Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pasca berakhirnya kekuasaan orde baru pada bulan Mei 1998, muncul
berbagai tuntutan perubahan disegala bidang, dan salah satu yang menjadi
tuntutan pokok adalah adanya reformasi bidang politik, hukum dan
ketatanegaraan, yaitu adanya keinginan untuk melakukan amandemen Undangundang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam kaedah ilmu
hukum tata negara maupun ilmu politik, salah satu cara perubahan konstitusi
atau UUD 1945 adalah dengan sistem amandemen. Keinginan untuk melakukan
perubahan atas UUD 1945 tersebut disampaikan melalui dua cara yaitu, dengan
melakukan perubahan total atau secara keseluruhan dan ada pula yang
menghendali dilakukan perubahan sebagian atau dengan cara melakukan
amandemen.1
Sebagai buah dari reformasi nasional tahun 1998, UUD 1945 telah
mengalami beberapa kali perubahan yang dilaksanakan secara bertahap, yakni
pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan perubahan-perubahan itu,
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar mengalami
pergeseran dan perubahan mendasar, sehingga mengubah pula corak dan format
kelembagaan serta mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga negara yang
ada karena dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terdapat
1

Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta:
2000, Hlm. 28.

organ negara yang sebelumnya ada dihapuskan dari ketentuan Undang-Undang


Dasar, misalmya, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya diatur
dalam pasal 16 bab VI ditiadakan dari naskah Undang-Undang Dasar. Di
samping itu, ada pula organ negara yang sebelumnya tidak ada justru diadakan
menurut ketentuan yang baru, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).2
Salah satu buah reformasi sebagaimana amandemen UUD 1945 adalah
dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi.3
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal
ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.4
Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen
Ketiga Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berwenang
2

Jimly Asshiddiqie, Dalam Kata Pengantar buku yang berjudul Undang Undang dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang undang Republik Indonesia No. 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2005. Hlm. iii.
3
Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.
4
Ibid., hlm. 9.

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003
sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah

Konstitusi

menyebutkan

Mahkamah

Konstitusi

berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
1.

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

2.

Indonesia Tahun 1945;


memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

3.
4.

1945;
memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003

sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012


tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan


perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lagi yakni memeriksa
dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya
menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan wewenang peradilan
sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Undangundang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang menempatkan
pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.5
Dengan adanya perubahan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tersebut,
Mahkamah Konstitusi kemudian membuat aturan yang dijadikan pedoman
beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi No, 15 Tahun
2008. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagaimana
di atur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No.
24 Tahun 2003 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No.
8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian juga di atur dalam ketentuan
Pasal 13 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,
yang bunyinya Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat.

Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.

Secara harfiah kata bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum
masing-masing. Frase final diartikan

sebagai terakhir dari rangkaian

pemeriksaan, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai mengeratkan dan


menyatukan.6 Arsyad Sanusi menjelaskan perbedaan putusan Mahkamah
Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Dikatakan Arsyad, putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat erga omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh
setiap warga negara. Selain itu putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,
tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Sedangkan
putusan Mahkamah Agung bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak
bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum, diperkenankan
melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. 7
Sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menuntut kepada para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan
yang benar, tepat serta dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
para pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi disisi lain,
kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
termasuk hakim pada Mahkamah Konstitusi dipangkas melalui putusan judicial
review oleh Mahkamah Konstitusi No : 005/PUU-IV/2006, tertanggal 23
Agustus 2006, yang dibuat berdasarkan permohonan pengujian atas Undangundang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 30 orang Hakim
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka,
Jakarta, 2001, hlm. 317.
7
Putusan MK Bersifat Erga Omnes, 19 Mei 2010, http://www.mahkamahkonsitusi.go.id.

Agung. Alasan Mahkamah Konstitusi memangkas berbagai kewenangan Komisi


Yudisial tersebut antara lain, belum adanya kriteria yang jelas tentang perilaku
hakim sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tumpang tindih
dengan pengawasan teknis yustisial yang dilakukan secara melekat oleh
pimpinan Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman.8
Dengan pembatalan beberapa norma dalam Undang-undang No. 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial yang berkaitan dengan pengawasan terhadap
Hakim Mahkamah Konstitusi menimbulkan kekosongan hukum dan ketiadaan
aturan siapa yang dapat mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi secara
ekternal.
Disisi lain dalam praktiknya, sebagaimana tertuang dalam beberapa
putusannya, Mahkamah Konstitusi cenderung memberikan putusan-putusan
yang kontroversial, dikatakan kontroversial karena Mahkamah Konstitusi telah
menciptakan norma hukum baru sesuai dengan keyakinan hakim (judge made
law).9 Mahkamah Konstitusi sering menerabas ketentuan-ketentuan formil yang
berkaitan dengan Hukum Acara. Dalam beberapa putusan perkara perselisihan
hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi tidak jarang memberikan putusan yang
menciptakan norma hukum baru yang didasarkan atas penafsiran dan keyakinan
Hakim semata, sehingga tidak jarang putusan-putusan yang diberikan adalah
putusan yang ultra petita atau ultra vires.

Mahfud, op. cit., 445


Helmi Kasim, Syukri Asyari, Meyrinda R. Hilipito, Rio Tri Juli Putranto, Kompatibilitas
Metode Pembuktian dan Penafsiran Hakim Konstitusi dalam Putusan Pemilukada, Pusat
Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Kesekretarian Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2011.
9

Dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam perkara


perselisihan perhitungan hasil suara Pemilukada, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum yang menjadi norma baru untuk memperlebar
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara
tersebut, sebagai contoh dalam pertimbangan hukum putusan perkara
perselisihan hasil suara Pemilukada Kabupaten Tebo, Nomor : 33/PHPU.DIX/2011, tanggal 13 April 2011, pada putusan tersebut Mahkamah Konstitusi
menurunkan pertimbangan hukum yang memperlebar kewenangannya dalam
memeriksa dan mengadilai perkara pemilukada, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa dalam menangani sengketa Pemilu ataupun Pemilukada
perlu pemaknaan dan pandangan hukum yang memberikan penafsiran yang luas
demi tegaknya keadilan, Mahkamah Konstitusi tidak hanya terpaku secara
harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan
Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil
perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU
12/2008 menyatakan :
Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon,
dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, Objek perselisihan Pemilukada
adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang
mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti
putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah;
Mahkamah Konstitusi berpandangan, sebagai pengawal konstitusi dan
pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita

dan tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga
masyarakat jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung
perolehan suara secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah Konstitusi
tidak dapat atau dilarang memasuki proses peradilan dengan memutus fakta
hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang
menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila
Mahkamah Konstitusi diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun
Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja
dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan
Jurdil. Jika demikian maka Mahkamah Konstitusi selaku institusi negara
pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan sebagai tukang stempel
dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum. Jika hal itu terjadi berarti akan
melenceng jauh dari filosofi dan tujuan diadakannya peradilan atas sengketa
hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut. Terlebih lagi banyak fakta tentang
terjadinya pelanggaran yang belum dapat diselesaikan oleh peradilan umum
karena waktu penyelidikan atau penyidikannya telah habis, sedangkan KPU dan
KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera menetapkan hasil Pemilukada
sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Dasar konstitusional atas sikap Mahkamah yang seperti itu adalah ketentuan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah
mengadili dan memutus hasil pemilihan umum dan bukan sekadar hasil

penghitungan suara pemilihan umum saja. Mahkamah sebagai lembaga


peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili hasil pemilihan umum dan bukan
sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan sebagai peradilan
yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam proses-proses
pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada.
Akan

tetapi

sikap

Mahkamah

Konstitusi

tersebut

ternyata

juga

menimbulkan ketidakpastian hukum dan terkesan mengenyampingkan rasa


keadilan masyarakat, mengingat sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final
dan mengikat. Masih segar diingatan kita ketika Mahkamah Konstitusi
memutuskan untuk mendiskualifikasi salah satu pasangan calon yang dinyatakan
menang oleh KPUD dalam Pemilukada Kotawaringin Barat, putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut jelas menerabas koridor hukum yang sebenarnya hanya
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan
memutus perselisihan hasil perhitungan suara Pemilukada bukan untuk
mendiskualifikasi salah satu pasangan calon, putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut akhirnya menimbulkan konflik sosial di Kabupaten Kotawaringin Barat
yang berujung kepada pembakaran rumah dinas Bupati Kotawaringin Barat.
Selain itu paska terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan
ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang
terkait dengan perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan
pertanyaan besar pada integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dihadapkan dengan sifat final dan
mengikat atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

10

Keadaan-keadaan yang demikian tentu menimbulkan pertanyaan apakah


ketentuan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat tersebut telah selaras dengan asas keadilan sebagaimana tersurat dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa Peradilan negara menerapkan
dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan apakah dapat
dilakukan peninjauan ulang atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat tersebut ditinjau dari teori hukum progresif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang atas putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut jika ditinjau
berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo ?
C. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
tujuan penulisan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah dibenarkan melakukan upaya peninjauan ulang
atas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut
jika ditinjau berdasarkan teori hukum Sadjipto Raharjo.

11

BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum menjawab permasalahan mengenai apakah putusan Mahkamah


Konstitusi yang bersifat final dan mengikat khusus dalam sengketa pemilukada
telah selaras dengan asas keadilan dalam penerapan dan penegakan hukum
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan dilakukannya upaya peninjauan ulang atas
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut jika
dikaitkan dengan teori hukum Sadjipto Raharjo maka sebaiknya dalam makalah

12

ini Penulis uraikan tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia serta


kewenangan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK).
A. Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia
Dalam sejarah dunia, pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga
yang tersendiri atas dasar kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara
khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah
Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi
(undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar
kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan
diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan
dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi
Federal Austria.10 Menurut Hans Kelsen11, kemungkinan muncul persoalan
konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja
berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga
berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini adalah
problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute)
hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak
berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah
jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan
10

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New
York: Russell & Russell, 1961
11
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.

13

suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan


inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku.
Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, gagasan mengenai perlu
tidaknya dibentuk sebuah Mahkamah Konstitusi telah diwacanakan sebelum
Indonesia merdeka. Yaitu ketika sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tahun 1945. Ketika itu M. Yamin yang
merupakan salah satu anggota dari BPUPK berpendapat bahwa Mahkamah
Agung (MA) perlu diberi wewenang untuk menguji apakah undang-undang yang
dibuat oleh DPR tidak bertentangan dengan UUD, hukum adat yang diakui, atau
syariat agama Islam.12 Walaupun memang dalam pendapat tersebut tidak
disebutkan secara explisit keharusan membentuk sebuah Mahkamah Konstitusi,
akan tetapi secara implisit substansi pendapat M. Yamin tersebut mengarah
kepada hal itu.
Akan tetapi ide M. Yamin tersebut banyak ditentang oleh beberapa
kalangan, salah satu orang yang paling menentang pada saat itu adalah Prof.
Soepomo. Prof. Soepomo membatah dengan dua alasan antara lain : pertama,
UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945)
tidak mempergunakan teori trias politika, karena menurut Prof. Soepomo
kewenangan pengujian atas undang-undang yang diwacanakan oleh M. Yamin
tersebut hanya terdapat pada negara-negara yang melaksanakan trias politika,
kedua, menurut Prof. Soepomo para ahli hukum Indonesia tidak memiliki
12

Satya Arinanto, Mahkamah Konstitusi RI dan Konstitusionalisme Indonesia. Artikel


ini disusun atas permintaan Hanns Seidel Foundation di Jakarta, sebagai suatu Ko-referensi
Indonesia dari perspektif akademis terhadap penerbitan artikel-artikel Prof. Dr. Siegfried Bross
dalam buku: Hukum Konstitusi Republik Jerman; Beberapa Putusan Terpilih yang diterbikan
oleh Hanns Seidel Foundation bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
2008, Hlm, 2.

14

pengalaman mengenai hal itu sehingga ditakutkan tidak akan berjalan dengan
efektif.13
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali mengemuka pasca
reformasi tahun 1998, refornasi yang salah satu agendanya adalah mewujudkan
kehidupan ketatanegaraan yang demokratis membawa implikasi terhadap
banyaknya ketentuan-ketentuan fundamental dalam UUD 1945 sebelum
perubahan yang dirubah. Seperti ditinggalkannya prinsip supremasi parlemen
yang substansinya menganggap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh
rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak
terbatas diganti dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan checks

and

balances.14
Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada era reformasi tidak lagi
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan
Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia
terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung
menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ
tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah,
(iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v)
13

Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik


Indonesia,Dalamhttp//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sist
em_ketatanegaraan. doc
14

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, Dalam www.jimly.com/makalah/namafile/24/kedudukan_mk-2.doc,
Hlm. 8.

15

Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah


Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut,
terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam
UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik
Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga
yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan
dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak
disebut namanya Bank Indonesia, dan (ii) komisi pemilihan umum yang
juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia
maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan
pemilihan umum merupakan lembaga- lembaga independen yang mendapatkan
kewenangannya dari Undang-Undang.15
Dalam

perkembangannya,

ide

pembentukan

Mahkamah

Konstitusi

mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang
diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam,
cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan
dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 7B UUD
1945 hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.16
B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar. Disamping itu, ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah
15
16

Asshiddiqie, ibid, Hlm.1.


www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.profilMK&id=1.

16

negara hukum, yang menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasan


mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik berdasarkan
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.17
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi
penting perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.18
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal
ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.19
Sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juga disebutkan, Mahkamah konstitusi merupakan salah
satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 Undang-undang No. 24
17

Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan , dan Ideologi, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 1.
18
Bambang Sutiyoso, SH. M.Hum, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 8.
19
Sutiyoso, ibid, Hlm.9.

17

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, dapat dicermati


bahwa mahkamah konstitusi merupakan lembaga yang mandiri di bidang
yudisial. Kedudukan mahkamah konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
dalam sistem kelembagaan negara di Indonesia dimaksudkan sebagai lembaga
yang mandiri untuk menyelenggarakan peradilan terhadap perkara-perkara
ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan pasal 7B jo pasal 24C
perubahan ketiga UUD 1945.20 Dengan demikian, pasca perubahan ketiga UUD
1945 kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu, Mahkamah
Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), ini rrtinya Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar.21
Mahkamah Konstitusi menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen
Ketiga Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
20

Mahkamah
Konstitusi
Dalam
Sistem
Ketatanegaraan
Republik
Indonesia.Dalamhttp//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sist
em_ketatanegaraan. doc
21
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD 1945 setelah perubahan keempat
tahun 2002 dalam struktur kelembagaan RI terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai
kedudukan sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD.
Kedelapan organ tersebut adalah; 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 2.Dewan Perwakilan
Daerah (DPD); 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 4. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK); 5. Presiden dan Wakil Presiden; 6. Mahkamah Agung (MA); 7.Mahkamah Konstitusi
(MK); dan 8. Komisi Yudisial (KY). Kedelapan organ tersebut kewenangannya berdasarkan
perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power). Lihat dalam Nimatul Huda.
2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 151-152.

18

Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2003


sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 8 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
1.

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

2.

Indonesia Tahun 1945;


memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

3.
4.

1945;
memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewenangan yang dimiliki Mahkamah konstitusi untuk menguji undang-

undang terhadap UUD sering disebut dengan istilah judicial review. Secara
teoritik maupun praktek dikenal dua macam pengujian, yaitu pengujian formal
(formale toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meteriele toetsingsrecht).
Pengujian formal ialah pengujian dengan cara menilai apakah produk legislatif
dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak dan mengidentifikasi apakah suatu
kekuasaan berhak megeluarkan peraturan tertentu. Adapun yang dimaksud
dengan pengujian materiil ialah pengujian dengan cara menyelidiki dan menilai
apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan
peraturan yang lebih tinggi.22 Dan menurut Prof. Mahfud hal ini didasarkan atas
alasan bahwa hukum adalah produk politik yang pasti tidak steril dari
22

Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah


Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hlm.23.

19

kepentingan-kepentingan politik anggota lembaga yang membuatnya sehingga


sangat potensial mengandung penyimpangan-penyimpangan.23
Kewenangan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sengketa kewenangan
lembaga negara yang dimaksud adalah pertama, merupakan sengketa
kewenangan antar lembaga, kedua, keweangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, dan ketiga, lembaga negara tersebut memiliki kepentingan
lansung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.24
Esensi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
tersebut adalah merupakan cerminan suatu fungsi kontrol dari badan peradilan
terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga negara yaitu dengan
menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan lembaga negara sesuai
dengan proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur menurut UUD.25
Kewenangan ketiga yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap
Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan untuk memutus pembubaran partai
politik. Esensi dari kewenangan ini adalah juga merupakan fungsi kontrol
terhadap partai politik. Apabila suatu partai politik diputuskan pembubarannya
oleh Mahkamah Konstitusi, maka keberadaan partai politik yang bersangkutan
23

Moh. Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:


LP3ES, 2006, Hlm. 37.
24
Fatkhurrohman dkk, Op.Cit, hlm. 37.
25
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay. 2006. Mahkamah Konstitusi; Memahami
Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hlm 36-37.

20

secara hukum tidak lagi diakui. Putusan Mahkamah Konstitusi juga merupakan
syarat mutlak bagi pemerintah untuk membubarkan partai poltik tertentu.26
Kewenangan keempat yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah
kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Esensi
dari kewenangan ini adalah penilaian terhadap perhitungan hasil pemilihan
umum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. 27 Adapun pihak-pihak
yang berhak untuk mengajukan permohonan ini antara lain :
1.

Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan

2.

Daerah
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilu Presiden dan

3.

Wakil Presiden, dan


Partai politik peserta pemilu.28
Selain kewenangan-kewenangan sebagaimana tersebut di atas, menurut

ketentuan Pasal 24C ayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945, Mahkamah
Kosntitusi juga diberikan kewenangan untuk memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.29 Putusan Mahkamah konstitusi
tersebut dapat dijadikan dasar hukum bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk mengadakan rapat paripurna bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan meminta pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden, hasil rapat

26

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, ibid, hlm. 36-37.


Ibid, hlm.39.
28
Fatkhurrohman dkk, Op.Cit. hlm. 50. Lihat juga ketentuan pasal 74 ayat (1) UndangUndang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
29
Lihat ketentuan Pasal 24C ayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945.
27

21

paripurna

tersebutb

dapat

dijadikan

pertimbangan

oleh

MPR

untuk

memberhentikan atau tidak Presiden/Wakil Presiden.30


Selain itu, dikeluarkannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang
merupakan perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lagi
yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada)
yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan wewenang
peradilan sengketa hasil pilkada ini merupakan konsekuensi dari ketentuan
Undang-undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang
menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.31
Dengan adanya perubahan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tersebut,
Mahkamah Konstitusi kemudian membuat aturan yang dijadikan pedoman
beracara dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi No, 15 Tahun
2008. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagaimana
di atur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) Amandemen Ketiga Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No.
24 Tahun 2003 sebagaimana dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No.
8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian juga di atur dalam ketentuan
Pasal 13 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008 Tentang
30

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hlm. 39-40. Lihat juga Pasal 3 ayat (3) jo
Pasal 7A jo Pasal 7B ayat (1), (6), dan ayat (7) Amandemen Ketiga UUD 1945.
31
Moh. Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi, Jurnal Hukum No. 4, Vol. 16, Oktober 2009, Hlm. 444.

22

Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah,


yang bunyinya Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat.
C. Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat
dalam Prespektif Asas Keadilan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara
yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA).
Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasca Perubahan Keempat. Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang
dibentuk melalui konstitusi, MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan
tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi,
Mahkamah Konstitusi mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga
terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat
final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus
dilaksanakan dan tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas
putusan tersebut.

23

Sifat final tersebut juga berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi


langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan
dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat
mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan peradilan pada
umumnya. Jika di Peradilan Umum putusan hanya mengikat bagi para pihak
berperkara (interparties) maka putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat
bagi semua orang dan badan hukum yang ada di Indonesia.Sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negatif legislator yang bersifat erga
omnes.
Makna mengikat berarti memiliki akibat hukum bahwa para pihak yang
berperkara, dan para pihak tersebut harus menanggung akibat putusan tersebut.
Terkait dengan prinsip negara hukum dimana tujuan utama dari suatu negara
adalah terwujudnya supremasi hukum (supremacy of law), dimana untuk
mewujudkannya salah satunya adalah dengan menggunakan putusan hakim
sebagai tolak ukur moral dan yuridis.
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang mengikat
dan final maka putusan tersebut haruslah didasari oleh nilai-nilai filosofi dan
mempunyai nilai kepastian hukum yang mengikat, yang bertenggger pada nilai
nilai keadilan. Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan serta bermuara pada keadilan dan kepastian hukum. Keadilan
menjadi substansi utama yang idealnya menentukan putusan Mahkamah
Konstitusi.32
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman,
Mahkamah Konstitusi juga bersifat independen, baik secara struktural maupun
32

Mariyadi Faqih, Nilai-Nilai Filoso Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, hal. 114

24

fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan UndangUndang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri,
terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum
administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja
kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan serta administrasi kepegawaian
Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Hadirnya MK juga membawa harapan terwujudnya keadilan yang masih
belum terfasilitasi dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahkan
terbentuknya MK menandai era baru dalam system kekuasaan kehakiman di
Indonesia, beberapa wilayah yang tadinya tidak tersentuh (untouchable) oleh
hukum, sekarang dapat dilakukan oleh MK, termasuk kewenangan-kewenangan
lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.33
Sehingga, harapanpun kembali muncul dengan hadirnya lembaga hukum
yang salah satu tugasnya menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undangundang, yaitu MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan
konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). Produk hukum seperti
undang-undang, meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara
demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita
hukum dan nilai-nilai konstitusi. Oleh karenanya dengan mengacu kepada
prinsip menegakkan keadilan substantif. Penegakan keadilan dalam proses
peradilan itulah yang saat ini digali MK sedalam-dalamnya untuk mewujudkan

33

Bambang Sutiyoso, Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan


Kehakiman di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010, hlm. 26

25

keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu


dengan apa yang ditetapkan undang-undang (procedural justice).
Paradigma keadilan substantif mulai di blow up oleh MK dalam acara
Refleksi Kinerja MK 2009, jargon yang memprioritaskan subtansi keadilan itu
dilontarkan langsung oleh ketua MK, Prof. Mahfud MD. Alasan yang muncul
keharusan ditegakannya keadilan substantif karena keadilan berdasarkan hukum
tidak selalu terkait kepada ketentuan-ketentuan formal-prosedural. Hal itulah
yang kemudian menjadi acuan dalam diri hakim MK saat memberikan putusan
pada setiap perkara yang masuk ke lembaganya.
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental
yang terkandung di dalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan
kepada aspek prosedural akan di nomorduakan. Secara teoritik, keadilan
substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif,
kedalian retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif
menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur
masyarakat. Berdasarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk
menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok
dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan
yang sama untuk memperoleh keadilan.34
Menarik untuk dikaji adalah beberapa putusan MK yang menekankan
bahwa putusannya mengedepankan aspek keadilan. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah, apakah MK dengan komposisi sembilan hakimnya benarbenar memposisikan keadilan substantif sebagai garda terdepan?. Wajar saja
34

Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di


Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta,
14 Januari 2011.

26

pertanyaan itu muncul mengingat hakim di lingkungan MK juga seorang


manusia

yang

tidak

bisa

dilepaskan

dari kekhilafan,

terlebih

pasca

terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan ditangkapnya ketua


Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang terkait dengan perkara
pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan pertanyaan besar pada
integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi itu sendiri.
Pertanyaan itu muncul setidaknya memiliki beberapa alasan, pertama,
parameter keadilan yang masih menimbulkan kontroversi. Keadilan adalah
pergulatan abadi manusia, baik itu secara teoritis maupun praksis, mulai era
plato sampai abad akhir keduapuluh, persoalan keadilan tidak hentinya
diperdebatkan. Immanuel Kant melihat keadilan sebagai bagian dari kewajiban
moral yang tidak bisa dipertanyakan35. Keadilan berpijak pada tiga prinsip, yakni
tindakan yang bisa disetujui oleh semua orang, memperlakukan manusia sebagai
tujuan pada dirinya sendiri, dan berasal dari kebebasan. Keadilan adalah bagian
dari moralitas yang tegak berdiri di dalam sanubari manusia.
Sementara John Rawls melihat keadilan sebagai suatu sikap fair yang
didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang terukur. Artinya para filsuf masih
berdiskusi keras untuk memahami arti sesungguhnya keadilan, dan mencari
kemungkinan penerapan di masa yang terus berubah. Kedua, putusan MK yang
bersifat final dan mengikat. Konsekwensinya jelas bahwa putusan MK langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum
yang dapat ditempuh (final and binding). Sehingga tidak dikenal upaya hukum
35

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. VIII, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 196.

27

terhadap putusan tersebut, mengingat adanya ketidak laziman tersebut, pastinya


akan berimplikasi kepada pencari keadilan. Persoalan ini tentunya menimbulkan
tanya bagaimana jika Mahkamah Konstitusi dalam putusannya melakukan
kesalahan fatal dan berakibat ada pihak lain yang dirugikan?.
Bagi sebagian kalangan, putusan yang final semacam itu justru tidak
mencerminkan keadilan. Alasannya, hakim berpeluang tidak luput dari
kekeliruan ataupun kekhilafan. Maka dari itu, setiap putusan hakim perlu
dimungkinkan untuk diadakan pemeriksaan ulang sehingga kekeliruan atau
kekhilafan yang terjadi dalam suatu putusan itu dapat diperbaiki menurut
semestinya. Jadi, idealnya memang setiap putusan hakim diberikan upaya
hukum, untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut.
Upaya hukum diberikan untuk sesuatu hal tertentu yang melawan keputusan
hakim.
Ketiga, abstraknya parameter keadilan substantif. Berangkat dari perdebatan
panjang, baik dari segi teori dan praktis, nampaknya dalam memberikan
ketentuan atau ukuran konkret keadilan substantif masih belum sampai pada
muaranya. Sehingga tidak heran putusan yang dihasilkan MK menimbulkan
berbagai interpretasi, sebagian kelompok menafsirkan bahwa itu merupakan
bentuk keadilan yang diharapkan oleh masyarakat, hal ini mengingat lembaga
yudisial dan penegak hukum di negeri ini tidak ada lagi yang bisa diharapakan.
Maka, MK itulah yang dirasa masih konsisten mengedepankan nilai keadilan
kepada pencari keadilan. Namum tidak bisa dipungkiri dan wajar muncul dugaan
bahwa MK dalam memutus perkaranya adalah bentuk arogansi, bahkan
kediktatoran para hakim MK. Hal ini mengingat sejauh ini para hakim MK

28

tidak bisa di awasi oleh lembaga lain, dan masih debatable-nya rumusan
keadilan substantif tersebut. Apalagi ketika melihat ke depan berkenaan
komposisi hakimnya, memang sejauh ini para hakim yang duduk di lembaga
negara tersebut memiliki kapabilitas dan integritas yang dapat dipertanggung
jawabkan. Namun, ke depan kita tidak tahu siapa yang akan mengisi posisi
hakim di MK. Sehingga kekhawatiran akan adanya putusan yang semena-mena
dan cenderung arogan bisa saja muncul ketika hakimnya tidak memiliki moral
dan jiwa negarawan yang baik. Oleh karenanya, tidaklah heran ketika tuntutan
dan pertanyaanpun mencuat berkaitan dengan keadilan substantif yang di agungagungkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari itu semua, bahwa dalam implementasinya harus digunakan
asas prioritas, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kemudian kemanfaatan,
dan terakhir barulah kepastian hukum. Sungguhpun dalam perkembangan
selanjutnya, dengan semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern,
pilihan prioritas yang sudah dibakukan kadang-kadang justru bertentangan
dengan kebutuhan hukum dalam kasus-kasus tertentu, sebab bisa jadi
kemanfaatan lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian hukum atau
mungkin dalam kasus tertentu kepastian hukumlah yang lebih diprioritaskan
ketimbang kemanfaatan dan keadilan.
D. Upaya Peninjauan Ulang Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Yang
Bersifat Final dan Mengikat Menurut Teori Hukum Satjipto Raharjo
Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi antar
benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk
menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan pada

29

sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima apapun
yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari permohonan para
pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan pengujian.
Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung
dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya
hukum terhadap putusan tersebut. Sifat final putusan MK tak lain merupakan
upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan
konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan
umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum
terhadap putusannya maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan
kasus tersebut selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik
waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas
peradilan yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final
putusan juga mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian
hukum bagi para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan
bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat
ditempuh.
Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat
mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah
mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat binding putusan

30

MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya
sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.
MK adalah lembaga yang sangat besar kewenangannya dalam sistem tata
negara Indonesia pasca reformasi. MK adalah lembaga penjaga konstitusi,
benteng terakhir penegakan konstitusi, penjaga agar kehidupan bernegara di
Indonesia tidak melenceng dari yang digariskan dalam hukum dasar/konstitusi
(Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945). MK bisa disebut sebagai
lembaga yang secara relatif bisa dilihat mengatasi lembaga eksekutif dan
legislatif, karena apa yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan legislatif bisa
dimentahkan oleh MK. Karena itu jika terjadi apa-apa di MK maka itu tentu
sangat berbahaya dan mengkhawatirkan, mengingat besarnya tanggungjawab
dan kewenangan yang ada di pundak para hakim MK, berikut besarnya harapan
dan kepercayaan masyarakat umum kepada lembaga MK.
Kewenangan MK yang begitu besar itu (yang diatur dalam pasal-pasal di
UUD 1945 dan pasal-pasal UU 24/2003 tentang MK ) antara lain bisa kita lihat
bahwa MK mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD.
Disini kita lihat MK sebagai sebuah lembaga peradilan berwenang untuk
membatalkan suatu ayat, pasal, atau bahkan keseluruhan UU tersebut bilamana
bagian dalam UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kita bisa bayangkan
bagaimana sebuah produk hukum yang dibuat bersama oleh DPR sebagai
perwakilan rakyat bersama pemerintah yang juga dipilih rakyat, bisa dibatalkan
oleh 9 orang hakim konstitusi ini. Kita juga bisa melihat pada kewenangan MK
yang lainnya, yaitu memutus sengketa pemilu (Termasuk pemilukada). Di sini

31

bisa kita lihat bahwa di tangan 9 hakim konstitusi, masa depan suatu daerah
digenggam. Siapakah yang akan menjadi kepala daerah di daerah tersebut akan
ditentukan oleh MK, jika hasil pemilukada itu digugat dan MK kemudian
menetapkan perhitungan pihak mana yang sah dan benar. Begitu pula dalam
pemilihan umum nasional, penentuan siapa yang menjadi wakil rakyat bahkan
siapa yang menjadi presiden RI pun berada di tangan MK, jika sekiranya hasil
pengumuman KPU mengenai pemilu tersebut digugat. Kemudian kewenangan
MK yang lainnya adalah memutus pembubaran partai politik. Bisa kita
bayangkan disini MK memegang kekuasaan yang sangat besar untuk merampas
hak asasi warga dalam berserikat dan berkumpul, yang salah bentuknya adalah
mendirikan parpol. Pasca tertangkapnya Akil oleh KPK terjadi proses
delegitimasi MK di mata publik. MK melakukan berbagai cara, mulai dari
memperbaiki standar pengamanan sidang hingga meminta pengacara tak
menggoda hakim dengan gelimang uang. Bahkan wacana untuk meninjau ulang
putusan MK terkait sengketa pemilukada semakin kencang dilayangkan berbagai
pihak di masyarakat maupun aparatur hukum lainnya berkenaan dengan sifat
final dan mengikatnya putusan MK.
Mahkamah Konstitusi berada di ujung tanduk. Lembaga yang dahulunya menjadi
tempat pengeluhan masyarakat atas ketimpangan undang undang terhadap UUD 1945
dan keputusan keputusan mengenai pilihan mereka terhadap pemimpin daerahnya,
kini mengalami degradasi kredibilitas. Perpu yang diterbitkan Presiden sebagai respon
atas kasus ini bertentangan dengan putusan MK sendiri pada 2006 lalu tentang
pengawasan terhadapnya oleh Komisi Yudisial. Pendapat tentang hukuman yang layak
bagi Akil Mochtar sebagai objek utama jatuhnya wibawa Mahkamah Konstitusi

32

menjadikan hal ini semakin menjadi jadi. Sepintas, Mahkamah Konstitusi telah
mengalami keruntuhan imunitas dengan adanya operasi tangkap tangan oleh KPK ini.
Satu satunya lembaga yang tidak mendapatkan pengawasan formal berdasarkan
undang undang manapun juga, kini menjadi bulan bulanan media, negarawan,
legislator, bahkan Presiden sendiri. Kredibilitas Mahkamah Konstitusi yang dahulunya
superior, sedang jatuh terjerembab ke jurang yang cukup dalam oleh perilaku satu orang
saja. Disini kontrol sosial masyarakat terhadap hukum memegang peranan penting
dalam setiap reaksi yang timbul dari pihak yang disebutkan tadi, yang akan
mengarahkan pada situasi yang secara kasat mata cenderung chaotic, tapi pada
akhirnya, saya cukup yakin, kontrol sosial masyarakat terhadap hukum jugalah yang
akan membawa situasi ini kembali pada jalur yang benar, entah dalam bentuk
keruntuhan Mahkamah Konstitusi, ataupun keberhasilan penjagaan kredibilitasnya di
mata masyarakat.36

Secara teoritis, final bermakna putusan MK berkekuatan hukum tetap


setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak
terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan itu. Sifat mengikat
bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Menurut Bernard L. Tanja, akademisi Universitas Nusa Cendana Kupang,
Kalau jelas ada bau korupsi dalam putusan, maka putusan itu perlu dikoreksi
tentunya dengan menggunakan kacamata hukum progresif, selain itu kepastian
yang diperoleh melalui putusan hakim tak bisa dibaca sebagai kepastian an sich,

36

Lesza Leonardo Lombok, S.H., LL.M., Operasi Tangkap Tangan KPK: Runtuhnya
Imunitas Mahkamah Konstitusi?. www. ManadoPost.com. Diunduh pada tanggal 31 Januari
2013

33

tetapi harus juga memberikan kepastian yang berkeadilan dan sudah saatnya
Hakim harus memberi tafsir baru pada final dan mengikat37
Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang
dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Satjipto Rahardjo
merasa prihatin dengan rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan
bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum
itu sendiri.
Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat,
melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta
melakukan berbagai terobosan. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut
berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan
mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila
perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta
menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya
37

Muhammad Yasin. Menguji Sifat Final dan Mengikat dengan Hukum Progresif.
hukumonline.com . diunduh tanggal 31 Januari 2013

34

mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau
keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab menurutnya, hukum bertujuan
untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Satjipto Rahardjo mencoba menyoroti kondisi di atas ke dalam situasi ilmuilmu sosial, termasuk ilmu hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,
tetapi pada dasarnya tejadi perubahan yang fenomenal mengenai hukum yang di
rumuskannya dengan kalimat dari yang sederhana menjadi rumit dan dari yang
terkotak-kotak menjadi satu kesatuan. Inilah yang disebutnya sebagai pandangan
holistik dalam ilmu (hukum).38
Pandangan holistik tersebut memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu
dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan
bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan
sehingga bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif antara
lain bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan.
Konsep hukum progresif adalah hukum tidak ada untuk kepentingannya sendiri,
melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu,
hukum

progresif

meninggalkan

tradisi

analytical

jurisprudence

atau

rechtsdogmatiek.
Aliran-aliran tersebut hanya melihat ke dalam hukum dan membicarakan
serta melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan

Anonim. Pengertian Hukum Progresif. "http://www.referensimakalah.com Lihat Juga


atjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, (Surakarta:
Muhammadiyah Press University, 2004)
38

35

peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Hukum progresif bersifat
responsif yang mana dalam responsif ini hukum akan selalu dikaitkan pada
tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri .
Sehingga sudah saatnya para penegak hukum baik itu hakim, ahli hukum,
aparat hukum serta seluruh elemen masyarakat mulai untuk melakukan
terobosan baru atau tafsir-tafsir baru dengan teori hukum yang sudah ada
disesuaikan dengan fakta hukum yang terjadi dimasyarakat sekarang, termasuk
wacana peninjauan ulang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat.
Jadi hukum harus melihat dinamika yang mewarnai masyarakat dan bersifat
fleksibel terhadap perubahan masyarakat sehingga adagium 'Hukum berjalan
terpincang-pincang di belakang masyarakat' dapat di atasi. Prof Tjip
mengkritalisasi apa yang dimaksud dengan hukum progresif dan paradigma yang
menopangnya, yaitu: Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia
untuk hukum. Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari
hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang
pada keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu
diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema
yang telah dibuat oleh hukum. Pasal-pasal yang ada dalam peraturan
perundangan-undangan harus dikontektualisasi dalam dinamika masyarakat agar
dapat mencapai keadilan masyarakat. Peraturan perundang-undangan tidak dapat
ditafsirkan secara litelar dan dogmatis atas dasar kepastian hukum.

36

kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam


berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya, dan
hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan
dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang
menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali
hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas
kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar
membekukan masyarakat.
Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan
perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh
pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih
menekankan

penguasaan

terhadap

perundang-undangan

yang

berakibat

terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum.39


Namun kemudian permasalahan wacana peninjauan ulang terhadap putusan
Mahakamah Konstitusi yang seharusnya bersifat mengikat dan final ini kembali
lagi pandangan hukum masing-masing pihak, karena sampai sekarang masih
banyak juga para ahli hukum yang bersikeras bahwa peninjauan ulang putusan
Mahkamah Konstitusi oleh majelis yang memutus perkara itu juga adalah
sesuatu yang tidak logis. Jika putusan yang sudah final dan mengikat ditinjau

Aditya
Nugraha
Iskandar.
Paradigma
Hukum
http://iskandarcentre.blogspot.com/favicon.ico. diunduh tanggal 1 Jauari 2014
39

Progresif.

37

ulang, bagaimana pula dengan hak-hak yang sudah timbul dari putusan
sebelumnya.
Di sisi lain, banyak pula ahli hukum bahkan masyarakat di Indonesia yang
mendukung adanya peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi pasca
terbongkarnya kasus suap M. Akil Mochtar di MK. Tindak lanjutnya kemudian
adalah bagaimana sikap hakim lainnya yang berani berpola pikir out of the box
dalam menangani suatu perkara hukum yang fakta-faktanya tidak lagi dibahas
secara mendetil dalam sebuah aturan hukum yang ada.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasca terbongkarnya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi dan
ditangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Oktober 2013, yang
terkait dengan perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas menimbulkan
pertanyaan besar pada integritas dan kredibilitas Hakim Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, dihadapkan dengan sifat final dan

38

mengikat atas putusan Mahkamah Konstitusi serta isu peninjauan ulang terhadap
putusan MK tersebut.
Permasalahan peninjauan ulang putusan Mahkamah Konstitusi itu
sebenarnya bisa saja dilakukan jika menengok atau diselesaikan dengan
kacamata hukum progresif seperti teori yang telah dikemukakan oleh Prof.
Satjipto Raharjo.
Menurut beliau rumusan sederhana tentang hukum progresif, yaitu
melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam
hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk
menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Berangkat
dari asumsi bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja
dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan,
kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi
perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking) sudah saatnya para hakim
befikir out of the box.
B. Saran
Hendaknya kasus suap ketua Mahkamah Konstitusi menjadi pelajaran bagi
semua elemen masyarakat khususnya para penegak keadilan yang cukup
menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia sangatlah lemah, sehingga
sebuah Mahkamah Konstitusi saja tertangkap tangan melakukan tindak pidana
korupsi. Sekarang ini kita tidak hanya bisa mengandalkan peraturan baku yang
sudah lama dibuat sehingga menundukkan kita semua kedalam aturan yang
senyatanya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita sekarang.
Sudah saatnya para penegak keadilan lebih mengedepankan jiwa yang
berkeadilan

sesungguhnya

sehingga

dapat

mengembalikan

kepercayaan

39

masyarakat kembali, para penegak keadilan sudah saatnya untuk bisa berpikir
diluar kebiasaan bukan karena alasan yang tidak jelas melainkan karena
kebutuhan serta fakta dilapangan yang juga berkembang seiring dengan
mobilisasi jaman.

Anda mungkin juga menyukai