BAB I
PENDAHULUAN
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta:
2000, Hlm. 28.
Jimly Asshiddiqie, Dalam Kata Pengantar buku yang berjudul Undang Undang dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang undang Republik Indonesia No. 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2005. Hlm. iii.
3
Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.
4
Ibid., hlm. 9.
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah
Konstitusi
menyebutkan
Mahkamah
Konstitusi
berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
1.
2.
3.
4.
1945;
memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003
Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.
Secara harfiah kata bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum
masing-masing. Frase final diartikan
dan tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga
masyarakat jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung
perolehan suara secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah Konstitusi
tidak dapat atau dilarang memasuki proses peradilan dengan memutus fakta
hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang
menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila
Mahkamah Konstitusi diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun
Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja
dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan
Jurdil. Jika demikian maka Mahkamah Konstitusi selaku institusi negara
pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan sebagai tukang stempel
dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum. Jika hal itu terjadi berarti akan
melenceng jauh dari filosofi dan tujuan diadakannya peradilan atas sengketa
hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut. Terlebih lagi banyak fakta tentang
terjadinya pelanggaran yang belum dapat diselesaikan oleh peradilan umum
karena waktu penyelidikan atau penyidikannya telah habis, sedangkan KPU dan
KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera menetapkan hasil Pemilukada
sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah yang seperti itu adalah ketentuan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah
mengadili dan memutus hasil pemilihan umum dan bukan sekadar hasil
tetapi
sikap
Mahkamah
Konstitusi
tersebut
ternyata
juga
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang atas putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut jika ditinjau
berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo ?
C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
tujuan penulisan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang
atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut
jika ditinjau berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo.
11
BAB II
PEMBAHASAN
12
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New
York: Russell & Russell, 1961
11
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
13
14
pengalaman mengenai hal itu sehingga ditakutkan tidak akan berjalan dengan
efektif.13
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali mengemuka pasca
reformasi tahun 1998, refornasi yang salah satu agendanya adalah mewujudkan
kehidupan ketatanegaraan yang demokratis membawa implikasi terhadap
banyaknya ketentuan-ketentuan fundamental dalam UUD 1945 sebelum
perubahan yang dirubah. Seperti ditinggalkannya prinsip supremasi parlemen
yang substansinya menganggap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh
rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak
terbatas diganti dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan checks
and
balances.14
Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada era reformasi tidak lagi
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan
Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung
menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ
tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah,
(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v)
13
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, Dalam www.jimly.com/makalah/namafile/24/kedudukan_mk-2.doc,
Hlm. 8.
15
perkembangannya,
ide
pembentukan
Mahkamah
Konstitusi
mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang
diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam,
cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan
dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 7B UUD
1945 hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.16
B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar. Disamping itu, ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah
15
16
16
Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.
18
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 8.
19
Sutiyoso, ibid, Hlm.9.
17
Mahkamah
Konstitusi
Dalam
Sistem
Ketatanegaraan
Republik
Indonesia.Dalamhttp//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sist
em_ketatanegaraan. doc
21
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD 1945 setelah perubahan keempat
tahun 2002 dalam struktur kelembagaan RI terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai
kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD.
Kedelapan organ tersebut adalah; 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 2.Dewan Perwakilan
Daerah (DPD); 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 4. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK); 5. Presiden dan Wakil Presiden; 6. Mahkamah Agung (MA); 7.Mahkamah Konstitusi
(MK); dan 8. Komisi Yudisial (KY). Kedelapan organ tersebut kewenangannya berdasarkan
perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power). Lihat dalam Nimatul Huda.
2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 151-152.
18
2.
3.
4.
1945;
memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan yang dimiliki Mahkamah konstitusi untuk menguji undang-
undang terhadap UUD sering disebut dengan istilah judicial review. Secara
teoritik maupun praktek dikenal dua macam pengujian, yaitu pengujian formal
(formale toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meteriele toetsingsrecht).
Pengujian formal ialah pengujian dengan cara menilai apakah produk legislatif
dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan mengidentifikasi apakah suatu
kekuasaan berhak megeluarkan peraturan tertentu. Adapun yang dimaksud
dengan pengujian materiil ialah pengujian dengan cara menyelidiki dan menilai
apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan
peraturan yang lebih tinggi.22 Dan menurut Prof. Mahfud hal ini didasarkan atas
alasan bahwa hukum adalah produk politik yang pasti tidak steril dari
22
19
20
secara hukum tidak lagi diakui. Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan
syarat mutlak bagi pemerintah untuk membubarkan partai poltik tertentu.26
Kewenangan keempat yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Esensi
dari kewenangan ini adalah penilaian terhadap perhitungan hasil pemilihan
umum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. 27 Adapun pihak-pihak
yang berhak untuk mengajukan permohonan ini antara lain :
1.
2.
Daerah
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu Presiden dan
3.
ketentuan Pasal 24C ayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945, Mahkamah
Kosntitusi juga diberikan kewenangan untuk memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.29 Putusan Mahkamah konstitusi
tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk mengadakan rapat paripurna bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan meminta pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden, hasil rapat
26
21
paripurna
tersebutb
dapat
dijadikan
pertimbangan
oleh
MPR
untuk
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hlm. 39-40. Lihat juga Pasal 3 ayat (3) jo
Pasal 7A jo Pasal 7B ayat (1), (6), dan ayat (7) Amandemen Ketiga UUD 1945.
31
Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.
22
23
Mariyadi Faqih, Nilai-Nilai Filoso Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, hal. 114
24
fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan UndangUndang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri,
terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum
administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja
kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian
Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih
belum terfasilitasi dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan
terbentuknya MK menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di
Indonesia, beberapa wilayah yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh
hukum, sekarang dapat dilakukan oleh MK, termasuk kewenangan-kewenangan
lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.33
Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hukum
yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undangundang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan
konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti
undang-undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara
demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita
hukum dan nilai-nilai konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada
prinsip menegakkan keadilan substantif. Penegakan keadilan dalam proses
peradilan itulah yang saat ini digali MK sedalam-dalamnya untuk mewujudkan
33
25
26
yang
tidak
bisa
dilepaskan
dari kekhilafan,
terlebih
pasca
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 196.
27
28
tidak bisa di awasi oleh lembaga lain, dan masih debatable-nya rumusan
keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan
komposisi hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga
negara tersebut memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung
jawabkan. Namun, ke depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi
hakim di MK. Sehingga kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena
dan cenderung arogan bisa saja muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral
dan jiwa negarawan yang baik. Oleh karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan
dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan keadilan substantif yang di agungagungkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan
asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan,
dan terakhir barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan
selanjutnya, dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern,
pilihan prioritas yang sudah dibakukan kadang-kadang justru bertentangan
dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu, sebab bisa jadi
kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian hukum atau
mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih diprioritaskan
ketimbang kemanfaatan dan keadilan.
D. Upaya Peninjauan Ulang Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Yang
Bersifat Final dan Mengikat Menurut Teori Hukum Satjipto Raharjo
Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi antar
benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk
menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan pada
29
sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima apapun
yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari permohonan para
pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan pengujian.
Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung
dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya
hukum terhadap putusan tersebut. Sifat final putusan MK tak lain merupakan
upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan
konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan
umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum
terhadap putusannya maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan
kasus tersebut selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik
waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas
peradilan yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final
putusan juga mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian
hukum bagi para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan
bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh.
Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat
mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah
mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat binding putusan
30
MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya
sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.
MK adalah lembaga yang sangat besar kewenangannya dalam sistem tata
negara Indonesia pasca reformasi. MK adalah lembaga penjaga konstitusi,
benteng terakhir penegakan konstitusi, penjaga agar kehidupan bernegara di
Indonesia tidak melenceng dari yang digariskan dalam hukum dasar/konstitusi
(Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945). MK bisa disebut sebagai
lembaga yang secara relatif bisa dilihat mengatasi lembaga eksekutif dan
legislatif, karena apa yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif bisa
dimentahkan oleh MK. Karena itu jika terjadi apa-apa di MK maka itu tentu
sangat berbahaya dan mengkhawatirkan, mengingat besarnya tanggungjawab
dan kewenangan yang ada di pundak para hakim MK, berikut besarnya harapan
dan kepercayaan masyarakat umum kepada lembaga MK.
Kewenangan MK yang begitu besar itu (yang diatur dalam pasal-pasal di
UUD 1945 dan pasal-pasal UU 24/2003 tentang MK ) antara lain bisa kita lihat
bahwa MK mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD.
Disini kita lihat MK sebagai sebuah lembaga peradilan berwenang untuk
membatalkan suatu ayat, pasal, atau bahkan keseluruhan UU tersebut bilamana
bagian dalam UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kita bisa bayangkan
bagaimana sebuah produk hukum yang dibuat bersama oleh DPR sebagai
perwakilan rakyat bersama pemerintah yang juga dipilih rakyat, bisa dibatalkan
oleh 9 orang hakim konstitusi ini. Kita juga bisa melihat pada kewenangan MK
yang lainnya, yaitu memutus sengketa pemilu (Termasuk pemilukada). Di sini
31
bisa kita lihat bahwa di tangan 9 hakim konstitusi, masa depan suatu daerah
digenggam. Siapakah yang akan menjadi kepala daerah di daerah tersebut akan
ditentukan oleh MK, jika hasil pemilukada itu digugat dan MK kemudian
menetapkan perhitungan pihak mana yang sah dan benar. Begitu pula dalam
pemilihan umum nasional, penentuan siapa yang menjadi wakil rakyat bahkan
siapa yang menjadi presiden RI pun berada di tangan MK, jika sekiranya hasil
pengumuman KPU mengenai pemilu tersebut digugat. Kemudian kewenangan
MK yang lainnya adalah memutus pembubaran partai politik. Bisa kita
bayangkan disini MK memegang kekuasaan yang sangat besar untuk merampas
hak asasi warga dalam berserikat dan berkumpul, yang salah bentuknya adalah
mendirikan parpol. Pasca tertangkapnya Akil oleh KPK terjadi proses
delegitimasi MK di mata publik. MK melakukan berbagai cara, mulai dari
memperbaiki standar pengamanan sidang hingga meminta pengacara tak
menggoda hakim dengan gelimang uang. Bahkan wacana untuk meninjau ulang
putusan MK terkait sengketa pemilukada semakin kencang dilayangkan berbagai
pihak di masyarakat maupun aparatur hukum lainnya berkenaan dengan sifat
final dan mengikatnya putusan MK.
Mahkamah Konstitusi berada di ujung tanduk. Lembaga yang dahulunya menjadi
tempat pengeluhan masyarakat atas ketimpangan undang undang terhadap UUD 1945
dan keputusan keputusan mengenai pilihan mereka terhadap pemimpin daerahnya,
kini mengalami degradasi kredibilitas. Perpu yang diterbitkan Presiden sebagai respon
atas kasus ini bertentangan dengan putusan MK sendiri pada 2006 lalu tentang
pengawasan terhadapnya oleh Komisi Yudisial. Pendapat tentang hukuman yang layak
bagi Akil Mochtar sebagai objek utama jatuhnya wibawa Mahkamah Konstitusi
32
menjadikan hal ini semakin menjadi jadi. Sepintas, Mahkamah Konstitusi telah
mengalami keruntuhan imunitas dengan adanya operasi tangkap tangan oleh KPK ini.
Satu satunya lembaga yang tidak mendapatkan pengawasan formal berdasarkan
undang undang manapun juga, kini menjadi bulan bulanan media, negarawan,
legislator, bahkan Presiden sendiri. Kredibilitas Mahkamah Konstitusi yang dahulunya
superior, sedang jatuh terjerembab ke jurang yang cukup dalam oleh perilaku satu orang
saja. Disini kontrol sosial masyarakat terhadap hukum memegang peranan penting
dalam setiap reaksi yang timbul dari pihak yang disebutkan tadi, yang akan
mengarahkan pada situasi yang secara kasat mata cenderung chaotic, tapi pada
akhirnya, saya cukup yakin, kontrol sosial masyarakat terhadap hukum jugalah yang
akan membawa situasi ini kembali pada jalur yang benar, entah dalam bentuk
keruntuhan Mahkamah Konstitusi, ataupun keberhasilan penjagaan kredibilitasnya di
mata masyarakat.36
36
Lesza Leonardo Lombok, S.H., LL.M., Operasi Tangkap Tangan KPK: Runtuhnya
Imunitas Mahkamah Konstitusi?. www. ManadoPost.com. Diunduh pada tanggal 31 Januari
2013
33
tetapi harus juga memberikan kepastian yang berkeadilan dan sudah saatnya
Hakim harus memberi tafsir baru pada final dan mengikat37
Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang
dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo
merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan
bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum
itu sendiri.
Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat,
melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta
melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut
berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan
mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila
perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta
menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya
37
Muhammad Yasin. Menguji Sifat Final dan Mengikat dengan Hukum Progresif.
hukumonline.com . diunduh tanggal 31 Januari 2013
34
mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau
keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan
untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmuilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,
tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di
rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang
terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan
holistik dalam ilmu (hukum).38
Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu
dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan
bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan
sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara
lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.
Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,
melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu,
hukum
progresif
meninggalkan
tradisi
analytical
jurisprudence
atau
rechtsdogmatiek.
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan
serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan
35
peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat
responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri .
Sehingga sudah saatnya para penegak hukum baik itu hakim, ahli hukum,
aparat hukum serta seluruh elemen masyarakat mulai untuk melakukan
terobosan baru atau tafsir-tafsir baru dengan teori hukum yang sudah ada
disesuaikan dengan fakta hukum yang terjadi dimasyarakat sekarang, termasuk
wacana peninjauan ulang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat.
Jadi hukum harus melihat dinamika yang mewarnai masyarakat dan bersifat
fleksibel terhadap perubahan masyarakat sehingga adagium 'Hukum berjalan
terpincang-pincang di belakang masyarakat' dapat di atasi. Prof Tjip
mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang
menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari
hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang
pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu
diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema
yang telah dibuat oleh hukum. Pasal-pasal yang ada dalam peraturan
perundangan-undangan harus dikontektualisasi dalam dinamika masyarakat agar
dapat mencapai keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan tidak dapat
ditafsirkan secara litelar dan dogmatis atas dasar kepastian hukum.
36
penguasaan
terhadap
perundang-undangan
yang
berakibat
Aditya
Nugraha
Iskandar.
Paradigma
Hukum
http://iskandarcentre.blogspot.com/favicon.ico. diunduh tanggal 1 Jauari 2014
39
Progresif.
37
ulang, bagaimana pula dengan hak-hak yang sudah timbul dari putusan
sebelumnya.
Di sisi lain, banyak pula ahli hukum bahkan masyarakat di Indonesia yang
mendukung adanya peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi pasca
terbongkarnya kasus suap M. Akil Mochtar di MK. Tindak lanjutnya kemudian
adalah bagaimana sikap hakim lainnya yang berani berpola pikir out of the box
dalam menangani suatu perkara hukum yang fakta-faktanya tidak lagi dibahas
secara mendetil dalam sebuah aturan hukum yang ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasca terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan
ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang
terkait dengan perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan
pertanyaan besar pada integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dihadapkan dengan sifat final dan
38
mengikat atas putusan Mahkamah Konstitusi serta isu peninjauan ulang terhadap
putusan MK tersebut.
Permasalahan peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi itu
sebenarnya bisa saja dilakukan jika menengok atau diselesaikan dengan
kacamata hukum progresif seperti teori yang telah dikemukakan oleh Prof.
Satjipto Raharjo.
Menurut beliau rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu
melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam
hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Berangkat
dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja
dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan,
kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi
perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) sudah saatnya para hakim
befikir out of the box.
B. Saran
Hendaknya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi menjadi pelajaran bagi
semua elemen masyarakat khususnya para penegak keadilan yang cukup
menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sangatlah lemah, sehingga
sebuah Mahkamah Konstitusi saja tertangkap tangan melakukan tindak pidana
korupsi. Sekarang ini kita tidak hanya bisa mengandalkan peraturan baku yang
sudah lama dibuat sehingga menundukkan kita semua kedalam aturan yang
senyatanya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Sudah saatnya para penegak keadilan lebih mengedepankan jiwa yang
berkeadilan
sesungguhnya
sehingga
dapat
mengembalikan
kepercayaan
39
masyarakat kembali, para penegak keadilan sudah saatnya untuk bisa berpikir
diluar kebiasaan bukan karena alasan yang tidak jelas melainkan karena
kebutuhan serta fakta dilapangan yang juga berkembang seiring dengan
mobilisasi jaman.