Anda di halaman 1dari 14

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Stunting

2.1.1

Definisi
Stunting atau short stature atau perawakan pendek merupakan suatu

terminologi mengenai tinggi badan yang berada di bawah persentil 3 atau -2SD
pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut (Soetjiningsih,
2004). Stunting atau pendek merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier yang
digunakan sebagai indikator secara luas untuk mengukur status gizi individu
maupun kelompok masyarakat (Sudiman, 2008). Stunting merupakan kondisi
kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka
panjang (Kusuma dan Nuryanto, 2013)

2.1.2

Penyebab
Pada dasarnya perawakan pendek atau stunting dibagi menjadi dua yaitu

variasi normal dan keadaan patologis (Batubara, 2010 dalam Mardewi, 2014)
1. Variasi normal
Perawakan pendek atau stunting yang dikategorikan sebagai variasi
normal adalah (Soetjiningsih, 2004) :
A. Normal variant short stature (NVSS)
Pada NVSS terdapat pola pertumbuhan yang menggambarkan potensi
genetik dan tidak berhubungan dengan keadaan gangguan endokrin maupun
sistemik. Normal variant short stature selalu disertai riwayat keluarga perawakan

pendek atau stunting pada salah satu atau kedua orang tuanya. Biasanya
mempunyai berat badan normal dan dalam tahun-tahun pertama kehidupannya
mempunyai pola pertumbuhan selalu dibawah persentil 3 dan selanjutnya tetap
pada persentil ini saat memasuki percepatan pertumbuhan pada masa pubertas
sesuai dengan umur normal. Pada saat dewasa mempunyai ciri khas tinggi
badannya di bawah persentil 3 (Soetjiningsih, 2004)

B. Normal variant constitutional delay (NVCD)


Pada NVCD terdapat perlambatan pertumbuhan linier pada 3 tahun
pertama kehidupan, mempunyai pertumbuhan linier yang normal atau hampir
normal pada saat pre-pubertas dan selalu berada di bawah persentil 3, usia tulang
terlambat, disertai maturasi seksual yang terlambat. Pada saat dewasa mempunyai
tinggi badan yang normal (Soetjiningsih, 2004).

2. Kelainan patologis
Perawakan pendek (stunting) patologis dibedakan menjadi proporsional
dan tidak proposional. Perawakan pendek (stunting) proporsional meliputi
malnutrisi, penyakit infeksi, dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon
pertumbuhan, hipotiroid, resistensi hormone pertumbuhan dan defisiensi IGF-1.
Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti
kondrodistrofi, dysplasia tulang, sindrom turner, sindrom prader willi, sindrom
down, sindrom marfan dan sindrom klinefelter (Cuttler, 1996; Batubara, 2010
dalam Mardewi, 2014).

A. Penyakit endokrin
Hormon pertumbuhan atau growth hormone (GH) adalah suatu polipeptida
yang terdiri dari 191 asam amino, dihasilkan oleh kelenjar hipofisis sebagai
jawaban terhadap sekresi growth hormone-releasing hormone (GH-RH). Hormon
ini disekresi secara pulsatil, terutama pada waktu tidur nyenyak malam hari
(Soetjiningsih, 2004). Efek hormon pertumbuhan yang paling jelas adalah
meningkatkan struktur rangka. Ada dua mekanisme utama pertumbuhan tulang
(Guyton, 2007) :
1. Sebagai respon terhadap rangsangan hormon pertumbuhan, tulang panjang
tumbuh secara memanjang pada kartilago epifisisnya, tempat epifisis
dipisahkan dari batang tulang pada bagian ujung tulang. Pertumbuhan ini
mula-mula menyebabkan penimbunan kartilago yang baru, diikuti pengubahan
kartilago ini menjadi tulang yang baru sehingga membuat batang tulang
semakin panjang dan mendorong epifisis semakin jauh terpisah. Pada waktu
yang sama, kartilago epifisis sendiri secara berangsur-angsur dipergunakan
sehingga pada usia remaja lanjut tidak tersedia lagi tambahan kartilago epifisis
untuk pertumbuhan tulang panjang lebih lanjut. Pada waktu ini, terjadi
penyatuan tulang antara batang tulang dan epifisis pada masing-masing
ujungnya sehingga pemanjangan tulang panjang tidak dapat terjadi lagi.
2. Osteoblas di dalam periosteum tulang dan dalam beberapa kavitas tulang
membentuk tulang baru pada permukaan tulang yang lama. Secara bersamaan,
osteoklas di dalm tulang meresopsi tulang yang lama. Bila kecepatan
pembentukan lebih besar dari resorpsi, ketebalan tulang akan meningkat.
Hormon pertumbuhan dengan kuat merangsang osteoblas. Oleh karena itu,

tulang dapat terus menebal sepanjang hidup di bawah pengaruh hormon


pertumbuhan, hal ini terjadi terutama pada tulang membranosa. Sebagai
contoh, tulang rahang masih dapat dirangsang untuk tumbuh bahkan setelah
usia remaja menyebabkan pipi menonjol ke depan dan merendahkan gigi.
Demikian juga tulang tengkorak dapat bertambah tebal dan membentuk
tonjolan di atas mata.
Defisiensi GH dapat disebabkan oleh defek hipofisis (ketiadaan GH) atau
sekunder karena disfungsi hipotalamus. Hiposekresi GH pada anak adalah salah
satu penyebab dwarfism (cebol), manifestasi klinisnya adalah (Sherwood, 2011) :

Tubuh pendek karena pertumbuhan tulang yang terhambat (merupakan

gambaran utama).
Otot yang kurang berkembang (berkurangnya sintesis protein otot)
Lemak subkutis yang berlebihan (mobilisasi lemak yang kurang).

Terjadinya defisiensi GH pada masa dewasa cenderung mengalami pengurangan


massa dan kekuatan otot (protein otot lebih sedikit) serta penurunan densitas
tulang (aktivitas osteoblas berkurang selama remodeling tulang) (Sherwood,
2011).
Hormon tiroid juga mempengaruhi produksi GH dan IGF-1 (insulin-like
growth faktor 1) dan sebaliknya hormon tiroid tidak bisa bekerja optimal tanpa
GH. Hormon tiroid mempunyai efek langsung terhadap maturasi tulang dan
secara histologis diperlihatkan dengan pelebaran growth plate, diikuti dengan
penyempitan tulang rawan dengan bertambahnya kalsifikasi dan meningkatnya
kapiler di dalam metafisis (Soetjiningsih, 2004). Pada pasien hipotiroidisme
kecepatan pertumbuhan menjadi sangat tertinggal. Pada pasien hipertiroidisme

10

sering kali terjadi pertumbuhan tulang yang sangat berlebihan sehingga anak
menjadi lebih tinggi daripada anak lain. Akan tetapi, tulang juga menjadi matang
lebih cepat dan pada umur yang muda epifisisnya sudah menutup sehingga lama
pertumbuhan lebih singkat dan tinggi badan akhirnya semasa dewasa mungkin
malahan lebih pendek (Guyton, 2007).

B. Malnutrisi atau gizi kurang


Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah
malnutrisi (Mardewi, 2014). Secara nyata malnutrisi di bidang kesehatan
masyarakat merupakan penyakit kontinu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
(Departemen gizi dan kesehatan masyarakat, 2013). Gangguan gizi disebabkan
oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan
seseorang salah dalam kuantitas atau kualitas yang disebabkan oleh kurangnya
penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan,
kebiasaan makanan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua
faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah
makanan dikonsumsi misalnya faktor yang menyebabkan terganggunya
pencernaan (Almatsier, 2003). Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon jaringan
atau terhambatnya pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu (Mardewi, 2014) :

Tipe 1 : defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium, mangan,


tiamin, riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol,

kalsiterol, asam folat, kobalamin dan vitamin K.


Tipe 2 : diakibatkan oleh kekurangan nitrogen,

sulfur,

asam amino

esensial, potasium, sodium, magnesium, seng, phospor, klorin dan air.


10

11

Kebutuhan gizi atau nutrien remaja dapat dikenal dari perubahan


komposisi tubuh remaja. Adapun kandungan nutrien yang diperlukan untuk
pertumbuhan seperti pada tabel dibawah ini (Soetjiningsih, 2004).
Tabel 2.1 Kandungan nutrien tertentu yang diperlukan untuk pertumbuhan.
Nutrien
tertentu

Jenis
kelamin

Kalsium

L
P
L
P
L
P
L
P
L
P

Zat besi
Nitrogen
Seng
Magnesium

Rata-rata untuk
periode 10-20 tahun
(mg)
210
110
0,57
0,23
320
160
0,27
0,18
4,4
2,3

Puncak kejar
tumbuh
400
240
1,1
0,9
610(3,8 g protein)
360(2,2 g protein)
0,50
0,31
8,4
5,0

1. Faktor risiko
Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko
mengalami

stunting

karena

kemampuan

pemenuhan

gizi

yang

rendah

meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi (Kusuma dan Nuryanto, 2013). Faktor


sosial ekonomi keluarga antara lain berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan,
pendapatan keluarga, dan lain-lain (Soetjiningsih, 1995 dalam Yunida, 2005).
Status ekonomi keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pekerjaan
orang tua, tingkat pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga (Fernald dan
Neufeld, 2007 dalam Kusuma dan Nuryanto, 2013).

a. Pendidikan ibu

11

12

Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian


stunting yang dilakukan di Kenya memberikan hasil bahwa anak yang dilahirkan
dari ibu yang berpendidikan berisiko lebih kecil mengalami malnutrisi yang
dimanifestasikan sebagi wasting atau stunting daripada anak yang dilahirkan dari
ibu yang tidak berpendidikan. Hasil yang sama juga diperlihatkan dari hasil
penelitian yang dilakukan di Mesir, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu
risiko anak yang dilahirkan stunting semakin kecil (Wiyogowati, 2012). Salah
satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan
gizi anaknya, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
(Yunida, 2005).Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan tahu bagaimana
mengelola makanan, mengatur menu makanan, serta menjaga mutu dan
kebersihan makanan dengan baik (Anisa, 2012). Grossman dan Kaestner (1997)
dalam Wiyogowati (2012) ibu yang berpendidikan akan lebih mudah menerima
dan memproses informasi kesehatan dibandingkan dengan ibu yang tidak
berpendidikan.

b. Pekerjaan ibu
Penyebab perawakan pendek atau stunting yang paling umum di seluruh
dunia adalah malnutrisi atau gizi kurang (Mardewi, 2014). Salah satu penyebab
tidak langsung dari gizi kurang adalah status ekonomi keluarga yang dipengaruhi

12

13

oleh pekerjaan orang tua, orang tua selalu sibuk bekerja sehingga tidak tertarik
untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya (Repi, 2013).
Faktor ibu yang bekerja nampaknya belum berperan sebagai penyebab
utama masalah gizi pada anak, namun pekerjaan ini lebih disebut sebagai faktor
yang mempengaruhi dalam pemberian makanan, zat gizi, dan pengasuhan/
perawatan anak (Anisa, 2012). Di daerah kota banyak ibu-ibu yang bekerja dari
pagi hingga sore, sehingga waktunya untuk anak-anak dan keluarga tersita di luar
rumah. Keadaan yang demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga
khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak cukup waktu
untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan
kecukupannya serta kurangnya perhatian dan pengasuhan kepada anak (Yunida,
2005).

c. Penghasilan keluarga
Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang
adalah tingkat sosial ekonomi. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga, harga
makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan perkarangan
(Departemen gizi dan kesehtatan masyarakat, 2013). Anak pada keluarga dengan
tingkat ekonomi rendah lebih beresiko mengalami stunting

karena kemapuan

pemenuhan gizi yang rendah, dan meningkatkan risiko terjadinya malnutrisi


(Kusuma dan Nuryanto, 2013). Dikalangan ahli ekonomi ada anggapan bahwa
masalah kemiskinan adalah akar dari masalah kekurangan gizi. Kemiskinan

13

14

menyebabkan akses terhadap pangan di rumah tangga sulit dicapai sehingga orang
akan kekurangan berbagai zat gizi yang dibutuhkan badan (Direktorat Kesehatan
dan gizi Masyarakat BAPPENAS, 2012). Proses anak stunting di suatu wilayah
atau daerah miskin dimulai sekitar 6 bulan dan berlangsung terus sampai usia 18
tahun (Sudiman, 2008). Meningkatnya pendapatan/kapita suatu daerah maka
makanan yang penuh gizi pun akan semakin meningkat yang berarti gizi keluarga
semakin baik (Berg dalam Yunida, 2005)
Menurut Wahyuni, 2011 Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh
penerimaan baik berupa uang maupun barang dari hasil sendiri yang dinilai
dengan uang. Tiap-tiap keluarga dalam memenuhi kebutuhannya memerlukan
pendapatan yang sumbernya berbeda-beda dengan yang lainnya. Kemajuan ilmu
pengetahuan disegala bidang menyebabkan tidak terhitungnya jumlah pekerjaan
yang ada dalam masyarakat. Dimana masing-masing pekerjaan memerlukan
bakat, keahlian atau kemampuan yang berbeda untuk mendudukinya (Wahyuni,
2011).
Menurut Badan Pusat Statistik (2009) dalam Wahyuni (2011) tingkat
pendapatan dapat dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu :

Golongan sangat tinggi : lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan.


Golangan tinggi : Rp 2.5000.000,00 s/d Rp 3.500.000,00 per bulan.
Golongan sedang : Rp.1.500.000,00 s/d Rp 2.5000.000,00 per bulan.
Golongan rendah : kurang dari Rp 1.500.000,00 per bulan.

14

15

Gambar 2.1 Keterkaitan kemiskinan dan status gizi (Sudiman, 2008).

d. Jumlah anggota keluarga


Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama-sama seringkali juga
mempengaruhi tumbuh kembang anak (Artaria, 2009). Anak yang tumbuh dalam
suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi, diantara seluruh anggota
keluarga anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan.
Sebab seandainya anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak
berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat
muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak yang lebih tua.
Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Fitri,
2012).
C. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan
absorpsi

nutrien,

kehilangan mikronutrien

secara langsung,

metabolism
15

16

meningkat, kehilangan nutrient akibat katabolisme yang meningkat, gangguan


transportai nutrien ke jaringan. Penelitian oleh Casapia (2006) menunjukkan
infeksi parasit merupakan faktor risiko sebagai penyebab stunting (Mardewi,
2014).

D. Sindrom atau kelainan kromosom


Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas
diketahui penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek (stunting).
Beberapa gangguan kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu
ditandai dengan perawakan pendek (stunting). Sindrom tersebut diantaranya
sindrom turner, sindrom prader-willi, sindrom down dan dysplasia tulang seperti
osteochondrodystrophies, achondroplasia, hipocondroplasia (Batubara, 2010;
Kappy, 2010 dalam Mardewi, 2014). Penyakit kromosom gangguan yang paling
sering adalah sindrom turner (Soetjiningsih, 2004).

2.1.3

Penilaian status gizi tinggi badan menurut umur


Pada tahun 2005, WHO menciptakan aplikasi WHO anthro yang dapat

digunakan untuk menghitung status gizi dan memantau perkembangan motorik


anak (Murti, 2013). WHO Anthro Plus menerapkan Standar Pertumbuhan Anak
untuk anak usia 0-60 bulan dan WHO Referensi 2007 untuk anak-anak dan
remaja, yaitu pada usia 5-19 tahun (61-228 bulan) yang digunakan untuk
memantau pertumbuhan anak usia sekolah dan remaja (WHO, 2007). Aplikasi
tersebut menggunakan data antropometri seperti umur, berat badan, tinggi badan,

16

17

lingkar lengan, dan lingkar kepala sehingga tidak perlu dilakukan lagi melakukan
perhitungan manual untuk penilaian status gizi (Murti et al, 2013). WHO Anthro
Plus terdiri dari tiga bagian (WHO, 2007):

Kalkulator antropometri (AC)


Penilaian individu (IA)
Survei Gizi (NS)
Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun

klasifikasi indikator TB/U adalah sebagai berikut (Riskesdas, 2013) :


Tabel 2.2 klasifikasi indikator TB/U
Kategori
Sangat pendek
Pendek (stunting)
Normal

2.2

Ambang batas ((Z-score)


< -3
-3,0 s/d < -2,0
-2,0

Kerangka teori

Normal variant constitutional


delay (NVCD)

Normal variant short


stature (NVSS)

Penyakit endokrin

Stunting

Sindrom atau
kelainan kromosom
17

18

Malnutrisi atau gizi


kurang

Pendidikan ibu

Penyakit infeksi

Pekerjaan ibu

Penghasilan
keluarga

Jumlah anggota
keluarga

Gambar 2.2 Kerangka teori

Variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini adalah pendidikan


ibu, pekerjaan ibu dan penghasilan keluarga sedangkan faktor lain yang
berpengaruh dalam stunting yaitu jumlah anggota keluarga tidak diteliti karena
berdasarkan penelitian Astari, Nasoetion dan Dwiriani dalam Fitri (2012) yang
dilakukan di kabupaten bogor, rata-rata besar keluarga atau jumlah anggota
keluarga pada kelompok anak stunting dan normal dapat dikatakan tidak berbeda.
Normal variant constitutional delay (NVCD) tidak diteliti karena pada saat
dewasa mempunyai tinggi badan yan normal (Soetjiningsih, 2004). Penyakit
endokrin tidak diteliti karena banyaknya hormon yang berpengaruh. Sindrom atau
kelainan kromosom tidak diteliti karena sindrom merupakan etiologi yang belum

18

19

dapat dipastikan dan hanya dianggap berkorelasi saja dengan stunting (Mardewi,
2014).

2.3

Kerangka Konsep

Variabel independen

Variabel dependen

Pendidikan ibu
Pekerjaan ibu

Stunting

Penghasilan keluarga

Gambar 2.3 Kerangka konsep

2.4

Hipotesis
Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian stunting.
Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian stunting.
Penghasilan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting.

19

Anda mungkin juga menyukai