PENDAHULUAN
I.1
LATAR BELAKANG
Pneumonia adalah infeksi saluran akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru.
Berdasarkan struktur anatomis, pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris,
pneumonia interstisialis, dan bronkopneumonia.1
Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem
pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.2
Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan
respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam
bidang antibiotik. Hal di tersebut disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial
(didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Bakteri penyebab tersering
bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae.3
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih
kurang dua juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi
di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) tahun 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
sistem respiratori, terutama pneumonia. 2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Masuk RS
Tgl. Diperiksa
: Rafa
: 3,5 bulan
: Laki-laki
:
Nama Ayah
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
: Warta
: 42 tahun
: SD
: Pedagang Ronsokan
: 03 Juni 2015
: 03 Juni 2015
Nama Ibu
Umur
Pekerjaan
: Sumera
: 41 Tahun
: Ibu Rumah Tangga
ANAMNESIS
(anamnesis/alloanamnesis terhadap : Ibu pasien)
1.
2.
Juni 2015 dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien datang
disertai sesak nafas, batuk, pilek dan demam yang naik turun.
Ibu pasien mengatakan belum memeriksakan ke dokter dan memberikan obat apapun
untuk menurunkan demam anaknya. Saat lahir berat badan anaknya adalah 2500 pada saat
ditimbang di IGD saat ini berat badan anaknya 6000 gram.
Setelah dirawat selama 21 hari di Ruang Anak RSUD Arjawinangun, berat badan
pasien menurun menjadi 5500 gram, karena pasien disarankan berpuasa untuk mencegah
aspirasi pada saluran pernafasan, tetapi keluhan sesak nafas masih terlihat.
Tidak ada riwayat alergi di keluarga pasien. Pasien mengalami batuk terus menerus
semejak sesak, ada kontak dengan penderita penyakit tuberkulosis dan pasien sering terpapar
dengan debu karena tetanggaya bekerja sebagai pengelas pintu. Selama hamil, ibu dan ayah
pasien sehat dan tidak mengalami sakit serius. Riwayat minum obat-obatan, alkohol, dan
merokok disangkal oleh kedua orang tua pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Sesak sejak 1 bulan.
4.
5.
Silsilah/Ikhtisar keturunan:
Keterangan:
: ayah pasien
: ibu pasien
: pasien
: TBC
6.
Riwayat Pribadi:
a. Riwayat kehamilan:
Kurang lebih 37 minggu
b. Riwayat persalinan:
Pasien lahir dengan persalinan secsio caesaria dengan indikasi pendarahan
antepartum dibantu oleh bidan. Pasien lahir cukup bulan di Rumah Sakit, langsung
menangis, berat lahir 2500 gram, panjang lahir 47 cm.
c. Riwayat pasca lahir:
Tidak ada keluhan (-)
7.
Riwayat Makanan:
Tidak pernah diberikan ASI sejak lahir
PASI : Susu bendera
Sekarang : Susu SGM
8.
Perkembangan:
Usia
2 bulan
Motorik kasar
Motorik halus
-Dapat
Bicara
-dapat
memegang
tertawa
Sosial
benda
-Gerak mata
dapat mengikuti
benda
9.
Imunisasi:
(Ibu pasien tidak tahu mengenai jenis imunisasi yang telah diterima oleh pasien)
a.
10.
BCG
b. DPT
:-
c. Polio
d. Campak
:-
e. Hepatitis B
:-
f. Ulangan / booster
:-
g. Imunisasi lain
:-
a. Sosial Ekonomi:
Ayah pasien bekerja sebagai pedagang rongsokan
b. Lingkungan:
Pasien tinggal di Kedongdong, lingkungan padat penduduk. Tinggal bersama ayah
dan ibunya. Rumah sederhana, sirkulasi udara dan pencahayaan kurang baik. Di
kamar terdapat ventilasi udara. Rumah terdiri dari 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan
dapur. Rumah berada di sebelah rumah pengrajin las pintu. Fasilitas kesehatan terdekat
adalah bidan dan praktek dokter umum.
A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum
2. Kesadaran
: Somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80 x/menit.
Frekuensi napas
: 65x/menit
Suhu
: 38,0 Celsius
Tekanan darah
: 90/50 mmHg
4. Status Gizi:
Klinis: tampak kurus, tidak edema
Antropometris:
Berat Badan (BB)
5500 gram
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) :
57 cm
Lingkar kepala
36 cm
8 cm (LiLA/U = < -3 SD )
BB/U
80.9%
TB/U
91%
BB/TB
80%
BMI
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, reflek
a. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: (Tidak dilakukan)
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdengar murmur dan gallop.
b. Paru
Kanan
Kiri
Depan:
Inspeksi
Gerakan simetris
Gerakan simetris
Palpasi
fremitus normal
fremitus normal
Perkusi
Redup
Redup
Auskultasi
Ronkhi (+)
Ronkhi (+)
Wheezing (-)
Wheezing (-)
Kanan
Kiri
Belakang:
Inspeksi
Pergerakan simetris
Pergerakan simetris
Palpasi
Fremitus normal
Fremitus normal
Perkusi
Redup
Redup
Ronkhi (+)
Ronkhi (+)
Wheezing (-)
Wheezing (-)
Auskultasi
10. Abdomen :
: Tidak teraba
11. Ekstremitas:
Tungkai
Lengan
kanan
kiri
kanan
kiri
Gerakan
Trofi
: normotrofi
normotrofi
normotrofi
normotrofi
Tonus
Baik
Baik
Kekuatan
Klonus
Refleks Fisiologis
: Normal
Refleks Patologis
Sensibilitas
Baik
Baik
Baik
Normal
Normal
Baik
Normal
Baik
Baik
Pemeriksaan Laboratorium
WBC
: 8,7
b.
RBC
: 3,77
c.
HGB
: 10,6
d.
HCT
: 32,7
e.
PLT
: 367
f.
LYM
: 2,5
g.
MON
:0,9
A . ANAMNESIS
Pasien usia 4 bulan ke IGD RSUD Arjawinangun keluhan demam sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan tiba-tiba dan naik turun. Selain
demam, pasien juga mengeluh batuk, pilek, sesak nafas dan nafas berbunyi. Saat ini
berat badan pasien 4 kg. Sejak lahir pasien tidak mendapat ASI, dan hanya diberikan
pendamping ASI saja.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Kulit
2. Kepala
3. Mata
4. Dada
5. Paru.
6. Perut
c) Kebutuhan kalori dinaikkan secara bertahap. Berat badan saat ini 11 kg maka
kebutuhan kalori dinaikkan untuk mencapai berat badan 12 kg dahulu.
i.
ii.
i. - Energi
ii. - Protein
: 3 - 4 gr/kg BB/hari
3. Non-medikamentosa
D.
Rencana Pemantauan
Edukasi terhadap keluarga pasien tentang penyakit pasien. Selain itu edukasikan tentang
pentingnya pola hidup dan lingkungan sehat kepada keluarga. Perhatikan mengenai
asupan makanan untuk pasien yaitu makanan dengan pola empat sehat lima sempurna.
Sarankan untuk membawa kembali untuk kontrol secara teratur.
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum
2. Kesadaran
: somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80 x/menit.
: 38,0o Celsius
Tekanan darah
: 90/50 mmHg
Pulmo
Diagnosis: Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80x/menit.
Frekuensi napas
: 70 x/menit
Suhu
: 37,9 Celsius
Tekanan darah
: 80/45 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum
2. Kesadaran
: Somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 110 x/menit
Frekuensi napas
: 60 x/menit
Suhu
: 37,8O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 136 x/menit
Frekuensi napas
: 64 x/menit
Suhu
: 38,2O Celsius
Tekanan darah
: 90/50 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Somnolen
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 110 x/menit
Frekuensi napas
: 60 x/menit
Suhu
: 37,8O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80 x/menit, .
Frekuensi napas
: 48 x/menit
Suhu
: 37,9O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 72 x/menit
Frekuensi napas
: 48 x/menit
Suhu
: 37,6O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 72 x/menit.
Frekuensi napas
: 40 x/menit
Suhu
: 37,7O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80 x/menit.
Frekuensi napas
: 48 x/menit
Suhu
: 37,8O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
: 80 x/menit.
Frekuensi napas
: 40x/menit
Suhu
: 37,5O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Tanda Utama
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
: 40x/menit
Suhu
: 37,3O Celsius
Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Pulmo
Diagnosis : Bronkopneumonia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III. 1. DEFINISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal.2 Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru
yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
(patchy distribution).4 Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat. 5
Gambar 1. Bronkopneumonia
III. 2. EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komuniti / PK) atau di dalam
rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial / PN). 3
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian
akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
dapat diberikan antibiotika secara empiris.6
III. 3. ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan
yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Faktor penyebab pneumonia pada anak
bervariasi tergantung :
a.
Usia
b.
Status imunologis
c.
Status lingkungan
d.
e.
Status imunisasi
f.
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia
anak, terutama dalam etiologi, gambaran klinis dan rencana pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel 1.7
Tabel 1. Etiologi Pneumonia
Usia
Etiologi yang
sering
Etiologi yang
jarang
Lahir - 20 hari
Bakteri
E.colli
Streptococcus grup
B
D
Listeria
monocytogenes
miggu
Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup
Bakteri
Clamydia
Haemophillus
influenza
Streptococcus
pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis
bulan
trachomatis
Streptococcus
pneumonia
Virus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza 1,2,3
4 bulan 5 tahun
Bakteri
Clamydia
influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus
aureus
Virus
CMV
Bakteri
Haemophillus
pneumonia
Mycoplasma
influenza tipe B
Moraxella catharalis
pneumonia
Streptococcus
Staphylococcus
pneumonia
Virus
5 tahun remaja
Haemophillus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri
aureus
Neisseria
meningitides
Virus
Varisela Zoster
Bakteri
Clamydia
pneumonia
Mycoplasma
pneumonia
Streptococcus
pneumonia
Haemophillus
influenza
Legionella sp
Staphylococcus
aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling
merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.5
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.5
III. 4. KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya berdasarkan anatomi dan etiologi.
Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 7
A. Berdasarkan lokasi lesi di paru
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
3. Pneumonia interstitialis
B. Berdasarkan asal infeksi
1. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =
CAP)
2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
C. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
1. Pneumonia bakteri
2. Pneumonia virus
3. Pneumonia mikoplasma
4. Pneumonia jamur
D. Berdasarkan karakteristik penyakit
1. Pneumonia tipikal
2. Pneumonia atipikal
E. Berdasarkan lama penyakit
1. Pneumonia akut
2. Pneumonia persisten
F. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu
Tipe Klinis
Pneumonia Komunitas
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Rekurens
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun
Epidemiologi
Sporadis atau endemic; muda atau orang tua
Didahului perawatan di RS
Terdapat dasar penyakt paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS
Pneumonia berat
Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit
Adanya retraksi
Sianosis
Pneumonia
Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit
Adanya retraksi
Pneumonia
Bukan pneumonia
III. 5 PATOGENESIS
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini
dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubanglubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan
demikian, alveoli yang terinfeksi
secara
progresif
menjadi
terisi
Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai parenkim
paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan
bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. 7
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya,
jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang.
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel pada epitel respiratorius,
menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi
di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan
mukus menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang
cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema
lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain,
biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru.6,9
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang
lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas
nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan
sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke
sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus
adalah berat dan infeksi dengan cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama
dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan
penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi
ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.10
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.5
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.5
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.5
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.5
III. 6. GEJALA KLINIS
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran
nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar
hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat
batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi
produktif.4
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1.
Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan
jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.4
2.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.4
3.
4.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus
atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).4
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.4
III. 7 DIAGNOSIS
A.PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
60 x/menit
50 x/menit
40 x/menit
28 x/menit
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
B.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal. Pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 40.000/mm 3
dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
(LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED
tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.7,10 Pada hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan.4
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.7,10
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan radiologi
untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP 120
mg/l dan prokalsitonin 5 ng/ml. 6
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak
memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru.7
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut
dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan
Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada
keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat6,7.
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan
pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki,
dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan
bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakkan diagnosis2,6. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral
dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di
pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah 4.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi
gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni
dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri 7.
Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
Panas badan
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
III. 8 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
Pneumonia berat
Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali
ampicillin + aminoglikosid
amoksisillin-asam klavulanat
amoksisillin + aminoglikosid
amoksisillin-amoksisillin klavulanat
golongan sefalosporin
kotrimoksazol
makrolid (eritromisin)
2. Penatalaksaan suportif
-
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam
24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab
yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,
abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).9
3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.2
III. 9 PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.10
BAB IV
PEMBAHASAN
yaitu: O2 nasal kanul 2L/menit, Koreksi cairan Intravena fluid KA-EN 1B 16 tetes mikro drip
per menit, Injeksi Antrain 4x45 mg intravena jika demam, Injeksi Kalmetasone 3x0,5 mg,
Injeksi Cefotaksim 2x200mg, Nebulizer combivent/8 jam. Pasien dengan bronkopneumoni
kami anjurkan untuk observasi ketat tanda-tanda vital pada saat sesak nafas berat dan
memperhatikan tanda-tanda sianosis.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta: 2000. hal 465.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
3. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999.
hal: 695-705.
4. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822overview. (9 Marert 2013)
5. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L.,
Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson
J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children
Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7):
617-630
6. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005.
8. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2. EGC, Jakarta: 2006. hal 554.
9. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Bandung: 2005.
10. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC,
Jakarta: 2000. hal: 883-889.