Anda di halaman 1dari 21

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telaah Pustaka
2.1.1. Definisi Usia
Usia adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan atau diadakan (Dani, 2002).
Sementara itu, Yulkardi (2002) mendefinisikan usia sebagai lamanya waktu seorang
individu mulai saat dilahirkan sampai ia berulang tahun.
Depkes (2009) menyebutkan bahwa usia individu terbagi ke dalam tiga
aspek yaitu usia kronologis, usia mental dan usia biologis. Usia kronologis adalah
perhitungan usia yang dimulai saat kelahiran seseorang sampai dengan waktu
perhitungan usia. Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf
kemampuan mental seseorang dan usia biologis adalah perhitungan usia
berdasarkan kematangan biologis yang dimiliki seseorang.
2.1.2. Definisi Lanjut Usia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi empat
yaitu : usia pertengahan (middle age) rentang antara 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) rentang antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun dan
usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Azizah,
2011). Lebih jelasnya, yang dimaksud dengan lansia menurut UU tersebut adalah
setiap warga Negara Indonesia baik pria maupun wanita yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial (Depsos, 2007).
Seperti yang tercantum dalam UU No. 4 tahun 1965 pasal , seseorang dapat
dikatakan jompo atau lanjut usia bila yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun,
tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidup
sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Ismayadi, 2004).
2.1.3. Proses Menua
Menurut Constantinides (dalam Darmojo, 2011), menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
7

diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga


tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita. Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun
luar tubuh. Tak jarang akan sering ditemukan berbagai penyakit seperti arthritis,
asam urat, kolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung akibat penurunan berbagai
fungsi tubuh. Selain penurunan fungsi fisiologis, kasus lain yang sering ditemukan
pada lansia berupa penurunan fungsi kognitif (Nugroho, 2002).
Definisi lain juga dikemukakan oleh (Aru et al., 2009). Menurutnya menua
merupakan suatu kondisi penurunan, kelemahan, peningkatan kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan
serta perubahan fisiologis yang terkait usia. Penuaan adalah suatu proses normal
yang ditandai dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan dan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan
multidimensional yang dapat diobservasi setiap sel dan berkembang sampai pada
keseluruhan sistem (Stanley et al., 2007).
Dalam buku yang ditulis oleh Harimurti (2009) disebutkan bahwa menua
adalah proses yang mengubah seseorang yang frail dengan berkurangnya sebagian
besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit dan kematian seiring dengan bertambahnya usia. Pada kondisi ini akan
disertai dengan terjadinya perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh pada
penampilan fisik namun juga terhadap fungsi dan tanggapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Penuaan merupakan suatu konsekuensi yang tak dapat dihindarkan sebab
menua bukan suatu penyakit melainkan suatu masa atau tahapan hidup manusia.
Proses menua bukanlah sesuatu yang hanyaterjadi pada orang yang berusia lanjut
melainkan suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir
dengan kematian. Namun demikian, efek penuaan tersebut umumnya menjadi lebih
terlihat setelah usia 40 tahun (Harimurti, 2009)

2.1.4. Perubahan Pada Lanjut Usia


8

Menua adalah proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia. Penuaan
akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh namun tidak semua sistem tubuh
mengalami kemunduran fungsi di waktu yang sama. Perubahan-perubahan yang
terjadi akibat proses penuaan meliputi perubahan fisik seperti ketidaknyamanan atau
rasa kaku dan linu yang dapat terjadi secara tiba-tiba di sekujur tubuh. Terdapat juga
perubahan yang umumnya terjadi pada lansia misalnya perubahan sistem imun
yang cenderung menurun, perubahan sistem integumentum sehingga kulit lebih
mudah rusak, perubahan elastisitas arteri pada sistem kardiovaskuler sehingga
memperberat kerja jantung, penurunan kemampuan metabolisme oleh hati dan
ginjal, serta penurunan kemampuan penglihatan dan pendengaran (Nugroho, 2008).
Perubahan fungsi fisik tersebut ditandai dengan ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas atau kegiatan yang tergolong berat. Penurunan fungsi fisik lebih
lanjut akan menyebabkan berbagai gangguan secara fisik sehingga mempengaruhi
kesehatan serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia (Setyohadi et al., 2011).
Perubahan fisik yang terjadi pada proses menua diantaranya perubahan
pada sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terhadap alergi dan penyakit.
Pada usia senja, konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya
jumlah energi yang dikeluarkan tubuh. Kandungan air dalam tubuh juga akan
menurun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel matur yang digantikan oleh
lemak maupun jaringan ikat. Berbagai sistem tubuh juga akan mengalami perubahan
dan berakibat pada gangguan dari kinerja organ yang bersangkutan. Sistem
pencernaan misalnya, kemampuan mencerna makanan serta absorbsi mulai lamban
serta kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering timbul
keluhan

konstipasi.

Perubahan

pada

sistem

metabolik

berupa

gangguan

metabolisme glukosa akibat menurunnya sekresi insulin juga karena adanya


timbunan lemak tubuh. Sistem saraf juga turut terganggu, keluhan seperti rabun
dekat, berkurangnya kepekaan bau, rasa, sentuhan dan pendengaran merupakan
hal yang sering dijumpai pada lansia. Gangguan pada sistem pernapasan ditandai
dengan menurunnya elastisitas paru-paru sehingga timbul rasa sesak napas dan
peningkatan tekanan darah. Lansia juga sering mengeluhkan adanya gangguan
pada persendian akibat menurunnya elastisitas dan fleksibilitas sendi (Hutapea,
2005)

Perubahan mental atau psikis pada usia lanjut dapat berupa sikap yang
semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit jika memiliki sesuatu. Dalam hal
ini, yang perlu dimengerti adalah sikap umum yang dapat ditemukan pada hampir
setiap lansia yaitu keinginan berumur panjang dengan sedapat mungkin tenaganya
dihemat, mengharapkan tetap diberikan peranan dalam masyarakat dan tetap ingin
berwibawa dengan mempertahankan hak maupun hartanya juga ingin meninggal
secara terhormat (Nugroho, 2008).
Aktivitas psikososial dapat dinilai melalui kaitan antara produktivitas dan
identitas seseorang dengan peranannya dalam pekerjaan. Ketika seseorang
mengalami pensiun atau purnatugas maka yang dirasakan adalah pendapatan
berkurang (kehilangan finansial), kehilangan status maupun jabatan yang dulu
pernah dimilikinya, kehilangan relasi dan kegiatan sehingga timbul kesepian
(loneliness) akibat pengasingan dari lingkungan sosial serta perubahan cara hidup
(Nugroho, 2008). Seperti diungkapkan Netuveli et al. (2006) dalam penelitian yang
dilakukannya yaitu penghasilan berbanding lurus dengan status kesehatan
seseorang. Dengan kata lain, orang dengan kesejahteraan baik cenderung memiliki
status kesehatan yang baik pula. Jadi kesimpulannya, strata sosial merupakan faktor
yang turut berpengaruh dalam menentukan kualitas hidup lansia.
Perubahan spiritual pada lansia ditandai dengan semakin matangnya lansia
dalam kehidupan keagamaan. Agama dan kepercayaan terintegrasi dalam
kehidupan yang selanjutnya akan terlihat dalam pola berpikir dan bertindak seharihari. Perkembangan

spiritual yang matang akan membantu lansia

untuk

menghadapi kenyataan,berperan aktif dalam kehidupan maupun merumuskan arti


dan tujuan keberadaannya dalam kehidupan (Setyoadi et al., 2011).
2.1.5. Teori Proses Menua
Penuaan merupakan peristiwa normal dan alamiah yang dialami oleh setiap
individu. Proses menua merupakan kombinasi dari berbagai faktor yang terkait.
Berikut ada beberapa teori mengenai proses penuaan yang telah dikemukakan oleh
para ilmuwan :
a. Teori Genetic Clock
Menurut teori ini, menua telah terprogram secara genetik untuk spesiesspesies tertentu. Tiap spesies memiliki jam genetik yang terletak di dalam
10

nukleus dan telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan
menghitung dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar. Jadi menurut
konsep ini, bila jam tersebut berhentu maka kita akan meninggal dunia meski
tanpa disertai kecelakaan ataupun penyakit akhir katastrofal (Darmojo, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Suhana (dalam Darmojo, 2011) membuktikan
bahwa nukleuslah yang berperan dalam menentukan jumlah replikasi, bukan
sitoplasmanya.
b. Teori Mutasi Somatik (Error Catastrophe)
Faktor lingkungan turut berperan dalam proses penuaan. Dalam berbagai
penelitian disebutkan bahwa adanya radiasi dan zat kimia bersifat
karsinogenik (memicu timbulnya mutasi somatik) dan dapat memperpendek
umur. Menurut teeori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel
somatis akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel
tersebut. Salah satu hipotesis yang cukup terkenal dan berkaitan dengan
teori ini adalah hipotesis Error Catastrophe. Menurut hipotesis tersebut,
menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang
kehidupan.

Seperti yang

telah dikutip

dari penelitian

Suhana

dan

Constantinides (dalam Darmojo, 2011), kesalahan-kesalahan tersebut dapat


terjadi dalam proses transkripsi maupun translasi dan akan menyebabkan
pembentukan enzim yang salah/rusak. Selanjutnya, enzim-enzim tersebut
akan mengganggu proses metabolisme normal tubuh dan mengurangi
fungsional

sel.

Walaupun

dalam

batas-batas

tertentu,

kesalahan

pembentukan RNA dapat diperbaiki namun karena kemampuan memperbaiki


diri

sifatnya

terbatas

akibatnya

terjadinya

kesalahan

pembentukan

enzim/protein tak dapat dihindari lagi. Kesalahan ini dapat berakibat pada
terbentunya zat metabolit yang berbahaya bagi tubuh.
c. Teori Sistem Imun Tubuh
Menurut Goldstein, yang dijelaskan kembali oleh Darmojo (2011), mutasi
yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri (self
recognition). Mutasi somatik menyebabkan kerusakan ataupun kelainan pada
antigen permukaan sel. Hal ini menyebabkan sistem imun tubuh tidak
mampu mengenali antigen tersebut dan menganggap sel yang mengalami
perubahan

sebagai

benda

asing

sehingga

sistem

imun

akan

menghancurkannya. Perubahan inilah yang mendasari terjadinya proses

11

autoimun. Sebagaimana dikutip oleh Darmojo (2011) juga menemukan


adanya peningkatan prevalensi auto-antibodi pada lansia. Tak hanya itu,
pada orang lanjut usia terjadi penurunan daya atau kemampuan sistem imun
tubuh dalam meghadapi berbagai gangguan intrinsik maupun ektrinsik yang
dapat merugikan tubuh. Hal ini berdampak pada penurunan daya serang
sistem imun terhadap sel kanker sehingga sel kanker akan lebih leluasa
untuk membelah diri. Teori inilah yang turut menjelaskan mengapa prevalensi
kanker meningkat seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2011).
d. Teori Menua Akibat Metabolisme
Penelitian yang dilakukan Mc. Kay et al. sepertI dikutip dalam Goldstein et
al. menunjukkan bahwa perpanjangan umur erat kaitannya dengan
tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan umur karena penurunan
jumlah kalori tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu
atau beberapa proses metabolisme. Dapat juga disebabkan karena adanya
penurunan sekresi hormon-hormon yang merangsang proliferasi sel seperti
insulin dan growth hormone. Selain itu, modifikasi gaya hidup yang kurang
bergerak menjadi lebih banyak bergerak mungkin juga dapat meningkatkan
angka harapan

hidup seseorang. Seperti diungkapkan Darmojo (2011)

bahwa hewan yang hidup di alam bebas dan banyak bergerak memiliki umur
yang lebih panjang dibanding hewan laboratorium yang minim bergerak dan
banyak makan.
e. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dapat terbentuk di alam bebas maupun di
dalam tubuh. Di dalam tubuh, radikal bebas merupakan produk sampingan
dalam rantai pernafasan di dalam mitokondria. Radikal bebas yang terbentuk
dapat berupa superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida. Radikal
bebas sangat berbahaya bagi tubuh karena ia bersifat merusak dan sangat
reaktif sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein maupun asam lemak
tak jenuh seperti yang terdapat pada membran sel (Darmojo, 2011).
Sebenarnya tubuh memiliki mekanisme untuk menangkal berbagai radikal
bebas tersebut, salah satunya adalah dengan bantuan senyawa-senyawa
seperti superoxide dismutase, enzim katalase dan enzim glutation yang
mampu menguraikan radikal bebas menjadi senyawa yang tidak berbahaya
bagi tubuh. Radikal bebas juga dapat dinetralkan menggunakan senyawa
non-enzimatik seperti vitamin C, provitamin A dan vitamin E. Seperti dikutip

12

Darmojo (2011) bahwa meskipun tubuh memilki berbagai senyawa sebagai


penangkal

radikal

bebas

namun

seiring

berjalannya

waktu

dan

bertambahnya usia, jumlah radikal bebas yang terbentuk akan semakin


banyak dan terakumulasi di tubuh. Akibatnya, senyawa penangkal tersebut
tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang terbentuk sehingga
sebagian akan tetap lolos dari sistem pertahanan tubuh. Radikal bebas inilah
yang selanjutnya akan menimbulkan kerusakan dan menghantarkan pada
proses penuaan.
2.1.6. Otak Menua
Seiring bertambahnya usia, proses penunaan akan terjadi tanpa bisa
dihindari. Menua senantiasa disertai dengan perubahan di semua sistem tubuh
manusia. Salah satu dari perubahan tersebut terdapat pada sistem saraf. Perubahan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan dari fungsi kinerja otak. Berat
otak pada lansia umumnya menurun sekitar 10-20% dan penurunan ini terjadi pada
usia 30-70 tahun (Fatmah, 2010). Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan jumlah
sel otak serta terganggunya mekanisme perbaikan sel otak (Nugroho, 2008). Otak
mengalami penyusutan namun jumlah neuron yang hilang relatif kecil. Pengurangan
volume dan massa otak pada penuaan yang normal tidak diakibatkan terutama oleh
hilangnya jumlah neuron melainkan karena adanya perubahan di dalam neuron
berupa

berkurangnya

cabang-cabang

neuron

(spina

dendrit),

pengurangan

kerapatan sinaps dan merosotnya lapisan myelin yang melapisi akson pada neuron
(Nelson, 2008).
Penelitan terkini menyebutkan bahwa meskipun tanpa disertai adanya
penyakit neurodegenratif, jelas terdapat perubahan struktur otak manusia seiring
bertambahnya usia. Perubahan patologis pada sistem kardiovaskuler juga sering
dikaitkan dengan kemunduran fungsi kognitif (Kuczynski et al, 2009). Hal tersebut
tentu juga turut berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari (Activity of Daily LivingADL) sehingga dapat menurunkan kualitas hidup lansia yang berimplikasi pada
kemandirian dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Nugroho, 2008).
Menurut Aswin (2004), perubahan-perubahan struktural yang berkaitan
dengan proses menua adalah pengerutan otak, menipisnya korteks serebri,
menurunnya volume dan kualitas sel saraf serta penurunan pasokan darah ke otak.
13

Lebih lanjut, Aswin (2004) menjelaskan bahwa penurunan kinerja belahan otak
kanan lebih cepat dibanding belahan kiri oleh sebab itu pada lansia lebih sering
ditemukan gangguan kognitif berupa penurunan daya ingat visual (misalnya, mudah
lupa wajah orang), sulit berkosentrasi dan cepat beralih perhatian. Selain itu,
ditemukan juga kelainan pada fungsi motoriknya berupa kelambanan berlari,
mengetuk jari, gangguan persepsi sensoris serta dalam reaksi tugas kompleks.
Perubahan struktural otak dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif
pada lansia. Penurunan fungsi kognitif tersebut selanjutnya akan menimbulkan
gangguan pada sistem saraf pusat yaitu pengurangan massa otak dan pengurangan
aliran darah otak. Perubahan pada neurotransmitter ini akan meningkatkan aktivitas
enzim

monoaminoksidase

(MAO)

(Pranarka,

2006).

Sel-sel

astrosit

akan

berproliferasi sehingga neurotransmitter (dopamine dan serotonin) akan turut


berubah. Hal ini akan berdampak pada melambatnya proses sentral dan waktu
reaksi sehingga fungsi sosial dan okupasional akan mengalami penurunan yang
signifikan daripada kemampuan sebelumnya (McGilton, 2007). Inilah yang
menjelaskan mengapa pada lansia sering mengeluhkan kehilangan minat pada
aktivitas sehari-harinya. Pada kondisi ini, lansia memerlukan bantuan untuk
melakukan beberapa aktivitas yang semula mereka mampu untuk melakukannya
sendiri.
2.1.7. Pengertian Kognitif
Kognitif berasal dari bahasa latin cognosere berarti untuk mengetahui atau
untuk mengenali. Kognitif merujuk pada kemampuan untuk memproses informasi,
menerapkan ilmu dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognitif juga
mengacu pada suatu lingkup fungsi otak tingkat tinggi termasuk kemampuan belajar
dan

mengingat;

mengatur, merencana

dan

memecahkan

masalah;

fokus,

memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan


bahasa; akurat dalam memahami lingkungan dan melakukan perhitungan. Dalam
Kamus Kedokteran Stedman (2005), kognitif didefinisikan sebagai fakultas mental
yang berhubungan dengan pengetahuan mencakup persepsi, menalar, mengenali,
memahami, menilai dan membayangkan.
Kognitif merupakan suatu konsep yang kompleks dan melibatkan sekurangkurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi
14

psikomotor. Masing-masing aspek terdiri dari suatu proses yang cukup rumit. Aspek
memori misalnya, meliputi beberapa proses penting seperti encoding, penyimpanan
dan pengambilan informasi yang terbagi menjadi short-term memory, long-term
memory dan working memory. Perhatian dapat bersifat selektif, terfokus, terbagi
atau terus-menerus yang meliputi beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek
yang didapat dari rangsangan panca indera (visual, auditori, perabaan, penciuman).
Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir dan
lain-lain. Aspek kognitif bahasa berupa pengenalan ekspresi verbal, perbendaharaan
kata, kefasihan dan pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor biasanya dikaitkan
dengan pemrograman dan eksekusi motorik. Semua fungsi kognitif diatas
dipengaruhi oelh berbagai faktor seperti suasana hati, tingkat kewaspadaan dan
tenaga, kesejahteraan fisik dan juga motivasi (Nehlig, 2010).
Fungsi kognitif adalah kemampuan mental yang terdiri dari atensi,
kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan
membuat konsep dan intelegensi. Seperti penjelasan

Hesti et al. (2008) dalam

penelitian yang dilakukan oleh Ramadian et al. (2012), fungsi kognitif merupakan
hasil interaksi dengan lingkungan yang didapat

secara formal dari pendidikan

maupun non-formal dari kehidupan sehari-hari. Gangguan satu atau lebih fungsi
tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial , pekerjaan dan aktivitas
harian.
Pada lansia selain mengalami kemunduran fisik juga sering mengalami
kemunduran fungsi intelektual termasuk fungsi kognitif. Kemunduran fungsi dapat
berupa mudah lupa (forgetfulness) merupakan bentuk gangguan kognitif yang paling
ringan, diperkirakan dikeluhkan sekitar 39% lansia yang berusia 50-59 tahun.
Prevalensinya meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. Di
fase ini, seseorang masih dapat berfungsi normal meskipun mulai ditemui gangguan
dalam mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. Forgetfulness juga dapat
berlanjut menjadi gangguan kognitif ringan (Mild Cognitive Impairment-MCI) sampai
ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. Demensia adalah suatu
kemunduran intelektual berat dan progresif yang dapat mengganggu fungsi sosial,
pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari seseorang (Wreksoatmodjo, 2013). Diperkirakan
bahwa sepertiga orang dewasa akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara

15

bertahap

yang

dikenal

sebagai

gangguan

kognitif

ringan

seiring

dengan

bertambahnya usia (Rendah, 2004).


Keluhan yang berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif adalah keluhan
daya ingat atau memori. Gangguan fungsi kognitif dapat dibagi dalam beberapa
tahapan yaitu Age Associated Memory Impairment (AAMI) atau mudah lupa. Kondisi
ini dianggap normal dan biasanya terjadi pada usia 55-60 tahun. Jenis gangguan
kognitif lain yang sering dijumpai adalah Minimal Cognitive Impairment (MCI) atau
gangguan kognitif ringan. Pada tahap ini akan dijumpai gangguan fungsi berpikir dan
mengingat (Soejono et al, 2009).
Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif
yang berkelanjutan; beberapa kondisi masih dianggap dalam spektrum penuaan
normal dan sebagian lainnya termasuk dalam kategori gangguan ringan. Untuk
menentukan gangguan fungsi kognitif biasanya dilalukan penilaian terhadap satu
domain atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis.
Temuan dari berbagai penelitian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa faktor
biologis, perilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi terhadap penurunan
fungsi kognitif (Plassman et al., 2010).
2.1.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kognitif
Seiring bertambahnya usia atau proses menua, seseorang akan mengalami
penurunan fungsi kognitif secara bertahap. Ada banyak faktor lain yang turut
mempengaruhi fungsi kognitif diantaranya usia, jenis kelamin, aktivitas fisik,
merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dll. Berikut penjelasan beberapa faktor
tersebut.
a. Usia
Banyak sumber yang menyebutkan bahwa usia sangat berpengaruh
terhadap kemapuan seseorang untuk mengingat. Seseorang yang lebih tua
cenderung memiliki kemampuan mengingat yang kurang dibandingkan
dengan orang yang berusia muda. Seiring bertambahnya usia, sel-sel otak
akan semakin kelelahan dalam menjalankan fungsinya dan tidak mampu
bekerja secara optimal seperti saat masih muda (Suprenant et al., 2006).
Menurut Darmojo (2011), berat otak akan menurun sekitar 10% pada
16

penuaan antara umur 30-70 tahun. Hal inilah yang turut menyebabkan
terjadinya kemunduran fungsi kognitif pada lansia. Kemampuan konitif juga
sering dikaitkan dengan fungsi otak. Perubahan struktural pada otak akibat
penuaan dapat terlihat melalui pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance
Imaging). Hasil MRI menunjukkan adanya perubahan jaringan putih
periventrikular otak baik difus maupun diskrit yang diperkirakan berperan
penting terhadap terjadinya penurunan kognitif dan non-behaviour.
b. Jenis Kelamin
Salah satu faktor yang turut mempengaruhi fungsi kognitif seseorang adalah
jenis kelamin meskipun belum ada kepastian perbedaan penurunan fungsi
kognitif antara pria maupun wanita. Bridge et al. (2006) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa wanita memiliki kemampuan untuk mengkorelasikan
suatu informasi lebih baik dibanding pria namun ketepatan dalam memanggil
kembali informasi yang tersimpan dalam memori tidak lebih baik dibanding
pria. Yaffe et al. (dalam Myers, 2008) menuliskan bahwa wanita lebih
beresiko mengalami penurunan kognitif daripada pria. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab fenomena ini. Salah
satunya adalah karena adanya peranan level hormon seks endogen dalam
perubahan fungsi kognitif. Area dalam otak yang dikenal berperan dalam
fungsi memori dan belajar adalah hipokampus. Fungsi tersebut sering
dikaitkan dengan keberadaan reseptor estrogen yang banyak terdapat di
sekitar hipokampus. Penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal
berkaitan erat dengan rendahnya kadar estradiol dalam tubuh. Selama ini,
estradiol diyakini bersifat neuroprotektif yaitu mampu membatasi kerusakan
akibat stress oksidatif atau sebagai pelindung sel saraf dari toksisitas
amyloid pada pasien Alzheimer.

c. Aktivitis Fisik dan Olahraga


Melakukan aktivititas fisik dan olahraga rutin terbukti dapat memperlambat
terjadinya penurunan fungsi kognitif seseorang. Seseorang yang rutin
melakukan aktivitas fisik ataupun berolahraga cenderung memiliki ingatan
jangka pendek yang lebih baik dibanding mereka yang jarang atau bahkan
17

tidak melakukan sama sekali (Carvalheiro et al., 2009). Sebagai contoh


aktivitas fisik yang dapat dilakukan untuk memperlambat terjadinya
penurunan fungsi kognitif diantaranya bermain tenis, bersepeda, berjalan
kaki, atau mengerjakan aktivitas rumah tangga. Aktivitas lain yang lebih
melibatkan fungsi kognitif diantaranya membaca buku atau koran, menulis,
mengisi teka-teki silang, dll. Turana (2013) juga membenarkan bahwa
aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat membuat fisik bugar yang
selanjutnya membuat otak menjadi lebih bugar. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa saat kita melakukan aktivitas fisik juga dapat secara
langsung menstimulasi otak. Saat kita melakukan olahraga teratur akan
meningkatkan kadar protein di otak yang disebut BDNF (Brain Derived
Neurothropic Factor). Protein BDNF inilah yang berperan penting dalam
menjaga sel saraf agar tetap bugar dan sehat. Banyak penelitian mengenai
peranan BDNF terhadap fungsi memori. Rendahnya kadar BDNF dalam otak
dapat menyebabkan penyakit kepikunan. Penelitian yang dilakukan Turana
(2013) pada populasi lansia di Jakarta menunjukkan kadar BDNF yang
rendah berkaitan erat dengan gejala penyakit kepikunan awal atau yang
dikenal dengan Mild Cognitive Impairment (MCI).
Aktivitas fisik diduga mampu mempertahankan kesehatan vaskular otak
dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan profil lipoprotein,
mendukung produksi endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak
memadai. Muncul pula bukti mengenai keterikatan insulin dan amiloid. Dalam
studi tersebut disebutkan bahwa aktivitas aerobik dapat mencegah resistensi
insulin dan intoleransi glukosa sehingga menunda penurunan fungsi kognitif
(Weuve et al., 2004). Lebih lanjut, Power (2006) menjelaskan bahwa
setidaknya ada 3 perubahan pada otak karena aktivitas fisik yaitu
angiogenesis, perubahan synaptic reverse dan menghilangkan penumpukan
amiloid.
d. Aktivitas Spiritual
Aktivitas spiritual juga berpengaruh terhadap penurunan fungsi kognitif pada
lansia. Lansia yang rutin menghadiri acara-acara keagamaan dapat
membantu pemulihan fungsi kognitif dan mencegah kepikunan. Dengan
mengikuti aktivitas keagamaan maka dapat memberikan arti hidup, rasa
18

berarti dan harapan hidup pada lansia sehingga mampu menstimulasi fungsi
kognitif lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hill et al. (2006) seperti
dikutip oleh Taruna (2013) melibatkan 3.050 lansia dan dilakukan
pemantauan selama 8 tahun menunjukkan bahwa lansia yang menghadiri
acara keagamaan secara rutin cenderung mengalami penurunan kognitif
lebih lambat dibandingkan yang tidak aktif dalam aktivitas keagamaan.
Penjelasan ilmiah mengenai hasil penelitian tersebut adalah keterlibatan diri
dalam kegiatan keagamaan berkaitan erat dengan rasa berarti dan harapan
hidup yang mampu membantu individu mengatasi stress, ansietas, dan
depersi yang berhubungan dengan penuaan. Selain itu, aktivitas keagamaan
sebagai bentuk gaya hidup aktif dan keterikatan sosial dapat menstimulasi
fungsi kognitif yang selanjutnya akan menambah kapasitas cadangan otak
sehingga dapat menghambat penurunan fungsi kognitif pada lansia (Depkes,
2013).
e. Tingkat Pendidikan
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidikan memiliki
hubungan yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kognitif. Tingkat
pendidikan yang rendah berpeluang empat kali lebih berisiko mengalami
gangguan kognitif jika dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan tinggi
(Aisyah, 2009). Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses
tersebut. Pertama, hipotesis brain reverse yang mengatakan bahwa tingkat
pendidikan dan penurunan fungsi kognitif saling berhubungan karena
keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir.
Hipotesis kedua dikenal dengan istilah use it or lose it. Hipotesis ini
mengatakan bahwasanya stimulus mental selama dewasa merupakan
proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif dini. Pendidikan di awal
kehidupan memiliki pengaruh cukup besar di kehidupan selanjutnya. Jika
seseorang

terus melanjutkan pendidikan untuk menstimulasi mentalnya,

diduga hal tesebut juga turut mempengaruhi struktur dan neurokimia otak
yang berperan dalam fungsi kognitif (Bosma et al., 2003; Seeman et al.,
2005).
Teori lain menjelaskan mengenai synaptic reverse hypothesis dimana orang
yang berpendidikan tinggi memiliki lebih banyak sinaps di otak dibanding
19

orang berpendidikan rendah. Ketika terjadi kerusakan pada sinaps tersebut


karena suatu proses (misalkan pada penyakit Alzheimer) maka sinaps lain
akan menggantikan tempat yang rusak tadi. Teori ini berhubungan serta
dengan cognitive reverse hypothesis dimana orang yang beredukasi memiliki
lebih banyak sinaps otak dan mampu melakukan kompensasi dengan baik
terhadap hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi
alternatif saat tes yang didapati selama pendidikan (Dash et al., 2005). Suatu
studi yang dilakukan oleh Bennett et al. (2003) dalam Rizky (2011)
menemukan bukti kuat adanya hubungan antara senile plaque dan level
fungsi kognitif berdasar tingkat edukasi formal.
f.

Merokok
Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Menurut Trendra (2003),
rokok merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bahan lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana
Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan
tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Partikel yang dibebaskan selama
merokok sebanyak 5x109 pp. Komponen gas terdiri dari karbonmonoksida
(CO), karbondikosida (CO2), hidrogen sianida (HCN), ammonia (NH3),
oksigen dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon. Komponen partikel lain yang
terdapat dalam rokok diantaranya tar, nikotin, benzopiren, fenol dan
cadmium (Ariyani, 2008). Nikotin mengganggu sisitem saraf simpatis dengan
akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain bersifat adiktif,
nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin sehingga turut meningkatkan
frekuensi denyut jantung, tekanan darah juga meningkatkan suplai oksigen
ke jantung. Bila hal tersebut berlanjut akan mengakibatkan timbulnya
gangguan kelistrikan pada jantung (disritmia). Nikotin bersifat toksik dan
mengganggu kerja sistem saraf, otak dan banyak bagian tubuh lainnya.
Nikotin juga mampu mengaktikvasi agregasi trombosin ke endotel pembuluh
darah sehingga memicu terjadinya penggumpalan darah (Atmaja, 2007).
Selain itu, karbonmonoksida (CO) yang terkandung dalam rokok bersifat
sangat toksik memiliki afinitas kuat terhadap hemoglobin pada sel darah
merah (CO-Hb). Ikatan CO-Hb akan membuat hemoglobin tidak mampu
20

melepaskan

ikatan

CO

sehingga

mengganggu

fungsi

Hb

sebagai

pengangkut oksigen (Triswanto, 2007). CO juga dapat menurunkan kapasitas


latihan fisik, meningkatkan viskositas darah sehingga mempermudah
penggumpalan darah. Nikotin, CO dan bahan-bahan lain yang terkandung
dalam rokok terbukti merusak endotel dan mempermudah timbunya
aterosklerosis (Atmaja, 2007)
g. Stroke
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan fisik maupun mental pada
usia produktif dan usia lanjut (Lamsudin, 2000), Stroke menyebabkan
gangguan neurologis berdasar berat ringannya gangguan pembuluh darah.
Pada stroke iskemik, gejala yang utama timbul berupa defisit neurologis
mendadak, didahului gejala prodormal dan sering terjadi waktu istirahat atau
ketika bangun pagi. Gejala stroke iskemik biasanya tak disertai dengan
penurunan kesadaran. Lokasi infark yang terjadi menentukan gejala klinis
defisit neurologis (Mansjoer, 2000). Harsono (2008) menyebutkan bahwa
kerusakan sel-sel otak pasca stroke menyebabkan kecacatan fungsi kognitif,
sensorik maupun motorik sehingga menghambat kemampuan fungsional
mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri, kegiatan sehari-hari serta
kemampuan berkomunikasi. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Setyopranoto et al. (2000) menyatakan bahwa prognosis penderita stroke
dapat pulih komplit atau menimbulkan cacat motorik, sensorik maupun fungsi
luhur antara lain berupa fungsi kognitif yang dapat berlanjut menjadi
demensia. Penurunan atau gangguan kognitif merupakan efek yang biasa
terjadi pada penderita stroke. Penurunan kognitif berkaitan dengan
penurunan penampilan aktivitas hidup daripada defisit motorik (Aminah et al.,
2008). Pada penderita stroke diperkirakan sekitar 50-75% mengalami
gangguan kognitif dan prevalensi menjadi demensia 3 bulan pasca stroke
berkisar antara 23,5-61% (Firmansyah, 2007). Gangguan fungsi kognitif atau
fungsi luhur yang terjadi berupa gangguan orientasi, perhatian, konsentrasi,
daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual (Setyopranoto et al., 2000).
h. Diabetes Mellitus

21

Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang ditandai


dengan hiperglikemia kronis akibat gangguan metabolism karbohidrat, lemak
dan protein karena kerusakan sekresi insulin, gangguan kinerja insulin atau
keduanya (American Diabetes Association, 2007). Berbagai studi telah
melaporkan hubungan antara DM dan gangguan fungsi kognitif yang
meningkatkan resiko terjadinya demensia. Hubungan gangguan fungsi
kognitif pada lansia penderita DM cukup kuat, dan wanita mengalami
penurunan fungsi kognitif yang lebih bermakna dibanding pria. Studi lain
membuktikan bahwa lansia dengan kontrol gula yang baik lebih lambat
mengalami gangguan kognitif (Pinkstaff, 2004; Waspadji, 2007). Diabetes
mellitus meningkatkan resiko komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati,
neuropati dan nefropati serta komplikasi makrovaskuler meliputi pembuluh
darah perifer, penyakit kardiovaskuler dan penyakit neurologis (Bell, 2002;
Deshpande et al., 2008). Diabetes berhubungan dengan mortalitas yang dini
dan faktor risiko untuk terjadinya gangguan fungsi kognitif ringan, demensia
vaskuler, maupun penyakit Alzheimer. Individu dengan diabetes 1,5 kali lebih
sering

untuk

mengalami

gangguan

kognitif

dan

diperkirakan

akan

berkembang menjadi demensia sekitar 1,7 kali lipat, resiko menjadi


Alzheimer juga meningkat (berkisar 1,2-2,3 kali lipat) daripada individu nonDM (Cukierman et al., 2005). Beberapa studi yang telah dilakukan
mendapatkan adanya penurunan fungsi kognitif kisaran rerata dari 1,3-1,4%
pada pasien dengan diabetes (Gregg et al., 2000). Suatu penelitian yang
dilakukan Yaffe et al. (2004) pada 503 pasien diabetes dengan usia 65 dan
follow up selama 4-6 tahun tahun menemukan bahwa kejadian vascular
cognitive impairment memiliki RR 1,8 (1,2-2,5) dengan 95% CI. Proses
diabetes berhubungan dengan berbagai macam variabel seperti lama
menderita diabetes, kontrol penderita diabetes dan komplikasi mikrovaskular
yang menyebabkan gangguan kognitif pada diabetes belum diteliti secara
mendalam (Biessels, 2006). Ebady et al. (2008) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama
menderita DM dengan skor modified Mini Mental State Examination
(mMMSE).
i.

Tekanan Darah

22

World Health Organization (WHO) menetapkan batasan tekanan darah


normal adalah 120-140 mmHg untuk tekanan diastolik dan 80-90 mmHg
untuk tekanan sistolik. Seseorang dinyatakan mengidap hipertensi
tekanan

darahnya

melebihi

140/90

mmHg.

Hipertensi

bila

sebenarnya

merupakan suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan


suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke
jaringan tubuh yang membutuhkan (Bustan, 2000). Kejadian hipertensi pada
lansia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) berkurangnya sel-sel ginjal
yang masih utuh yang diperkirakan masih setengahnya akibat proses menua
menyebabkan kemampuan ginjal untuk menyaring zat-zat yang melewatinya
berkurang

sehingga

terjadi

penurunan

kemampuan

ginjal

untuk

mengeluarkan kelebihan natrium dalam tubuh; (2) penurunan elastisitas


pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatkan resistensi
pembuluh darah sehingga memicu terjadinya hipertensi sistolik; (3)
perubahan ateromatous akibat proses menua mengakibatkan disfungsi
endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan substansi
kimia lain yang memicu peningkatan resorbsi natrium di tubulus ginjal
(Darmojo, 2011).
Baru-baru ini, Joint National committee (JNC) mengeluarkan guideline
terbaru untuk manajemen hipertensi. JNC VIII tidak terfokus untuk
mendefinisikan secara khusus batasan hipertensi dan pre-hipertensi.
Guideline ini lebih mengutamakan manajemen farmakologi sebagai terapi
awal untuk menurunkan tekanan darah hingga kurang 150/90 mmHg pada
penderita hipertensi usia 60 tahun atau lebih dan target penurunan tekanan
diastolik kurang dari 90 mmHg pada penderita hipertensi berusia 30-59 tahun
(Brett, 2013). Hipertensi secara bermakna mempengaruhi kondisi kesehatan
seseorang dimana berbagai fungsi mulai menurun, meningkatnya resiko
penurunan daya ingat dan kemampuan mengurus diri. Hendaya yang penting
dan mendasar pada mereka yang menderita hipertensi pada usia dewasa
menuju tua adalah terganggunya fungsi kognitif. Salah satu gangguan fungsi
kognitif yang sering dijumpai adalah demensia. Tekanan sistolik < 140 mmHg
dan tekanan diastolik > 90 mmHg tidak memperlihatkan hubungan dengan
terjadinya demensia. Hubungan dengan demensia ini lebih jelas terlihat pada
penderita yang tidak menggunakan obat anti hipertensi (AHA, 2007). Sebuah
23

penelitian yang dilakukan oleh Wysocki et al. (2012) menjelaskan bahwa


hipertensi memiliki hubungan erat dengan penurunan fungsi kognitif pada
lansia yang dapat berlanjut menjadi demensia bila tidak mampu mengontrol
tekanan darah dengan baik. Qiu et al. (2004) dalam penelitiannya
menyimpulkan

bahwa

subjek dengan tekanan sistolik >180 mmHg

dibandingkan 141 180 mmHg, ternyata pada tekanan sistolik >180 mmHg
memiliki resiko relatif 1,5 mengalami penyakit Alzheimer (95%, CI = 1,0 2,3
dan p = 0,07) dan terjadinya demensia dengan resiko relatif 1,6 (95%, CI =
1,1 2,2).
Mekanisme biologis hubungan hipertensi dengan disfungsi kognitif dapat
berupa penyebab langsung maupun tidak langsung. Hipertensi kronis secara
tidak langsung dapat meningkatkan resiko aterosklerosis, stroke dan infark
serebri yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif serta defisit motorik.
Secara langsung, hipertensi dapat menurunkan volume otak dengan
mekanisme sebagai berikut : pasien hipertensi memiliki volume nucleus
talamikus yang lebih kecil, volume cairan serebrospinal yang lebih besar di
serebelum dan lobus temporalis. Ketiga hal tersebut yang menyebabkan
penurunan kemampuan daya ingat dan berkomunikasi (termasuk memahami
pembicaraan) sehingga berdampak terhadap kemandirian penderita dalam
melakukan aktivitas sehari-harinya (Suryani, 2008)

2.2. Kerangka Teori


Lanjut usia (60-74
tahun)

Perubahan :
1.

Fisik

2.

Mental

3.

Psikososial
24

4.

Spiritual

Faktor-faktor
Penurunan fungsi kognitif

Modified :

Teori proses penuaan


:
1. teori Genetic
Clock
2. teori Error
Catastrophe
3. teori Sistem Imun
Tubuh

1.

Aktivitas fisik

2.

Aktivitas spiritual

3.

Tingkat pendidikan

4.

Merokok

5.

Diabetes mellitus

6.

Stroke

7.

Tekanan darah

Un-modified :

4. teori Menua
Akibat Metabolisme

1.

Usia dan penuaan

2.

Jenis kelamin

Bagan 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi kognitif

2.3. Kerangka Konsep Penelitian


Lansia (usia 60-74
tahun)

Variabel bebas :
Unmodified factors : usia, jenis kelamin
Modified factors : aktivitas fisik, aktivitas
spiritual, tingkat pendidikan, merokok,
stroke, DM, tekanan darah25

Variabel
terikat :
Fungsi Kognitif

Variabel
pengganggu:
Aktivitas Sosial

Bagan 2. Kerangka konsep penelitian


2.4. Hipotesis
a. Terdapat hubungan antara usia dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
b.Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan fungsi kognitif
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
c. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan penurunan fungsi kognitif
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
d. Terdapat hubungan antara aktivitas spiritual dengan penurunan fungsi kognitif
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
e. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penurunan fungsi
kognitif pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
f. Terdapat hubungan antara merokok dengan penurunan fungsi kognitif pada
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
g. Terdapat hubungan antara stroke dengan penurunan fungsi kognitif pada
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
h. Terdapat hubungan antara DM dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta
i. Terdapat hubungan antara tekanan darah dengan penurunan fungsi kognitif
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta

26

27

Anda mungkin juga menyukai