Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus,
mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi,
tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis
berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993). Zuelser dan Wilson (1948)
mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion
parasimpatis. Sejak saat itu penyakit ini lebih di kenal dengan istilah aganglionosis
kongenital. Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi
ganglion (Kartono, 1993)
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di
Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
(Munahasrini, 2012). Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran
hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya,
penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini
mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom
waardenburg serta kelainan kardiovaskuler. (Munahasrini, 2012)
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi
karena faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah
dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi,
barium,

enema,

rectal

biopsi,

rectum,

manometri

anorektal

dan

melalui

penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Kolon
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat
dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat
pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut
dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista
iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri
sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir
disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis
ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). Usus besar memiliki berbagai fungsi yang
semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling
penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir
yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya
defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses
yang dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya
terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas,
dan mineral yang tidak terabsorpsi.

Gambar 1. Anatomi Usus besar (Kolon)


2.2 Definisi Hisprung
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit
ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar
dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon).
Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion
parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. Penyakit
hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik
karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.
3

2.3 Etiologi Hisprung


Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di
daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai
seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik dan faktor
lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural
pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik
dan sub mukosa dinding plexus (Budi, 2010).

2.4 Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal.
Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus
besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily &
Sowden).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya
bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan
menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson ).
2.5 Manifestasi Klinis
1. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
2. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti
pita.
3. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
4. Nyeri abdomen dan distensi.
5. Gangguan pertumbuhan. (Suriadi, 2001 : 242)
4

1. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai
mekonium.
2. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara
spontan maupun dengan edema.
3. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut.
4. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare
berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
5. Gejala hanya konstipasi ringan. (Mansjoer, 2000 : 380)

Masa Neonatal :

1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.


2. Muntah berisi empedu.
3. Enggan minum.
4. Distensi abdomen.

Masa bayi dan anak-anak :

1. Konstipasi
2. Diare berulang
3. Tinja seperti pita, berbau busuk
4. Distensi abdomen
5. Gagal tumbuh (Betz, 2002 : 197)

Gambar 2. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat
distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.
2.6 Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas
kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter. Enterokolitis
telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit Hirschsprung yang
diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi.
Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas
prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab
terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi
abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa diatas
segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus letak rendah.
Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga
dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh
kuman, dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari

lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya
menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa,
dan dapat menyebabkan enterokilitis. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia
1 minggu Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi
klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
2. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah
narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
3. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas
terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
4. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus. (Ngatsiyah, 1997 : 139)
1. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
2. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
3. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
4. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.

2.8 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan

radiologi

merupakan

pemeriksaan

penting

pada

penyakit

Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema


barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit
Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk membedakan
usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda
khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
7

bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah


daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang tidak
mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.

Gambar 3 Foto polos abdomen pada penderita penyakit Hirschsprung

Gambar 4. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah
transisi yang melebar
2.9

Pemeriksaan patologi anatomi


Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion
pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping
itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis).
Akurasi

pemeriksaan

akan

semakin

tinggi

jika

menggunakan

pengecatan

immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada


serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan
haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan
pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan
enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi
yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang
berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley dkk,2001). Swenson pada tahun
1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot
rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini
sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan

pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun
1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan
pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab
tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk,
Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan
biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley
(1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan
komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).
2.10 Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari
fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam
prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis,
radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen
dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter
mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer (Shafik,2000;
Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah
distensi

rektum

akibat

desakan

feces.

Tidak

dijumpai

relaksasi

spontan

(Kartono,1993; Tamate,1994; Neto,2000).


2.11 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu pembedahan dan konservatif.
1) Pembedahan
Pembedahan pada mega kolon/penyakit hisprung dilakukan dalam dua tahap.
Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double barrel sehingga tonus dan ukuran usus
yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai
4 bulan).

10

Tiga prosedur dalam pembedahan diantaranya:


a. Prosedur duhamel
Dengan cara penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya
di belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan
bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.
b. Prosedur swenson
Membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada
kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter
dilakukan pada bagian posterior
c. Prosedur soave
Dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rektum tetap utuh kemudian
kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis
antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
2) Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui
pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
2.12 Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat bergantung
pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum prognosisnya baik, 90%
pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan
mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai
masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen.
Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

11

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. PZ

Umur

: 1,4 Tahun

Alamat

: Kediri, Lombok Barat

Jenis Kelamin

Perempuan

Agama

Islam

Pekerjaan

Suku

Sasak

No RM

: 137841

Masuk RS

: 12 September 2015

B. ANAMNESIS ( Alloanamnesa)

Keluhan utama

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke poli bedah anak RSUD dengan

: Susah buang air besar

keluhan susah buang air besar yang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, buang air besar
sedikit-sedikit dan tidak pernah tuntas, jika buang air besar hanya sedikit kotoran
yang keluar, 4 hari terakhir ini pasien tidak buang air besar sama sekali, perut pasien
tampak kembung, pasien juga demam sudah 2 hari, muntah (-), buang air kecil
normal. Sejak satu minggu yang lalu pasien mulai sulit makan. Pasien hanya mau
makan 2 sampai 3 sendok nasi dalam sehari, asi (+).

Riwayat Penyakit sebelumnya : Riwayat Atresia Ani ( Operasi di RSUP NTB saat usia
3 hari )

Riwayat Penyakit keluarga


serupa

Riwayat Kelahiran :

: Saat ini tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal

Riwayat kelahiran : spontan dari ibu P1A0 ditolong oleh bidan


Riwayat kehamilan : Aterm, periksa rutin di bidan

12

BBL : 2.900 gram / BB usia 1,4 thn = 6,9 kg


C. PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan umum

: tampak sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda vital

Tekanan darah

: - mmHg

Nadi

: 129 kali/menit

Pernapasan

: 24 kali/menit

Suhu

: 38C

Status general
1. Kepala
a. Bentuk

: normocephal, ubun-ubun cekung (-)

b. Rambut

: warna hitam dan tidak mudah dicabut,

c. Wajah

: simetris, eritem (-), luka (-).

d. Mata

: konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

e. Telinga

: sekret (-), darah (-)

f. Hidung

g. Mulut

: sianosis (-), bibir kering (-)

2. Leher

nafas cuping hidung (-), sekret (-).

: leher simetris, pembesaran kelenjar limfe (-),

3. Thorax
1. Paru-Paru

Inspeksi

: Pergerakan dada simetris kiri dan


kanan, jejas (-).

Palpasi

massa tumor (-).

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Bronkovesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)

2. Jantung

Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak.

Palpasi

: ictus cordis teraba pada linea mid clavicula

sinistra

Perkusi

: batas jantung normal

Auskultasi

S1, S2 regular, murmur (-), gallop (-)

13

4. Abdomen

Inspeksi

Dinding perut > dinding dada, distended (+)

Auskultasi :

Bising usus meningkat (+)

Perkusi

Timpani

Palpasi

Nyeri tekan (-)

5. Ekstremitas
Akral hangat (+) di keempat ekstremitas
Oedem (-) di keempat ekstremitas

D. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Darah Rutin ( 12 September 2015)
Pemeriksaan Darah Rutin
Hasil

Nilai Rujukan

Satuan

WBC

6,18

5.00- 10.0

103/mm3

RBC

6,08

4.00-5.50

106/ uL

HGB

11,7

12.0-17.4

g/dL

HCT

39,3

36.0-52.0

2. Pemeriksaan Elektrolit ( 12 September 2015)


Pemeriksaan
Natrium
Kalium
Clorida

Hasil
139
4,4
-

3. Pemeriksaan PT dan APTT ( 12 September 2015)


Pemeriksaan
Hasil
PT
10.0
APTT

29,3

Nilai Normal
136-145 mmol/L
3,5- 5,1 mmol/L
97-111 mmol/L

Nilai Normal
9.7-13.1 detik
Control PT:10.6 detik
23,9-39,8 Detik
Control APTT : 26,3
detik
14

INR

0,93

E. ASSESMENT
Susp. Hirschprung Disease
F. PLANNING
Colon in Loop
Evakuasi Feses dan Biopsi Pro eksisi rectum

15

G. Pemeriksaan Colon in loop


( 23 September 2015)

16

Plain foto :
Tak tampak batu sepanjang traktus urinarius
Kontur lien dan hepar tak tampak membesar
Kontur ginjal kanan kiri normal
Psoas line kanan kiri simetris

17

Distribusi gas usus normal dengan fecal material


Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak paralumbal soft tissue mass/ sweelling

Contras Study :
Kontras barium diencerkan menggunakan NaCl sebanyak 200cc
Kemudian kontras dimasukkan ke dalam anus melalui foley catheter no 18
Tampak contras mengisi dengan lancar rectum, sigmoid, colon decenden, sampai flexura
lienalis dan kemudian back flow
Mukosa outline colon tampak reguler
Tak tampak filling defek/additinal shadow
Tak tampak ekstravasasi kontras
Tampak transitional zone abrupt type dengan rectosigmoid index <1
Post Evakuasi 24 jam : tampak retensi kontras
Kesan : Menyokong gambaran hirschprung diseases ultra short segment
H. LAPORAN OPERASI ( 15 September 2015 )

18

I. HASIL PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI


Tgl Terima : 15/9/2015
Tgl jawab : 21/9/2015
Makroskopis : Diterima 1 potong jaringan berat kurang dari 5 gram, ukuran 0,4 x 0,2
x 0,2 cm, warna putih abu-abu, irisan putih abu-abu.
Mikroskopis : Menunjukkan jaringan colon, tidak tampak gangglion pada muscularis,
tidak tampak keganasan pada sediaan ini.
Kesimpulan : Rectum- biopsi: Tidak Tampak Ganglion

BAB IV
19

PEMBAHASAN
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik).
Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak
mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar dalam
menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Berdasarkan
panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus
penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus
halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.
Pasien an. PZ usia 1,4 tahun datang ke poli bedah anak RSUD Kota Mataram,
dilakukan alloanamnesa dengan orang tua pasien, ibu pasien mengatakan anaknya susah
buang air besar, yang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, buang air besar sedikit-sedikit
dan tidak pernah tuntas, jika buang air besar hanya sedikit kotoran yang keluar, 4 hari
terakhir ini pasien tidak buang air besar sama sekali, perut pasien tampak kembung,
pasien juga demam sudah 2 hari, muntah (-), buang air kecil normal. Sejak satu minggu
yang lalu pasien mulai sulit makan. Pasien hanya mau makan 2 sampai 3 sendok nasi
dalam sehari, asi (+). Riwayat Penyakit sebelumnya : Riwayat Atresia Ani ( Operasi di
RSUP NTB saat usia 3 hari ). Riwayat Penyakit keluarga : Saat ini tidak ada keluarga
pasien yang mengalami hal serupa. Ibu pasien mengatakan selama hamil dirinya rutin
memeriksakan kehamilannya ke bidan. Pasien merupakan anak pertama lahir normal
ditolong oleh bidan, berat lahir pasien adalah 2.900 gram dan saat usia 1,4 tahun adalah
6. 900 gram. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada abdomen dinding perut > dinding
dada, distended (+), pada auskultasi didapatkan bising usus meningkat (+), Perkusi
didapatkan timpani, pada palpasi tidak didapatkan nyeri tekan. Diperoleh assessment
Susp. Hirschprung Diseases. Planningnya adalah dilakukan pemeriksaan colon in loop,
dan pembedahan untuk efakuasi feses dan biopsi. Dari hasil colon in loop didapatkan
tampak contras mengisi dengan lancar rectum, sigmoid, colon decenden, sampai flexura
lienalis dan kemudian back flow, Mukosa outline colon tampak reguler, Tak tampak
20

filling defek/additinal shadow, Tak tampak ekstravasasi kontras, Tampak transitional


zone abrupt type dengan rectosigmoid index <1, Post Evakuasi 24 jam tampak retensi
kontras sehingga menyokong gambaran hirschprung diseases ultra short segment.
Dilakukan operasi pada pasien pada tanggal 19 Oktober 2015. Dari hasil pemeriksaan
patologi anatomi yaitu Rectum biopsi adalah tidak ditemukannya ganglion.
Manifestasi klinis dari hirschprung diseases dapat memberikan gambaran yang
berbeda sesuai dengan usia, yaitu masa neonatal gagal mengeluarkan mekonium dalam
48 jam setelah lahir, muntah berisi empedu, enggan minum dan distensi abdomen.
Sedangkan pada masa bayi dan anak-anak gejalanya adalah konstipasi, diare berulang,
tinja seperti pita, berbau busuk, distensi abdomen dan gagal tumbuh.
Pemeriksaan

radiologi

merupakan

pemeriksaan

penting

pada

penyakit

Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema


barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit
Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk membedakan
usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda
khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium
dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang tidak
mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Secara umum prognosis untuk penyakit hirschprung diseases baik, 90% pasien
dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan
saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

DAFTAR PUSTAKA
21

Cilley RE, Statter MB, Hirschl RB,et al. Definitive treatment of Hirschsprungs disease in the
newborn with a one stage procedure. Arch Dis Child 2001;84:212-7.
Corcassone M, Guys JM, Lacombe M,et al. Management of Hirschsprungs disease:
Currative surgery before 3 months of age. J Pediatr Surg 1996;30:1132-4.
Engum SA, Petritets M, Rescorla FJ, et al. Familial Hirschsprungs disease: 20 cases in 12
kindreds. J Pediatr Surg 1996;26:1286-90.
Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingots
Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;1997.p.2097-105.
Fujimoto T, Hata J, Yokoyama S,et al. A Study of the extracelluler matrix protein as the
migration pathway of neural crest cells in the gut: Analysis in human embryo with
special reference to the pathogenesis of Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg
1996;30:1120-6.
Heij HA, Vries X, Bremer I,et al. Longterm anorectal function after Duhamel operation for
Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1995;25:430-2.
Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after surgery for
Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443-6.
Hung WT. Treatment of Hirschsprungs disease with modified Duhamel-Grob-Martin
operation. J Pediatr Surg 1996;25:849-52.
Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel
modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.
Klein MD, Phillipart. Hirschsprungs disease: Three decades experience at single institusion.
J Pediatr Surg1995;26:1291-4.
Lee S. Hirschsprungs disease. Arch Dis Child 2002;86:317-26.
Lister J. Complications of Paediatric Surgery. London: Bailliere Tindal; 1996. p.133-42.
Ludman L, Spitz L, Truji H, et al. Hirschsprungs disease: Functional dan psychological
follow up comparyng total colonic and rectosigmoid aganglionis. Arch Dis Child 2002;
86: 348-51.
Milla PJ. Hirschsprungs disease. In: Rudholps pediatrics. 20 th ed. Sanfransisco; Prentice
Hall Intl. Inc.; 1996: 1115-7.
Neto JA, Junior JA.Acquired megacolon. In: New trends in coloproctology. Rio de
Jainero;Livraria:2000.p.329-33.

22

Anda mungkin juga menyukai