Anda di halaman 1dari 25

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Definisi Bronkopneumonia


Bronkopneumonia

disebut

juga

pneumonia

lobularis

adalah

peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang


berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi
bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan
biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya
mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.

18,19

2.3. Morfologi Bronkopneumonia


Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang
menyebar menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di
basal sebab ada kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus
bawah. lesi yang telah berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abuabu merah, sampai kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran
diameter bervariasi antara 3 sampai
4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid)
yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses)
dapat terlihat di antara daerah yang terkena.
Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi
dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal.
Pleur itis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan
dengan pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi
dapat larut bila tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi

meninggalkan sisa fokus fibrosis.


Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang
memenuhi bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil
dominan dalam eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil
fibrin. Seperti yang diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.
2.4. Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada
20

parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.

Bakteri seperti

Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,


Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan
Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus
influenza,
Criptococcus

dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum,


nepromas,

Blastomices

dermatides,

Cocedirides

Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.


Meskipun

hampir

semua

organisme

dapat

immitis,

menyebabkan

bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H.


influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.

18

Keadaan ini dapat

disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas


yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang
rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya
bervariasi sesuai agen etiologinya.

19

19,21

2.5. Patogenesis Bronkopneumonia

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan


mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan

paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara


daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui
jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk
suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

2.5.1. Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti)


Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi
sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.

Komplemen

bekerja

sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru
dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak

yang

harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)


Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu

alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.

2.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)


Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di
sisa-sisa

seluruh

daerah

yang

cedera

dan

terjadi

fagositosis

sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus

masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
2.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
2.6. Epidemiologi Bronkopneumonia
2.6.1. Distribusi Bronkopneumonia
a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari
lima penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi,
kulit, dan sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita
(42%). ISPA merupakan penyebab utama kematian pada

bayi dan balita

dengan CFR masing- masing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan
balita menjadi indikator derajat kesehatan masyarakat.

13

Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei


Kesehatan
Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun
dan
42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada
anak umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per
100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000 penduduk
dan perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA
28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.

22

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi


pada
perempuan (24%) daripada laki-laki (23%).

12

Menurut hasil penelitian Taisir

(2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan


dengan menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA
balita pada laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).

23

Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan


Medan
Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok
umur >19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa
(66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu
280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate
24
tertinggi adalah pada kelompok 5 tahun (79,4%).
b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu
Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit
sistem pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan
42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa
Bali, 29,4% di sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.

25

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan


(25%)
lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk
kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan
kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.

13

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada


balita
berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturutturut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan
Kepulauan Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah
3

provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%. Profil
Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota
Makasar (29,47%).

22

2.6.2. Determinan Bronkopneumonia


a. Faktor Host
a.1. Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak
di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta
perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya,
sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda).
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh
Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah
pneumonia.

26

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi


4

dan balita. Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi
27

dan balita yang sedang menderita pneumonia. Menurut hasil penelitian Taisir
(2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan

dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok


umur 0-11 bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan
23

(33,7%).

a.2. Jenis kelamin


Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit
dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin
merupakan determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam
peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko suatu penyakit.

28

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan


menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin
berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan
diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan
laki-laki.

29

a.3. Status gizi


Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan
gizi adalah kelompok bayi dan balita.

30

Masukan zat-zat gizi yang diperoleh

pada tahap pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh :


keadaan

fisik,

umur,

kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya,

tersedianya makanan dan aktivitasnya.

31

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri


dengan
melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per
Umur

(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan


32
(BB/TB).
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting
untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membukt ikan adanya
hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi
buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi
buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya
daya tahan tubuh balita terhadap infeksi.

31

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingka n balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu
makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita
lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.

31

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan


menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status
gizi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,013) dan diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita
yang mengalami pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai
riwayat gizi kurang dibandingkan gizi

baik

atau

sedang.

Status

gizi

berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi makin baik
daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko pneumonia.

29

a.4. Status imunisasi


Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan
dan angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar
38% dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang

tidak lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA
terutama pneumonia.

33

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan
mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian
besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak.
Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
ISPA. Untuk mengurangi faktor yang
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan

meningkatkan mortalitas ISPA,

balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan
31

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan


menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status
imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita
(p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita
yang mengalami

pneumonia

kemungkinan

1,76

kali

lebih

besar

mempunyai status
imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang
29
lengkap.
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n
imunisasi campak berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia
pada balita umur
9-59 bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi
campak dibandingkan yang telah diimunisasi campak.

34

b. Faktor Agent
Bronkopneumonia umumnya

disebabkan oleh

bakteri seperti

Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,


Haemophilus

influenza,

Basilus

friendlander

(Klebsial

pneumonia),

Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus


influenza,

Virus

Criptococcus

sitomegalik.

nepromas,

Jamur

Blastomices

seperti

Citoplasma

dermatides,

capsulatum,

Cocedirides

Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.

immitis,

Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan


penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang
dirawat di rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita
pneumonia dengan bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non
bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus
dan menyebabkan kematian hanya pada 32% penderita pneumonia dengan
bakteriemia dan 6% menderita pneumonia
non bakteriemia.

35

Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan


menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan
pneumonia

20%

dari

seluruh

penderita

pneumonia,

menggantikan

stafilokokus sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram
negatif tetap mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.

35

c. Faktor Lingkungan Sosial


c.1. Pekerjaan Orang Tua
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan
utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang
tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan,
dan gizi balita yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya
tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit
pneumonia.

30

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar


dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan
OR=1,280 (CI 95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang

mengalami pneumonia kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada bayi yang
memiliki keluarga yang berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi
<Rp. 510.000,00) dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang
berpenghasilan cukup (Rp.510.000,00).

c.2. Pendidikan Orang Tua


Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia.
Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak yang menderita ISPA.

Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu


dengan
menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey),
pendidikan akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA
(p<0,05). Dilihat dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak
mengetahui istilah ISPA (70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu
adanya hubungan antara penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu
penyebab penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA
(56,5%).

36

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan


menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan
pendidikan ibu (OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005)
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 959 bulan, dapat dikatakan bahwa balita yang

mengalami pneumonia

kemungkinan 2,04 kali lebih besar memiliki ibu yang berpendidikan rendah
dibandingka n yang berpendidikan

tinggi dan 2,4 kali lebih besar memiliki ibu yang berpengetahuan
rendah dibandingka n yang berpengetahuan tinggi.

34

c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak

37

Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh
yang diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola
asuh yang kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang
positif dari kedua orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang
diterapkan sejalan dengan usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada
anak yang berumur 1 tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang
berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola
asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena pola asuh pada balita
yang memiliki ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan pola asuh pada balita
normal. Pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang bersifat konsisten dalam
penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap sebagai contoh balita boleh
bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan balita harus
berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara
dan anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal
tersebut dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik
dan hal mana yang tidak boleh atau tidak baik
Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola
asuh yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak
diberi kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar
rumah dan harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat
membuatnya sakit,

dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua
memperbolehkan segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau
makan dibiarkan saja padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk
meningkatkan kualitas gizinya sehingga pada akhirnya status gizi si balita
semakin buruk dan orang tua tidak memperdulikan lingkungan sekitar yang
mungkin kurang baik bagi kesehatan sehingga membuatnya mudah terserang
penyakit.
Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat
pada pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah
anak.Bagi

orang

tua

yang

memiliki

anak

tunggal,

secara

ekonomis

menguntungkan. Orang tua tidak perlu bersusah payah mencari penghasilan yang
besar karena tanggung jawab untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik
anaknya relatif tidak besar. Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap
anak memunyai kebutuhan-kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi oleh kedua
orang tuanya seperti kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan perumahan atau
tempat tinggal yang lebih luas, dan kebutuhan lainnya.
Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang
harus digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti banyaknya
tanah yang dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah. Berlainan
dengan masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai pegawai. Bila
lowongan pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi persoalan. Tetapi realitas
ternyata berpendapat lain.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak,
maka persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini
berarti juga

sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak, berarti sedikit pula persoalan
yang harus dihadapi oleh keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis
mungkin benar, tetapi secara psikologis belum tentu.
Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka
perhatian orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut seperti dalam
hal kasih sayang, perhatian, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan lain. Anak
tidak akan merasa kekurangan kebutuhan yang diinginkan daripada orang tua
yang memiliki banyak anak, maka orang tua harus membagi kasih sayang,
perhatian, dan memenuhi kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak
berbeda kebutuhan termasuk kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak
saudara harus bisa saling berbagi dengan saudara yang lainnya berbeda dengan
anak tunggal sehingga anak tungga sering tidak bisa berbagi, egois dan ini
merupaka permasalahan yang harus dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak
tunggal. Pembentukan kepribadian dan kesehatan anak sangat bergantung kepada
pola asuh orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan sesuai.

d. Faktor Lingkungan Fisik


d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah
Rumah atau tempat

tinggal yang

buruk (kurang

baik) dapat

mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya


37

adalah infeksi saluran nafas. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya
kurang dan dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang
tempat bayi dan balita

bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di
rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang
pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

31

Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh
asap
yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran
bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri,
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan timbulnya ISPA.

31,39

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya


dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n asap
anti nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia
pada balita (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka
balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di
kamar yang memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti
29

nyamuk bakar.

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar


dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n polusi
asap rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada
anak umur
<1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka
anak umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali
lebih

besar tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok

dibandingkan yang tidak ada anggota keluarga merokok.

Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang


Kecamatan

Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR


ISPA

pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang


dihisap dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 1020 batang perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).

23

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan


dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n polusi
asap dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada
balita umur
9-59 bulan (OR=2,99; p=0,002), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,99 kali lebih besar tinggal di rumah yang memiliki
34

polusi asap dapur dibandingkan yang tidak memilki polusi asap dapur.

d.2. Kepadatan Hunian


Kepadatan

hunian

dalam

rumah

menurut

keputusan

menteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan


rumah, dua orang minimal menempati luas kamar tidur 8m. Dengan kriteria
tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan
aktivitas.

31

Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang


dialami
penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota
dan mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan
kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka
penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan
penyakit pada anggota keluarga lainnya.

40

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan


dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan


kepadatan

hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita


umur
9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang
memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi
syarat.

34

2.7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia

21,39

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian


atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390

40 C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat
gelisah, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai
pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan
adanya tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan
cuping

hidung, distensi

abdomen,

retraksi

sela

iga,

batuk

semula

nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas.
Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba
mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami
peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup pada sisi yang
Auskultasi,

auskultasi

sederhana

dapat

dilakukan

dengan

sakit.
cara

mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia


akan terdengar stridor.

Pada bronkopneumonia,

hasil pemeriksaan fisik tergantung pada

luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung
halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada
auskultasi terdengar mengeras.

2.8.

Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau


Kesukaran Bernafas Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan,
Penentuan Ada Tidaknya Tanda Bahaya, Penentuan Klasifikasi
25
Penyakit, Pengobatan dan Tindakan.

2.8.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan


a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang
kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
b.

Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan


dinding dada.

2.8.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan <5 tahun
a.

Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas


disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing).

b.

Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai


adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada
anak umur 2

bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1
- <5 tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.
c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan
dinding dada.

2.9. Jumlah Kunjungan Berulang


Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya
pasien ke rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita
bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien,
apabila pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut
menderita kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap
kembali. Status pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu
memeriksa, mengontrol, mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun
setelah pemeriksaan pasien dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak
memungkinkan unutuk berobat jalan. Status pulang atas permintaan sendiri dapat
kembali dirawat inap dikarenakan tidak dapat ditangani di rumah.

2.10. Lama Rawatan


Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi
penderita bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis
penyakit, tindakan medis rumah sakit dan sebagainya.
Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam
Malik
Medan tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang
dirawat

inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan 7 hari yaitu 38 orang
41
(27,3%).
Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan Tahun
20042007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita adalah 4,5 hari.

42

2.11. Pencegahan Bronkopneumonia


2.11.1. Pencegahan Primer
Pencegahan

43

tingkat

pertama

ini

merupakan

upaya

untuk

mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa
pencegahan umum dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko
30

terhadap kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :

a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu
kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
(pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan
Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b.

Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi
di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

2.11.2. Pencegahan Sekunder

43

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk


mencegah orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit,
menghindari komplikasi,

dan mengurangi ketidakmampuan.

Pencegahan

sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat
mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan
26

antara lain :

a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri


antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai
setiap hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati
mengi. c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati
demam.

2.11.3. Pencegahan Tersier

43

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan


26

mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :

a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu
proses pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk
minum. d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.

f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi


sulit, pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak
memburuk, jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke
petugas kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai