TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telaah Pustaka
2.1.1. Definisi Usia
Usia adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan atau diadakan (Dani, 2002).
Sementara itu, Yulkardi (2002) mendefinisikan usia sebagai lamanya waktu seorang
individu mulai saat dilahirkan sampai ia berulang tahun.
Depkes (2009) menyebutkan bahwa usia individu terbagi ke dalam tiga
aspek yaitu usia kronologis, usia mental dan usia biologis. Usia kronologis adalah
perhitungan usia yang dimulai saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu
perhitungan usia. Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf
kemampuan mental seseorang dan usia biologis adalah perhitungan usia
berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki seseorang.
2.1.2. Definisi Lanjut Usia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi empat
yaitu : usia pertengahan (middle age) rentang antara 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) rentang antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun dan
usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah,
2011). Lebih jelasnya, yang dimaksud dengan lansia menurut UU tersebut adalah
setiap warga Negara Indonesia baik pria maupun wanita yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial (Depsos, 2007).
Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 tahun 1965 pasal , seseorang dapat
dikatakan jompo atau lanjut usia bila yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun,
tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidup
sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Ismayadi, 2004).
2.1.3. Proses Menua
Menurut Constantinides (dalam Darmojo, 2011), menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
7
Menua adalah proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia. Penuaan
akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh namun tidak semua sistem tubuh
mengalami kemunduran fungsi di waktu yang sama. Perubahan-perubahan yang
terjadi akibat proses penuaan meliputi perubahan fisik seperti ketidaknyamanan atau
rasa kaku dan linu yang dapat terjadi secara tiba-tiba di sekujur tubuh. Terdapat juga
perubahan yang umumnya terjadi pada lansia misalnya perubahan sistem imun
yang cenderung menurun, perubahan sistem integumentum sehingga kulit lebih
mudah rusak, perubahan elastisitas arteri pada sistem kardiovaskuler sehingga
memperberat kerja jantung, penurunan kemampuan metabolisme oleh hati dan
ginjal, serta penurunan kemampuan penglihatan dan pendengaran (Nugroho, 2008).
Perubahan fungsi fisik tersebut ditandai dengan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas atau kegiatan yang tergolong berat. Penurunan fungsi fisik lebih
lanjut akan menyebabkan berbagai gangguan secara fisik sehingga mempengaruhi
kesehatan serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia (Setyohadi et al., 2011).
Perubahan fisik yang terjadi pada proses menua diantaranya perubahan
pada sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terhadap alergi dan penyakit.
Pada usia senja, konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya
jumlah energi yang dikeluarkan tubuh. Kandungan air dalam tubuh juga akan
menurun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel matur yang digantikan oleh
lemak maupun jaringan ikat. Berbagai sistem tubuh juga akan mengalami perubahan
dan berakibat pada gangguan dari kinerja organ yang bersangkutan. Sistem
pencernaan misalnya, kemampuan mencerna makanan serta absorbsi mulai lamban
serta kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering timbul
keluhan
konstipasi.
Perubahan
pada
sistem
metabolik
berupa
gangguan
Perubahan mental atau psikis pada usia lanjut dapat berupa sikap yang
semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit jika memiliki sesuatu. Dalam hal
ini, yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang dapat ditemukan pada hampir
setiap lansia yaitu keinginan berumur panjang dengan sedapat mungkin tenaganya
dihemat, mengharapkan tetap diberikan peranan dalam masyarakat dan tetap ingin
berwibawa dengan mempertahankan hak maupun hartanya juga ingin meninggal
secara terhormat (Nugroho, 2008).
Aktivitas psikososial dapat dinilai melalui kaitan antara produktivitas dan
identitas seseorang dengan peranannya dalam pekerjaan. Ketika seseorang
mengalami pensiun atau purnatugas maka yang dirasakan adalah pendapatan
berkurang (kehilangan finansial), kehilangan status maupun jabatan yang dulu
pernah dimilikinya, kehilangan relasi dan kegiatan sehingga timbul kesepian
(loneliness) akibat pengasingan dari lingkungan sosial serta perubahan cara hidup
(Nugroho, 2008). Seperti diungkapkan Netuveli et al. (2006) dalam penelitian yang
dilakukannya yaitu penghasilan berbanding lurus dengan status kesehatan
seseorang. Dengan kata lain, orang dengan kesejahteraan baik cenderung memiliki
status kesehatan yang baik pula. Jadi kesimpulannya, strata sosial merupakan faktor
yang turut berpengaruh dalam menentukan kualitas hidup lansia.
Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia
dalam kehidupan keagamaan. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam
kehidupan yang selanjutnya akan terlihat dalam pola berpikir dan bertindak seharihari. Perkembangan
untuk
nukleus dan telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan
menghitung dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut
konsep ini, bila jam tersebut berhentu maka kita akan meninggal dunia meski
tanpa disertai kecelakaan ataupun penyakit akhir katastrofal (Darmojo, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Suhana (dalam Darmojo, 2011) membuktikan
bahwa nukleuslah yang berperan dalam menentukan jumlah replikasi, bukan
sitoplasmanya.
b. Teori Mutasi Somatik (Error Catastrophe)
Faktor lingkungan turut berperan dalam proses penuaan. Dalam berbagai
penelitian disebutkan bahwa adanya radiasi dan zat kimia bersifat
karsinogenik (memicu timbulnya mutasi somatik) dan dapat memperpendek
umur. Menurut teeori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel
somatis akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel
tersebut. Salah satu hipotesis yang cukup terkenal dan berkaitan dengan
teori ini adalah hipotesis Error Catastrophe. Menurut hipotesis tersebut,
menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang
kehidupan.
Seperti yang
telah dikutip
dari penelitian
Suhana
dan
sel.
Walaupun
dalam
batas-batas
tertentu,
kesalahan
sifatnya
terbatas
akibatnya
terjadinya
kesalahan
pembentukan
enzim/protein tak dapat dihindari lagi. Kesalahan ini dapat berakibat pada
terbentunya zat metabolit yang berbahaya bagi tubuh.
c. Teori Sistem Imun Tubuh
Menurut Goldstein, yang dijelaskan kembali oleh Darmojo (2011), mutasi
yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri (self
recognition). Mutasi somatik menyebabkan kerusakan ataupun kelainan pada
antigen permukaan sel. Hal ini menyebabkan sistem imun tubuh tidak
mampu mengenali antigen tersebut dan menganggap sel yang mengalami
perubahan
sebagai
benda
asing
sehingga
sistem
imun
akan
11
bahwa hewan yang hidup di alam bebas dan banyak bergerak memiliki umur
yang lebih panjang dibanding hewan laboratorium yang minim bergerak dan
banyak makan.
e. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dapat terbentuk di alam bebas maupun di
dalam tubuh. Di dalam tubuh, radikal bebas merupakan produk sampingan
dalam rantai pernafasan di dalam mitokondria. Radikal bebas yang terbentuk
dapat berupa superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida. Radikal
bebas sangat berbahaya bagi tubuh karena ia bersifat merusak dan sangat
reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein maupun asam lemak
tak jenuh seperti yang terdapat pada membran sel (Darmojo, 2011).
Sebenarnya tubuh memiliki mekanisme untuk menangkal berbagai radikal
bebas tersebut, salah satunya adalah dengan bantuan senyawa-senyawa
seperti superoxide dismutase, enzim katalase dan enzim glutation yang
mampu menguraikan radikal bebas menjadi senyawa yang tidak berbahaya
bagi tubuh. Radikal bebas juga dapat dinetralkan menggunakan senyawa
non-enzimatik seperti vitamin C, provitamin A dan vitamin E. Seperti dikutip
12
radikal
bebas
namun
seiring
berjalannya
waktu
dan
berkurangnya
cabang-cabang
neuron
(spina
dendrit),
pengurangan
kerapatan sinaps dan merosotnya lapisan myelin yang melapisi akson pada neuron
(Nelson, 2008).
Penelitan terkini menyebutkan bahwa meskipun tanpa disertai adanya
penyakit neurodegenratif, jelas terdapat perubahan struktur otak manusia seiring
bertambahnya usia. Perubahan patologis pada sistem kardiovaskuler juga sering
dikaitkan dengan kemunduran fungsi kognitif (Kuczynski et al, 2009). Hal tersebut
tentu juga turut berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari (Activity of Daily LivingADL) sehingga dapat menurunkan kualitas hidup lansia yang berimplikasi pada
kemandirian dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Nugroho, 2008).
Menurut Aswin (2004), perubahan-perubahan struktural yang berkaitan
dengan proses menua adalah pengerutan otak, menipisnya korteks serebri,
menurunnya volume dan kualitas sel saraf serta penurunan pasokan darah ke otak.
13
Lebih lanjut, Aswin (2004) menjelaskan bahwa penurunan kinerja belahan otak
kanan lebih cepat dibanding belahan kiri oleh sebab itu pada lansia lebih sering
ditemukan gangguan kognitif berupa penurunan daya ingat visual (misalnya, mudah
lupa wajah orang), sulit berkosentrasi dan cepat beralih perhatian. Selain itu,
ditemukan juga kelainan pada fungsi motoriknya berupa kelambanan berlari,
mengetuk jari, gangguan persepsi sensoris serta dalam reaksi tugas kompleks.
Perubahan struktural otak dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif
pada lansia. Penurunan fungsi kognitif tersebut selanjutnya akan menimbulkan
gangguan pada sistem saraf pusat yaitu pengurangan massa otak dan pengurangan
aliran darah otak. Perubahan pada neurotransmitter ini akan meningkatkan aktivitas
enzim
monoaminoksidase
(MAO)
(Pranarka,
2006).
Sel-sel
astrosit
akan
mengingat;
mengatur, merencana
dan
memecahkan
masalah;
fokus,
psikomotor. Masing-masing aspek terdiri dari suatu proses yang cukup rumit. Aspek
memori misalnya, meliputi beberapa proses penting seperti encoding, penyimpanan
dan pengambilan informasi yang terbagi menjadi short-term memory, long-term
memory dan working memory. Perhatian dapat bersifat selektif, terfokus, terbagi
atau terus-menerus yang meliputi beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek
yang didapat dari rangsangan panca indera (visual, auditori, perabaan, penciuman).
Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir dan
lain-lain. Aspek kognitif bahasa berupa pengenalan ekspresi verbal, perbendaharaan
kata, kefasihan dan pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor biasanya dikaitkan
dengan pemrograman dan eksekusi motorik. Semua fungsi kognitif diatas
dipengaruhi oelh berbagai faktor seperti suasana hati, tingkat kewaspadaan dan
tenaga, kesejahteraan fisik dan juga motivasi (Nehlig, 2010).
Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi,
kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan
membuat konsep dan intelegensi. Seperti penjelasan
penelitian yang dilakukan oleh Ramadian et al. (2012), fungsi kognitif merupakan
hasil interaksi dengan lingkungan yang didapat
maupun non-formal dari kehidupan sehari-hari. Gangguan satu atau lebih fungsi
tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial , pekerjaan dan aktivitas
harian.
Pada lansia selain mengalami kemunduran fisik juga sering mengalami
kemunduran fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif. Kemunduran fungsi dapat
berupa mudah lupa (forgetfulness) merupakan bentuk gangguan kognitif yang paling
ringan, diperkirakan dikeluhkan sekitar 39% lansia yang berusia 50-59 tahun.
Prevalensinya meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di
fase ini, seseorang masih dapat berfungsi normal meskipun mulai ditemui gangguan
dalam mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Forgetfulness juga dapat
berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai
ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. Demensia adalah suatu
kemunduran intelektual berat dan progresif yang dapat mengganggu fungsi sosial,
pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari seseorang (Wreksoatmodjo, 2013). Diperkirakan
bahwa sepertiga orang dewasa akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara
15
bertahap
yang
dikenal
sebagai
gangguan
kognitif
ringan
seiring
dengan
penuaan antara umur 30-70 tahun. Hal inilah yang turut menyebabkan
terjadinya kemunduran fungsi kognitif pada lansia. Kemampuan konitif juga
sering dikaitkan dengan fungsi otak. Perubahan struktural pada otak akibat
penuaan dapat terlihat melalui pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging). Hasil MRI menunjukkan adanya perubahan jaringan putih
periventrikular otak baik difus maupun diskrit yang diperkirakan berperan
penting terhadap terjadinya penurunan kognitif dan non-behaviour.
b. Jenis Kelamin
Salah satu faktor yang turut mempengaruhi fungsi kognitif seseorang adalah
jenis kelamin meskipun belum ada kepastian perbedaan penurunan fungsi
kognitif antara pria maupun wanita. Bridge et al. (2006) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa wanita memiliki kemampuan untuk mengkorelasikan
suatu informasi lebih baik dibanding pria namun ketepatan dalam memanggil
kembali informasi yang tersimpan dalam memori tidak lebih baik dibanding
pria. Yaffe et al. (dalam Myers, 2008) menuliskan bahwa wanita lebih
beresiko mengalami penurunan kognitif daripada pria. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab fenomena ini. Salah
satunya adalah karena adanya peranan level hormon seks endogen dalam
perubahan fungsi kognitif. Area dalam otak yang dikenal berperan dalam
fungsi memori dan belajar adalah hipokampus. Fungsi tersebut sering
dikaitkan dengan keberadaan reseptor estrogen yang banyak terdapat di
sekitar hipokampus. Penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal
berkaitan erat dengan rendahnya kadar estradiol dalam tubuh. Selama ini,
estradiol diyakini bersifat neuroprotektif yaitu mampu membatasi kerusakan
akibat stress oksidatif atau sebagai pelindung sel saraf dari toksisitas
amyloid pada pasien Alzheimer.
berarti dan harapan hidup pada lansia sehingga mampu menstimulasi fungsi
kognitif lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hill et al. (2006) seperti
dikutip oleh Taruna (2013) melibatkan 3.050 lansia dan dilakukan
pemantauan selama 8 tahun menunjukkan bahwa lansia yang menghadiri
acara keagamaan secara rutin cenderung mengalami penurunan kognitif
lebih lambat dibandingkan yang tidak aktif dalam aktivitas keagamaan.
Penjelasan ilmiah mengenai hasil penelitian tersebut adalah keterlibatan diri
dalam kegiatan keagamaan berkaitan erat dengan rasa berarti dan harapan
hidup yang mampu membantu individu mengatasi stress, ansietas, dan
depersi yang berhubungan dengan penuaan. Selain itu, aktivitas keagamaan
sebagai bentuk gaya hidup aktif dan keterikatan sosial dapat menstimulasi
fungsi kognitif yang selanjutnya akan menambah kapasitas cadangan otak
sehingga dapat menghambat penurunan fungsi kognitif pada lansia (Depkes,
2013).
e. Tingkat Pendidikan
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidikan memiliki
hubungan yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kognitif. Tingkat
pendidikan yang rendah berpeluang empat kali lebih berisiko mengalami
gangguan kognitif jika dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi
(Aisyah, 2009). Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses
tersebut. Pertama, hipotesis brain reverse yang mengatakan bahwa tingkat
pendidikan dan penurunan fungsi kognitif saling berhubungan karena
keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir.
Hipotesis kedua dikenal dengan istilah use it or lose it. Hipotesis ini
mengatakan bahwasanya stimulus mental selama dewasa merupakan
proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif dini. Pendidikan di awal
kehidupan memiliki pengaruh cukup besar di kehidupan selanjutnya. Jika
seseorang
diduga hal tesebut juga turut mempengaruhi struktur dan neurokimia otak
yang berperan dalam fungsi kognitif (Bosma et al., 2003; Seeman et al.,
2005).
Teori lain menjelaskan mengenai synaptic reverse hypothesis dimana orang
yang berpendidikan tinggi memiliki lebih banyak sinaps di otak dibanding
19
Merokok
Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Menurut Trendra (2003),
rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bahan lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana
Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan
tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Partikel yang dibebaskan selama
merokok sebanyak 5x109 pp. Komponen gas terdiri dari karbonmonoksida
(CO), karbondikosida (CO2), hidrogen sianida (HCN), ammonia (NH3),
oksigen dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon. Komponen partikel lain yang
terdapat dalam rokok diantaranya tar, nikotin, benzopiren, fenol dan
cadmium (Ariyani, 2008). Nikotin mengganggu sisitem saraf simpatis dengan
akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain bersifat adiktif,
nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga turut meningkatkan
frekuensi denyut jantung, tekanan darah juga meningkatkan suplai oksigen
ke jantung. Bila hal tersebut berlanjut akan mengakibatkan timbulnya
gangguan kelistrikan pada jantung (disritmia). Nikotin bersifat toksik dan
mengganggu kerja sistem saraf, otak dan banyak bagian tubuh lainnya.
Nikotin juga mampu mengaktikvasi agregasi trombosin ke endotel pembuluh
darah sehingga memicu terjadinya penggumpalan darah (Atmaja, 2007).
Selain itu, karbonmonoksida (CO) yang terkandung dalam rokok bersifat
sangat toksik memiliki afinitas kuat terhadap hemoglobin pada sel darah
merah (CO-Hb). Ikatan CO-Hb akan membuat hemoglobin tidak mampu
20
melepaskan
ikatan
CO
sehingga
mengganggu
fungsi
Hb
sebagai
21
untuk
mengalami
gangguan
kognitif
dan
diperkirakan
akan
Tekanan Darah
22
darahnya
melebihi
140/90
mmHg.
Hipertensi
bila
sebenarnya
sehingga
terjadi
penurunan
kemampuan
ginjal
untuk
bahwa
dibandingkan 141 180 mmHg, ternyata pada tekanan sistolik >180 mmHg
memiliki resiko relatif 1,5 mengalami penyakit Alzheimer (95%, CI = 1,0 2,3
dan p = 0,07) dan terjadinya demensia dengan resiko relatif 1,6 (95%, CI =
1,1 2,2).
Mekanisme biologis hubungan hipertensi dengan disfungsi kognitif dapat
berupa penyebab langsung maupun tidak langsung. Hipertensi kronis secara
tidak langsung dapat meningkatkan resiko aterosklerosis, stroke dan infark
serebri yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif serta defisit motorik.
Secara langsung, hipertensi dapat menurunkan volume otak dengan
mekanisme sebagai berikut : pasien hipertensi memiliki volume nucleus
talamikus yang lebih kecil, volume cairan serebrospinal yang lebih besar di
serebelum dan lobus temporalis. Ketiga hal tersebut yang menyebabkan
penurunan kemampuan daya ingat dan berkomunikasi (termasuk memahami
pembicaraan) sehingga berdampak terhadap kemandirian penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-harinya (Suryani, 2008)
Perubahan :
1.
Fisik
2.
Mental
3.
Psikososial
24
4.
Spiritual
Faktor-faktor
Penurunan fungsi kognitif
Modified :
1.
Aktivitas fisik
2.
Aktivitas spiritual
3.
Tingkat pendidikan
4.
Merokok
5.
Diabetes mellitus
6.
Stroke
7.
Tekanan darah
Un-modified :
4. teori Menua
Akibat Metabolisme
1.
2.
Jenis kelamin
Variabel bebas :
Unmodified factors : usia, jenis kelamin
Modified factors : aktivitas fisik, aktivitas
spiritual, tingkat pendidikan, merokok,
stroke, DM, tekanan darah25
Variabel
terikat :
Fungsi Kognitif
Variabel
pengganggu:
Aktivitas Sosial
26
27