Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara
dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa
nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa
adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang
lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas
bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga
memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan
Zoroastrianisme.
Nabi Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani
Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami
pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyepi di
suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah
kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum.
Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang
menentangnya. Pada periode ini, Muhammad dilindungi oleh pamannya
Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619,
kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh
Muhammad, yaitu Amr bin Hisyam,[2] yang menghilangkan perlindungan
kepada Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap
komunitas Muslim.
Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang
dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslim di Mekkah, Muhammad dan
banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya
kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.
Ghazawt
Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di
Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada
tahun 623 ketika kaum Muslim memulai beberapa serangan (sering
disebut ghazawt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum
Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan
Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy
juga, mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang
Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah harta dan
rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan
telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah
penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi
kehormatan.[3] Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan
lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai
penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan
mereka[4].
Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawt semakin sering
dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Muhammad
memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang
gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu,
kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah,
meskipun tujuan sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum
Muslim.[5] Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang kafilah
dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota
Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar
membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah.[6] Terlebih lagi
dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi pada
bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut
tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata
seharusnya dijalankan.[4] Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya
Pertempuran Badar terjadi.
Pertempuran
berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang
duduk di atas satu unta[8] Namun, banyak sumber-sumber kalangan
Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak
mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius,[9] dan
calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya
sakit.[10]
Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan
mulai mendengar mengenai rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia
mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk
memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja
kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang
untuk melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum
Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk di antaranya Amr bin
Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah bin Khalaf.
Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut
karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah
dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu alHadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena
berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum
Muslim.[11] Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya
seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam
penyerangan ini. [12]
Di saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan
yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang
biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang
dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas
pengintai kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para
pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut[13] dan Abu Sufyan kemudian
langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.[14]
Hari pertempuran
Setelah pertempuran
Korban dan tawanan
pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim
umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar
4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan.[29] Sumber-sumber tidak
menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak,
dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak
menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat
singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang
bergerak mundur.
Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan
beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di
antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut.[34][35]
Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan
kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan.
Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu
Bakar mengusulkan pengampunan. Muhammad akhirnya menyetujui
usulan Abu Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian
karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu
Muhammad), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan
bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian
sebagian melakukannya).[36] Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah,
Amr bin Hisyam dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran
Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah
menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada Muhammad saat ia
masih berdakwah di Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke
Madinah.[37] Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan
membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya
bahkan sampai melukai seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal
Umayyah.[38]
Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan
perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke
dalam sumur Badar.[39] Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang
tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan besar pada kaum Quraisy
Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja
ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai
pembalasan atas kekalahan yang terjadi.[40]
Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang
memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah
merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang
dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak
Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan
pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh
kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain
pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih
hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslim di Madinah
dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu sebagai kerabat atau sebagai
sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.
Dampak selanjutnya
Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an