Anda di halaman 1dari 6

STEP 5

1. Tatalaksana dan vaksinasi pada zoonosis.


2. Cara penggunaan serum ABU (Anti Bisa Ular).
3. Pencegahan pada zoonosis.
STEP 6
STEP 7
1. Tatalaksana
Rabies
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal napas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,
hasilnya tidak menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk
memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan
mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskular yang sering terjadi. Isolasi
penderita penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari
rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot ataupun untuk
mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghidarkan diri terhadap
penularan virus dari air liru, urin, air mata, cairan lain, dan yang paling
berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya
akibat gigitan dengan universal precaution. Virus tidak menular melalui
darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies adalah
terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi, dan edema
serebri.
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedative dan analgesik secara
adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan
obat-obat anti serum, antivirus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif
lainnya tidak terbukti efektif. Dalam decade terakhir ini hampir tidak banyak
perkembangan dalam penanganan kasus rabies. Antiviral yang dianjurkan
adalah ribavirin, interferon alfa, dan ketamin.
Vaksinasi
Vaksinasi post-exposure

Dasar vaksinasi post-exposure adalah neutralizing antibody virus rabies dapat


segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus ke dalam tubuh dan
sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan
dengan panjangnya inkubasi penyakit. Antibodi tersebut dapat berasal dari
imunisasi pasif dengan serum anti rabies atau secara aktif diproduksi oleh
tubuh oleh karena imunisasi aktif.
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu:
a. Nerve tissue vaccine (NTV) yang dapat berasal dari otak hewan dewasa
seperti kelinci, kambing, domba, dan monyet atau berasal dari otak bayi
hewan mencit.
b. Non nerve tissue vaccine yang berasal dari telur itik bertunas dan vaksin
yang berasal dari biakan jaringan.
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada
semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang
biasanya menjadi vector rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies
(SAR) adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih
baik dibandingkan dengan vaksin saja. SAR dapat digolongkan dalam
golongan serum homolog yang berasal dari manusia dan serum heterolog
yang berasal dari hewan.
Cara vaksinasi pasca-paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan
berupa pemberian VAR secara intramuscular pada otot deltoid atau
anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 atau
pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21. Pada orang yang sudah
mendapatkan vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit
binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3,
namun bila gigitan dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka
gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan dan
genitalia diberikan SAR 20 IU per kg BB dosis tunggal. Cara pemberian SAR
adalah setengah dosis intramuscular pada tempat yang berlainan dengan
suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
Vaksinasi pre-exposure
Untuk menghindari infeksi virus rabies, di samping pemberian VAR setelah
mendapatkan gigitan binatang tersangka rabies, pencegahan lebih dini juga

dapat dilakukan dengan memberikan suntikan yang sama tetapi dengan


waktu, cara dan dosis yang berbeda melalui profilaksis pra-paparan.
Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies seperti dokter
hewan, eekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap
binatang, petugas lab yang bekerja dengan virus rabies, dokter dan perawat
yang menagani penderita rabies, wisatawan yang berkunjung ke daerah
endemis rabies, dianjurkan untuk mendapatkan pencegahan pra-paparan.
VAR diberikan dengan dosis 1 ml secara intramuscular pada hari 0, 7, dan 28
lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.
Pes
Pemilihan macam antibiotik bergantung pada gambaran klinis yang
ditunjukkan penderita. Untuk kasus dengan keadaan yang berat seperti pada
tipe septicemia dan pneumonik, streptomisin merupakan pilihan utama
dengan dosis 30 mg/kgBB/hari diberikan secaa intramuskular dalam dosis
terbagi 2-4 kali sehari. Untuk anak-anak 20-30 mg/kgBB/hari. Bila penderita
dalam keadaan rejatan, pemberian suntikan intramuskular tidak terabsorbsi
dengan baik. Untuk mencegah autotoksik pemberian streptomisin maksimum
selama 5-7 hari. Kalau kurun waktu pengobatan tersebut dirasakan masih
terlalu singkat, dapat dilanjutkan dengan tetrasiklin yang sudah mulai
diberikan pada hari pengobatan ke 4, selama 10-14 hari.
Tetrasiklin merupakan obat pilihan kedua, dapat diberikan sebagai kelanjutan
pemberian streptomisin atau siberikan sebagai preparat tunggal untuk kasuskasus ringan baik berupa tetrasiklin HCl, oksitetrasiklin, maupun
klortetrasiklin. Dimulai dengan dosis loading 15 mg/kgBB dengan
maksimum 1 g secara oral diikuti dalam 24 jam pertama dengan 40-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian, kemudian untuk selanjutnya
30 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 kali pemberian, sampai hari pengobatan ke
10-14.
Apabila dipakai dengan kombinasi obat lain cukup 30 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 kali pemberian. Pemberian secara parenteral hanya dilakukan bila
secara oral tidak memungkinkan dengan dosis 12-20 mg/kgBB/hari secara
intravena terbagi dalam 2 kali pemberian. Kontraindikasi pemberian
tetrasiklin adalah adanya gangguan faal ginjal, kehamilan, anak-anak di
bawah usia 8 tahun. Tidak dianjurkan diberikan bersama makanan termasuk
minuman susu dan antacid.

Kloramfenikol merupakan obat pilihan yang lain dengan hasil yang baik
walaupun seringkali ditakutkan adanya efek menekan fungsi sumsum tulang.
Obat ini diberikan terutama untuk penderita-penderita yang berat seperti tipe
meningeal yang tidak dapt diberi streptomisin. Dosis 50-75 mg/kgBB/hari
intravena terabgi dalam 4 kali pemberian selama 10 hari. Secara oral juga
dapat diberikan dengan dosis yang sama.
Kebutuhan cairan dan kalori dapat diberikan secara parenteral apabila tidak
dapat diberikan secara oral.
Antraks
Antraks akan mudah disembuhkan bila cepat dibuat diagnosis pada awal
penyakit dan segera diberikan antibiotik. Pada cutaneous antrax penisilin G
(4x4 juta unit) atau alternatif lainnya seperti tetrasiklin, kloramfenikol, dan
eritromisin bisa dipakai tetapi ada strain yang resisten terhadap obat tersebut.
Untuk hal ini maka sampai ada hasil tes sensitivitas dianjurkan dipakai
kombinasi antibiotik. Beberapa alternatif kombinasi yang dianjurkan antara
lain adalah siprofloksasin (2x400 mg) atau doksisiklin (2x100 mg) ditambah
dengan klindamisisn (3x900 mg) dan/atau rifampisin (2x300 mg) yang mulamula diberikan IV dan selanjutnya peroral bila stabil. Pemberian golongan
penisilin untuk terapi harus memikirkan kemungkinan terjadinya strain
antraks yang menghasilkan penisilinase. Obat antibiotik alternatif lainnya
yang bisa dipakai adalah imipenem, vancomycin. Untuk toksin antraksnya
sedang diteliti pembuatan neutralizing monoclonal antibodies.
Brucellosis
Pengobatan bruselosis bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah secepat
mungkin terjadinya komplikasi dan terjadinya kekambuhan. Antibiotika
kombinasi lebih dianjurkan karena mengurangi tingginya angka kekambuhan
dibandingkan hanya menggunakan regimen obat tunggal. Regimen yang
dianjurkan akhir-akhir ini dapat mempersingkat masa terapi.
Doksisiklin merupakan antibiotika yang menghambat sintesis protein dengan
mengikat ribosom 30S dan 50S, dosis 100 mg peroral/IV tiap 12 jam atau 2-5
mg/kgBB/hari dengan dua kali pemberian selama 45 hari, tidak dianjurkan
untuk wanita hamil kategori D dan anak usia kurang dari 8 tahun. Efek
sampingnya anatara lain hipersensitivitas terhadap matahari, mual dan
esofagitis. Penggunaannya baik untuk neurobruselosis dibandingakn
tetrasiklin.

Gentamisin diberikan IV/IM dengan dosis 5 mg/kgBB terbagi dalam 2 dosis


selama 7 hari. Tidka boleh diberikan apda wanita hamil kategori C,
hipersensitivitas terhadap gentamisin atau aminoglikosida lainnya. Hati-hati
padaa penderita dengan gangguan neuromuscular seperti miastenia gravis,
karena dapat memperberat penyakit. Efek samping gentamisin adalah
gangguan vestibular dan pendengaran, bersifat nefrotoksik, menimbulkan
reaksi hipersensitivitas.
Trimetoprim-sulfametoksazol menghambat sintesis asam dihidrofolat bakteri,
dosis 3x960 mg, lama pemberian obat 45 hari. Kontraindikasi pemberiannya
adalah pada wanita hamil kategori C, defisiensi G6PD, bayi kurang dari 2
bulan, adanya riwayat hipersensitif terhadap obat-obat golongan sulfa. Efek
samping penggunaan obat berupa diare, mual, muntah.
2. Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Serum anti bisa ular adalah suatu produk biologis yang digunakan dalam
pengobatan gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular dibuat dengan
mengambil racun dari ular yang diinginkan, kemudian racun tersebut
diencerkan dan disuntikkan ke kuda, domba, kambing atau kucing. Hewan
subjek akan mengalami reaksi kekebalan terhadap racun, menghasilkan
antibodi terhadap molekul aktif bisa ular dan kemudian anti bisa ular dapat
diambil dari darah hewan tersebut untuk mengobati keracunan bisa ular.
Cara pemberian serum anti bisa ular (SABU)
Dosis pertama diberikan sebanyak 2 vial @5 ml drip dalam 500 ml NaCl
0,9% atau Dextrose 5% diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80
tetes per menit. Kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan
(misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat
terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80-100 ml). Anti serum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan.
Cara lain: penyuntikan serum Anti Bisa Ular (ABU) polivalen sebanyak 2,5
ml intramuskuler atau intravena dan 2,5 ml suntikan infiltrasi sekitar luka.
ABU disimpan pada suhu 2 8C dalam lemari es, jangan dalam freezer.
Masa kadaluarsa 2 tahun.

Efek samping serum anti bisa ular


a. Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera
atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
b. Serum sickness; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam,
gatal-gatal, eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya.
c. Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum
secara intravena.
d. Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada penyuntikan
serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
3. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis :
a. Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis Pada Hewan : pengamatan
dan pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan,
dan/atau pengobatan penyakit hewan (termasuk zoonosis) yang
merupakan tanggungjawab Direktorat Kesehatan Hewan.
b. Pencegahan Penularan Zoonosis dari Hewan ke Manusia : zoonosis
langsung (direct zoonosis) public awareness, zoonosis tidak langsung
(indirect zoonosis) public awareness, jaminan keamanan produk
pangan dan non pangan asal hewan, jaminan kesejahteraan hewan,
merupakan tanggungjawab Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner &
Pascapanen.
c. Tata Laksana Kasus pada Manusia: upaya pencegahan dan
penanggulangan kasus pada manusia, tanggungjawab kementerian
Kesehatan.
Langkah Pencegahan :
a. pada manusia adalah dengan melakukan hidup bersih dan
melakukan Hygiene personal yg baik, pengebalan dengan vaksinasi dan
peningkatan pengetahuan tentang zoonosis;
b. pada hewan dapat dilakukan isolasi hewan sakit, vaksinasi, pengobatan
dan eliminasi hewan pembawa penyakit; dan
c. pada lingkungan menjaga sanitasi lingkungan, penerapan biosekuriti dan

pengendalian vektor penyakit.

Anda mungkin juga menyukai