Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih, hidung
merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak
menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai indra penghidu,
menyiapkan udara inhalansi agar dapat digunakan paru, mempengaruhi reflek tertentu pada
paru dan memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu
diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid
hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung.
Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari
pula cara pemeriksaan hidung.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya yang sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam
rongga hidung.

B. Tujuan Penulisan
Setelah mempelajari anatomi dan fisiologi hidung diharapkan dokter muda dapat
menjelaskan penyakit-penyakit yang terbanyak pada hidung dan untuk menambah
pengetahuan dokter muda sehingga mudah dalam menangani kasus yang ada.

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Anatomi Hidung Bagian Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang
hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal,
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar
mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.1, 2

Gambar 1. Kerangka tulang hidung anterolateral dan inferior


2. Anatomi Hidung Bagian Dalam
a. Septum nasi
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela
2

membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista
palatina serta krista sfenoid. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi
dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.1
b. Nares anterior dan posterior
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring.1 Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus.1
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus
paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks
prosesus zygomatikus os maksilla.3
c. Vestibulum
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.1
d. Struktur dinding kavum nasi
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah
kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
3

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1

Gambar 2. Struktur dinding kavum nasi


Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.1
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan
ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.1
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium
yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os
sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.3

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari
sinus maksilla, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat
celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu
muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus.3
Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk
oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.3
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara
duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang
batas posterior nostril.3

Gambar 3. Kavum nasi


Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid irregular dengan

dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus


zigomatikus os maksilla.3
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribiformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubanglubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.1
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.3
3. Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah
ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach
(Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.1,2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.1,2

Gambar 4. Pendarahan hidung


4. Persarafan Hidung 1,2
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus.
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 5. Persarafan hidung


5. Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing
sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan
sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing-masing.1,3
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan
posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat
infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid.
Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel
posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding
lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa
salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan
tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.3

Gambar 6. Sinus paranasal


a. Embriologi sinus paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2
bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus.
Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
8

saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih
rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya
ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1,3
b. Sinus maksila1,3
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut
terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal
yaitu 15 ml pada saat dewasa.
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila.
Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar
2 mm vertikal, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih
tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini
akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah
bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat
erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18
tahun.
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh
lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris
konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
9

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada
buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8
x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar
daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
irigasi sinus.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga
sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar
kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses
supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus
melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis.
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3) Ostuim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan
pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
c. Sinus frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.1,3
10

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada
sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah.
Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal :
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.1
d. Sinus etmoid1
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya.
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari
meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi
menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid
posterior yang bermuara di meatus superior.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau

11

peradangan

di resesus

frontal

dapat menyebabkan

sinusitis

frontal

dan

pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.


Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
e. Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi
mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat,
sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan
kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus
sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15
tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi.
Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang
letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada
sisi lainnya.3
Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari
5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral
os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai
indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior
terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna
(sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan
fosa serebri posterior di daerah pons.3
6. Kompleks Ostiomeatal
Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang penting yang membentuk
komples ostiomeatal adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. Kompleks ostiomeatal adalah unit fungsional
yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior
12

yaitu sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontalis. Jika terjadi obstruksi pada
celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinussinus tersebut.1

Gambar 7. Kompleks Ostiomeatal


B. Histologi Hidung
1. Mukosa Pernapasan Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernapasan (respiratory mucosa) dan mukosa penghidu (olfactory mucosa).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu (cilliated pseudostratified collumner epithelium)
yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.1,2
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler
dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid
vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada
13

bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan
mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang
mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.1

Gambar 8. Mukosa pernapasan


2. Mukosa Olfaktorius
Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified collumear non cilliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.1
Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil
mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein pengikat bau).
Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region olfaktorius.
Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapat berganti
secara regular (4-8 minggu).2,4
Sistem olfaktorius terdiri dari mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila
olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf
sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan
menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius,
dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus
temporal bagian medial sisi yang sama. Neuroepitel olfaktorius terletak di bagian atas
rongga hidung di dekat cribiform plate, septum nasi superior dan dinding nasal

14

superolateral. Struktur ini merupakan neuroepitelium pseudostratified khusus yang


didalamnya terdapat reseptor olfaktorius utama.2,4,5,6,7
Variasi menghidu pada individu mencirikan struktur region penghidu, perbedaan ini
berhubungan dengan ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron), ukuran sel dan
vesikel olfaktorius. Epitelium olfaktorius terdiri atas tiga lapisan sel yaitu saraf bipolar
olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya dan sejumlah sel basal.
Sel-sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Ujung distal sel ini merupakan suatu
dendrit yang telah mengalami modifikasi yang menonjol di atas permukaan epitel
membentuk vesikel olfaktorius. Silia berdiri di atas tonjolan mukosa yang dinamakan
vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Pada
permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia nonmotil. Ujung proksimal sel
membentuk akson, di mana akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk
neuron olfaktorius.2,4,5,6,7

Gambar 9. Mukosa Olfaktorius


Neuron olfaktorius mempunyai akson yang tidak bermielin, akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke
dalam bulbus olfaktorius. Bulbus olfaktorius terletak di basal lobus frontalis. Bulbus
olfaktorius terdiri atas beberapa lapisan ( dari luar ke dalam bulbus), yaitu lapisan
glomerular, lapisan pleksiformis eksternalis, lapisan sel mitral, lapisan pleksiformis
internal dan lapisan sel granula. Di dalam bulbus olfaktorius terjadi sinaps dengan
dendrit neuron kedua. Akson-akson neuron kedua membentuk traktus olfaktorius, yang
berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus
lainnya.2,4,5,6,7

15

C. Sistem Transpor Mukosilier


Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri
dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membran basalis,
lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar
profunda.8

Gambar 10. Histologi mukosa hidung


1. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks
pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel
kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar
sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber
energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar
uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang
merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan
sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.
Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000
sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki
silia.8
2. Silia2,8

16

Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel
bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah
pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia terbentuk
dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus
luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang
disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya
tepat dibawah permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini..
Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi
(recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian
gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak
bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical waves)
pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan bahan elastis yang diduga neksin.
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 m dan diameternya
0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia. Semua epitel
kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya
mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan
bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas
permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke
dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga
menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding dengan sel epitel gepeng.
3. Palut lendir8
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang
17

disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket. Kedua adalah
lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila
sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak
berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi
dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia,
karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia
terjadi di dalam cairan ini. Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung
mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aerosol yang
terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang
perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan
mencapai lapisan superfiasial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas
atau terhenti sama sekali.
4. Membrana basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di
bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen
dan fibril retikulin.8
5. Lamina propria8
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi
atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar
superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar
profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat,
substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu
pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke

18

arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus
maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
6. Transportasi mukosiliar2,4,5,8
Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap
pada palut lendir ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa
hidung. Transportasi mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari
lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari
gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus. Lapisan mukosa mengandung
enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim
tersebut sangat mirip dengan imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat
imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat
juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia
tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian
menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap didalamnya
ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas
silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosilia yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak
bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan
menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan
mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan
mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada
sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia
bertambah secara progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut
berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian hidung. Pada
segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior,
sekitar 1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah
nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung
19

di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius


menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.
7. Pemeriksaan fungsi mukosiliar2,8
Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan
menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut
seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp
black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human
serum albumin, teflon, bismuth trioxide.
Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin. Uji ini
telah dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak
dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan
atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat.
Setengah mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior,
kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit
sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka
inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transportasi
mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna dapat dilihat
di orofaring.
Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi. Mahakit (1994) mendapatkan
waktu transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita
sinusitis, waktu transportasi mukosiliar adalah 16,6 7 menit. Waguespack (1995)
mendapatkan nilai rata-rata adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian
mendapatkan nilai normal pada kontrol adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit
untuk pria.
D. Fisiologi
1. Fisiologi Penghiduan
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat
kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul
yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang
cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan
20

efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel
reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar sensorik utama.2,4,5
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron
olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang
terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.5,6
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat
menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah
masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui
mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan
ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari zat lemak.2,4

Gambar 11. Transduksi signal olfaktorius


Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada
pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh
protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim
Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada
cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca ++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam
silia menyebabkan membran semakin positif, terjadi depolarisasi hingga menghasilkan
aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke
glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan
dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks
piriformis sistem limbik (area 34 dan 28), medial amigdala dan korteks enthoris
(berhubungan dengan memori) untuk mengidentifikasi bau.5
2. Fungsi Hidung1,2,8
21

Fungsi hidung adalah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut
membantu proses bicara dan refleks nasal.
a. Fungsi respirasi
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi
di bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
b. Penyesuaian udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu. Mengatur kelembaban udara.
Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi keadaan sebelumnya. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan
karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.

c. Indera penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel
bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
d. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

22

e. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
f. Purifikasi udara
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir
(mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikelpartikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
g. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
3. Fungsi Sinus Paranasal1,2,8
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini
adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang
penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru
memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus
paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang
memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar.
Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier
pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada
persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa
sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran
23

udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali
bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ
yang dilindungi.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan

dengan

mukus

dari

rongga

hidung,

namun

efektif

untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
E. Pemeriksaan
24

1. Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan hidung yaitu
dengan cara pemeriksaan hidung luar; rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior
serta nasoendoskopi.
a. Pemeriksaan hidung luar
Pemeriksaan hidung luar dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi. Kelainankelainan yang mungkin didapati adalah kelainan kongenital misalnya agenesis
hidung, hidung bifida, atresia nares anterior, kista dermoid, meningokel dan
meningo-ensefalokel; radang misalnya selulitis; kelainan hidung misalnya saddle
nose; kelainan akibat trauma serta tumor.1
b. Rinoskopi anterior
Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan
memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum dapat dilihat bagian dalam
hidung. Saluran udara harus bebas dan kurang lebih sama pada kedua sisi. Pada
kedua dinding lateral dapat dilihat konka inferior. Hal-hal yang harus diperhatikan
adalah:
1) Mukosa: dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda. Pada radang
berwarna merah, sedangkan pada alergi akan tampak pucat atau kebiru-biruan
(livid).
2) Septum. Biasanya terletak ditengah dan lurus. Diperhatikan apakah terdapat
deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses dan lain-lain.
3) Konka: diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi), hipertrofi,
hipotrofi atau atrofi.
4) Sekret: bila ditemukan sekret di dalam rongga hidung, harus diperhatikan
banyaknya, sifatnya (serus, mukoid, mukopurulen, purulen atau bercampur
darah) dan lokasinya (meatus inferior, medius atau superior). Lokasi sekret ini
penting artinya, sehubungan dengan letak ostium sinus-sinus paranasal dan
dengan demikian dapat menunjukkan dari mana sekret tersebut berasal. Krusta
yang banyak ditemukan pada rinitis atrofi.

25

5) Massa: massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip dan
tumor. Pada anak dapat ditemukan benda asing.1
c. Rinoskopi posterior
Rinoskopi posterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari belakang dengan
menggunakan kaca nasofaring. Dengan mengubah-ubah posisi kaca, kita dapat
melihat koana, ujung posterior septum, ujung posterior konka, sekret yang mengalir
dari hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, ostium tuba dan fosa
Rossenmuller.1
d. Nasoendoskopi
Akhir-akhir ini dikembangkan cara pemeriksaan dengan endoskopi yang disebut
nasoendoskopi. Dengan cara ini bagian-bagian rongga hidung yang tersembunyi
yang sulit dilihat dengan rinoskopi anterior maupun posterior akan tampak lebih
jelas.1
2. Pemeriksaan Sinus paranasal

a. Inspeksi
Pada inspeksi yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak
atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang
menyebabkan pembengkakan ke luar, kecuali bila terbentuk abses.1

b. Palapasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis
maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada
bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah
kantus medius.1

c. Transiluminasi

26

Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk


memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah
infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosaantrum menebal atau
terdapat neoplasma di dalam antrum.1
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transmilunasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya
perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila. Transiluminasi pada sinus
frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak
sama. Gambaraan yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,
sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak
berkembang.1

d. Pemeriksaan Radiologi
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dapat dilakukan
pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, PA dan lateral.
Posisi waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan
etmoid. Posisi postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk
menilai sinus frontal, sfenoid dan etmoid. Metode mutakhir yang lebih akurat untuk
melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT Scan.1
e. Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip,
jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah
ostiumnya terbuka.1

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. Edisi keeenam. FKUI: Jakarta. 2009.
2. Adams, George L. M.D et all. BOIES Fundamentals of otolaryngology. Edisi VI. EGC:
Jakarta. 1997.
3. John Jacob Ballenger. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
Ketigabelas. Binarupa Aksara: Jakarta. 1997.
4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. Thieme: NewYork. 2006.
5. James BS, Ballengers. Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC
Decker: Hamilton. 2002.

28

6. Bailey BJ, Healy GB, Johnson JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology, 3rd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins Publisher. 2001.
7. Vokshoor A, McGregor J. Anatomy of Olfactory System. 2008.
Available from: http://www.emedicine.netscape.com diunduh: 15 September 2012, pukul
17.36 WIB.
8. Guyton, AC, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 9. EGC: Jakarta.1997.

29

Anda mungkin juga menyukai