Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Ostemomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik pada
tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme pyogenik
(Randall, 2011). Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus,
parasit, jamur, dan bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis tetapi paling sering
disebabkan oleh
osteomielitis

pyogenik

Escherichia coli,
Haemophilus

bakteri piogenik tertentu


adalah

Pseudomonas dan

dan

mikobakteri.

kuman Staphylococcus
Klebsiella.

influenzae dan kelompok

Pada

Penyebab

aureus (89-90%),
periode neonatal,

B streptokokus seringkali

bersifat

patogen. (Robbins 2007).


Infeksi dapat mencapai tulang dengan melakukan perjalanan melalui aliran
darah atau menyebar dari jaringan di dekatnya. Osteomielitis juga dapat terjadi
langsung pada tulang itu sendiri jika terjadi cedera yang mengekspos tulang,
sehingga kuman dapat langsung masuk melalui luka tersebut. (anonym, 2011).
Osteomielitis sering ditemukan pada usia dekade I-II tetapi dapat pula
ditemukan pada bayi dan infant. Anak laki-laki lebih sering dibanding anak
perempuan (4:1). Lokasi yang tersering ialah tulang-tulang panjang seperti femur,
tibia, radius, humerus, ulna, dan fibula.(Yuliani 2010). Prevalensi keseluruhan
adalah 1

kasus per

5.000

anak.

Prevalensi

neonatal adalah

sekitar 1

kasus per1.000. Kejadian tahunan pada pasien dengan anemia sel sabit adalah
sekitar 0,36%. Insiden osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per 100.000
penduduk. Kejadian tertinggi pada Negara berkembang. Tingkat mortalitas
osteomielitis adalah rendah, kecuali jika sudah terdapat sepsis atau kondisi medis
berat yang mendasari. (Randall, 2011)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi
Ostemomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik
pada tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme
pyogenik (Randall, 2011). Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa
osteomielitis adalah radang tulang yang disebabkan oleh organisme
piogenik

walaupun

berbagai

agen

infeksi

lain

juga

dapat

menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui


tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan periosteum
(Dorland, 2002).
II.

Epidemiologi
Prevalensi keseluruhan adalah 1 kasus per 5.000 anak. Prevalensi
neonates adalah sekitar 1 kasus per 1.000 kejadian. Sedangkan kejadian
pada pasien dengan anemia sel sabit adalah sekitar 0,36%. Prevalensi
osteomielitis setelah trauma pada kaki sekitar 16% (30-40% pada pasien
dengan DM). insidensi osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per
100.000 penduduk. (Randall, 2011).

III.

Etiologi
Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit,
jamur, dan bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis tetapi paling sering
disebabkan oleh bakteri piogenik tertentu dan mikobakteri. Penyebab
osteomyelitis pyogenik adalah kuman Staphylococcusaureus (89-90%),
Escherichia coli, Pseudomonas dan Klebsiella. Pada periode neonatal,
Haemophilus influenzae dan kelompok B streptokokus seringkali bersifat
patogen. (Robbins 2007). Bakteri penyebab osteomielitis akut dan
langsung meliputi :

1. Osteomielitis hematogenus akut

Bayi baru lahir (kurang dari 4 bulan): S. Aureus, Enterobacter, dan


kelompok Streptococcus dan .

Anak-anak (usia 4 bulan sampai 4 tahun): Streptococcus dan ,


Haemophilus influenzae, dan Enterobacter.

Remaja (usia 4 tahun sampai dewasa): S. aureus (80%), kelompok


Streptococcus , H influenzae, dan Enterobacter

Dewasa

S.

aureus

dan

kadang-kadang

Enterobacter

dan

Streptococcus.
2. Osteomielitis langsung

umumnya disebabkan oleh S. Aureus, spesies enterobacter, dan spesies


pseudomonas.

Tusukan melalui separtu atletik : s. aureus dan spesies pseudomonas.

Penyakit sel sabit : staphylococcus dan salmonella. (Randall, 2011)

IV.

Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan
ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi
dari timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut
diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut
umumnya berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun,
pada dewasa juga dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya
setelah pemasangan prosthesa dan sebagainya. (David,1987). Durasi dari
osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan. Sedangkan
osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya
nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus
involukrum. (David,1987). Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh
Waldvogel yang mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan

etiologi dan kronisitasnya: hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau


tanpa penyakit vaskular) dan kronik. Penyebaran infeksi hematogen dan
kontinyu dapat bersifat akut meskipun penyebaran kontinyu berhubungan
dengan adanya trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang sudah ada
sebelumnya seperti ulkus diabetikum. (Anonym, 1992). Cierny-Mader
mengembangkan

suatu

sistem staging untuk

osteomielitis

yang

diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan status


fisiologis dari penderitanya. Stadium 1 medular, stadium 2 korteks
superfisial, stadium 3 medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan
stadium 4 medular dan kortikal difus. (Anonim,1992)
A. Osteomielitis akut hematogen
Merupakan infeksi serius yang biasanya terjadi pada tulang yang
sedang tumbuh. Penyakit ini disebut sebagai osteomielitis primer karena
kuman penyebab infeksi masuk ke tubuh secara langsung dari infeksi lokal
di daerah orofaring, telinga, gigi, atau kulit secara hematogen. Berbeda
dengan osteomielitis primer, infeksi osteomielitis sekunder berasal dari
infeksi kronik jaringan yang lebih superfisial seperti ulkus dekubitum,
ulkus morbus hensen ulkus tropikum, akibat fraktur terbuka yang
mengalami infeksi berkepanjangan, atau dari infeksi akibat pemasangan
protesis sendi. (Adam,2004). Pada awalnya terjadi fokus inflamasi kecil di
daerah metafisis tulang panjang. Jaringan tulang tidak dapat meregang,
maka proses inflamasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus
yang menghalangi aliran darah lebih lanjut. Akibatnya jaringan tulang
tersebut mengalami iskemi dan nekrosis. Bila terapi tidak memadai,
osteolisis akan terus berlangsung sehingga kuman dapat menyebar keluar
ke sendi dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan sepsis. Penyebaran ke
arah dalam akan menyebabkan infeksi medula dan dapat terjadi abses yang
akan mencari jalan keluar sehingga membentuk fistel. Bagian tulang yang
mati akan terlepas dari tulang yang hidup dan disebut sebagai sekuester.
Sekuester meninggalkan rongga yang secara perlahan membentuk dinding

tulang baru yang terus menguat untuk mempertahankan biomekanika


tulang. Rongga ditengah tulang ini disebut involukrum. (Hidiyaningsih,
2012). Penderita kebanyakan adalah anak laki-laki. Lokasi infeksi
tersering adalah di daerah metafisis tulang panjang femur, tibia, humerus,
radius, ulna dan fibula. Daerah metafisis menjadi daerah sasaran infeksi
diperkirakan karena : 1) daerah metafisis merupakan daerah pertumbuhan
sehingga sel-sel mudanya rawan terjangkit infeksi; 2) dan metafisis kaya
akan rongga darah sehingga risiko penyebaran infeksi secara hematogen
juga meningkat; 3) pembuluh darah di metafisis memiliki struktur yang
unik dan aliran darah di daerah ini melambat sehingga kuman akan
berhenti di sini dan berproliferasi. (Sjamsuhidajat, 2004). Secara klinis,
penderita memiliki gejala dan tanda dari inflamasi akut. Nyeri biasanya
terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar ke bagian tubuh lain di
dekatnya. Sebagai contoh, apabila penderita mengeluhkan nyeri lutut,
maka sendi panggul juga harus dievaluasi akan adanya arthritis. Penderita
biasanya akan menghindari menggunakan bagian tubuh yang terkena
infeksi. Etiologi tersering adalah kuman gram positif yaitu Staphylococcus
aureus (Sjamsuhidajat, 2004).

Gejala klinis osteomielitis akut sangat cepat, diawali dengan nyeri


lokal hebat yang terasa berdenyut. Pada anamnesis sering dikaitkan
dengan riwayat jatuh sebelumnya disertai gangguan gerak yang disebut
pseudoparalisis. Dalam 24 jam akan muncul gejala sistemik berupa seperti
demam, malaise, cengeng, dan anoreksia. Nyeri terus menghebat dan
disertai pembengkakan. Setelah beberapa hari, infeksi yang keluar dari
tulang dan mencapai subkutan akan menimbulkan selulitis sehingga kulit
akan menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis pada bayi
sebaiknya dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis sampai terbukti
sebaliknya (Hidiyaningsih, 2012).
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan
predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP).
Aspirasi dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk
memperoleh pus dari subkutan, subperiosteum, atau fokus infeksi di
metafisis. Kelainan tulang baru tampak pada foto rongent akan tampak 2-3
minggu. Pada awalnya tampak reaksi periosteum yang diikuti dengan
gambaran radiolusen ini baru akan tampak setelah tulang kehilangan 4050% masa tulang. MRI cukup efektif dalam mendeteksi osteomielitis dini,
sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi tulang tiga fase dengan teknisium
dapat menemukan kelainan tulang pada osteomielitis akut, skintigrafi
tulang khusus juga dapat dibuat dengan menggunakan leukosit yang di
beri label galium dan indium (Sjamsuhidajat, 2004). Osteomielitis akut
harus diterapi secara agresif agar tidak menjadi osteomielitis kronik.
Diberikan antibiotik parenteral berspektrum luas berdosis tinggi selama 46 minggu. Selain obat-obatan simtomatik untuk nyeri, pasien sebaiknya
tirah baring dengan memperhatikan kelurusan tungkai yang sakit dengan
mengenakan bidai atau traksi guna mengurangi nyeri, mencegah
kontraktur, serta penyebaran kuman lebih lanjut. Bila setelah terapi
intensif 24 jam tidak ada perbaikan, dilakukan pengeboran tulang yang
sakit di beberapa tempat untuk mengurangi tekanan intraoseus. Cairan

yang keluar dapat dikultur untuk menentukan antibiotik yang lebih tepat.
(Sjamsuhidajat, 2004). Diagnosis banding pada masa akut yaitu demam
reumatik, dan selulitis biasa. Setelah minggu pertama, terapi antibiotik dan
analgetik sudah diberikan sehingga gejala osteomielitis akut memudar.
Gambaran rongent pada masa ini berupa daerah hipodens di daerah
metafisis dan reaksi pembentukan tulang subperiosteal.

Gambaran

rongent dan klinis yang menyerupai granuloma eosinofilik, tumor Ewing,


dan osteosarkoma. Komplikasi dini osteomielitis akut yaitu berupa abses,
atritis septik, hingga sepsis, sedangkan komplikasi lanjutnya yaitu
osteomielitis kronik, kontraktur sendi, dan gangguan pertumbuhan tulang.
(Sjamsuhidajat, 2004)
B. Osteomielitis Subakut.
Infeksi subakut biasanya berhubungan dengan pasien pediatrik.
Infeksi ini biasanya disebabkan oleh organisme dengan virulensi rendah
dan tidak memiliki gejala. Osteomielitis subakut memiliki gambaran
radiologis yang merupakan kombinasi dari gambaran akut dan kronis.
Seperti osteomielitis akut, maka ditemukan adanya osteolisis dan elevasi
periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya zona
sirkumferensial tulang yang sklerotik. Apabila osteomielitis subakut
mengenai diafisis tulang panjang, maka akan sulit membedakannya
dengan Histiositosis Langerhans atau Ewings Sarcoma. (Hidiyaningsih,
2012).
C. Brodie Abses.
Lesi ini, awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun 1832,
merupakan bentuk lokal osteomielitis subakut, dan sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%) pada dekade kedua.
Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. Onset ini sering
membahayakan, dan untuk manifestasi sistemik pada umumnya ringan
atau tidak ada. Abses, biasanya terlokalisasi di metaphysis dari tibia atau

tulang paha, dan dikelilingi oleh sclerosis reaktif. Sesuai teori tidak
terdapatnya sekuester, namun gambaran radiolusen mungkin akan terlihat
dari lesi ke lempeng epifisis. Abses tulang mungkin menyebrang ke
lempeng epifisis namun jarang terlokalisir.(Adam, 2004).
D. Osteomielitis Kronik.
Osteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan
subakut yang tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen,
iatrogenik, atau akibat dari trauma tembus. Infeksi kronis seringkali
berhubungan dengan implan logam ortopedi yang digunakan untuk
mereposisi tulang. Inokulasi langsung intraoperatif atau perkembangan
hematogenik dari logam atau permukaan tulang mati merupakan tempat
perkembangan bakteri yang baik karena dapat melindunginya dari leukosit
dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan implan dan tulang mati tersebut
harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih jauh lagi. Gejala klinisnya
dapat berupa ulkus yang tidak kunjung sembuh, adanya drainase pus atau
fistel, malaise, dan fatigue. Penderita osteomielitis kronik mengeluhkan
nyeri lokal yang hilang timbul disertai demam dan adanya cairan yang
keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah tulang. Pemeriksaan
rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan penulangan baru
(Hidiyaningsih, 2012).
Penangan osteomielitis kronik yaitu debridemant untuk
mengeluarkan jaringan nekrotik dalam ruang sekuester, dan penyaliran
nanah. Pasien juga diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur.
Involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang telah
hancur menjadi sekuester sehingga ekstrimitas yang sakit harus dilindungi
oleh gips untuk mencegah patah tulang patologik, dan debridement serta
sekuesterektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat (Hidiyaningsih,
2012).

E. Chronic Recuiment Multifocal Osteomielitis.


Pada dasarnya hal ini sudah menjadi pembahasan umum bahwa
orang yang sudah terkena penyakit osteomielitis akan sulit untuk sembuh.
Walaupun sudah diberikan antibiotik yang bagus. Hal ini dikaitkan dari
pathogenesis osteomielitis itu sendiri. Kuman yang masuk ke dalam tubuh
melalui hematogen menyebabkan suatu kondisi untuk mempredisposisikan
bakteri bermigras melalui celah endotel dan melekat pada matriks tulang.
Selain itu rendahnya tekanan oksigen pada daerah ini juga akan
menurunkan aktivitas fagositik dari sel darah putih. Infeksi hematogen ini
akan menyebabkan terjadinya thrombosis pembuluh darah local yang pada
akhirnya menciptakan suatu area nekrosis avaskular yang kemudian akan
menjadi abses. Pada awalnya terjadi inflamasi kecil di daerah metafisi
tulang panjang. Jaringan tulang tidak dapat meregang, maka proses
inflamasi akan menyebabkan peningkatan intraoseus yang menghalangi
aliran darah lebih lanjut. Akibatnya jaringan tulang tersebut mengalami
nekrosis dan iskemi. Sehingga akan terbentuknya sekuster. Sekuester yang
berada di lingkungan yang avaskular dan nekrotik akan menjadi tempat
yang menguntungkan untuk berkembangbiak bakteri. Dimana tempat
avaskular tersebut tidak mampu dijangkau oleh antibiotik dan sel-sel
fagositik. Setelah fase akut terlewati, tidak menutup kemungkinan untuk
muncul sequelae infeksi di tulang dari sequestrumnya yang belum
tuntas.Karena orang yang terkena penyakit osteomielitis biasanya pada
orang-orang yang memiliki immunokompremise. (Song, 2001).
V.

Patogenesis
Patogenesis dari osteomielitis telah dieksplorasi pada berbagai hewan
percobaan; pada studi ini ditemukan bahwa tulang yang normal sangat
tahan terhadap infeksi,yang hanya bisa terjadi sebagian besar diakibatkan
oleh inokulum, trauma atau adanya benda asing. (Daniel, 1997).

10

Kuman bisa masuk tulang dengan berbagai cara, termasuk beberapa cara
dibawah ini :

Melalui aliran darah.

Kuman di bagian lain dari tubuh misalnya dari pneumonia atau infeksi
saluran kemih dapat masuk melalui aliran darah ke tempat yang melemah
di tulang. Pada

anak-anak, osteomielitis paling

umum

terjadi di

daerah yang lebih lembut, yang disebut lempeng pertumbuhan,di kedua


ujung tulang panjang pada lengan dan kaki.

Dari infeksi di dekatnya.

Luka

tusukan

yang parah

dapat membawa

kuman jauh

di

dalam tubuh. Jika luka terinfeksi, kuman dapat menyebar ke tulang di


dekatnya.

11

Kontaminasi langsung

Hal ini dapat terjadi jika terjadi fraktur sehingga terjadi kontak langsung
tulang yang fraktur dengan dunia luar sehingga dapat terjadi
kontaminasi langsung. Selain itu juga dapat terjadi selama operasi untuk
mengganti sendi atau memperbaiki fraktur (anonym, 2011).
Beberapa penyebab utama infeksi, seperti s.aureus, menempel pada
tulang dengan mengekspresikan reseptor (adhesins) untuk komponen
tulang matriks (fibronektin, laminin, kolagen, dan sialoglycoprotein
tulang), Ekspresi kolagen binding adhesion memungkinkan pelekatan
patogen pada tulang rawan. Fibronektinbinding adhesin dari S. Aureus
berperan dalam penempelan bakteri untuk perangkat operasi yang akan
dimasukan dalam tulang, baru-baru ini telah dijelaskan. (Daniel, 1997).
S. Aureus yang telah dimasukan ke dalam kultur osteoblas dapat
bertahan hidup secara intraseluler. Bakteri yang dapat bertahan hidup
secara intraseluler (kadang-kadang merubah diri dalam hal metabolisme,
di mana mereka muncul sebagai apa yang disebut varian koloni
kecil) dapat

menunjukan adanya infeksi tulang persisten. Ketika

mikroorganisme melekat pada tulang pertama kali, mereka

akan

mengekspresikan fenotip yang resiten terhadap pengobatan antimikroba,


dimana hal ini mungkin dapat menjelaskan tingginya angka kegagalan dari
terapi jangka pendek (Daniel, 1997).
Remodeling ulang yang normal membutuhkan interaksi koordinasi
yang baik antara osteoblas dan osteoklas. Sitokin (seperti IL-1, IL-6, IL15, IL 11dan TNF) yang dihasilkan secara lokal oleh sel inflamasi dan sel
tulang merupakan

factor

osteolitik

yang kuat.

Peran

dari

faktor pertumbuhan tulang pada remodeling tulang normal dan fungsinya


sebagai terapi masih belum jelas. Selama terjadi infeksi, fagosit mencoba
menyerang sel yang mengandung mikroorganisme dan, dalam proses
12

pembentukan

radikal oksigen toksik dan

proteolitik yang melisiskan jaringan

sekitarnya.

melepaskan

enzim

Beberapa komponen

bakteri secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai factorfaktor yang memodulasi tulang (bone modulating factors) (Daniel,1997).
Kehadiran metabolit asam arakidonat, seperti prostaglandin E, yang
merupakan agonis osteoklas kuat dihasilkan sebagai respon terhadap patah
tulang, menurunkan jumlah dari inokulasi bakterial yang dibutuhkan untuk
menghasilkan infeksi.(Daniel,1997).
Nanah menyebar ke dalam pembuluh darah, meningkatkan tekanan
intraosseus

dan

mengganggu

aliran

darah. Nekrosis iskemik tulang

pada hasil pemisahan fragmen yang mengalami devaskularisasi, disebut


sequestra.

Mikroorganisme,

infiltrasi neutrofil,

dan

congesti

atau

thrombosis pembuluh darah merupakan temuan histologis utama dalam


osteomielitis

akut. Salah

satu

penampakan yang

membedakan

dari osteomielitis kronis adalah tulang yang mengalami nekrotik, yang


dapat diketahui dengan tidak adanya osteosit yang hidup. (Daniel, 1997).
VI.

Diagnosis
Pemeriksaan penunjang (Randall, 2011):

Pemeriksaan darah lengkap

Jumlah leukosit mungkin tinggi tetapi sering normal. Adanya pergeseran


ke

kiri

biasanya

disertai

polimorfonuklear. Tingkat

dengan
C-reaktif

peningkatan
protein

jumlah

biasanya

leukosit

tinggi

dan

nonspesifik; penelitian ini mungkin lebih berguna daripada laju endapan


darah (LED) karena menunjukan adanya peningkatan LED pada
permulaan. LED biasanya meningkat (90%), namun, temuan ini secara
klinis tidak spesifik. CRP dan LED memiliki peran terbatas dalam
menentukan osteomielitis kronis seringkali didapatkan hasil yang normal.

13

Kultur

Kultur dari luka superficial atau saluran sinus sering tidak berkorelasi
dengan bakteri yang menyebabkan osteomielitis dan memiliki penggunaan
yang terbatas. Darah hasil kultur, positif pada sekitar 50% pasien
dengan osteomielitis hematogen.

Bagaimanapun, kultur

darah positif

mungkin menghalangi kebutuhan untuk prosedur invasif lebih lanjut untuk


mengisolasi organisme. Kultur tulang dari biopsi atau aspirasi memiliki
hasil diagnostik sekitar 77% pada semua studi.

Radiografi

Bukti radiografi dari osteomielitis akut pertama kali diusulkan oleh adanya
edema jaringan lunak pada 3-5 hari setelah terinfeksi. Perubahan tulang
tidak terlihat untuk 14-21 hari dan pada awalnya bermanifestasi sebagai
elevasi periosteal diikuti oleh lucencies kortikal atau meduler. Dengan 28
hari, 90% pasien menunjukkan beberapa kelainan. Sekitar 40-50%
kehilangan fokus tulang yang menyebabkan terdeteksinya lucency pada
film biasa.

(Arah panah Osteomielitis pada tulang metacarpal digiti 2)

MRI

14

MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis.


Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan
radiografi polos, CT, dan scanning radionuklida dan dianggap sebagai
pencitraan pilihan. Sensitivitas berkisar antara 90-100%. Tomografi emisi
positron (PET) scanning memiliki akurasi yang mirip dengan MRI.

Radionuklida scanning tulang

Tiga fase scan tulang, scan gallium dan scan sel darah putih menjadi
pertimbangan pada pasien yang tidak mampu melakukan pencitraan MRI.
Sebuah fase tiga scan tulang memiliki sensitivitas yang tinggi dan
spesifisitas pada orang dewasa dengan temuan normal pada radiograf.
Spesifisitas

secara

dramatis

menurun

dalam

pengaturan

operasi

sebelumnya atau trauma tulang. Dalam keadaan khusus, informasi


tambahan dapat diperoleh dari pemindaian lebih lanjut dengan leukosit
berlabel dengan 67 gallium dan / atau indium 111.

(Gambaran akumulasi radioaktif pada ankle kanan, karakteristik pada


osteomielitis)

CT scan

CT scan dapat menggambarkan kalsifikasi abnormal,pengerasan, dan


kelainan intracortical. Hal ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin untuk mendiagnosis osteomyelitis tetapi sering menjadi pilihan
pencitraan ketika MRI tidak tersedia.

15

(CT-scan osteomielitis kaput femoralis kanan)

Ultrasonografi

Teknik sederhana dan murah telah menjanjikan, terutama pada anak


dengan osteomielitis akut. Ultrasonografi dapat menunjukkan perubahan
sejak 1-2 hari setelah timbulnya gejala. Kelainan termasuk abses jaringan
lunak atau kumpulan cairan dan elevasi periosteal. Ultrasonografi
memungkinkan untuk petunjuk ultrasound aspirasi. Tidak memungkinkan
untuk evaluasi korteks tulang.
VII.

Komplikasi

1. Kematian tulang (osteonekrosis)


Infeksi pada tulang dapat menghambat sirkulasi darah dalam tulang,
menyebabkan kematian tulang. Jika terjadi nekrosis pada area yang luas,
kemungkinan harus diamputasi untuk mencegah terjadinya penyebaran
infeksi.
2. Arthritis septic
Dalam beberapa kasus, infeksi dalam tulang bias menyebar ke dalam sendi
di dekatnya.

16

3. Gangguan pertumbuhan
Pada anak-anak lokasi paling sering terjadi osteomielitis adalah pada
daerah yang lembut, yang disebut lempeng epifisis di kedua ujung tulang
panjang pada lengan dan kaki. Pertumbuhan normal dapat terganggu pada
tulang yang terinfeksi.
4. Kanker kulit
Jika

osteomielitis

menyebabkan

timbulnya

luka

terbuka

yang

menyebabkan keluarnya nanah, maka kulit disekitarnya berisiko tinggi


terkeba karsinoma sel skuamosa.
5. Dalam kepustakaan lain, disebutkan bahwa osteomielitis juga dapat
menimbulkan komplikasi berikut ini (Hidiyaningsih, 2012):

Abses tulang

Bakteremia

Fraktur

Selulitis

VIII. Terapi
Osteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan
pemberian antibiotika intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan.
Karena Staphylococcus merupakan kuman penyebab tersering maka
antibiotika yang dipilih harus memiliki spektrum antistafilokokus. Jika
biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi subperiosteum atau aspirasi
intramedula pada tulang yang terlibat. Pasien diharuskan untuk tirah
baring, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan, diberikan
antipiretik bila demam, dan ekstremitas diimobilisasi dengan gips.
Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24 jam setelah pemberian
antibiotika. Jika tidak ditemukan perbaikan, maka diperlukan intervensi
bedah. (Skinner,2003).

17

Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien


dengan osteomielitis. LED dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial
setiap minggu untuk memantau keberhasilan terapi. Pasien dengan
peningkatan LED dan CRP yang persisten pada masa akhir pemberian
antibiotik yang direncanakan mungkin memiliki infeksi yang tidak dapat
ditatalaksana secara komplit. C-Reactive Protein (CRP) adalah suatu
protein fase akut yang diproduksi oleh hati sebagai respon adanya infeksi,
inflamasi atau kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan proses dimana
tubuh memberikan respon terhadap injury. Jumlah CRP akan meningkat
tajam beberapa saat setelah terjadinya inflamasi dan selama proses
inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan CRP kuantitatif
dapat dijadikan petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut.
Berdasarkan penelitian, pemeriksaan Hs-CRP dapat mendeteksi adanya
inflamasi lebih cepat dibandingkan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED).
Terutama pada pasien anak-anak yang sulit untuk mendapatkan jumlah
sampel darah yang cukup untuk pemeriksaan LED (Hidiyaningsih, 2012).
Sedangkan LED adalah merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk
darah.
Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur
dengan memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus selama satu jam.
Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi LEDnya. Tinggi ringannya nilai pada LED memang sangat dipengaruhi oleh
keadaan tubuh kita, terutama saat terjadi radang. Nilai LED meningkat
pada keadaan seperti kehamilan ( 35 mm/jam ), menstruasi, TBC paruparu ( 65 mm/jam ) dan pada keadaan infeksi terutama yang disertai
dengan kerusakan jaringan. Jadi pemeriksaan LED masih termasuk
pemeriksaan penunjang yang tidak spesifik untuk satu penyakit. Bila
dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai
perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan
nefritis. LED yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan

18

LED dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas,


sedangkan LED yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan
suatu perbaikan. (Hidiyaningsih, 2012). Perbedaan pemeriksaan CRP dan
LED:

Hasil pemeriksaan Hs-CRP jauh lebih akurat dan cepat.

Dengan range pengukuran yang luas, pemeriksaan Hs-CRP sangat baik


dan penting untuk: Mendeteksi Inflamasi/infeksi akut secara cepat (6-7
jam setelah inflamasi).

Hs-CRP meningkat tajam saat terjadi inflamasi dan menurun jika terjadi
perbaikan sedang LED naik kadarnya setelah 14 hari dan menurun
secara lambat sesuai dengan waktu paruhnya.

Pemeriksaan Hs-CRP dapat memonitor kondisi infeksi pasien dan


menilai efikasi terapi antibiotika.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika,

tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan


nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan
salin fisiologis steril. Tetapi antibiotik dianjurkan. Pada osteomielitis
kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah.
Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya
ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan
pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi
cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang
terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan
yang permanen. Pada beberapa kasus, infeksi sudah terlalu berat dan luas
sehingga satu-satunya tindakan terbaik adalah amputasi dan pemasangan
prothesa. Bila proses akut telah dikendalikan, maka terapi fisik harian
dalam rentang gerakan diberikan. Kapan aktivitas penuh dapat dimulai
tergantung pada jumlah tulang yang terlibat. Pada infeksi luas, kelemahan
akibat hilangnya tulang dapat mengakibatkan terjadinya fraktur patologis
(Hidiyaningsih, 2012).
19

Indikasi dilakukannya pembedahan ialah:


a. Adanya sequester.
b. Adanya abses.
c. Rasa sakit yang hebat.
d. Bila mencurigakan adanya perubahan kearah keganasan (karsinoma
Epidermoid).
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space)
atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau
dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap
untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi
larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi
samping dengan pemberian irigasi ini. (Canale, 2007).
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang. kanselus
untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga
dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot
(dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan
pembuluh darah yang utuh).
Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan
asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan
eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap
untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan
tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi
interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah
tulang. Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan pembedahan adalah
bila involukrum telah cukup kuat; mencegah terjadinya fraktur pasca
pembedahan (Canale, 2007).

20

Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh (Hidiyaningsih,


2012):
1. Pemberian antibiotik yang tidak cocok dengan mikroorganisme
penyebabnya
2. Dosis yang tidak adekuat
3. Lama pemberian tidak cukup
4. Timbulnya resistensi
5. Kesalahan hasil biakan
6. Pemberian pengobatan suportif yang buruk
7. Kesalahan diagnostik
8. Pada pasien yang imunokomprais

21

BAB III
KESIMPULAN
Ostemomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik pada
tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme pyogenik. Pada
dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit, jamur dan bakteri, dapat
menghasilkan osteomielitis tetapi paling sering disebabkan oleh bakteri piogenik
tertentu dan mikobakteri. Penyebab osteomielitis pyogenik adalah kuman
Staphylococcus aureus (89-90%), Escherichia coli, Pseudomonas dan Klebsiella.
Infeksi dapat mencapai tulang dengan melakukan perjalanan melalui aliran
darah atau menyebar dari jaringan di dekatnya. Osteomielitis juga dapat terjadi
langsung pada tulang itu sendiri jika terjadi cedera yang mengekspos tulang,
sehingga kuman dapat langsung masuk melalui luka tersebut. Osteomielitis sering
ditemukan pada usia dekade I-II tetapi dapat pula ditemukan pada bayi dan
infant. Anak laki-laki lebih sering dibanding anak perempuan (4:1). Lokasi yang
tersering ialah tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius, humerus, ulna,
dan fibula. Kejadian tertinggi pada Negara berkembang.
Tingkat mortalitas osteomielitis adalah rendah, kecuali jika sudah terdapat
sepsis atau kondisi medis berat yang mendasari. Penatalaksanaannya harus secara
komprehensif meliputi pemberian antibiotika, pembedahan dan konstruksi
jaringan lunak, kulit dan tulang.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym, Osteomyelitis.2011.

Available

from:

http://www.mayoclinic.com/health/osteomyelitis/DS00759
2. Anonym, OSTEOMIELITIS:

Perkembangan

10

tahun

Terakhir.

Availablefrom: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_023_sendi_&_ul
ang.pdf
3. Daniel,

Lew,

et

al.

2012. Review

Article

Current

Concepts

OSTEOMYELITISavailable
from:http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/nejm199704033361406
4. David R, Barron BJ, Madewell JE. Osteomyelitis, acute and chronic.
Radio Clin North Am 1987;25:1171-1201.
5. David C. Dugdale, 2009. http://www.umm.edu/imagepages/9712.htm
6. Hidyaningsih, Referat Osteomielitis. Jakarta:2012. h: 10-24.Randall W
King, MD, FACEP; Chief Editor: Rick Kulkarni.
7. Osteomyelitis

in

Emergency

Medicine.

Available

from: http://emedicine.medscape.com/article/785020-overview#showall
8. Robin, Cotrans. Pathologic Basis of Disease 7th Edition. 2007
9. Sjamsuhidajat, Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi revisi

23

Anda mungkin juga menyukai