Anda di halaman 1dari 22

MATA KULIAH

ETIKA ADMINISTRASI NEGARA


ETIKA ADMINISTRASI DALAM PRAKTIK

Disusun oleh:
Cendekia Nuur Khoolik

(F1B012016)

Sella Devia Oktaviani

(F1B013008)

Ikmal Zabal Alik

(F1B013011)

Rossyana Dwi Afryantyani

(F1B013017)

Rifqa Afriliani

(F1B013021)

Ramdani Triastoto

(F1B013057)

Penny Pitri N.

(F1B013078)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
PURWOKERTO
2015

1. KEARIFAN DAN KEBIJAKAN ETIKA ADMINISTRASI NEGARA DALAM


PRAKTIK
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa
ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator
pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Disinilah arti penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur
pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan
kemajuan bangsa.
Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan
atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan
ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa
transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung
diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga
pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya
terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif.
Untuk menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan
tanggung jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif, dan menerapkan
prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima.
Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan,
yaitu sebagai berikut:
1. Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap
enteng semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang
kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung
keyakinan bahwa peluang untuk memecahkan persoalan yang selalu ada.
2. Keberanian (Courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat
kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi,
pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para
pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.
3. Keadilan Yang Berwatak Kemurahan Hati

Bailey menggambarkan sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi
pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan
komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama
serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu, kearifan seorang
pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik.
Kepekaan dan empati terhadap karena bagaimanapun juga pejabat publik harus
melayani manusia, yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam
melayani masyarakat umum, yang perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan
mengenai keadilan prosedural. Telah dikemukakan bahwa pelaksanaan keadilan
prosedural. Keadilan proseduran mempersoalkan akses dan perlakuan (access
and treatment).
Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia. Pilihan-pilihan
keputusan dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif dengan
berlandaskan harapan atas masa depan dan perkiraan atas konsekuensi dan
tindakan yang dilakukan sekarang. Namun untuk membuat keputusan-keputusan
yang tepat seorang pejabat harus pula memiliki kapasitas intelektual yang
memadai. Teori pilihan melihat pembuatan keputusan sebagai suatu tindakan
yang disengaja yang berdasarkan empat hal yaitu:
a.

Pengetahuan tentang alternatif-alternatif tindakan


Pembuatan keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak.
Alternatif-alternatif tersebut dirumuskan beradasarkan situasi dan dipahami
sebagai sesuatu yang tidak mendua atau tidak mengandung ketaksaan(unambiguosly).

b.

Pengetahuan tentang konsekuensi


Pembuatan keputusan memahami konsekuensi-konsekuensi dari tindakantindakan alternatif, atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas
keberhasilan atau kegagalan tindakan tersebut.

c.

Pengaturan preferensi yang konsisten


Pembuatan keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan
kensekuensi-konsekuensi dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan
nilai-nilai subjektif mereka.

d.

Aturan keputusan
Para pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah
alternatif tindakan berdasarkan konsekuensi dan pereferensi mereka. Dalam

model pembuatan keputusan yang sempurna diasumsikan bahwa pembuat


keputusan mengetahui setiap alternatif dari suatu keputusan, memahami masingmasing konsekuensinya, memiliki subjektif yang utuh tentang konsekuensikonsekuensi tersebut, dan pemilihan keputusan dilakukan dengan menyeleksi
alternatif yang mengandung nilai harapan tertinggi.
Para pejabat pembuat kebijakan hendaknya memiliki kemampuan untuk belajar
dari kesalahan yang pernah dibuat dan melihat setiap permasalahan secara serius.
Kearifan juga mengandungarti bahwa pembuat keputusan tidak bertindak
gegabah dan menganggap ringan suatu persoalan.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh kesediaan
aparat untuk tidak begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu
pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan masyarakat,
perlu ditelusuri secara tuntas dengan segala konsekuensinya harus diantisipasi
sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak berpegang pada laporanlaporan diatas kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu melihat tanggapan
dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang ada,
melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersangkutan, mencermati
keluhan-keluhan warga masyarakat melalui rubrik-rubrik pembaca di surat kabar
atau pengaduan-pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan
berdasarkan wawasan manejerial yang holistik.
2. ETOS KERJA
a.

Pengertian Etos Kerja

Menurut Jansen H Sinamon, diantaranya adalah sebagai berikut:


1.

Etos adalah kebiasaan, berbasis pada state of mind, yang berhubungan

2.

dengan kegiatan produktif (etos belajar, etos kerja, etos menabung, dsb).
Etos adalah mindset yang berkaitan dengan dan mewujudkan berupa

3.

kegiatan produktif.
Etos adalah apa yang dianggap paling penting, paling vital, oleh
sekelompok orang untuk pekerjaan (profesi) yang mereka jalankan, dan
perilaku apa yang dituntut untuk mencapai hal paling penting tersebut,
termasuk apa-apa yang tidak boleh dilanggar.
Masih menurut Jansen, etos kerja adalah spirit, semangat, dan mentalitas yang

mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang khas dan unggul seperti rajin,

antusias, teliti, tekun, kerja keras, ulet, sabar, bertanggungjawab, hemat, efisien,
menghargai waktu.
Etos kerja menurut Jansen adalah seperangkat perilaku kerja, yang berakar pada
kesadaran yang kuat, keyakinan yang jelas dan mantap serta komitmen yang teguh pada
prinsip, paradigma, dan wawasan kerja yang khas dan spesifik. Sedangkan pengertian
etos kerja berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok.
b.

Fungsi dan Tujuan Etos Kerja

Secara umum etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan
kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:
a.
b.
c.

Pendorong timbulnya perbuatan


Pengairah dalam aktivitas
Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan

menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.


Etos Kerja Indonesia
Etos kerja merupakan salah satu komponen penting yang menentukan
produktivitas suatu organisasi yang secara nasional akan menentukan kualitas suatu
bangsa. Etos kerja sangat berhubungan dengan etika baik individu, kelompok, maupun
institusi.
Ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu bangsa sangat di tentukan oleh etos
kerja masyarakatnya. Salah satu faktor yang menyebabkan krisis multidimensi
Indonesia sejak tahun 1997 adalah merajalelanya etos kerja yang buruk. Jansen
mengambil contoh di tiga bidang saja. Pertama di bidang ekonomi, masyarakat lebih
mengutamakan ekonomi rente daripada ekonomi riil. Sebuah cerminan etos kerja yang
ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Berbeda dengan etos kerja bangsa Jepang dan
Jerman yang sering kali di jadikan contoh sebagai etos kerja yang baik, etos kerja
tersebut ialah sebagai berikut:
Belajar dari negara lain, Jerman dan Jepang yang luluh lantak di PD II. Tetapi
kini, lima puluh tahun kemudian, mereka menjadi bangsa termaju di Eropa dan Asia.
Mengapa? Karena etos kerja mereka tidak ikut hancur. Yang hancur hanya gedunggedung, jalan, dan infrastruktur fisik.
Max Weber menyatakan intisari etos kerja orang Jerman adalah:
1)
2)
3)

bertindak rasional
berdisiplin tinggi
bekerja keras

4)
5)
6)
7)

berorientasi sukses material


tidak mengumbar kesenangan
hemat dan bersahaja, serta
menabung dan berinvestasi
Di Timur, orang Jepang menghayati bushido (etos para samurai) perpaduan

Shintoisme dan Zen Budhism. Inilah yang disebut oleh Jansen (1999) sebagai karakter
dasar budaya kerja bangsa Jepang.
Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya
Manusia Indonesia (1977), Jansen menyatakan etos kerja orang Indonesia adalah:
1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati.
2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.
3) Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan
lebih mementingkan status daripada prestasi.
4) Percaya takhayul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib.
5) Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan
gampang terintimidasi.
Etos kerja tersebut di atas merupakan gambaran mayoritas dari masyarakat
Indonesia yang seharusnya menjadi perhatian mulai dari pemerintah, institusi,
kelompok profesi dan individu pekerja itu sendiri. Sebagai contoh organisasi
masyarakat

ESQ (Emosional Spiritual Quotien) telah melakukan upaya-upaya

peningkatan etos kerja dengan menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk


mengimplementasikan 7 Budi Utama, yang terdiri dari :
1.

Jujur

2.

Tanggung jawab

3.

Visioner

4.

Disiplin

5.

Kerjasama

6.

Adil

7.

Peduli

Dimana 7 Budi Utama tersebut merupakan unsur-unsur yang di butuhkan dalam


meningkatkan etos kerja. ESQ memasukan spiritual (agama/keyakinan) karena bangsa
Indonesia mempunyai keyakinan yang kuat terhadap Tuhan sehingga apabila semua
pekerjaan dilakukan atas dasar keyakinan, maka jiwa sesorang akan ikut andil dalam
menggerakkan rasa dan menghasilkan perilaku yang kuat, sehingga jika diarahkan
dengan benar maka akan berdampak pada perilaku yang baik.

Kemudian Jansen juga menjabarkan etos kerja yang profesional di dalam


melakukan pekerjaan, yang dijabarkan dalam 8 (delapan) artian kerja bagi para pelaku
kerja dan apabila diterapkan dengan baik, maka akan tercipta produktivitas kerja yang
tinggi. Delapan Etos kerja profesional tersebut adalah:
1. Kerja adalah Rahmat : Bekerja Tulus Penuh Syukur
Bekerja adalah rahmat yang turun dari Tuhan oleh karena itu harus kita
syukuri. Bekerja dengan tulus akan membuat kita merasakan rahmat lainnya
sebagai berikut:
a. Kita bisa memaksimalkan talenta kita saat bekerja.
b. Kita bisa mendapatkan pengakuan dan identitas diri dari masyarakat dan
komunitas
2. Kerja adalah Amanah : Bekerja Benar Penuh Tanggung Jawab
Amanah melahirkan sebuah sikap tanggung jawab, dengan demikian
maka tanggung jawab harus ditunaikan dengan baik dan benar bukan hanya
sekedar

formalitas. Rasa tanggung

jawab

terhadap

pekerjaan yang

didelegasikan kepada kita akan membubuhkan kehendak kuat untuk


melasanakan tugas dengan benar sesuai job description untuk mencapai target
yang ditetapkan.
3. Kerja adalah Panggilan : Bekerja Tuntas Penuh Integritas
Dalam konteks pekerjaan, panggilan umum ini memiliki arti bahwa apa
saja yang kita kerjakan hendaknya memenuhi tuntutan profesi. Profesi yang
kita jalani untuk menjawab panggilan kita sebagai birokrat, akuntan, hakim,
dokter, dsb. Agar panggilan dapat diselesaikan hingga tuntas maka diperlukan
integritas yang kuat karena dengan memegang teguh integritas maka kita dapat
bekerja dengan sepenuh hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita secara total,
utuh dan menyeluruh.
4. Kerja adalah Aktualisasi : Bekerja Keras Penuh Semangat
Aktualisasi adalah kekuatan yang kita pakai untuk mengubah potensi
menjadi realisasi. Tujuan dari sikap yang kita pakai untuk mengubah potensi
menjadi realisasi. Tujuan dari sikap aktual ini adalah agar kita terbiasa bekerja
keras dan selalu tuntas untuk mencapai mimpi dan keinginan kita tanpa
merubah diri kita menjadi pecandu kerja. Ada tiga cara mudah untuk
a.
b.
c.
5.

meningkatkan etos kerja keras, yaitu:


Kembangkanlah visi sebagai ilham untuk bekerja keras
Kerja keras merupakan ongkos untuk mengembangkan diri kita
Kerja keras itu baik, menyehatkan dan menguatkan diri kita
Kerja adalah ibadah : Bekerja Serius Penuh Kecintaan

Segala pekerjaan yang diberikan Tuhan kepada kita harus kita syukuri
dan lakukan dengan sepenuh hati. Tidak ada tipe atau jenis pekerjaan yang
lebih baik dan lebih rendah dari yang lain karena semua pekerjaan adalah sama
di mata Tuhan jika kita mengerjakannya dengan serius dan penuh kecintaan.
Berbekal keseriusan itu maka hasil yang akan kita peroleh juga akan lebih dari
yang kita bayangkan, begitu pula jika pekerjaan yang kita lakukan didasarkan
oleh rasa cinta. Seberat apapun beban pekerjaan kita, berapapun gaji yang kita
dapatkan dan apapun posisi yang kita pegang akan memberikan nilai moril dan
spirituil yang berbeda jika ksemua didasari dengan rasa cinta. Jadi, bekerja
serius penuh kecintaan akan melahirkan pengabdian serta dedikasi terhadap
pekerjaan.
6. Kerja adalah Seni : Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas
Bekerja keras itu perlu, namun bekerja dengan cerdas sangat dibutuhkan.
Kecerdasan disini dimaksudnya adalah menggunakan strategi dan taktik
dengan pintar untuk mengembangkan diri, memanfaatkan waktu bekerja agar
tetap efektif dan efisien, melihat dan memanfaatkan peluang kerja yang ada,
melahirkan karya dan buah pikiran yang inovatif dan kreatif. Hasilnya tentu
saja daya cipta kita bukan hanya disenangi oleh pemimpin perusahaan tetapi
juga oleh orang lain karena semua yang kita hasilkan itu adalah karya seni.
7. Kerja adalah Kehormatan : Bekerja Tekun Penuh Keunggulan
Kehormatan diri bisa kita dapat dengan bekerja. Melalui pekerjaan,
maka kita dihormati dan dipercaya untuk memangku suatu posisi tertentu dan
mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita termasuk segala kompetensi
diri yang kita miliki, kemampuan dan kesempatan dalam hidup. Rasa hormat
yang terbentuk dalam diri kita akan menumbuhkan rasa percaya diri yang akan
meningkatkan kita untuk bekerja lebih tekun.
8. Kerja adalah Pelayanan : Bekerja Paripurna Penuh Kerendahan Hati
Hasil yang kita lakukan dalam bekerja bisa menjadi masukan untuk
orang lain dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dari proses tersebut kita telah
memberikan kontribusi kepada orang lain agar mereka bisa hidup dan
beraktivitas dengan lebih mudah. Jadi, bekerja juga bisa kita golongkan
sebagai salah satu bentuk pelayanan kita terhadap orang lain.
Hubungan Etika dan Etos Kerja Pejabat Publik
Etika berkaitan dengan konsep-teori-rasio tentang nilai-nilai etis dalam
hubungan manusiawi, seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, kejujuran, dan cinta
kasih. Sementara etos berkaitan dengan perilaku-praktik-budaya yang tidak selalu

bersifat etis atau sesuai dengan etika. Etika kerja adalah semacam teori tentang apa,
mengapa, dan bagaimana sesorang seharusnya bekerja agar ia menjadi manusia yang
baik. Etos kerja adalah praktik dan budaya kerja apa adanya.
Karena bersifat konseptual-teoritik-rasional, etika kerja selalu mengacu pada
nilai-nilai etis yang menghargai dan meningkatkan harkat dan martabat manusia
sebagai manusia. Etika dan etos kerja merupakan faktor dasar dari pejabat publik dalam
melaksanakan administrasi publik. Sebagai contoh, seorang pegawai administrasi
keuangan, ketika ia menjunjung etikanya maka ia akan jujur dalam mencatat
pengeluaran baik ada orang maupun tidak, itu yang dinamakan etika. Karena ia berlaku
jujur maka etos yang etis terwujud menjadi suatu sikap profesional dan menghasilkan
kinerja yang baik.
Pada dasarnya etika pejabat publik tertuang dalam kode etik kepegawaian,
sehingga sudah ada dasar untuk suatu perilaku pejabat publik yang secara moral sudah
dianggap benar. Apabila etika dihayati dan diaplikasikan dengan baik dalam setiap
pekerjaan maka terciptalah etos kerja yang sehat atau etis (kejujuran, kebebasan,
kebenaran, keadilan, cinta kasih, dsb.) apabila tidak berhasil dipraktikan dalam bekerja,
maka terciptalah suatu etos kerja yang tidak etis, tidak sehat akan menghasilkan suatu
pencapaian kerja yang tidak baik pula.
Sehingga dapat dilihat bahwa penerapan etika dilakukan terlebih dahulu, dan
akan dapat membangun etos kerja yang nantinya menghasilkan suatu kinerja atau
produktivitas dalam pekerjaan.
Implikasi Hubungan Antara Etika dan Etos Kerja Pejabat Publik
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa etika mempengaruhi etos kerja
pegawai publik dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan administrasi publik.
Pegawai harus memahami, menghayati dan mengaplikasikan etika dalam pekerjaan
sehari-hari mulai dari tugas individu, kelompok maupun institusi, maka etos kerja akan
dapat di bangun secara maksimal, sehingga produktivitas kerja meningkat, pegawai itu
sendiri itu akan memperoleh kepuasan kerja sebagai dorongan untuk mencapai
profesionalitas, masyarakat akan memperoleh kepuasan terhadap pelayanan yang
diberikan, maka timbul kepercayaan dalam masyarakat, dan menjadikan hubungan
timbal balik yang efektif. Jika semua hal tersebut dapat tercapai pada akhirnya akan
mempertahankan etos kerja yang baik serta menjadikan bangsa kita sebagai bangsa
yang tangguh, mampu bersaing di era pasar bebas.

Sebaliknya apabila etika yang telah di buat tidak diikutsertakan dalam pegawai
dalam tugasnya, maka kasus-kasus seperti penyelewengan akan potensial terjadi, dan
menghasilkan etos buruk, seperti yang di katakan oleh Mochtar Lubis bahwa etos kerja
bangsa Indonesia hampir seluruhnya merupakan etos yang buruk. Tentunya etos buruk
tersebut akan menciptakan kerusakan perilaku, sehingga produktivitas serta
profesionalisme tidak dapat dicapai. Bagi pegawai itu sendiri etos buruk akan menjadi
kebiasaan yang dapat menular kepada pegawai lain dan dapat merugikan instansi
sehingga tidak dapat mencapai target pekerjaan. Selain itu dampak luas dari etos kerja
pegawai publik yang buruk akan menghasilkan pelayanan kepada masyarakat yang
buruk pula, sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat terhadap administrasi
publik.
3. KODE ETIK
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan
Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
Pengertian Kode Etik PNS
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan
perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup
sehari-hari.
Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai
Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam
berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai
Negeri Sipil.
KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pasal 7
Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai
Negeri
Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam
penyelenggaraan Pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat,
serta
terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalalam
Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 8

Etika dalam bernegara meliputi:


a. melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;
c. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
Maksud dan tujuan kode etik adalah:
1.

Kode etik Pegawai Negeri Sipil dimaksudkan untuk memberikan arah dan

pedoman bagi PNS dalam bersikap ,bertingkah laku dan berbuat baik didalam
melaksanakan tugas maupun pergaulan hidup sehari-hari.
2.

Kode etik Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk menjaga integritas, martabat,

kehormatan, citra dan kepercayaan pegawai negeri sipil melaksanakan setiap tugas,
wewenang, kewajiban dan tanggung jawab kepada negara, pemerintah dan sesama
pegawai,masyarakat dan organisasi.
3.

Pembinaan jiwa korps dimaksud untuk membina karakter/watak rasa persatuan

dan

kesatuan,solidaritas,kebersamaan

kerja,taggung

jawab,dedikasi,kreativitas,kebanggaan, dan rasa memiliki organisasi PNS dalam


melaksanakana tugas pengabdian kepada bangsa dan negara pemerintah,organisasi dan
masyarakat yang diharapkan menjadi keteladanan dan dapat dipertanggung jawabkan.
4.

Pembinaan jiwa korps bertujuan untuk mewujudkan budaya kerja yang dijiwai

oleh

rasa

persatuan

dan

kesatuan,solidaritas,kebersamaan,tanggung

jawab,dedikasi,kreativitas,kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS sehingga


terwujud PNS yang bermutu tinggi dan sadar akan kedudukakn dan tanggung jawabnya
sesuai nilai-nilai moral yang disepakati bersama selaku unsur aparatur negara.
Etika dalam bernegara meliputi:
a. melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;
c. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan
tugas;
e. akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa;
f. tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap
kebijakan dan program Pemer intah;

g. menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya Negara secara efisien dan
efektif;
h. tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
Etika dalam berorganisasi adalah:
a. melaksanakan tugas dan wewenang sesai ketentuan yang berlaku;
b. menjaga informasi yang bersitat rahasia;
c. melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
d. membangun etos kerja untnk meningkatkan kinerjaorganisasi;
e. menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam
rangka pencapaian tujuan;
f. memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;
g. patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja;
h. mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan
kinerja organisasi;
i. berorientasi pada upaya peningkatan kualias kerja.
Etika dalam bermasyarakat meliputi:
a. mewujudkan pola hidup sederhana;
b. memberikan pelayanan dengan empati hormat dan santun tanpa pamrih dan tanpa
unsur pemaksaan;
c. memberikan pelayanan secara cepat, tepal, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif;
d. tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat;
e. berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan
tugas.
Etika terhadap diri sendiri meliputi :
a. jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
b. bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan;
c. menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golonga n;
d. berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
dan sikap;
e. memiliki daya juang yang tinggi;
f. memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
g. menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;
h. berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.
Etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil:

a. saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan yang


berlainan;
b. memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama Pegawai Negeri Sipil;
c. saling menghormati antara teman sejawat, baik secara vertikal maupun horizontal
dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi;
d. menghargai perbedaan pendapat;
e. menjunjung tinggi harkat dan martabat Pegawai Negeri Sipil;
f.

menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri Sipil;

g. berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin
terwujudnya

solidaritas

dan

soliditas

semua

Pegawai

Negeri

Sipil

dalam

memperjuangkan hak-haknya.
Aplikasi nilai, Etika dan moral administrasi Negara dalam praktek dapat dilihat
dari Kode Etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kode Etik di Indonesia masih
terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kodekteran. Kode Etik bagi
kalangan profesi yang masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa
nilai-nilai agama dan Etika moral Panca Sila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi
pegangan bekerja atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah
bagaimana implementasi dari nilai-nilai tersebut. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi
harus diakui bahwa ketiadaan Kode Etik ini telah memberikan peluang bagi para
pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran Kode
Etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan prilaku dalam
bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui
aturan atau tata tertib yang ada.
Kode Etik tidak hanya sekedar ada, tetapi juga diimplementasikan dalam
bekerja, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian
dievaluasi, dan diuapayakan perbaikan melalui Konsensus. Komit-men terhadap
perbaikan Etika ini perlu ditunjukan, agar masyarakat publiK semakin yakin bahwa
pemerintah sunguh-sungguh akuntabel.
Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari Negara lain, misalnya, kesadaran ber-Etika
dalam pelayanan publiK telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan
publik telah menetapkan Kode Etiknya.
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah Kode Etik
yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration), yang telah
direvisi berulang-ulang kali dan mendapat penyempurnaan dari para anggotanya

(Wachs,1985). Nilai-nilai yang dijadikan Kode Etik bagi administrator pablik di


Amerika Serikat adalah:
1. menjaga integritas,
2. kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, beri perhatian, keramahan,
3. cepat tanggap,
4. mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain,
5. bekerja profesional, pengembangan profesionalisme,
6. komunikasi terbuka, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan
keleluasaan untuk kepentingan publik,
7. beri perlindungan terhadap informassi yang sepatutnya dirahasiakan,
8. dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
Semua nilai yang terdapat dalam Kode Etik Administrator ini bukan muncul
tiba-tiba, tetapi melalui suatu kajian yang makan waktu lama, dan didukung oleh
diskusi dan dialog yang tidak pernah berhenti. Komperensi atau seminar berkala
diantara para akademisi dan praktisi administrasi publik terus dilakukan. Para peserta
seminar atau komperensi sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam diskusi dan
dialog terbuka dan mendalam untuk menetapkan nilai-nilai moral Etika yang harus
diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam kondisi apa seorang administrator harus
bertindak atau memperhatikan moral dan Etika.
Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip Etika dan moral di Indonesia,
pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat
ini Indonesia yang dikenal sebagai Negara koruptor nomor muda atau paling muda di
dunia, perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip Etika dan moral. Etika
administrator publik atau manajer publik, Etika perencana publik, Etika pegawai negeri
sipil, dsb., harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya
yang bertentangan dengan moral dan Etika.
Beberapa Isu Penting
Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hyde, 1997), di dalam adminis-trasi
publik terdapat isu Etika yang kontroversial dan dilematis, yaitu Etika Netralitas dan
Etika Struktur. Etika Netralitas menuntut seseorang adminis-trator untuk netral, artinya
menerapkan prinsip Etika sesuai kebijakan organi-sasi atau sebagaimana diputuskan
oleh organisasi, dan tidak boleh mene-rapkan prinsip Etika yang dianutnya. Etika
seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seseorang administrator, dan menyangkal
otonomi ber-Etika. Perta-nyaan yang sering muncul menyangkut isi kebijakan atau

keputusan organisasi apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik atau buruk, benar
atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan atau keputusan
tersebut, apakah administrator tetap secara buta mengikutinya?
Sementara itu, Etika Struktur menyatakan bahwa organisasi atau pimpinan
organisasilah yang bertanggungjawab atas semua keputusan dan kebijakan yang dibuat,
dan bukan individu aparat. Karena itu, bila terjadi suatu masalah dalam organisasi
sebagai akibat dari keputusan dan kebijakan organisasi, pimpinan harus siap memikul
resiko, kalau perlu manarik diri atau berhenti dari pekerjaannya. Permasalahan yang
muncul adalah bila terjadi penarikan diri atau perberhentian sebagai akibat dari
kesalahannya, organisasi yang bersangkutan mungkin akan menjadi labil, karena
pimpinan sering diganti.
Isu lain menyangkut norma-norma yang bersifat absolut dan relatif. Norma-norma yang
bersifat absolut cenderung diterima dimana-mana atau dapat dianggap sebagai
universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini disemua atau
hampir disemua masyarakat di dunia, yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan
standard pembuatan keputusan. Kaum deontologist menilai bahwa norma-norma ini
memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam
proses pemaha-man. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran pertimbangan
atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam
pelayanan publik diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan),
pemenuhan janji kepada publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb.,
merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat dimana-mana. Melalui
proses konsensus tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi
kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Nilai-nilai dalam Panca Sila dan
Pembukaan UUD 45 merupakan contoh kongkrit dari nilai-nilai tersebut, yang oleh
pendiri Negara atau pencetus nilai-nilai tersebut dianggap sebagai nilai-nilai absolut
atau universal. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai
kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma
tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis. Kaum teleologist mengemukakan
bahwa tidak ada universal moral. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki
konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti harus didasarkan pada kenyataan.
Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal itu
baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi

tertentu. Misalnya, berbohong adalah norma universal yang dinilai tidak baik. Tetapi
tidak dapat dinilai sebagai melanggar norma Etika. Sebaliknya menceriterakan
kebenaran itu baik. Akan tetapi bila menceriterakan kebenaran itu sendiri tidak dapat
dinilai sebagai sesuatu yang etis. Karena itu, kaum teleologis ini berpendapat bahwa
tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum diuji atau
dikaitkan dengan konsekuensinya.
Di Indonesia, nilai-nilai yang tertera dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45
sering diterima secara kaku dan tanpa kompromi, padahal nilai-nilai ini dimuat pada
suatu situasi tertentu yang pada waktu itu paling tepat menerapkan nilai-nilai tersebut.
Dalam situasi seperti sekarang ini interprestasi terhadap nilai-nilai Pancasila, misalnya,
terus berkembang, disesuaikan dengan konteks dan situasi bernegara.
Konflik paragdigmatis yang sering terjadi antara kaum relativis dan kaum
absolutis merupakan hal yang biasa sekali terjadi didalam kenyataan hidup dan sudah
menjadi tradisi akademis di negara-negara maju. Konflik seperti ini sangat berguna
untuk merangsang dan meningkatkan sensitifitas ber-Etika bagi masyarakat luas
meskipun tidak selamanya berakhirkan dengan kepuasan pada kedua pihak yang
bertentangan. Konflik seperti ini, sadar atau tidak, ternyata telah meningkatkan
kedewasaan dalam ber-Etika. Dan berkembangnya kedewasaan ini sangat membantu
mengontrol perilaku para pemberi pelayanan publik oleh publik sekaligus mengarahkan
semua organisasi pelayanan publik untuk tetap mengutamakan nilai kepentingan publik
diatas kepentingan lainnya.
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia seharusnya para
administrator secara umum memperhatikan kedua aliran Etika di atas. Atau dengan kata
lain, para pemberi pelayan publik harus mempelajari norma-norma Etika yang bersifat
universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi
norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut
sebaiknya tidak secara kaku karena norma-norma tersebut terkadang terikat situasi
kondisi tertentu. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kehebatan dalam ber-Etika.
Dialog menuju konsensus dapat memecahkan dilemma tersebut.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau kekurangan Kode Etik. Kebebasan
dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada.
Bahkan sering kali kita bersikap kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada
tanpa melihat perubahan jaman atau situasi. Kita juga masih membiarkan diri kita
didikte oleh penguasa sehingga belum nampak otonomi ber-Etika. Upaya untuk

menguji norma-norma tersebut kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji,


bertentangan dengan konstitusi, ideologi Negara, dsb. Akibatnya muncul sikap masa
bodoh dan hal yang demikian memberikan peluang bagi mereka yang berkuasa untuk
terus mendikte Etika mereka.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011
tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil PNS. Tujuannya untuk
meningkatkan prestasi dan kinerja PNS. PP ini merupakan penyempurna dari PP
Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS yang dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan hukum.
Prestasi kerja PNS akan dinilai berdasarkan 2 (dua) unsur penilaian, yaitu:
1.

SKP (Sasaran Kerja Pegawai), yaitu: rencana kerja dan target yang akan
dicapai oleh seorang PNS, dan

2.

Perilaku kerja, yaitu: setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan
oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
PP ini mensyaratkan setiap PNS wajib menyusun SKP berdasarkan rencana
kerja tahunan instansi. SKP itu memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus
dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur.
Dalam PP itu juga disebutkan, bahwa PNS yang tidak menyusun SKP dijatuhi
hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur
mengenai disiplin PNS.
Adapun penilaian perilaku kerja meliputi aspek: orientasi pelayanan, integritas,
komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan. Khusus penilaian kepemimpinan
hanya dilakukan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural.
Penilaian prestasi kerja PNS ini dilaksanakan sekali dalam 1 (satu) tahun, yang
dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan paling lama akhir
Januari tahun berikutnya. Ketentuan mengenai peraturan penilaian PNS ini juga berlaku
bagi Calon PNS (CPNS).
Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik
Kode Etik sudah seharusnya dipatuhi demi profesionalitas pekerjaan, mau itu
untuk pejabat, dokter, pns, dll. Tetapi dewasa ini kita sering menemui kasus-kasus
pelanggaran kode etik, misalnya saja yang saat ini sedang booming adalah kasus Papa
Minta Saham oleh Ketua DPR RI 2014, Setya Novanto. Dalam kasus ini ia mencatut
nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan dengan

Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef ketika membicarakan mengenai perpanjangan


kontrak Freeport di Indonesia.
Bukan hanya pencatutan yang mengatasnamakan presiden dan wakil presiden
untuk diberikan saham, tetapi pertemuan yang terjadi dengan PT Freeport apalagi
dengan menggandeng seorang pebisnis pula suatu pelanggaran karena seharusnya
Eksekutiflah atau setidaknya DPR Komisi 7 yang melakukan hal tersebut, bukannya
Ketua DPR. Sampai tulisan ini diketik, kasus ini masih dibahas oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD).
Kasus lainnya, tidak usah jauh-jauh tetapi mari kita lihat ke daerah kampus kita
tercinta sendiri yakni Unsoed. Ditemukan kasus dugaan suap di Fakultas Kedokteran
yang memanfaatkan orang tua untuk menjadikan anaknya sebagai dokter dengan cara
apapun, salah satunya adalah dengan memasang harga tinggi yang jelas-jelas diluar
aturan. Kasus terjadi pada tahun 2012 dan diterbitkan oleh Media Tempo.
Mengapa hal-hal ini masih terjadi padahal dalam setiap peraturan yang dibuat
oleh Pemerintah, selalu kita jumpai kata-kata seperti Berlandaskan Prinsip KeTuhanan
/ Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat / Nasionalisme. Seharusnya dengan adanya
kata-kata seperti itu sudah harus menyadarkan para pemegang kekuasaan untuk
berperilaku sesuai dengan peran dan fungsi yang sebenarnya.
4. PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Perubahan diharapkan, agar pemerintah dan para elit politik menjadi lebih
demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif dalam menjalankan
fungsi pelayanan publik, lebih tanggap serta mampu menyusun kebijakan, program dan
hukum yang menjamin hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Disisi lain warga atau masyarakat diharapkan memiliki kesadaran akan hak dan
kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama, bersedia
berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk
berurusan dengan pemerintah dan insitusi publik lainnya, tidak apatis, serta tidak
mementingkan diri sendiri.
Di dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dikemukakan UNDP
(United Nation Development Program) pada dasarnya berorientasi pada tiga elemen
utama, yakni :
a. pemerintah atau negara (state) - lingkungan politik dan hukum yang kondusif

b. sektor swasta (private sector) - lapangan pekerjaan dan meningkatkan


pendapatan
c. masyarakat (society) - berperan aktif di dalamnya.
Interaksi antar ketiga elemen, Ke-tiga elemen utama masing-masing memiliki
fungsi yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai kesinergisan tertuju pada
penyelenggaraan pemerintahan.
1.

Partisipasi (participation)

Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian
dalam proses bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat, baik secara langsung
maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
Partisipasi warga negara dari formulasi-implementasi-evaliuasi.
Contohnya adalah pada saat PEMILU, pada saat rakyat dapat menyuarakan
suaranya untuk pembangunan berbangsa dan bernegara.
2.

Penegakan hukum (Rule of Law)

Demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan


demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu. Oleh karena itu langkah awal penciptaan good governance adalah membangun
sistem hukum yang adil.
Untuk menegakan hokum diperlukan beberapa unsur :

Supremasi hukum, yaitu setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara

didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tegas dan dijamin pelaksanaannya
secara benar dan independen.

Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegaradiatur oleh

hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak bertentangan antara satu dengan
lainnya.

Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan

aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik


secara adil.

Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan

hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan maupun status
sosialnya sebagai contoh aparat penegak hukum yang melanggar kedisiplinan dan
hukum wajib dikenakan sanksi.

Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh

penguasaatau pengaruh lainnya. Sayangnya di negara independensi peradilan belum

begitu baik dan dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagi contoh kecilnya
yaitu kasus suap jaksa.
3.

Transparansi(Transparancy)

Keterbukaan mencakup semua aktivitas yang menyangkut semua kepentingan


publik. Dengan kata lain Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi
perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
Beberapa unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :

Penetapan posisi dan jabatan

Kekayaan pejabat publik

Pemberian penghargaan

Penetapan kebijakan yang terkait denganpencerahan kehidupan

Kesehatan

Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik

Keamanan dan ketertiban

Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.


4.

Daya tanggap (Responsiveness)

Responsiveness sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, maka setiap


komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu memiliki
daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan setiap stakeholders.
Bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat
secara umum. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakatnya, bukan
menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi pemerintah harus proaktif
dalam mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap
unsur pemerintah harus memiliki dua etika yaitu etika individual yang menuntut
pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan etika sosial
yang menuntut pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
5.

Consensus orientation

Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk


memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal
kebijakan maupun prosedur.
bahwa setiap keputusan apapun harus dilakukan melalui prose musyawarah. Cara
pengambilan keputusan secara konsensus akan mengikat sebagianyang bermusyawarah

dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang


terlibat dalam proses pengambilan keputusan maka akan semakin banyak yang
melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan
semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat di
pertanggungjawabkan.
6.

Keadilan

Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh


kesejahteraan. Contohnya adalah ketika semua warga Negara memiliki drajat yang
sama di mata hukum, baik orang kaya maupun miskin semuanya memiliki drajat yang
sama.
7.

Effectiveness and efficienty

Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan
dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
Efektifitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok lapisan social.
Sedangkan efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan semua masyarakat, semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan yang terbesar, maka mengatakan bahwa pemerintah termasuk dalam
kategori pemerintah yang efisien.
Konsep efektifitas dalam sektor publik mempunyai makna ganda, yakni
efektifitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik penjabat pemerintahan
maupun partisipasi masyarakat publik. Dan kedua efektifitas dalam kontek hasil, yaitu
mampu memberikan kesejahteraan pada setiap lapisan sosial.
Untuk mencapai dari semua itu, ini adalah tugas pemerintaha sebagai perancang
undang-undang harus mampu menyusun pelening-pelening yang sesuai dengan
kebutuhan real masyarakat, secara rasional dan terukur.
8.

Akuntabilitas (Accountability)

Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat


sipil bertanggungjawab kepada publik dan lembaga stakeholder. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal
organisasi.
Di Brazil, sebagai contoh, pengawasan terhadap administrasi lokal dan
komunikasi multiarah keperhatian warga kepada para penjabat publik nampaknya
membaik, setelah adanya pengawasan-pengawasan terhadap administrasi tersebut. Juga

dikarenakan mereke membentuk dewan konsultasi yang tersusun dari para warga lokal
(Masyarakat publik).
9.

Visi strategis

Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan
pengembangan manusia yang luass serta jauh kedepan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini .
Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus
diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Tidak sekedar
memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seorang yang menempati
jabatan publik atau lembaga profesional lainnya harus mempunyai kemampuan
menganalisis persoalandan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang
dipimpinanya.
Banyak contoh keterpurukkan pemerintah Indonesia, yaitu kecerobohan yang
menetapkan Devisa bebas di era 1986-an dan memberikan peluang pada sector swasta
untuk melakukan Direct loan (pinjaman langsung) terhadap berbagai lembaga di luar
Negeri, yang mengakibatkan krissi keuangan dalam Negeri 1990. dan juga kebijakan
yang sangat merugikan bangsa Indonesia yaitu Undang-undang Penanaman Modal
Asing (UU PMA), pemerintah tidak memandang jauh kedepan, dengan kebijaan ini
banyak terjadi ekploitasi, upah muruh murah, dan Komersialisasi pendidikan yang
orentasi pasar karena pendidikan sudah menjadi Swasta.

Anda mungkin juga menyukai