Anda di halaman 1dari 18

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti

perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru
merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan
arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang
timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik
merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif,
ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh
darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan
anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya
hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan
antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I


(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.

Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala
sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai
pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan;
allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies,
terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan
deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau
dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor.
Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem

gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan
dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET)
akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu

keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik
dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast
dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada
setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi
histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard
akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan

darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik,
dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul,
mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian
jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain
itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus

pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan
100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung
beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau

ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari
sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama

dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume


interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus
tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi,
penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24
jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine),
analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok
dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3
kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu
yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen
spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang
bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi,
pengeluaran histamin dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena
vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas
kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme
yang menurunkan ventilasi. Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama
yang diberikan intravena seperti antibiotik atau media kontras. Sengatan serangga
seperti lebah juga dapat menyebabkan syok pada orang yang rentan.
Penyebab
Syok anafilaksis paling sering disebabkan oleh pemberian obat secara suntikan,
tetapi dapat pula disebabkan oleh obat yang diberikan secara oral atau oleh
makanan. Obat suntik yang paling sering menimbulkan syok anafilaksis antara
lain penisilin, streptomisin, tiamin, ekstrak bali dan kombinasi vitamin neurotropik.
Gambaran Klinis
- Gejala-gejala pertama : Eritema, rasa terbakar pada kulit, rasa
tersengat, takikardi, rasa tebal di faring dan dada, batuk, mungkin mual dan
muntah.
- Gejala-gejala sekunder : Pembengkakan kulit (khususnya palpebra dan
bibir), urtikaria, Edema laring, serak, wheezing, serangan batuk, Nyeri
abdomen, mual, muntah, diare, Hipotensi, berkeringat, pucat.
- Pada kasus-kasus berat, spasme laring, shock, henti nafas dan henti jantung.
Diagnosis
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik.
Penatalaksanaan
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita
berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah
sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta

dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu
yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau
terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Segera berikan adrenalin 0,3 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa
atau 0,01 g/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang
tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2 4 g/menit.
3. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang
diteruskan 0,4 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
4. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5 10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi
efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
5. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A. Airway penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas,
yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan
buka mulut.
B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita
yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita
dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi
jantung paru.
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan
utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan
tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan
jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan
didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan
permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 34 kali dari perkiraan kekurangan volume

plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan


cairan 20 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid,
dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau
dextran juga bisa melepaskan histamin.
7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah
harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam
posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan
penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 3 kali
suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
Pencegahan:
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap
pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:
1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih
tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat
mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti
penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit
negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar 1 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila
tes kulit positif.
4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid
serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut
pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan
panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat
berbahaya.
Pemberian Cairan :
1. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual,
muntah atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
2. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan
yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi
kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau

muntah.
4. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna
untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan
jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama
dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar.
Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan
berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian
volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3 4 kali
volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid
memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah
diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
8. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi
darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
9. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat
pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ
Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP,
Swan Ganz kateter dan pemeriksaan analisa gas darah.
http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/02/syok-anafilaksis/

Gejala klinis
Anafilaksis merupakan reaksi sistemik, gejala yang timbul juga menyeluruh.
Gejala permulaan: Sakit Kepala, Pusing, Gatal dan perasaan panas Sistem Organ
Gejala Kulit Eritema, urticaria, angoedema, conjunctivitis, pallor dan kadang
cyanosis Respirasi Bronkospasme, rhinitis, edema paru dan batuk, nafas
cepatdan pendek, terasa tercekik karena edema epiglotis, stridor, serak, suara
hilang, wheezing, dan obstruksi komplit. Cardiovaskular Hipotensi, diaphoresis,
kabur pandangan, sincope, aritmia dan hipoksia Gastrintestinal Mual, muntah,
cramp perut, diare, disfagia, inkontinensia urin SSP, Parestesia, konvulsi dan kom
Sendi Arthralgia Haematologi darah, trombositopenia, DIC
Diagnosis
Anamnesis Mendapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat
hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ) Timbul biduran mendadak, gatal
dikulit, suara parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah sakit perut
setelah terpapar sesuatu.

Fisik diagnostik Keadaan umum : baik sampai buruk Kesadaran Composmentis


sampai Koma Tensi : Hipotensi, Nadi:Tachycardi, Nafas : Kepala dan leher :
cyanosis, dispneu, conjunctivitis, lacrimasi, edema periorbita, perioral, rhinitis
Thorax aritmia sampai arrest Pulmo Bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing,
Abdomen : Nyeri tekan, BU meningkat Ekstremitas : Urticaria, Edema
ekstremitas Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Hitung sel meningkat
Hemokonsentrasi, trombositopenia eosinophilia naik/ normal / turun. X foto :
Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus plug, EKG : Gangguan
konduksi, atrial dan ventrikular disritmia, Kimia meningkat, sereum triptaase
meningkat
Diagnosis banding:
- Syok bentuk lain
- Asma akut
- Edema paru dan emboli paru
- Aritmia jantung
- Kejang
- Keracunan obat akut
- Urticaria
- Reaksi vaso-vagal
Penatalaksanaan dan Management syok anafilaktik
- Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis
- Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau
sengatan hewan
longgarkan 1-2 menitn tiap 10 menit.
- Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi
shock)
dengan alas keras.
- Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi
- Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia
persiapkandari
mulut kemulut
- Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl
fisiologis,
0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan produksi
urine
- Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /
24 jam
Bila<> 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam
- Bila perlu pasang CVP
Medikamentosa I.
Adrenalin 1:1000, 0,3 0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom,
Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada
stadium terminal /pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam
9 ml garam faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB)

Medikamentosa II.
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg
dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam, bila tetap sesak +
hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV
Medikamentosa III.
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10
ml garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 1,2 mg/kg/jam IV.
Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian
selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit
Monitoring
Observasi ketat selama 24 jam, 6jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan
fungsi membaik
- Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
- Darah : Gas darah
- EKG Komplikasi (Penyulit) Kematian karena edema laring , gagal nafas, syok
dan cardiac
arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan
angoioedema menetap sampai beberapa bulan, Myocard infark, aborsi dan gagal
ginjal juga
pernah dilaporkan.
Prevensi (Pencegahan)
- Mencegah reaksi ulang
- Anamnesa penyakit alergi px sebelum terapi diberikan (obat,makanan,atopik)
- Lakukan skin test bila perlu
- Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama
pemberian
- Catat obat px pada status yang menyebabkan alergi
- Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
- Desensitisasi alergen spesifik
- Edukasi px supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi
- Bersiaga selalu bila melakukan injeksi dengan emergency kit Prognosis Bila
penanganan cepat,
klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong
Algoritme Management Penderita Syok Anafilaktik Ringan:
- Baringkan dalam posisi syok, Alas keras
- Bebaskan jalan nafas
- Tentukan penyebab dan lokasi masuknya
- Jika masuk lewat ekstremitas, pasang torniquet
- Injeksi Adrenalin 1:1000 0,25 cc (0,25mg) SC Sedang
- Monitor pernafasan dan hemodinamik
- Suplemen Oksigen

- Injeksi Adrenalin 1:1000- 0,25cc(0,25mg) IM(Sedang) atau 1:10.000


2,5-5cc (0,25-0,5mg) IV(Berat), Berikan sublingual atau trans trakheal bila vena
kolaps
- Aminofilin 5-6mg/kgBB IV(bolus), diikuti 0,4-0,9mg/kgBB/menit perdrip (untuk
bronkospasme persistent)
- Infus cairan (pedoman hematokrit dan produksi urine) Berat
- Monitor pernafasan dan hemodinamika
- Cairan, Obat Inotropik positif, Obat vasoaktif tergantung hemodinamik
- Bila perlu dan memungkin- rujuk untuk mendapat perawatan intensif RJPO
Basic dan
Advanced Life Support (RJPO) -----------Arrest Nafas dan Jantung.
DaftarPustaka
- Rab, Prof.Dr. H tabrani. Pengatasan shock, EGC Jakarta 2000, 153-161
- Panduan Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI Jakarta 2000, 17-18
- Ho, Mt, Luce JM, Trunkey, DD, Salber PR, Mills J, Resusitasi KardioPulmoner dan Syok,
EGC Jakarta 1990 : 76-78
- Purwadianto, A, Sampurna, B, Kedaruratan Medik, Bina Rupa Aksara, Jakarta 2000, 5657
- Effendi, C, Anaphylaxis dalam PKB XV , Lab. Ilmu Penyakit Dalam FKUA/ RSUD Dr.
Soetomo, 2000 : 91-99
- Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on shock,
pertemuan Ilmiah
terpadu I FKUA Surabaya, 2000 : 69-75
- Barata Widjaya, KG, Imunologi Dasar ed. 3 , Penerbit FKUI, 1996: 76-80
- Sunatrio, S, Penanggulangan Reaksi Syok Anafilaksis dalam Anestesiologi, Bag.
Anestesiologi dan terapi
intensif FKUI Jakarta 1990, 77-85
- Kondos, GT, Brundage, BH, Anaphylaxis dalam Don H, Decission Making in critical care,
Baltimore, 1985, 46-47
- 10.Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper, Harrisons,
Principles Internal Medicine 17th Companion Handboo

Anda mungkin juga menyukai