Anda di halaman 1dari 11

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara
dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa
nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa
adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang
lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas
bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga
memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan
Zoroastrianisme.
Nabi Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani
Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami
pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyepi di
suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah
kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum.
Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang
menentangnya. Pada periode ini, Muhammad dilindungi oleh pamannya
Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619,
kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh
Muhammad, yaitu Amr bin Hisyam,[2] yang menghilangkan perlindungan
kepada Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap
komunitas Muslim.
Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang
dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslim di Mekkah, Muhammad dan
banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya
kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.

Ghazawt
Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di
Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada
tahun 623 ketika kaum Muslim memulai beberapa serangan (sering
disebut ghazawt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum
Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan
Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy
juga, mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang
Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah harta dan
rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan
telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah
penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi
kehormatan.[3] Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan
lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai
penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan
mereka[4].
Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawt semakin sering
dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Muhammad
memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu,
kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah,
meskipun tujuan sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum
Muslim.[5] Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang kafilah
dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota
Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar
membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah.[6] Terlebih lagi
dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi pada
bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut
tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata
seharusnya dijalankan.[4] Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya
Pertempuran Badar terjadi.

Pertempuran

Pergerakan pasukan menuju Badar.


Di musim semi tahun 624, Muhammad mendapatkan informasi dari matamatanya bahwa salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa
harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh
sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan dari Suriah
menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena
beberapa kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya,
Muhammad mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang
sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah
diterjunkan ke medan perang.[7]

Pergerakan menuju Badar


Muhammad memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak
panglima utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para calon Kalifah
pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali
bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang
duduk di atas satu unta[8] Namun, banyak sumber-sumber kalangan
Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak
mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius,[9] dan
calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya
sakit.[10]
Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan
mulai mendengar mengenai rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia
mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk
memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja
kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang
untuk melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum
Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk di antaranya Amr bin
Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah bin Khalaf.
Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut
karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah
dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu alHadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena
berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum
Muslim.[11] Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya
seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam
penyerangan ini. [12]
Di saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan
yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang
biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang
dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas
pengintai kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para
pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut[13] dan Abu Sufyan kemudian
langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.[14]

Rencana pasukan Muslim

Lukisan Iran (1314), menggambarkan pertemuan para pemimpin Muslim


sebelum memulai Pertempuran Badar.
"Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu
dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu
menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

untukmu,[15] dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar


dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir". Al-Anfal: 7
Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai
keberangkatan pasukan dari Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat
dewan peperangan, disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk
mundur dan di antara para pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk
Islam (disebut kaum Anshar atau "Penolong", untuk membedakannya
dengan kaum Muslim Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji untuk
membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam Madinah,
mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan
pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan
bahwa mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubadah, salah
seorang kaum Anshar, bahkan berkata "Seandainya engkau (Muhammad)
membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar
mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu."[16] Akan tetapi,
kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran
terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.
Pada tanggal 15 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari
perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa
sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan
utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari
pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika
mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari
kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena
menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua
tawanan tersebut sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari
kafilah dagang. Akan tetapi berdasarkan catatan tradisi, Muhammad
kemudian menghentikan tindakan tersebut.[16] Beberapa catatan tradisi
juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para bangsawan
Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah Mekkah. Ia
telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya."[17] Hari
berikutnya Muhammad memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan
ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.
Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah
yang bernama "Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit
besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur,
Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada
sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil
diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan
ke arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan
Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar sumur-sumur yang
lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang
melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber
air yang tersisa.

Rencana pasukan Mekkah

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

Tayangan dari film The Message: Pasukan Muslim mendekati pasukan


Quraisy Mekkah di dekat daerah 'Aqanqal.
"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan
dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk
selama-lamanya." - Amr bin Hisyam
Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan
pasukan Quraisy sejak saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan
kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa hal penting dapat dicatat:
adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan anakanak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama
pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini.
Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak
menghubungi suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di
seluruh Hijaz.[18] Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy
kekurangan waktu untuk mempersiapkan penyerangan tersebut, karena
tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang mereka.
Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan Badar,
mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah
aman berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka dapat
kembali ke Mekkah.[19] Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong,
muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin
Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani
Zuhrah dan Bani 'Adi, segera kembali ke Mekkah. Armstrong
memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan
diraih oleh Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok
perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara
sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut.[20] Di luar beberapa
kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan keinginannya untuk
bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita berada
di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari kafilah
dagang turut bergabung dengan pasukan utama.[21]

Hari pertempuran

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

Peta pertempuran. Pasukan Mekkah (Hitam) mendekati dari arah barat,


sedangkan pasukan Muslim (Merah) mengambil posisi-posisi di depan
sumur-sumur Badar.
Di saat fajar tanggal 17 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya
dan bergerak menuju lembah Badar. Telah turun hujan pada hari
sebelumnya, sehingga mereka mereka harus berjuang ketika membawa
kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa
sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil
mencapai puncak bukit).[22] Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan
Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah. Saat beristirahat,
mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab, untuk
mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa
pasukan Muhammad berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung
Muslim lainnya yang akan bergabung dalam peperangan.[23] Akan tetapi ia
juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy bila
terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat
"unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian").[24] Hal
tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya
kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan
korban, dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin
Quraisy. Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin
Hisyam membungkam semua ketidak-puasan dengan membangkitkan
rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan
hutang darah mereka.[25]
Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua
pasukan untuk berperang tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan
Muslim, akan tetapi diteriaki agar mundur oleh pasukan Mekkah, yang
tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa
mereka hanya ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena itu, kaum

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

Muslim kemudian mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits, dan Hamzah.


Para pemimpin Muslim berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah
dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun Ubaidah mendapat luka
parah yang menyebabkan ia wafat.[26]
Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah
lawannya. Dua orang Muslim dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas
jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran berlangsung, Muhammad telah
memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang dengan
senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy
dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat.[27]
Segera setelah itu ia memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil
melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan Mekkah; suatu tindakan
yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab, dan berseru
"Kebingungan melanda mereka!"[28][29] Pasukan Muslim berseru "Ya
manshur, amit!!"[30] dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy.
Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa
ayat-ayat al-Qur'an, yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari
Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy.[29][31]
Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian
ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Muhammad
yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam
pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah
kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja terceraiberai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya
beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.[32]

Setelah pertempuran
Korban dan tawanan

Lukisan Iran (1314), menggambarkan pasukan Muslim sedang melakukan


pengejaran setelah pertempuran
Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh
puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan.[33] Hal ini berarti 15%16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila ternyata jumlah
pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka persentase

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim
umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar
4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan.[29] Sumber-sumber tidak
menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak,
dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak
menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat
singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang
bergerak mundur.
Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan
beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di
antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut.[34][35]
Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan
kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan.
Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu
Bakar mengusulkan pengampunan. Muhammad akhirnya menyetujui
usulan Abu Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian
karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu
Muhammad), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan
bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian
sebagian melakukannya).[36] Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah,
Amr bin Hisyam dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran
Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah
menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada Muhammad saat ia
masih berdakwah di Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke
Madinah.[37] Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan
membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya
bahkan sampai melukai seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal
Umayyah.[38]
Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan
perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke
dalam sumur Badar.[39] Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang
tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan besar pada kaum Quraisy
Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja
ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai
pembalasan atas kekalahan yang terjadi.[40]
Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang
memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah
merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang
dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak
Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan
pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh
kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain
pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih
hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslim di Madinah
dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu sebagai kerabat atau sebagai
sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

Dampak selanjutnya

Keadaan medan pertempuran saat ini. Tembok putih kemungkinan besar


batas makam Muslim yang tewas.
Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang
tokoh yang akan menentukan arah masa depan Jazirah Arabia di abad
selanjutnya. Tokoh pertama adalah Muhammad, yang dalam semalam
statusnya berubah dari seorang buangan dari Mekkah, menjadi salah
seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahuntahun Muhammad telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan;
tetapi setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua orang
di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara serius."[32] Marshall
Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku
Arab lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu
penantang dan pewaris potensial terhadap kewibawaan dan peranan
politik yang dimiliki oleh kaum Quraisy." Kemenangan di Badar juga
membuat Muhammad dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah.
Segera setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu
salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan politiknya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani
Khazraj dan penentang Muhammad, menemukan bahwa posisi politiknya
di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu
memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Muhammad.
[41]

Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya


Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam, serta
banyak bangsawan Quraisy lainnya[42] telah memberikan Abu Sufyan
peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi
kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat pasukan Muhammad bergerak
memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang
membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada
akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam,
dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan mendirikan
Kekhalifahan Umayyah.
Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian
menjadi amat dihargai, sehingga Ibnu Ishaq memasukkan secara lengkap
nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi Muhammad yang

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di Badar


dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk penghormatan, bahkan
kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan pada tahuntahun belakangan.[43] Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang
terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama.[44]
Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling
berkelanjutan kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan,
yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk
mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar.[45] Meskipun demikian
pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi Islam, pasukan
Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka bergerak maju ke medan
pertempuran.

Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an

Keadaan jalan raya menuju Badar saat ini.


Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang
secara eksplisit dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini
bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari
perbandingan terhadap Pertempuran Uhud.[46]
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal
kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu
bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah),
ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup
bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang
diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa
dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya
Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali
'Imran: 123-125
Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di
Badar, barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara
ketat; sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-

Cerita awal terjadinya perang di mekkah

orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat


menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan
bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian
mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama ayat 13.[47]
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakanakan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan
dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
mata hati." Ali 'Imran:13
Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang
membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer.[48] "AlAnfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca
pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi
barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak
menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta
beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau
segera setelah pertempuran tersebut terjadi.[48]

Anda mungkin juga menyukai