Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

I.1

LATAR BELAKANG

Pneumonia adalah infeksi saluran akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru.
Berdasarkan struktur anatomis, pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris,
pneumonia interstisialis, dan bronkopneumonia.1
Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem
pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.2
Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan
respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Penyakit ini masih
merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam
bidang antibiotik. Hal di tersebut disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial
(didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Bakteri penyebab tersering
bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae.3
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak
di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak berusia di bawah lima tahun (balita). Seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih
kurang dua juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi
di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) tahun 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
sistem respiratori, terutama pneumonia. 2

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat

Masuk RS
Tgl. Diperiksa

: Rafa
: 3,5 bulan
: Laki-laki
:

Nama Ayah
Umur
Pendidikan
Pekerjaan

: Warta
: 42 tahun
: SD
: Pedagang Ronsokan

: 03 Juni 2015
: 03 Juni 2015

Nama Ibu
Umur
Pekerjaan

: Sumera
: 41 Tahun
: Ibu Rumah Tangga

ANAMNESIS
(anamnesis/alloanamnesis terhadap : Ibu pasien)

1.

Keluhan Utama: Demam dan Sesak

2.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien (usia 3,5 bulan ) di bawa ibunya ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal 03

Juni 2015 dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien datang
disertai sesak nafas, batuk, pilek dan demam yang naik turun.
Ibu pasien mengatakan belum memeriksakan ke dokter dan memberikan obat apapun
untuk menurunkan demam anaknya. Saat lahir berat badan anaknya adalah 2500 pada saat
ditimbang di IGD saat ini berat badan anaknya 6000 gram.
Setelah dirawat selama 21 hari di Ruang Anak RSUD Arjawinangun, berat badan
pasien menurun menjadi 5500 gram, karena pasien disarankan berpuasa untuk mencegah
aspirasi pada saluran pernafasan, tetapi keluhan sesak nafas masih terlihat.

Tidak ada riwayat alergi di keluarga pasien. Pasien mengalami batuk terus menerus
semejak sesak, ada kontak dengan penderita penyakit tuberkulosis dan pasien sering terpapar
dengan debu karena tetanggaya bekerja sebagai pengelas pintu. Selama hamil, ibu dan ayah
pasien sehat dan tidak mengalami sakit serius. Riwayat minum obat-obatan, alkohol, dan
merokok disangkal oleh kedua orang tua pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Sesak sejak 1 bulan.
4.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat Alergi (-)
TBC : Kakak pasien pernah mengidap TBC dan telah melakukan pengobatan lengkap
selama 6 bulan

5.

Silsilah/Ikhtisar keturunan:

Keterangan:
: ayah pasien
: ibu pasien
: pasien
: TBC

6.

Riwayat Pribadi:
a. Riwayat kehamilan:
Kurang lebih 37 minggu

b. Riwayat persalinan:
Pasien lahir dengan persalinan secsio caesaria dengan indikasi pendarahan
antepartum dibantu oleh bidan. Pasien lahir cukup bulan di Rumah Sakit, langsung
menangis, berat lahir 2500 gram, panjang lahir 47 cm.
c. Riwayat pasca lahir:
Tidak ada keluhan (-)
7.

Riwayat Makanan:
Tidak pernah diberikan ASI sejak lahir
PASI : Susu bendera
Sekarang : Susu SGM

8.

Perkembangan:
Usia
2 bulan

Motorik kasar

Motorik halus
-Dapat

Bicara
-dapat

memegang

tertawa

Sosial

benda
-Gerak mata
dapat mengikuti
benda
9.

Imunisasi:
(Ibu pasien tidak tahu mengenai jenis imunisasi yang telah diterima oleh pasien)
a.

10.

BCG

: puskesmas, 1 hari, 1 bulan

b. DPT

:-

c. Polio

: puskesmas, 1 hari, 2 bulan

d. Campak

:-

e. Hepatitis B

:-

f. Ulangan / booster

:-

g. Imunisasi lain

:-

Sosial Ekonomi dan Lingkungan

a. Sosial Ekonomi:
Ayah pasien bekerja sebagai pedagang rongsokan
b. Lingkungan:
Pasien tinggal di Kedongdong, lingkungan padat penduduk. Tinggal bersama ayah
dan ibunya. Rumah sederhana, sirkulasi udara dan pencahayaan kurang baik. Di
kamar terdapat ventilasi udara. Rumah terdiri dari 1 kamar tidur, 1 kamar mandi dan
dapur. Rumah berada di sebelah rumah pengrajin las pintu. Fasilitas kesehatan terdekat
adalah bidan dan praktek dokter umum.

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 29 Oktober 2014)

A. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum

: Tampak sakit berat

2. Kesadaran

: Somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80 x/menit.

Frekuensi napas

: 65x/menit

Suhu

: 38,0 Celsius

Tekanan darah

: 90/50 mmHg

4. Status Gizi:
Klinis: tampak kurus, tidak edema
Antropometris:
Berat Badan (BB)

5500 gram

Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) :

57 cm

Lingkar kepala

36 cm

Lingkar lengan atas

8 cm (LiLA/U = < -3 SD )

BB/U

80.9%

TB/U

91%

BB/TB

80%

BMI

(Gunakan kurva CDC/NCHS dan standard WHO-NCHS)


Simpulan status gizi : gizi baik
B. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit

: tidak ada hematom, tidak terdapat mottling, dan tidak ikterik.

2. Kepala : Tidak ada deformitas, rambut hitam, tidak mudah dicabut.


3. Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, reflek

cahaya langsung dan tidak langsung positif.


4. Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, trakea berada ditengah,
tiroid tidak membesar.
5. Telinga : Normal,sekret (+).
6. Hidung : Simetris,hiperemis, tidak ada sekret, terdapat penapasan cuping hidung.
7. Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil t1- t1, tidak ada perdarahan dan sekret.
8. Mulut : Gusi tidak hipertrofi, tidak ada perdarahan, lidah tidak makroglosia
9. Dada

a. Jantung
Inspeksi

: iktus kordis di sela iga ke 5 medial linea midclavicularis sinistra

Palpasi

: tidak teraba thrill

Perkusi

: (Tidak dilakukan)

Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdengar murmur dan gallop.

b. Paru

Kanan

Kiri

Depan:
Inspeksi

Gerakan simetris

Gerakan simetris

Palpasi

fremitus normal

fremitus normal

Perkusi

Redup

Redup

Auskultasi

Ronkhi (+)

Ronkhi (+)

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Kanan

Kiri

Belakang:
Inspeksi

Pergerakan simetris

Pergerakan simetris

Palpasi

Fremitus normal

Fremitus normal

Perkusi

Redup

Redup

Ronkhi (+)

Ronkhi (+)

Wheezing (-)

Wheezing (-)

Auskultasi

10. Abdomen :

Bising usus (+), turgor kulit normal, Nyeri tekan (-).


Hepar : Tidak teraba
Lien

: Tidak teraba

11. Ekstremitas:
Tungkai

Lengan

kanan

kiri

kanan

kiri

Gerakan

Trofi

: normotrofi

normotrofi

normotrofi

normotrofi

Tonus

Baik

Baik

Kekuatan

Klonus

Refleks Fisiologis

: Normal

Refleks Patologis

Sensibilitas

Baik

Baik

Baik

Normal

Normal

Baik

Normal

Baik

Baik

Tanda Rangsang Meningeal : negatif


Akral teraba hangat, Capilary Refill Time kurang dari 2 detik
Tidak sianosis
12. Anogenital: terdapat anus, tidak ada perianal rash, genitalia laki-laki (normal)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium

Darah Lengkap (02 Juli 2015)


a.

WBC

: 8,7

b.

RBC

: 3,77

c.

HGB

: 10,6

d.

HCT

: 32,7

e.

PLT

: 367

f.

LYM

: 2,5

g.

MON

:0,9

V. RINGKASAN DATA DASAR

A . ANAMNESIS

Pasien usia 4 bulan ke IGD RSUD Arjawinangun keluhan demam sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan tiba-tiba dan naik turun. Selain
demam, pasien juga mengeluh batuk, pilek, sesak nafas dan nafas berbunyi. Saat ini
berat badan pasien 4 kg. Sejak lahir pasien tidak mendapat ASI, dan hanya diberikan
pendamping ASI saja.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Kulit

: turgor kulit normal, tidak ada rash

2. Kepala

: rambut hitam, tidak mudah rontok.

3. Mata

: konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik

4. Dada

: jantung dalam batas normal

5. Paru.

: vesikuler seluruh lapang paru, ronkhi (+), Wheezing (-)


Retraksi intercostae (+), retraksi suprasternal (+)

6. Perut

: Bising usus terdengar, nyeri tekan (-), retraksi epigastrium (+)

7. Ekstremitas : Akral hangat.


8. Anogenital : tidak terdapat perianal rash
DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia
DIAGNOSIS BANDING
a. Bronkiolitis
b. Tuberkulosis

VIII. RENCANA PENGELOLAAN

A. Rencana Pemeriksaan Penunjang


- Rontgen Thoraks
- Cek darah lengkap
- Kultur dahak
-

B. Rencana Penatalaksanaan dan Diet


1. Medikamentosa
a. O2 nasal kanul 2L/menit
b. Koreksi cairan Intravena fluid KA-EN 1B 16 tetes mikro drip per menit
c. Injeksi Antrain 4x45 mg intravena jika demam
d. Injeksi Kalmetasone 3x0,5 mg
e. Injeksi Cefotaksim 2x200mg
f. Nebulizer combivent/8 jam
2. Diet
a) Puasa untuk menhindari kemungkinan terjadinya aspirasi
b) Total kebutuhan kalori per hari: kebutuhan kalori harian ditambah kalori untuk catch
up berat badan.
i.

Berat badan ideal pasien dengan panjang badan 96 cm adalah 15 kg.

c) Kebutuhan kalori dinaikkan secara bertahap. Berat badan saat ini 11 kg maka
kebutuhan kalori dinaikkan untuk mencapai berat badan 12 kg dahulu.
i.

65 x 12 kg : 780 kkal (makanan biasa)

d) Berikan setiap hari multivitamin dan asam folat


e) Bila terbukti penyebab gagal tumbuh adalah karena KEP : Berikan makanan untuk
Stabilisasi dan Transisi
i. Stabilisasi :
ii. - F WHO 75 : mencegah hipoglikemi
iii. Transisi :
iv. Bertahap F 75 menjadi F 100
f) Memberikan makanan untuk tumbuh kejar

ii.

i. - Energi

: 100 - 110 Kkal/kg BB/hari

ii. - Protein

: 3 - 4 gr/kg BB/hari

Bentuk makanan : makanan biasa

3. Non-medikamentosa

Edukasi pada pemberian ASI kepala harus lebih tinggi.


Jaga kebersihan pasien dan personal hygine ibu.
Jika batuk, punggung ditepuk-tepuk agar tidak terjadi aspirasi.
C.

D.

Rencana Pemantauan

Pantau tanda vital pasien

Pantau gejala penyakit penyerta

Pantau pemberian antibiotik

Pantau intake makanan dan kalori

Pantau kenaikan berat badan pasien


Rencana Edukasi

Edukasi terhadap keluarga pasien tentang penyakit pasien. Selain itu edukasikan tentang
pentingnya pola hidup dan lingkungan sehat kepada keluarga. Perhatikan mengenai
asupan makanan untuk pasien yaitu makanan dengan pola empat sehat lima sempurna.
Sarankan untuk membawa kembali untuk kontrol secara teratur.

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Follow Up tanggal 03 Juni 2015


S : Pasien sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu, demam (+), batuk (+), pilek (+), sesak nafas
terlihat, nafas cuping hidung (+), retraksi suprasternal (+), retraksi epigastrial (+) dan retraksi
interkostal (+).

O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit berat

2. Kesadaran

: somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80 x/menit.

Frekuensi napas : 65 x/menit


Suhu

: 38,0o Celsius

Tekanan darah

: 90/50 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis: Bronkopneumonia

Follow Up 4 Juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit berat

2. Kesadaran

: Somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80x/menit.

Frekuensi napas

: 70 x/menit

Suhu

: 37,9 Celsius

Tekanan darah

: 80/45 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 5 juni 2015

S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit berat

2. Kesadaran

: Somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 110 x/menit

Frekuensi napas

: 60 x/menit

Suhu

: 37,8O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 6 juni 2015


S Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit berat

2. Kesadaran

: Somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 136 x/menit

Frekuensi napas

: 64 x/menit

Suhu

: 38,2O Celsius

Tekanan darah

: 90/50 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 7 juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit berat

2. Kesadaran

: Somnolen

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 110 x/menit

Frekuensi napas

: 60 x/menit

Suhu

: 37,8O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 8 juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80 x/menit, .

Frekuensi napas

: 48 x/menit

Suhu

: 37,9O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 9 juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 72 x/menit

Frekuensi napas

: 48 x/menit

Suhu

: 37,6O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 10 juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 72 x/menit.

Frekuensi napas

: 40 x/menit

Suhu

: 37,7O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 11 juni 2015


S : Pasien terlihat sesak nafas, retraksi epigastrium (+), retraksi suprasternal (+) dan retraksi
interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (+), batuk (+) dan pilek (+) Demam (+)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80 x/menit.

Frekuensi napas

: 48 x/menit

Suhu

: 37,8O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (+), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 12 juni 2015


S : Pasien terlihat sedikit sesak nafas, retraksi epigastrium (-), retraksi suprasternal (+) dan
retraksi interkostal (+) dan pernafasan cuping hidung (-), batuk (+) dan pilek (-) Demam (-)
O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 80 x/menit.

Frekuensi napas

: 40x/menit

Suhu

: 37,5O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (-), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

Follow Up 13 juni 2015


S : Pasien terlihat sedikit sesak, terlihat retraksi epigastrium (-), retraksi suprasternal (+) dan
retraksi interkostal (-) dan pernafasan cuping hidung tidak terlihat, batuk dan pilek (-)

O : Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum

: tampak sakit sedang

2. Kesadaran

: Composmentis

3. Tanda Utama
Frekuensi nadi

: 72 x/menit, teratur, isi

Frekuensi napas

: 40x/menit

Suhu

: 37,3O Celsius

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Pulmo

: VBS kanan=kiri, Ronkhi (-), Wheezing (-)

Diagnosis : Bronkopneumonia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III. 1. DEFINISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini
menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal.2 Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru
yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
(patchy distribution).4 Pneumonia merupakan penyakit
peradangan akut pada paru yang disebabkan oleh
infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat. 5
Gambar 1. Bronkopneumonia
III. 2. EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (pneumonia komuniti / PK) atau di dalam
rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial / PN). 3
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian
akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan

memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
dapat diberikan antibiotika secara empiris.6

III. 3. ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan tindakan
yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Faktor penyebab pneumonia pada anak
bervariasi tergantung :
a.

Usia

b.

Status imunologis

c.

Status lingkungan

d.

Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

e.

Status imunisasi

f.

Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 7

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia
anak, terutama dalam etiologi, gambaran klinis dan rencana pengobatan. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram
negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan
balita pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain
bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel 1.7
Tabel 1. Etiologi Pneumonia

Usia

Etiologi yang
sering

Etiologi yang
jarang

Lahir - 20 hari

Bakteri
E.colli
Streptococcus grup
B

D
Listeria

monocytogenes

miggu

Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup

Bakteri
Clamydia

Haemophillus
influenza
Streptococcus
pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis

bulan
trachomatis
Streptococcus
pneumonia
Virus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza 1,2,3

4 bulan 5 tahun

Bakteri
Clamydia

influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus
aureus
Virus
CMV

Bakteri
Haemophillus

pneumonia
Mycoplasma

influenza tipe B
Moraxella catharalis

pneumonia
Streptococcus

Staphylococcus

pneumonia
Virus

5 tahun remaja

Haemophillus

Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri

aureus
Neisseria
meningitides
Virus
Varisela Zoster
Bakteri

Clamydia
pneumonia
Mycoplasma
pneumonia
Streptococcus
pneumonia

Haemophillus
influenza
Legionella sp
Staphylococcus
aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza

Faktor penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah:


1.
Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.5
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.5
2.

Faktor non Infeksi


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat)
b.

hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).5


Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau

pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling
merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.5
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.5
III. 4. KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya berdasarkan anatomi dan etiologi.
Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. 7
A. Berdasarkan lokasi lesi di paru
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
3. Pneumonia interstitialis
B. Berdasarkan asal infeksi
1. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =
CAP)
2. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
C. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
1. Pneumonia bakteri
2. Pneumonia virus
3. Pneumonia mikoplasma
4. Pneumonia jamur
D. Berdasarkan karakteristik penyakit

1. Pneumonia tipikal
2. Pneumonia atipikal
E. Berdasarkan lama penyakit
1. Pneumonia akut
2. Pneumonia persisten
F. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu
Tipe Klinis
Pneumonia Komunitas
Pneumonia Nosokomial
Pneumonia Rekurens
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun

Epidemiologi
Sporadis atau endemic; muda atau orang tua
Didahului perawatan di RS
Terdapat dasar penyakt paru kronik
Alkoholik, usia tua
Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.


Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun :

Pneumonia berat

Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit

Adanya retraksi

Sianosis

Anak tidak mau minum

Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)

Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik

Pneumonia

Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan 50 x/menit, Usia 1-5 tahun
40 x/menit

Adanya retraksi

Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan


Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih bervariasi. Klasifikasi
pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :

Pneumonia

Bila ada nafas cepat 60 x/menit atau sesak nafas

Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan pneumonia

Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

III. 5 PATOGENESIS
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini
dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubanglubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan
demikian, alveoli yang terinfeksi
secara

progresif

menjadi

terisi

dengan cairan dan sel-sel, dan


infeksi disebarkan oleh perpindahan
bakteri dari alveolus ke alveolus. 8
Gambar 5. Gambaran Alveoli pada Pneumonia

Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai parenkim
paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan
bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. 7
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya,
jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang.

Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem

bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.7


Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas
atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas
akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada
bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema interstisial, dan
ventilation-perfusion mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi
jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap
infeksi bakteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu,
mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.7

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel pada epitel respiratorius,
menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi
di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan
mukus menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang
cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema
lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain,
biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru.6,9
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang
lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas
nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan
sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke
sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus
adalah berat dan infeksi dengan cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama
dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan
penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada satu sisi
ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.10
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan

prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.5
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.5
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.5
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.5
III. 6. GEJALA KLINIS
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran
nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar
hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat
batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi
produktif.4
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1.

Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,

suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.4


Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan
pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian
yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan
fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting
dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah
terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah
dibandingkan anak yang lebih tua.4
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya akan adanya
sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat head bobbing, yang
dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus
dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada head
bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.4
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya pada

kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan
jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.4
2.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.4
3.
4.

Pada perkusi tidak terdapat kelainan


Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah
(tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung
dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus
atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).4
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.4
III. 7 DIAGNOSIS
A.PEMERIKSAAN FISIK
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :

Suhu tubuh 38,5o C

Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan

pernapasan cuping hidung.

Takipneu berdasarkan WHO:


Usia < 2 bulan

60 x/menit

Usia 2-12 bulan

50 x/menit

Usia 1-5 tahun

40 x/menit

Usia 6-12 tahun

28 x/menit

Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.

Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.

Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles


(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi.
Dan kadang terdengar juga suara bronkial.7

B.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal. Pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 40.000/mm 3
dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
(LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED
tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.7,10 Pada hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi
mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan.4
2. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri

superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.7,10
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan radiologi
untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP 120
mg/l dan prokalsitonin 5 ng/ml. 6

3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak
memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru.7

4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi
Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti
antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut
dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan
Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada
keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat6,7.

5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama
pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan

pada pneumonia berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki,
dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan
bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas penegakkan diagnosis2,6. Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral
dengan peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di
pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah 4.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation
karena atelektasis 7.

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.


Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia 7.

Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru


berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial 7.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi
gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada

pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni
dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri 7.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut 5:


1.
2.
3.
4.
5.

Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
Panas badan
Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

III. 8 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

Pneumonia ringan

Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari.


Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-90
mg/kgBB.

Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB sulfametoksazol 20 mg/kgBB)


dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

Pneumonia berat

Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam

Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam

Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB
sehari sekali

Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB


sehari sekali

Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa


komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

ampicillin + aminoglikosid

amoksisillin-asam klavulanat

amoksisillin + aminoglikosid

sefalosporin generasi ke-3

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

beta laktam amoksisillin

amoksisillin-amoksisillin klavulanat

golongan sefalosporin

kotrimoksazol

makrolid (eritromisin)

Anak usia sekolah (> 5 thn)

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

2. Penatalaksaan suportif
-

nafas hilang atau


-

Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak


PaO2 pada analisis gas darah 60 torr
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena

dengan dosis awal 0,5

x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya

periksa ulang analisis gas darah

setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah tidak bisa

dilakukan maka dosis awal

bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg).9

Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak

diberikan pada 72 jam

pertama karena akan mengaburkan interpretasi

reaksi antibiotik awal. Obat

penurun panas diberikan hanya pada penderita

dengan suhu tinggi, takikardi,

atau penderita kelainan jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam
24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab
yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema,
abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).9

3. Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.2

III. 9 PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.10

BAB IV

PEMBAHASAN

Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya


menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal. Pada auskultasi terdengar suara ronkhi pada paru,
bronkopneumonia memiliki gejala seperti takipneu dan dapat terlihat retraksi interkostal,
retraksi epigastrium, retraksi supra sternal dan pernafasan cuping hidung. Ke empat tanda ini
menunjukan adanya bantuan dari otot bantu nafas yang menggambarkan adanya kesulitan
bernafas. Gejala seperti batuk, pilek dan demam juga dapat muncul pada bronkopneumoni.
Pada pasien ini data-data yang mendukung diagnosis bronkopneumonia adalah
ditemukan adanya pilek, batuk, takipneu, retraksi pada otot bantu nafas dan terdengar suara
ronkhi pada seluruh lapang paru dengan auskultasi. Tanda vital didapatkan frekuensi nadi 80x
menit, frekuensi nafas 65x menit, suhu 38,0oC. Pemeriksaan lab darah didapatkan WBC 8,7;
LYM 2,5; MON 0,9. Pada pemeriksaan rontgen thorak ditemukan kesan adanya pneumonia
pada paru kanan.
Pada follow up data pasien yang di terapi dengan pengobatan bronkopneumonia
menunjukan adanya perbaikan pada frekuensi pernafasan dari tanggal 3 juni 2015-13 juni
2015 (65x, 70x, 60x, 64x, 60x, 48x, 48x, 40x, 48x, 40x, 40x), dan terlihat pula pengurangan
pada penggunaan otot bantu nafas yang awalnya terdapat retraksi interkostal, retraksi
suprasternal, retraksi epigastrial dan nafas cuping hidung dan pada tanggal 13 juni 2015
hanya terlihat retraksi interkostal dan rentraksi suprasternal. Sudah tidak ditemukan batuk,
pilek, demam dan suara ronkhi sudah banyak berkurang pada akhir follow up.
Diagnosis banding dari bronkopneumonia yang paling lazim adalah tuberkulosis.
Diagnois banding tuberkulosis dapat disingkirkan dengan menggunakan tes mantoux bila
hasil tes mantoux (-). Pada penatalaksanaan kasus ini diberikan tatalaksana bronkopneumonia

yaitu: O2 nasal kanul 2L/menit, Koreksi cairan Intravena fluid KA-EN 1B 16 tetes mikro drip
per menit, Injeksi Antrain 4x45 mg intravena jika demam, Injeksi Kalmetasone 3x0,5 mg,
Injeksi Cefotaksim 2x200mg, Nebulizer combivent/8 jam. Pasien dengan bronkopneumoni
kami anjurkan untuk observasi ketat tanda-tanda vital pada saat sesak nafas berat dan
memperhatikan tanda-tanda sianosis.

KESIMPULAN

Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses peradangannya


menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula
melibatkan bronkiolus terminal. Dalam menegakkan diagnosis pneumonia pada anak perlu
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung. Dari
anamnesis dapat ditemukan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari
disertai demam tinggi, riwayat batuk kering yang kemudian menjadi produktif serta takipneu.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pada inspeksi
terlihat retraksi otot dinding dada pada epigastrik, interkostal, suprasternal, dan terdapat pernapasan
cuping hidung. Saat dilakukan palpasi dapat ditemukan fremitus vocal dan taktil yang tertinggal pada
paru yang terinfeksi. Saat dilakukan perkusi terdapat suara redup pada paru yang terinfeksi dan pada
auskultasi dapat ditemukan crackles sedang nyaring.

Untuk membantu penegakan diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang


seperti darah perifer lengkap dan LED, serta foto thoraks. Pada pemeriksaan darah perifer
lengkap perlu diperhatikan apakah terdapat leukositosis atau tidak, apabila terdapat
leukositosis kemungkinan etiologinya akibat infeksi. Pada pemeriksaan LED perlu
diperhatikan ada tidaknya peningkatan, apabila terdapat peningkatan LED disertai
leukositosis dapat memperkuat etiologi berupa infeksi. Pada hasil foto thoraks didapatkan
gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Diagnosis yang tepat serta penalaksanaan yang tepat dapat memberikan hasil yang
baik terhadap prognosis pasien. Penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu dengan antibiotik
yang sesuai dengan kasus bronkopneumonia, pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit,
pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit, serta dilakukan observasi ketat
terhadap tanda vital dan perkembangan penyakit pasien

DAFTAR PUSTAKA

1. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI,
Jakarta: 2000. hal 465.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6,
Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.
3. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 1999.
hal: 695-705.
4. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822overview. (9 Marert 2013)
5. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L.,
Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson
J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children
Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious
Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7):
617-630
6. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005.
8. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2. EGC, Jakarta: 2006. hal 554.
9. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Bandung: 2005.
10. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian II. Edisi 15. EGC,
Jakarta: 2000. hal: 883-889.

Anda mungkin juga menyukai