan doa nya kepada kami.
Teman-teman seperjuangan yang telah membantu berpartisipasi serta memberikan dukungan
kepada kami.
Dan untuk seluruhnya yang telah memberikan dukungan dan doanya kepada kami yang tidak
bisa kami sebutkan satu per satu.
Semoga makalah ini dapat berguna dan dapat membantu serta memberikan manfaat bagi kita
semua dalam proses balajar khususnya pada mata kuliah K3. Dan akhirnya tim penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dalam penyempurnaan
makalah ini.
Palembang, 19 Januari 2012
Tim Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
2

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Daftar Isi
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3

I. UU no 13 Th 2003 Ketenagakerjaan
1.1 Bab X UU Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan
a. Bagian Kesatu Perlindungan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
b. Bagian Kedua Pengupahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
c. Bagian Ketiga Kesejahteraan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1.2
b.
c.
d.
e.
g.
h.

Bab XI UU tentang Hubungan Industrial


a. Bagian Ke-1 Umum. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
Bagian Ke-2 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
Bagian Ke-3 Organisasi Pengusaha. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bagian Ke-4 Lembaga Kerja Sama Bipartit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bagian Ke-5 Lembaga Kerja Sama Tripartit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
f. Bagian Ke-6 Peraturan Perusahaan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bagian Ke-7 Perjanjian Kerja Bersama. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bagian Ke-8 Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial . . . . . 21

4
8
12
. . .
..
14
14
14
15
16

II. Hubungan Industrial


2.1 Pendahuluan
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
2.2 Ruang Lingkup Hubungan Industrial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
2.3 Tujuan Hubungan Industrial. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
26
2.4 Sarana-sarana dalam Hubungan Industrial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27
a. Lembaga Kerja Sama Bipartit . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
27
b. Lembaga Kerjsa Sama Tripartit. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
c. Organisasi Pekerja/Buruh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
29
d. Organisasi Pengusaha . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
e. Lembaga Penyelesaian Keluh Kesah dan Hub. Industrial . . . . . . . . . . . . . .
31
f. Peraturan Perusahaan (PP) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32
g. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
h. Perjanjian Kerja Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 35
DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu Perlindungan
Paragraf 1 Penyandang Cacat
Pasal 67
a. Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
b. Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Paragraf 2 Anak
Pasal 68
1. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 68 dapat dikecualikan bagi anak berumur antara
13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan :
izin tertulis dari orang tua atau wali;
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
keselamatan dan kesehatan kerja;
adanya hubungan kerja yang jelas; dan
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang
bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
1. Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun
3. Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat :
diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan
dalam melaksanakan pekerjaan; dan
diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
1. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
syarat :

di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;


waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu
sekolah.
3. Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72
1. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
1. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal 74
1. Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
terburuk.
2. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi :
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
segala pekerjaan yang memanfaatkan , menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
3. Jenis-jenis pekerjaan yang membahaykan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
1. Pemerintah berkewjiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja.
2. Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Paragraf 3 Perempuan
Pasal 76
1. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang
dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00
2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja
antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d pukul 07.00
wajib :
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
4. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang
berangkat dan pulang bekerja antara pulu 23.00 s.d pukul 05.00
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 4 Waktu Kerja
Pasal 77
1. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

2. Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :


7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau
8(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
3. Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu.
4. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalamPasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14
(empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
3. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
istirahat antara jam kerja = sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat)
jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
istirahat mingguan 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu;
cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam)
tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut
tidak berhak lagi atas istirahat tahunanannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
3. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi
pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
5. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 80
1. Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81

1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan
dokter kandungan atau bidan.
2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat
1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 83
1. Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
1. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat (2) huruf b, c, dan d,Pasal 80, danPasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Pasal 85
1. Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi
2. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila
jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau
pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
4. Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
keselamatan dan kesehatan kerja;
moral dan kesusilaan; dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Perlindungan sebaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
1. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
2. Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pengupahan
Pasal 88
1. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.

2. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.
3. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi :
upah minimum;
upah kerja lembur;
upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
upah karena menjalankan hak waktu istirahata kerjanya;
bentuk dan cara pembayaran upah
denda dan potongan upah;
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
upah untuk pembayaran pesangon; dan
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
4. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.
Pasal 89
1. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalamPasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas :
upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
2. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan
hidup layak.
3. Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
4. Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
1. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89.
2. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalamPasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
3. Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 91
1. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha
wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92

1. Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa
kerja, pendidikan, dan kompetensi.
2. Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas.
3. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 93
1. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar
upah apabila :
pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia;
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
3. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a sebagai berikut:
untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
untuk bulan selanjutnya dibayar 25 % (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
4. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c sebagai berikut :
pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari;

5. Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
1. Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan
tetap.
Pasal 95
1. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda.
2. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
3. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam
pembayaran upah.
4. dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang
yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
1. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.
Pasal 97
1. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup yang
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalamPasal 98, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalamPasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud
dalamPasal 95 ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
1. Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan
ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk
Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
2. Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
3. Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oelh Gubernur/Bupati/Walikota.
4. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, serta tugas dan tata kerja
Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan
Presiden.
Bagian Ketiga Kesejahteraan
Pasal 99
1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
1. Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib
menyediakan fasilitas kesejahteraan.
2. Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.

3.

1.
2.
3.
4.

Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usahausaha produktif di perusahaan.
Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh berupaya
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada
ayat 92), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003


TENTANG KETENAGAKERJAAN
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu Umum
Pasal 102
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan
kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya
mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan ketrampilan,
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota
beserta keluarganya.
3. Dalam melaksankan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai
fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
1. Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
serikat pekerja/serikat buruh
organisasi pengusaha;
lembaga kerja sama bipartit;
lembaga kerja sama tripartit;
peraturan perusahaan;
perjanjian kerja bersama;
1.

1.
2.
3.

1.

1.
2.
3.
4.

1.
2.

3.
4.

peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan


lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat
buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan
organisasi termasuk cara mogok.
Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha
Pasal 105
Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.2. Ketentuan
mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib
membentuk lembaga kerja sama bipartit.
Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum
komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara
demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
Lembaga kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; dan
Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha,
dan serikat pekerja/serikat buruh.
Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam Peraturan Perusahaan


Pasal 108

1.
2.
1.
1.
2.
3.

1.

2.
3.
4.
5.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib


membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan
Pasal 110
Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka
wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat
buruh.
Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh,
wakil pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (10 adalah pekerja/buruh yang dipilih
secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 111
Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
hak dan kewajiban pengusaha;
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
syarat kerja;
tata tertib perusahaan; dan
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah
habis masa berlakunya.
Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di
perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha
wajib melayani.
Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka
waktu berlakunya.

Pasal 112
Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
2. Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan
ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,
maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
1.

3.
4.

1.
2.
1.
1.

1.
2.
3.
4.

1.

1.
1.

2.

Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh
pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali
peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 113
Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat
dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat
pengesahan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk
Pasal 114
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri
Bagian Ketujuh Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
musyawarah.
Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara tertulis
dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia,
maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 117
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku
bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat
pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat

3.

1.

2.

3.

1.
1.

1.
2.
3.
4.
1.

2.

pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk
merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6
(enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dalam mengikuti prosedur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 120
Dalam hal disatu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang
berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili
dalam perundingan dengan pengusaha.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka
para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan
secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia
yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang
disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha.
Pasal 123
Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun.
Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang masa
berlakunya paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga)
bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 124
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat :
hak dan kewajiban pengusaha;
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama, dan
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3.

1.

1.
2.
3.
1.
2.

1.
1.

1.

2.

Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut
batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 125
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang
sedang berlaku.
Pasal 126
Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang
ada dalam perjanjian kerja bersama
Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama
atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap
pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan
perjanjian kerja bersama.
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan
dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di
perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.2. Dalam hal di
perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti
dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang
atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak
mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang
atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan
Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama
dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus)
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat
buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding
secara proporsional.

3.

1.
2.
3.

1.
2.

1.
1.

1.

Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang
atau perbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat
buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan
menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan
perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah
perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai
perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama,
maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger)
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja
bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah
wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan
industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah.

Bagian Kedelapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Paragraf 1 Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
2. Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf 2 Mogok Kerja
Pasal 137
1. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara
sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal 138
1. Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh
lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar
hukum.
2. Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memenuhi
atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
1. Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekeja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan
membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
1. Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhir mogok kerja;
tempat mogok kerja;
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja dan
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggungjawab mogok kerja.
3. Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani
oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab
mogok kerja.
4. Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka demi
menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan
sementara dengan cara :
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi, atau;
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 141
1. Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
2. Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan
dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
4. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang.
5. Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau

penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara
atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
1. Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.2. Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak
sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
1. Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
2. Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang :
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan,atau
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan
pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal 145
1. Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah.Paragraf 3 Penutupan Perusahaan (lock out)
Pasal 146
1. Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan
2.
Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan
balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh.
3. Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Pasal 147
1. Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia,
meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat
penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api.
Pasal 148
1. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out)
3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau
pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
1.

Pasal 149
1. Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan
(lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan
dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
2. Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka
harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
4. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan,
maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera
menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
5. Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan
perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali.
6. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila :
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 140;
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

HUBUNGAN INDUSTRIAL (INDUSTRIAL RELATIONS)

I.PENDAHULUAN
Hubungan Industrial (Industrial Relations) adalah kegiatan yang mendukung terciptanya
hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu pengusaha, karyawan dan pemerintah,
sehingga tercapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha (Industrial Peace). Pada
UndangUndang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 Hubungan Industrial
didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah
yang didasarkan pada nilainilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Melihat pentingnya kegiatan ini, masalah hubungan industrial perlu
mendapat perhatian khusus dalam penanganannya, karena berpengaruh besar terhadap
kelangsungan proses produksi yang terjadi di perusahaan. Keseimbangan antara pengusaha dan
pekerja merupakan tujuan ideal yang hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara
pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan
pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang
lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung
oleh pekerja, demikian pula sebaliknya. Yang paling mendasar dalam Konsep Hubungan
Industrial adalah Kemitrasejajaran antara Pekerja dan Pengusaha yang keduanya mempunyai
kepentingan yang sama, yaitu bersamasama ingin meningkatkan taraf hidup dan
mengembangkan perusahaan.
II.RUANG LINGKUP HUBUNGAN INDUSTRIAL
A. Ruang Lingkup Cakupan
Pada dasarnya prinsipprinsip dalam hubungan industrial mencakup seluruh tempat
tempat kerja dimana para pekerja dan pengusaha bekerjasama dalam hubungan kerja untuk
mencapai tujuan usaha. Yang dimaksud hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur upah, perintah dan
pekerjaan.

B. Ruang lingkup Fungsi


Fungsi Pemerintah : Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan undangundang
ketenagakerjaan yang berlaku.
Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan ketrampilan, keahlian dan ikut memajukan perusahaan serta memperjuangkan
kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan
kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis serta berkeadilan.

C. Ruang Lingkup Masalah


Adalah seluruh permasalahan yang berkaitan baik langsung maupun tidak langsung
dengan hubungan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.
Didalamnya termasuk :
a. Syaratsyarat kerja
b. Pengupahan

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Jam kerja
Jaminan sosial
Kesehatan dan keselamatan kerja
Organisasi ketenagakerjaan
Iklim kerja
Cara penyelesaian keluh kesah dan perselisihan.
Cara memecahkan persoalan yang timbul secara baik, dsb.

D. Ruang Lingkup Peraturan/Per Undangundangan Ketenagakerjaan


a. Hukum Materiil
1. Undangundang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
2. Peraturan Pemerintah/Peraturan Pelaksanaan yang berlaku
3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja.
b. Hukum Formal
1. Undangundang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2. Perpu No. 1 Tahun 2005, dan diberlakukan mulai 14 Januari 2006

a.
b.
c.

1.
2.
3.
4.

III.TUJUAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Tujuan Hubungan Industrial adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang harmonis,
Dinamis,kondusif dan berkeadilan di perusahaan.
Ada tiga unsur yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial, yaitu :
Hak dan kewajiban terjamin dan dilaksanakan
Apabila timbul perselisihan dapat diselesaikan secara internal/bipartit
Mogok kerja oleh pekerja serta penutupan perusahaan (lock out) oleh pengusaha, tidak perlu
digunakan untuk memaksakan kehendak masingmasing, karena perselisihan yang terjadi telah
dapat diselesaikan dengan baik.
Namun demikian Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat berpengaruh
dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial yang kita karapkan.
Sikap mental dan sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut
adalah :
Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha sebagai investor
Bersedia saling menerima dan meningkatkan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja
secara terbuka
Selalu tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan kesejahteraan pekerja
Saling mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan kekeluargaan.

IV.SARANASARANA DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL


Agar tertibnya kelangsungan dan suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu
adanya peraturanperaturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif.
Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat pembudayaan sikap mental
dan sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena itu setiap peraturan dalam hubungan kerja
tersebut harus mencerminkan dan dijiwai oleh nilainilai budaya dalam perusahaan, terutama
dengan nilainilai yang terdapat dalam Hubungan Industrial. Dengan demikian maka kehidupan
dalam hubungan industrial berjalan sesuai dengan nilainilai budaya perusahaan tersebut.

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Dengan adanya pengaturan mengenai halhal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan
pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial, maka diharapkan terjadi hubungan yang
harmonis dan kondusif. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sarana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 103 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial
dilaksanakan melalui sarana sebagai berikut :
Lembaga kerja sama Bipartit
Lembaga kerja sama Tri[artit
Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
Organisasi Pengusaha
Lembaga keluh kesah & penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama

A. LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT


Adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi yang dibentuk oleh pekerja dan
pengusaha. Setiap pengusaha yang mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau lebih
dapat membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggotaanggota yang terdiri dari
unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan keahlian. LKS Bipartit
bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah dalam
memecahkan permasalahanpermasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan
pengusaha dan pekerja. Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya
Lembaga Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama, misalnya
penyelesaian perselisihan industrial.
LKS Bipartit bertujuan :
1. Terwujudnya ketenangan kerja, disiplin dan ketenangan usaha,
2. Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan perkembangan serta kelangsungan hidup perusahaan.
3. Mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di perusahaan.
Kriteria LKS Bipartit :
1. Pengurus terdiri dari minimal 6 anggota yang ditunjuk (3 wakil pengusaha, 3 wakil pekerja).
2. Proses penunjukkan anggota dilaksanakan secara musyawarah dan mufakat.
3. Kepengurusan bersifat kolektif dan kekeluargaan.
4. Struktur kepengurusan (Ketua, Wakil Ketua, Sekertaris, merangkap anggota dari 2 anggota)
5. Masa kerja kepengurusan 2 tahun dan dapat ditunjuk kembali.
6. Azasnya adalah kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.
Dalam hal konsultasi dengan pekerja, yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Jika Perusahaan sudah memiliki Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit, konsultasi dapat
dilakukan dengan lembaga tersebut, begitu pula jika ada Serikat Pekerja, maka konsultasi dapat
dilakukan dengan Serikat Pekerja yang telah disahkan.
b. Jika Lembaga Kerjasa Sama Bipartit dan Serikat Pekerja tidak ada, maka konsultasi dapat
dilakukan dengan karyawan yang ada dalam perusahaan tersebut.
Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara dan waktu untuk rapat
perundingan.
Penyelesaian Melalui Bipartit :

1.
2.
3.

Perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat;


Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;
Dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, sifatnya mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak;
4. Wajib didaftarkan oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri
di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian bersama;
5. Diberikan Akta Pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Perjanjian bersama;
6. Salah satu pihak atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan.
7. Permohonan eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan Negeri di wilayah domisili
pemohon untuk diteruskan ke PHI di Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi;
8. Perundingan dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan atau tidak tercapai
kesepakatan;
9. Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Risalah Perundingan Bipartit :
1. Nama lengkap dan alamat para pihak.
2. Tanggal dn tempat perundingan
3. Pokok masalah atau alasan perselisihan
4. Pendapat para pihak.
5. Kesimpulan atas hasil perundingan.
6. Tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Tugas Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan :
1. Meneliti perselisihan hubungan industrial, bukti upaya penyelesaian melalui perundingan
bipartit.
2. Mengembalikan berkas perselisihan paling lambat dalam waktu 7 hari kerja apabila tidak
dilengkapi bukti upaya penyelesaian perundingan bipartit.
3. Wajib menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase.
4. Dalam waktu 7 hari para pihak tidak menetapkan pilihan konsiliasi atau arbitrase, melimpahkan
penyelesaiannya kepada mediator.
B. LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT
Lembaga kerjasama Tripartit merupakan LKS yang anggotaanggotanya terdiri dari unsurunsur pemerintahan, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama
Tripartit adalah sebagai FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan
konsepsi, sikap dan rencana dalam mengahadapi masalahmasalah ketenagakerjaan, baik
berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor-faktor yang tidak diduga
maupun untuk mengatasi halhal yang akan datang.
Dasar Hukum lembaga kerja sama Bipartit dan Tripartit adalah :
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Kepmenaker No. Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama Bipartit
3. Kepmenaker No. Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit
C. ORGANISASI PEKERJA

1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.

1.
2.

Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara sukarela dan
demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja, Gabungan serikat
Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan sangat penting dan
strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan Hubungan Industrial.
Dasar Hukum Pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam :
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
Kepmenaker No. 16 Tahun 2001 tentang Tatacara Pencatatan Serikat Pekerja/Buruh
Kepmenaker No. 187 Tahun 2004 tentang Iuran anggota Serikat Pekerja/Buruh
Setiap pekerja berhak untuk membentuk dan menjadi Anggota Serikat Pekerja. Serikat
Pekerja pada perusahaan berciriciri sebagai berikut :
Dibentuk dari dan oleh pekerja secara demokrasi melalui musyawarah para pekerja
diperusahaan.
Bersifat mandiri, demokrasi, bebas dan bertanggung jawab.
Dibentuk berdasarkan SEKTOR usaha/lapangan kerja.
Pengusaha dilarang menghalangi pekerja untuk membentuk Serikat Pekerja dan menjadi
pengurus Serikat Pekerja dan pekerja yang menduduki jabatan tertentu dan/atau fungsi tugasnya
dapat menimbulkan pertentangan antara pengusaha dan pekerja tidak dapat menjadi pengurus
Serikat Pekerja Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum pada Departemen Tenaga
Kerja memiliki dua hal :
Berhak melakukan perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Berhak sebagai pihak dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.

D. ORGANIASI PENGUSAHA
Setiap pengusaha berhak untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha
yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang khusus menangani bidang ketenagakerjaan
dalam rangka pelaksanaan Hubungan Industrial. Hal tersebut tercermin dari visinya yaitu
Terciptanya iklim usaha yang baik bagi dunia usaha dan misinya adalah Meningkatkan hubungan
industrial yang harmonis terutama ditingkat perusahaan, Merepresentasikan dunia usaha
Indonesia di lembaga ketenagakerjaan, dan Melindungi, membela dan memberdayakan seluruh
pelaku usaha khususnya anggota. Untuk menjadi anggota APINDO Perusahaan dapat mendaftar
di Dewan Pengurus Kota/Kabupaten (DPK) atau di Dewan Pengurus Privinsi (DPP) atau di
Dewan Pengurus Nasional (DPN).
Bentuk pelayanan APINDO adalah sebagai berikut :
1. Pembelaan
a. Bantuan hukum baik bersifat konsultatif, pendampingan, legal opinion maupun legal action di
tingkat perusahaan dalam proses :
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
- Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
- Perlindungan Lingkungan (Environmental).
b. Pendampingan dalam penyusunan, pembuatan dan perpanjangan Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
c. Perundingan Pengusaha dengan Wakil Pekerja/Buruh maupun dengan Pemerintah.
2. Perlindungan

a.
b.
d.
3.
c.
a.
b.

c.
d.

1.
2.
3.
4.
5.

Apindo proaktif dan turut serta dalam pembahasan pembuatan kebijakan dan peraturan
ketenagakerjaan di tingkat daerah maupun nasional.
Sosialisasi peraturanperaturan ketenagakerjaan tingkat nasional, propinsi dan kabupaten.
c. Proaktif dalam pembahasan penetapan upah minimum propinsi dan kabupaten
Ikut serta mendorong penciptaan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan bagi dunia usaha melalui forum LKS Bipartit maupun LKS Tripartit
Pemberdayaan
a. Penyediaan informasi ketenagakerjaan yang selalu terbarukan dan relevan
b. Pelatihan/seminar masalah ketenagakerjaan di dalam dan di luar negeri
Konsultasi ketenagakerjaan mulai dari rekruitmen, tata laksana sampai pasca kerja, termasuk
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan perlindungan Lingkungan.
Landasan hukum APINDO adalah sebagai berikut :
KADIN (Kamar Dagang Indonesia) menyerahkan sepenuhnya urusan ketenagakerjaan kepada
APINDO, karena hubungan industrial adalah salah satu dimensi manajemen usaha.
Berdasarkan Kesepakatan kedua belah pihak yang diperkuat oleh SK Menakertranskop No.
2224/MEN/1975 Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional terdiri dari :
1. Unsur Pemerintah diwakili Depnakertranskop
2. Unsur Pengusaha diwakili APINDO
3. Unsur Buruh diwakili FBSI
Pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan Hubungan
Indutrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No. 037/SKEP/DP/VII/2002
tanggal 31 Juli 2002
Pembaruan pengakreditasian APINDO sebagai Wakil KADIN Indonesia dalam Kelembagaan
Hubungan Industrial dengan Keputusan Dewan Pengurus KADIN Indonesia No.
019/SKEP/DP/III/2004 tanggal 5 Maret 2004.
Dengan kata lain, dalam rangka hubungan industrial, organisasi ketenagakerjaan mempunyai
peranmpenting sebagai pelaku, baik langsung maupun tidak langsung dan pemberi warna pada
falsafah serta proses Hubungan Industrial itu sendiri. Pengusaha dan Pemerintah dalam
kehidupan ketenagakerjaan seharihari, kehadiran serikat pekerja dan organisasi pengusaha
sangatlah diperlukan.
Berdasarkan ciriciri umum organisasi ketenagakerjaan yang sesuai dengan tuntutan
Hubungan Indiustrial Pancasila (HIP), maka ciri khusus yang diharapkan baik dari organisasi
pekerja, pengusaha maupun profesi adalah :
Organisasi didirikan untuk meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab anggota dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Organisasi didirikan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antara para pelaku proses
produksi barang dan jasa.
Organisasi didirikan untuk lebih menyerasikan penghayatan hak dan kewajiban masing-masing
anggotanya dan mengefektifkan pengalaman secara selaras, serasi dan seimbang.
Organisasi didirikan untuk bersamasama mengisi dan mengembangkan isi syaratsyarat kerja
dan meningkatkan praktekpraktek Hubungan Industrial.
Organisasi didirikan untuk lebih mengefektifkan pendidikan dibidang ketenagakerjaan.
Lembaga/Badan lain sebagai penunjang Hubungan Industrial :
Untuk lebih menunjang dan mendukung hal tersebut diatas masih perlu dibentuk badanbadanblain yang berorientasi pada kebersamaan, keselarasan, dan keseimbangan. Bentuk badan

tersebut anggotaannya juga semua pekerja perusahaan tersebut. Badan itu antara lain Koperasi,
Persatuan Olah Raga dan Seni, Persatuan Rekreasi dsb.
E. LEMBAGA PENYELESAIAN KELUH KESAH DAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Dalam perjalanan Hubungan Industrial untuk mencapai suatu masyarakat industri
yangdiharapkan, benturanbenturan antara para pelaku yang timbul sebagai akibat belum
serasinya pemakaian ukuran dan kacamata untuk menilai permasalahan bersama kadangkadang
tidak dapat dihindari. Keluh kesah bisa juga terjadi akibat berbagai pertanyaan yang timbul baik
dari pekerja ataupun dari pengusaha yang berkaitan dengan penafsiran atau pelaksanaan
peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama. Dapat juga karena berbagai tuntutan dari salah satu pihak terhadap pihak lain yang
melanggar peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja besama.
Dengan demikian untuk menghindari benturanbenturan tersebut perlu dikembangkan
suatu mekanisme penyelesaian keluh kesah sehingga benihbenih perselisihan tingkat pertama
seharusnya diselesaikan diantara pelaku itu sendiri. Mekanisme penyelesaian keluh kesah
merupakan sarana yang seharusnya diadakan setiap perusahaan. Mekanisme ini harus transparan
dan merupakan bagian dari Perjanjian Kerja, Peratura Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja
Bersama (PKB). Dalam pelaksanaan fungsifungsi supervisi dari setiap para manajer merupakan
kunci terlaksananya mekanisme ini. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan
dalam lembaga mekanisme penyelesaian keluh kesah ini. Penyelesaian dapat dilaksanakan lebih
lanjut sesuai dengan Peratura perundangundangan yang berlaku.
1. PENYELESAIAN KELUH KESAH
A. Penyelesaian keluh kesah yang timbul di perusahaan didasarkan pada prinsip musyawarah untuk
mufakat secara kekeluargaan antara pekerja dengan atasannya tanpa campur tangan pihak lain.
B. Apabila seorang pekerja mempunyai keluh kesah tentang segala sesuatu mengenai hubungan
kerja, pertamatama pekerja tersebut menyampaikan keluh kesahnya pada atasannya langsung
untuk dimintakan penyelesaian.
C. Apabila atasan langsung yang bersangkutan tidak menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas
penyelesaiannya, pekerja mengajukan masalahnya kepada atasan yang lebih tinggi.
D. Apabila atasan yang lebih tinggi tidak bisa menyelesaikannya atau pekerja tidak puas atas
penyelesainnya maka pekerja dapat minta bantuan pengurus serikat pekerja untuk mewakili atau
mendampingi pekerja untuk penyelesainnya lebih lanjut.
2. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Perselisihan Hubungan Industrial terjadi akibat perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Perselisihan Hubungan Industrial timbul karena :
A. Tidak dilaksanakannya hak pekerja
B. Kesadaran pekerja akan perbaikan kesejahteraan
C. Kurangnya komunikasi antara pekerja dengan pengusaha
Penyelesaian Hubungan Industrial dapat dilakukan sebagai berikut :
A. Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial

Bipartit (wajib Pasal 4 ayat (2) UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI)
Mediasi, Konsiliasi, Arbiter (wajib Pasal 83, UU No.2 Tahun 2004)
B. Pengadilan Hubungan Industrial
- Hukum Acara Perdata Pasal 57, UU No. 2 tahun 2004

F. PERATURAN PERUSAHAAN
Peraturan Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang syaratsyarat kerja serta tata tertib perusahaan.
1. Ketentuan Khusus
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Peraturan Perusahaan
adalah :
1. Wajib dibuat oleh pengusaha yang mempekerjakan 25 orang karyawan atau lebih.
2. Dalam pembuatannya pengusaha mengadakan konsultasi lebih dahulu dengan pekerja/pegawai
Depnaker setempat.
3.
Perusahaan yang telah mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak dapat
menggantikannya dengan Peraturan Perusahaan.
4. Peraturan Perusahaan sebelum diterapkan (berlaku) setelah mendapat pengesahan/kesaksian dari
Departemen Tenaga Kerja cq. Dirjen Binawas untuk Peraturan Perusahaan yang berlaku di
seluruh wilayah RI, dan Kadinas/Kasudinas Tenaga Kerja setempat untuk yang berlaku di
wilayah tersebut. Tujuh hari setelah pengesahan Peraturan Perusahaan harus di sosialisasikan
kepada seluruh karyawan.
5. Peraturan Perusahaan berlaku paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Masing
masing Peratutan Perusahaan secara periodik perlu diadakan perubahan dengan memperhatikan
situasi dan kondisi yang ada. Setiap perubahan ini sebelum dilaksanakan harus mendapat
pengesahan/kesaksian dari Depnaker/Disnaker atau pejabat yang ditunjuk.
2. Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan Peraturan Perusahaan ini adalah :
1. Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115
2. Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang Tatacara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran PKB.
Pada umumnya penyusunan Peraturan Perusahaan sudah merupakan suatu hal yangnstandar,
dimana beberapa ketentuan yang ada dalam perundangundangan ketenagakerjaan dimasukkan
kedalam Peraturan Perusahaan, baru kemudian ditambahkan dengan halhal umum dan spesifik
yang diperlukan perusahaan tersebut.
3. Kerangka Peraturan Perusahaan
Sistimatika atau kerangka yang ideal Peraturan Perusahaan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. Mukadimah
4. Umum
5. Aturan Perusahaan (Bab II)
6. Jam Kerja, Peraturan Kerda dan Disiplin Kerja (Bab III)
7. Pembebasan kewajiban dari bekerja (Bab IV)
8. Penggajian (Bab V)

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
4.

Perjalanan Dinas (Bab VI)


Jaminan Kesehatan 9bab VII)
Pengembangan dan Pelatihan (Bab VIII)
Penghargaan (Bab IX)
Kegiatan/aktivitas (Bab X)
Penyelesaian Keluh Kesah (Bab XI)
Penutup (XII)
Ketentuan Umum
Halhal umum yang perlu diperhatikan :
1. Bila masa berlaku Peraturan Perusahaan belum berakhir kemudian terbentuk Serikat
Pekerja, dan Serikan Pekerja meminta diadakan perundingan untuk pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), maka perusahaan wajib melayani kehendak Serikat Pekerja untuk
merundingkan pembuartan Perjanjian Kerja Bersama.
2. Bilamana Serikat Pekerja 3 bulan sebelum Peraturan Perusahaan berakhir tidak mengajukan
secara tertulis untuk perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, maka perusahaan wajib
mengajukan Peraturan Perusahaan yang lama/yang tidak diperbaharui untuk disyahkan atau
diperpanjang.
3. Ketentuan yang ada dalam Peraturan Perusahaan tetap berlaku sampai dengan ditandatangani
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan atau sampai dengan disyahkan permohonan diperpanjang
Peraturan Perusahaan.
4. Pelanggaranpelanggaran yang dilakukan terhadap Peraturan Perusahaan ini, sanksi yang
diberikan berupa administratif, bukan pidana
G.PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang disusun oleh pengusaha dan
serikat yang telah terdaftar yang dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
1. Dasar Hukum
Dasar Hukum pembuatan PKB ini didasarkan kepada :
1. UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 115 yang mengatur tentang
pembuatan dan pendaftaran Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
2. Kepmenaker No. Kep. 48/Men/IV/2004 tentang tatacara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan (PP) serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersamab(PKB).
2. Ketentuan Khusus
Ketentuan khusus dalam penyusunan PKB beberapa ketentuan harus diperhatikan :
1. Dirundingkan oleh pengusaha dan Serikat Pekerja yang telah terdaftar.
2. Didukung oleh SEBAGIAN BESAR pekerja di perusahaan tersebut.
3. Masa berlaku 2 tahun dan dapat diperpanjang.
4.
Setiap perpanjangan PKB harus disetujuai secara TERTULIS oleh pengusaha dan Serikat
Pekerja serta diajukan 90 hari sebelum masa PKB berakhir.
5. Dibuat dengn Surat Resmi sekurangkurangnya rangkap 3 (satu bundel diserahkan ke Depnaker
untuk didaftarkan).
6.
PKB yang telah disepakati dibubuhi tanggan dan ditandatangani oleh pengurus yang oleh
anggota dasar diperbolehkan, jika diwakilkan harus ada surat kuasa,
7. Ketentuan PKB tidak boleh bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku.
3. Ketentuan Umum
1. PKB sekurangkurangnya memuat :
a. Hak dan kewajiban pengusaha.

b. Hak dan kewajiban Serikat Pekerja


c. Tata tertib perusahaan
d. Jangka waktu berlakunya PKB
e. Tanggal mulai berlakunya PKB.
f. Tanda tangan para pihak yang membuat
2. Dalam hal perubahan PKB perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Keinginan untuk melakukan perubahan tersebut oleh para pihak harus diajukan secara tertulis.
b. Perubahan PKB harus dilakukan berdasarkan Perjanjian Bersama secara tertulis antara
pengusaha dan pekerja.
c. Perubahan PKB yang diperjanjikan kedua belah pihak merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari PKB yang sedang berlaku.
3. Para Pihak yang terikat dengan PKB
Para pihak yang terikat dengan PKB adalah pihakpihak yang membuatnya yaitu Serikat
Pekerja/pekerja dan Pengusaha.
4. Tahap Pembuatan PKB
Dalam pembuatan PKB dibagi beberapa tahap yaitu :
1. Serikat Pekerja/Buruh dan Pengusaha menunjuk team perunding pembuat PKB secara resmi
dengan surat kuasa yang ditandatangani pimpinan masingmasing.
2. Permusyawaratan PKB dalam perundingan Bipartit harus selesai dalam waktu 30 hari.
3. Apabila dalam waktu 30 hari perundingan Bipartit belum selesai, maka salah satu atau kedua
belah pihak wajib melaporkan secara tertulis ke Departemen Tenaga Kerja setempat untuk
diperantarai.
4. Apabila dalam waktu 30 hari pegawai perantara tidak dapat menyelesaikan pembuatan PKB,
maka pegawai perantara melaporkan secara tertulis ke Menteri Tenaga Kerja.
5. Menteri Tenaga Kerja menetapkan langkahlangkah penyelesaian pembuatan PKB, dengan
memperhatikan hasil musyawarah tingkat Bipartit dan perantara paling lama 30 hari.
6. Tempat perundingan pembuatan PKB dilaksanakan di kantor pengusaha/Serikat Pekerja atau
ditempat lain yang telah disepakati tingkat Bipartit.
7. Biaya permusyawaratan PKB ditanggung pengusaha kecuali jika Serikat Pekerja telah dianggap
mampu maka ditanggung bersama.
H.PERJANJIAN KERJA KHUSUS (PKK)
Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
bekerja pada pihak yang lain atau majikan, selama waktu tertentu sesuai perjanjian.
Dasar Hukumnya adalah :
1. Undangundang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 59 tentang PKWT
2. Kepmenaker No. Kep. 100/Men/VI/2004 tentang ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu.
PKK dirumuskan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Hal tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
PKWT adalah Perjanjian Kerja antara pekerja dengan pengusaha, untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu dan atau pekerjaan tertentu.
Ketentuan Umum PKWT :
1. Dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia

2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.

1.
2.
3.
4.
5.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

1.
2.
3.

Didalamnya tidak boleh mempersyaratkan adanya masa percobaan, bila dicantumkan masa
percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum
Dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat, jenis, atau kegiatannya akan selesai dalam
waktu tertentu..
Nilai isi PKWT tidak boleh lebih rendah dari syaratsyarat kerja yang dimuat dalam Peraturan
Perusahaan yang bersangkutan, jika lebih rendah yang berlaku adalah apa yang termuat dalam
Peraturan Perusahaan.
Dibuat rangkap 3 (pengusaha, pekerja, pemerintah/Depnaker) dan seluruh biaya yang
timbul karena pembuatan ini menjadi tanggung jawab pengusaha.
Ketentuan Khusus PKWT :
Dibuat atas kemauan bebas kedua belah pihak.
Para pihak mampu dan cakap menurut Hukum untuk melakukan perikatan.
Adanya pekerjaan tertentu.
Yang disepakati tidak dilarang oleh undangundang atau tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan.
PKWT yang tidak memenuhi item 1,2, ketentuan khusus diatas dapat dibatalkan, sedangkan
yang bertentangan dengan 3 dan 4 adalah batal demi hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pekerjaan tertentu sebagaimana tersebut diatas adalah :
Yang sekali selesai/sementara sifatnya.
Yang penyelesaian pekerjaannya diperkirakan tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun
Yang bersifat musiman/berulang kembali.
Yang bukan merupakan kegiatan bersifat tetap dan tidak terputusputus.
Yang berhubungan dengan produk baru, atau kegiatan baru, atau tambahan yang masih dalam
percobaan/penjajagan.
Dalam pembuatan PKWT, konsepnya terlebih dahulu harus diajukan ke kantor Depnaker
setempat untuk disetujui. Dalam PKWT tersebut harus memuat :
Nama dan alamat pengusaha/perusahaan.
Nama, alamat, umur dan jenis kelamin pekerja.
Jabatan/jenis macam pekerjaan.
Besarnya upah dan cara pembayarannya.
Syaratsyarat kerja yang memuat hak dan keajiban pengusaha dan pekerja.
Jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
Tempat atau lokasi kerja.
Tempat, tanggal perjanjian kerja dibuat, tanggal mulai berlakunya dan berakhir serta
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Halhal yang dapat mengakhiri PKWT sebelum masa berlakunya habis.
Jangka waktu PKWT dapat diadakan paling lama 2 tahun, dan dapat diperpanjang 1 kali
dengan ketentuan jumlah seluruh tidak boleh lebih dari 3 tahun. Perubahan PKWT hanya
dapat dilakukan 30 hari setelah berakhirnya PKWT yang lama. Sedangkan PKWT yang ingin di
perpanjang tanpa mengalami perubahan dapat dilakukan selambatlambatnya 7 hari
sebelum Perjanjian Kerja berakhir. Perubahan dan perpanjangan ini berlakunya tidak boleh
melebihi masa maksimum berlangsung hubungan kerja PKWT.
PKWT berakhir disebabkan oleh :
Berakhirnya waktu perjanjian kerja.
Berakhir dengan selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
Berakhir karena pekerja meninggal dunia.

PKWT tidak berakhir jika pengusaha meninggal dunia, ahli waris atau pengurus perusahaan
yang lain dapat melanjutkannya, kecuali dalam PKWT diperjanjikan lain. Para pihak yang
mengakhiri perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang dapat dipertanggungkan secara hukum
diwajibkan membayar ganti rugi sebesar sisa upah masa berlakunya PKWT.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Pada prinsipnya secara umum sama dengan PKWT. Dalam PKWTT, Perjanjian Kerja
dapat berlangsung selamanya sampai dengan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak ada
lagi, atau pekerjanya pensiun. Begitu pula dengan ketentuanketentuan lainnya hampir sama.
Para Pihak bebas mengakhiri perjanjian, namum bila yang mengakhiri pengusaha tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka pengusaha wajib membayar pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak jasa dan penggantian hak, sebagaimana diatur
Undangundang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, 1995, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Guntur, Agus.2010.Hubungan Industrial.Jakarta


http:// BAB-X-PERLINDUNGAN-PENGUPAHAN-DAN-KESEJAHTERAAN.htm
http://google.co.id
http://www.Stekpi.ac.id
Susilo Martoyo, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1987, Yogyakarta, BPFE.
Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, 1995, Jakarta, Bina Sumber Daya
Manusia.

Anda mungkin juga menyukai