Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

FRAKTUR OSTEOPOROSIS

Disusun oleh:
Liana Anggara Rizkia
030.10.160

Pembimbing:
dr. Radi Muharris, Sp.OT

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 13 MARET 2015 - 23 MEI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul ”Fraktur
Osteoporosis”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Fraktur Osteoporosis dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing dr. Radi Muharris, Sp.OT yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini hingga
selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.

Jakarta, Mei 2015

Liana Anggara Rizkia

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Liana Anggara Rizkia


NIM : 030.10.160
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu bedah
Periode : 15 Maret 2015 – 23 Mei 2015
Judul makalah : Fraktur Osteoporosis
Pembimbing : dr. Radi Muharris, Sp.OT

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN PADA TANGGAL :………………….

Pembimbing

dr. Radi Muharris, Sp.OT

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………… ii


LEMBAR PENGESAHAN ………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………… iv
Bab I PENDAHULUAN ………………………………… 1
Bab II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 2
II.1. Definisi osteoporosis ………………………………… 2
II.2. Epidemiologi ………………………………… 3
II.3. Klasifikasi ....……………………………… 3
II.4. Patofisiologi ………………………………… 5
II.5. Faktor risiko ………………………………… 5
II.6. Diagnosis ………………………………… 6
II.7. Fraktur ………………………………… 11
II.8. Tatalaksana ………………………………… 13
Bab III KESIMPULAN ………………………………… 17
Bab IV DAFTAR PUSTAKA …………………………………

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah berkurangnya densitas dan penipisan korteks tulang


yang disebabkan oleh berkurangnya pembentukan dan atau meningkatnya resorpsi
tulang. Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah
penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan
perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang
biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang
rusuk, pelvis, dan humerus.1
Seiring bertambahnya usia, orang tua mengalami penurunan massa tulang
dan peningkatan risiko patah tulang sehingga osteoporosis merupakan masalah
kesehatan utama di dunia. Beban sosial dan ekonomi dari osteoporosis terus
meningkat karena populasi usia tua yang terus meningkat.2
Penatalaksanaan osteoporosis sejak awal mempunyai prognosis lebih baik
sehingga dilakukan pemeriksaan skrining pada kelompok berisiko. Pemeriksaan
radiologi merupakan salah satu modalitas untuk mengukur massa tulang yang
berkurang pada osteoporosis.2

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tulang


Secara anatomi, tulang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu tulang
panjang (contoh : femur), tulang pendek atau kuboid (contoh : tulang karpal), dan
tulang pipih (contoh skapula).2 Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri
dari matriks dan sel. Matriks tulang terdiri serat-serat kolagen dan protein non
kolagen, sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas, dan osteosit.3
Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses
formasi tulang yang berfungsi dalam sintesis matriks tulang. Osteoblas berperan
dalam memulai proses resorpsi tulang dan pada permukaan osteoblas terdapat
berbagai reseptor permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang.
Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab untuk resorpsi tulang.
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam dalam matriks tulang. Fungsi
osteosit diduga berperan pada transmisi sinyal dan stimuli dari satu sel ke sel
lainnya.3

2.2 Definisi Osteoporosis


Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah
penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan
perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang
biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang
rusuk, pelvis, dan humerus. Definisi osteoporosis menurut National Institute of
Health (NIH) adalah penyakit yang mengganggu kekuatan tulang yang
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya fraktur.1

2
Gambar 1. Tulang normal dan tulang keropos

2.3 Epidemiologi
Pada tahun 2003 WHO mencatat lebih dari 75 juta orang di Eropa,
Amerika dan Jepang menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan
2,3 juta kasus patah tulang per tahun di Eropa dan Amerika. Sedang di Cina
tercatat angka kesakitan sebesar 7% dari jumlah populasi.1
Osteoporosis mempengaruhi lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat
dan pada tahun 2020 osteoporosis diperkirakan akan berdampak pada sekitar 14
juta orang dewasa di atas usia 50 tahun. Di seluruh dunia, kira-kira 200 juta
perempuan telah menderita osteoporosis. Meskipun kemungkinan penyebaran
osteoporosis saat ini terbesar di Amerika Utara dan Eropa, hal ini juga meningkat
di negara-negara berkembang seiring bertambahnya usia populasi.2

2.4 Klasifikasi
Osteoporosis dibagi dua, yaitu:
 Osteoporosis primer
 Osteoporosis sekunder
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya
sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui
penyebabnya.4
Tabel 1. Etiologi Osteoporosis5,6
Osteoporosis Primer Osteoporosis Sekunder
Anak dan remaja : (1) Gangguan neuromuskular
(1) Idiopathic juvenile osteoporosis  Cerebral palsy
(2) Heritable disorders of connective tissue  Duchenne muscular dystrophy
 Osteogenesis imperfecta  Imobilisasi lama
 Ehler–Danlos syndrome (2) Penyakit Kronik
 Bruck syndrome  Leukemia

3
 Marfan syndrome  Diffuse connective tissue diseases
 Osteoporosis pseudoglioma  Fibrosis Kistik
syndrome  Inflammatory bowel diseases
 Homocystinuria  Sindroma malabsorbsi (celiac disease)
 Talasemia
Dewasa :  Sirosis bilier primer
(1) Osteoporosis tipe I (post menopause)  Sindroma nefrotik
(2) Osteoporosis tipe II (senilis)  Anoreksia nervosa
 TransplantasioOrgan
 Infeksi HIV
(3) Gangguan endokrin
 Pubertas terlambat
 Hipogonadisme
 Turner syndrome
 Defisiensi hormon pertumbuhan
 Hipertiroidisme
 Diabetes mellitus
 Hiperprolaktinemia
 Cushing syndrome
(4) Inborn errors of metabolism
 Intoleransi protein
 Gangguan Penyimpanan Glikogen
 Galaktosaemia
 Penyakit Gaucher
(5) Obat-obatan
 Glukokortikoid
 Methotrexate
 Siklosporin
 Heparin
 Radioterapi
 Obat antikonvulsan

2.5 Patofisiologi
Proses remodeling tulang normal melibatkan keseimbangan pada proses
resorpsi dan formasi dimana osteoklas meresorpsi tulang dengan asidifikasi dan
proteolitik dan osteoblas mensekresikan osteoid pada kavitas osteoklas. Pada
wanita menopause, proses remodeling tulang meningkat secara drastis
menyebabkan kehilangan massa tulang progresif. Hal ini dikarenakan umur
osteoblas yang lebih pendek sedangkan umur osteoklas lebih lama.2 Selain itu
estrogen berperan menurunkan produksi dari berbagai sitokin oleh bone marrow
stem cells dan sel-sel mononuklear seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas.4

4
Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis pasca menopause
Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapat pada orang tua disebabkan
oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan
paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan resorpsi
tulang dan kehilangan massa tulang.5 Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi
protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K
juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi
protein tulang, misalnya osteokalsin.4

Gambar 3. Patogenesis Osteoporosis tipe II dan fraktur

2.6 Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan osteoporosis adalah sebagai berikut :


1. Umur

5
Risiko osteoporosis meningkat 1,4-1,8 kali setiap penambahan umur 1
dekade.
2. Genetik
 Etnis : kaukasia dan oriental lebih berisiko menderita osteoporosis
dibandingkan kulit hitam dan polinesia.
 Jenis kelamin : Perempuan lebih berisiko daripada laki-laki.
 Riwayat keluarga
3. Lingkungan
 Penduduk yang tinggal di negara 4 musim perlu memperhatikan
defisiensi vitamin D dan kalsium karena kurangnya kedua zat
tersebut dapat menyebabkan osteoporosis.
 Gaya hidup : kurang aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan minum
alkohol, serta mengkonsumsi obat-obatan.
 Mengkonsumsi obat-obatan seperti steroid, heparin, dan
antikonvulsan.
 Risiko jatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, dan
gangguan penglihatan).
4. Hormonal dan Penyakit Kronik
 Hormonal : Defisiensi estrogen, androgen, tirotoksikosis,
hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme
 Penyakit kronik : sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi
5. Sifat Fisik Tulang

Aspek skeletal yang harus diperhatikan adalah densitas (massa tulang), ukuran
tulang, makro dan mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas
kolagen tulang.4

2.7 Diagnosis
Keluhan umum pada osteoporosis adalah nyeri tulang kronik dan intermiten
yang mungkin berhubungan dengan fraktur mikroskopik berulang, sebagaimana
nyeri tulang di bagian lain, tinggi badan berkurang baik saat berdiri maupun
duduk, dan berkurangnya kemampuan fisik, termasuk fungsi respirasi. Pasien

6
dengan osteoporosis berat terlihat rapuh dan cenderung kifosis (dowager’s
hump).7
Berdasarkan:
1) Anamnesis
Anamnesis memegang peranan yang penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Keluhan utama berupa fraktur dapat mengarahkan kepada diagnosis,
terutama lokasi terjadinya osteoporosis. Hal yang harus ditanyakan pada pasien
yang dicurigai osteoporosis adalah :
 Adanya fraktur pada trauma minimal, immobilisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium,
fosfor dan vitamin D, atau latihan yang teratur yang bersifat weight-
bearing.
 Riwayat mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang, seperti
kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang
mengandung aluminium, sodium-flourida dan bifosfonat etidronat.
 Riwayat konsumsi alkohol dan rokok
 Riwayat penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis, seperti penyakit
ginjal, saluran pencernaan, hati, kelenjar endokrin, dan insufisiensi
pankreas.
 Riwayat haid, umur menarke dan menopause, dan penggunaan obat
kontrasepsi.
 Riwayat keluarga dengan osteoporosis.5
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, diharuskan mengukur tinggi badan, untuk
mengetahui adanya penurunan tinggi badan. Selain itu juga dinilai gaya berjalan,
deformitas tulang, leg-length inequality, dan nyeri spinal. Pada penderita
osteoporosis sering mengalami kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan
penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen,
spasme otot paravertebra dan kulit yang tipis (McConkey sign). 4
3) Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium (bone turnover)

7
Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran
tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat
menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang dengan jelas, tetapi biopsi
tulang merupakan prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara
rutin. Sehingga pilihan untuk menentukan bone turnover adalah parameter atau
penanda biokimiawi. Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan
untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk
memperkirakan kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi
pengobatan.8
Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas
formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas
pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi
tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi
biokimia ini dilakukan  melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.9
Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation) :
a. Osteokalsin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi
membantu proses mineralisasi tulang.
b. Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang
berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.
Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) :
a. Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang
dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika
terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang.
b. CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang
spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan
deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan
terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya).
 Pemeriksaan Radiologi
Osteoporosis disebabkan oleh penurunan massa tulang, oleh karena itu
diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dengan pengukuran massa tulang.
Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu dan

8
risiko terjadinya patah tulang di masa yang akan datang. Metode pengukuran
densitas tulang dikategorikan atas :
A. Metode kuantitatif
Metode ini menilai densitas tulang dengan relatif objektif. Teknik yang
digunakan adalah dengan radiogrammetri, radiographic photodensitometry,
computed tomography, single and dual photon absorptiometry, dan compton
scattering.10
1. Energy Absorptiometry
Teknik ini terdiri dari Single Photon Absorptiometry (SPA), Double
Photon Absorptiometry (DPA), Single Energy X-Ray Absorptiometry
(SXA), dan Double Energy X-ray Absorptiometry (DXA). Kelebihan
densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan Photon Absorptiometry
dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari
anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat
dihindarkan dan presisi pengukuran lebih tajam.
Single Photon Absorptiometry memakai isotop radionuklir berenergi
rendah seperti Iodine 125. Radiasi monokromatik yang dihasilkannya secara
sinkron melintasi tulang yang diperiksa. Tulang dan jaringan lunak yang
dilewati melemahkan radiasi. Berkurangnya intensitas radiasi inilah yang
diukur. Single Energy X-ray Absorptiometry saat ini banyak digunakan
untuk menggantikan SPA, terutama dalam menilai tulang di daerah
pergelangan tangan. SXA ini lebih akurat dan tidak menggunakan isotop.
SPA dan SXA baik untuk menilai tulang-tulang apendikular, namun untuk
menilai tulang belakang dan tulang panggul sebaiknya digunakan DPA atau
DXA.8
Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun
osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DXA, karena dapat
mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih
dalam, termasuk yang dikelilingi oleh jaringan lunak yang tebal seperti
jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ dalam perut.8

9
Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan
mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara
lain :
 Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan
kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan
etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.
 Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan
kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama,
yang disebut dengan T Score dalam %.5
Osteoporosis pada dewasa
Kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan skor-T adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi osteoporosis WHO1
Definisi Kriteria
Skor-T lebih besar atau sama dengan
Normal
-1,0 SD
Osteopenia Skor-T antara -1,0 SD sampai -2,5 SD
Osteoporosis Skor T kurang dari -2,5 SD
Osteoporosis Skor T kurang dari -2,5 SD ditambah
Lanjut satu atau lebih fraktur

Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada :


1. Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko.
2. Pascamenopause dan usia <65 tahun dengan minimal 1 faktor risiko
disamping menopause atau dengan fraktur.

3. Wanita pascamenopause yang kurus (Indek Massa Tubuh <19 kg/m2).


4. Ada riwayat keluarga dengan fraktur osteoporosis.
5. Mengkonsumsi obat-obatan yang mempercepat timbulnya osteoporosis.
6. Menopause yang cepat (premature menopause).
7. Amenore sekunder >1 tahun.
8. Kelainan yang menyebabkan osteoporosis seperti: anoreksia nervosa,
malabsorpsi, primary hyperparathyroid, post-transplantasi, penyakit
ginjal kronis, hipertiroid, imobilisasi yang lama, cushing syndrome.
9. Berkurangnya tinggi badan, atau tampak kifosis.

10
Osteoporosis pada anak
Diagnosis osteoporosis pada anak tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
pemeriksaan densitas mineral tulang, tapi juga oleh riwayat fraktur secara klinis
(fraktur pada satu tulang panjang ektremitas bawah atau fraktur dua atau lebih
tulang panjang ekstremitas atas, atau adanya fraktur kompresi vertebra). Anak
dikatakan osteoporosis bila skor Z ≤ -2,0 SD sesuai umur, jenis kelamin, ras, dan
juga ukuran tubuh dan pekembangan pubertas (Tanner stage). Skor T tidak pernah
dipakai untuk anak.1
2. Computed Tomography (CT) 
Keuntungan penggunaan CT, dalam hal ini Quantitative CT (QCT) ini
adalah kemampuannya untuk merelokalisasi tempat ‘scanning’ dengan keakuratan
yang amat tinggi sehingga didapat gambaran anatomi dalam tiga dimensi secara
tepat. Dengan demikian, densitas yang terukur bersifat volumetrik, bukan densitas
areal seperti pada absorpsiometri. Batas antara tulang kortikal dan tulang
trabekular terlihat jelas11.

Gambar 4. CT Scan pada vertebra lumbal


  Whole Body CT memberikan informasi densitas tulang dalam satuan
unit Hounsfield (HU); dimana bila densitas CT berada pada kisaran –1000
s/d +1000 HU.
Air                   :   0
Udara              : -1000 HU
Tulang              : +1000 HU
Korteks tulang    :  > 250 HU
Trabekula tulang     : 30-260 HU 
Hasil pengukuran CT berada dalam satuan HU, karenanya dibutuhkan
kalibrasi untuk mengubahnya ke densitas mineral tulang yang relevan.

11
Khususnya, pada QCT aksial, penderita di-scan bersamaan dengan fantom
kalibrasi. Cann-Genant juga memperkenalkan suatu garis kalibrasi yang
mengubah nilai pengukuran dari satuan HU ke satuan mg/ml konsentrasi
mineral tulang (Cann-Genant Technique).11
Aplikasi pengukuran QCT dalam klinik adalah : 
 Penentuan kandungan mineral tulang dalam vertebra, panggul atau radius
untuk perkiraan osteoporosis.
 Penentuan kandungan lemak/fat dalam vertebra untuk diagnosis dini
osteoporosis.
 Penentuan kandungan zat besi/iron dalam hepar untuk evaluasi diagnosis
pasti penyakit liver.
 Penentuan kandungan iodium dalam tiroid untuk pemeriksaan  penyakit
tiroid.
 Penentuan kandungan lemak dalam tubuh untuk perkiraan komposisi
tubuh.
 Penentuan kalsium yang terdapat dalam nodul paru untuk  memastikan
stadium penyakit.
 Penentuan densitas elektron dalam jaringan untuk planning radioterapi
yang baik.13
3. Sidik Radioisotop
Sidik radioisotop menggunakan technetium diphosphonate.
Pemeriksaan ini memberikan petunjuk aktivitas osteoblastik dan
vaskularisasi skeletal. Ambilan tulang terhadap diphosphonate dapat
dihitung. Dua puluh empat jam setelah penyuntikan technetium
diphosphonate, retensi isotop dalam tubuh dihitung. Retensi isotop terjadi
pada osteoporosis, sedangkan peningkatan dapat tampak pada penyakit
Paget, osteomalacia dan hiperparatiroid primer. Kelainan metabolik tulang
dapat menyebabkan peningkatan uptake secara menyeluruh  dan
osteoporosis terkadang memberikan gambaran washed out. Saat ini, metode 
tersebut di atas digunakan dalam mendiagnosis banding dan sebagai teknik
penelitian. 13

12
Gambar 5. Sidik Radioisotop Tulang

4. Radiographic Photodensitometry
Densitas tulang, dibandingkan dengan obyek tertentu yang menjadi
acuannya, misalnya lempeng aluminium. Keduanya difoto dengan x-ray,
hasilnya dibandingkan dengan memakai densitometer cahaya.
Aplikasi klinik pemeriksaan densitometri :
 Menentukan efek pada tulang penderita dengan gangguan metabolik.
 Untuk memonitor progresifitas penyakit atau respon terapi dengan
pemeriksaan seri.
 Menentukan perimenopause wanita, dengan penentuan perubahan 
kadar estrogen.
 Menentukan diagnosis dan beratnya osteoporosis.
5. Compton Scattering 
Metode ini mendeteksi dan mengukur sinar hambur yang terjadi di
sekitar sinar primer. Sinar primer difokuskan pada suatu area kecil tulang.
Intensitas sinar hambur yang terjadi di sekitarnya merupakan alat pengukur
kandungan mineral tulang.
6. Ultrasonografi
Kebanyakan teknik Ultrasonografi kuantitatif mengukur tulang
kalkaneus. Ultrasonografi memprediksi resiko patah tulang, namun apakah
kedudukannya dapat menggantikan pengukuran-pengukuran densitas tulang
lainnya atau menambah informasi yang didapat daripadanya masih belum
jelas.
B. Metode semi kuantitatif
Penilaian osteoporosis dangan metode semi kuantitatif ini dapat dengan hanya
menggunakan radiografi konvensional. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di
beberapa tempat, yaitu vertebra, proksimal femur, kalkaneus, dan metakarpal.

13
1. Foto Vertebra
Menentukan densitas tulang melalui foto lateral. Normalnya bayangan
ini opak homogen. Dengan berkurangnya massa tulang, korpus vertebra
menjadi lebih radiolusen, trabekula transversal perlahan-lahan mulai hilang,
gambaran trabekula vertikal menjadi lebih menonjol.4
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis
vertebra :
1) Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vetebra atau penurunan
densitas tulang.
2) Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula
vertikal. Resorpsi, penipisan dan menghilang terutama pada trabekula
horizontal dibandingkan trabekula vertikal, sehingga menghasilkan
gambaran densitas striata vertikal.

Gambar 6. Bone Atrophy Class

Kriteria Bone Atrophy Class membagi tingkat perubahan trabekulasi


menjadi 4 tingkatan :
Kelas 0 : Normal
Kelas I : Trabekula longitudial lebih jelas
Kelas II : trabekula longitudinal menjadi kasar
Kelas III : Trabekula longitudinal mejadi tidak jelas
 Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus veterba.
 Perubahan end plates, degan membandingkat korpus vetebra denga end
plates. Penurunan kalsium vetebra menghasilka end plates yag semakin
tidak jelas.
 Abnormalitas bentuk korpus vetebra

14
Kleerekoper dkk di Detroit melakukan penilaian terhadap perubahan-
perubahan bentuk vertebra, yang mereka sebut Permanent Vertebral Body
Deforming Events (PVDE). Perubahan-perubahan yang terjadi bervariasi
dari kolaps end plates (EP) hingga pemipihan/Wedging (W) dan fraktur
kompresi/Crush fracture (C).

Gambar 7. Permanent Vertebral Body Deforming Events (PVDE)


 Menemukan fraktur spontan atau setelah trauma minimal pada foto
vertebra.4
2. Proksimal femur
Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahan-
perubahan karakteristik bersamaan dengan hilangnya massa tubuh. Singh,
dkk memberikan suatu sistem grading berdasarkan perubahan-perubahan
ini. Indeks yang rendah menunjukkan rendahnya massa tulang.10

Gambar 8. Indeks Singh

Indeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu :


 Grade 6 : semua struktur kelompok trabekula dan segitiga Ward kurang
jelas terlihat menandakan tulang normal.
 Grade 5 : tampak atenuasi struktur principal compressive dan principal
tensile, segitiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini
menunjukkan stadium dini osteoporosis

15
 Grade 4 : tensil trabekula tampak berkurang, terjadi resorpsi dimulai dari
bagian medial, sehingga principal tensile bagian lateral masih dapat diikuti
garisnya. Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dan
osteoporosis.
 Grade 3 : tampak principal tensile terputus di area yang berseberangan
dengan trochanter mayor sehingga tensil trabekula hanya terlihat dibagian
atas leher femur. Stadium ini menunjukkan definite osteoporosis.
 Grade 2 : hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan
kelompok trabekula lain tidak/kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan
advanced osteoporosis.
 Grade 1 : principal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya,
keadaan ini menunjukkan keadaan osteoporosis berat.4
3. Kalkaneus
Metode Jhamaria menggunakan metode yang sama dengan Singh dkk
yaitu menentukan indeks osteoporosis berdasarkan pola trabekula
kalkaneus. Metode Jhamaria lebih mudah dilakukan dan relatif aman karena
letak kalkaneus jauh dari gonad.10

Grade V. Normal.Persebaran dan distribusi trabekula normal

Grade IV. A wedge shaped (varian normal).

16
Grade III. borderline osteoporosis.

Grade Il. Definite osteoporosis.

Grade I. Severe osteoporosis.


Gambar 9. Indeks osteoporosis kalkaneus menurut Jhamaica
dkk.10
4. Metakarpal
Pada pemeriksaan foto tangan, yang perlu diperhatikan adalah
metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dalam hal ini yang diukur adalah Tebal
Total Tulang (TW) dan Tebal Medulla Tulang (MW) pada pertengahan
metakarpal. Dilakukan pengukuran tebal korteks, yaitu selisih diameter
tulang dengan tebal medula.4

Gambar 10. Radiomorfometri Metakarpal


Perbandingan korteks (CA) dengan daerah keseluruhan keseluruhan
tulang (TA), dinilai dengan rumus berikut :
CA/TA = TW2 - MW2
TW2
Nilai rata-rata dewasa adalah 0,72-0,85, dan menurun sesuai
bertambahnya umur. Osteoporosis korteks dinyatakan bila nilainya kurang
dari 0,72.4 

17
C. Metode kualitatif
Metode kualitatif dapat dilakukan dengan radiografi sederhana, radiografi
detail tinggi, dan radionuklir. Metode-metode ini dapat digunakan untuk
membentuk diagnosis yang cukup akurat. Scan tulang radionuklir memanfaatkan
technetium-99m. Serapan technetium-99m tergantung pada aktivitas metabolik
tulang serta aliran darah tulang. Area pergantian tulang yang cepat dengan laju
aliran darah tinggi akan menunjukkan peningkatan serapan. Laju alir rendah dan
aktivitas metabolisme berkurang akan menunjukkan penurunan serapan.10

2.8 Fraktur pada osteoporosis


Tulang yang rapuh dan patah dinamakan fragility fracture, pada kondisi
ini dapat terjadi patah tulang meskipun tidak harus timbul akibat trauma yang
hebat, melaikan cukup hanya terjatuh biasa yang ringan, mengangkat barang
berat, mendorong sesuatu, atau akibat trauma ringan.
Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah:
1) Fraktur tulang panggul (hip fracture) / (collum femoris)
2) Fraktur tulang pergelangan tangan bagian bawah (wrist fracture)
3) Fraktur tulang belakang (spine fracture atau vertebral compression
fracture)
Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang.12
Fraktur tulang panggul
Fraktur pada pangkal tulang paha (collum femoris) yang hamper sebagian
besar disebabkan oleh osteoporosis umumnya terjadi akibat terjatuh, terduduk,
atau terkadang hanya salah posisi berdiri saja.
Gejala :
 Rasa nyeri yang hebat, paha dan tungkai bawah sulit digerakan karena rasa
nyeri.

18
Gambar 4. Fraktur pada tulang pinggul

Fraktur radius distal


Patah tulang ini timbul disebabkan reaksi penderita yang jatuh selalu
berusaha menahan badan dengan tangannya. Pada pergelangan tangan terjadi
cedera kompresi, rotasi dan angulasi yang menimbulkan Colles fracture.
Gejala:
 Pergelangan tangan akan tampak bengkak dan perubahan bentuk, timbul
rasa nyeri bila digerakan.

Gambar. 5 Fraktur pergelangan tangan bagian bawah


Fraktur Tulang Belakang
Patah tulang belakang pada penderita osteoporosis sebagian besar terjadi
karena jatuh terduduk, bila osteoporosisnya parah dapat juga terjadi fraktur karena
terjatuh pada kamar mandi, ataupun mengangkat beban yang berat.
Tubuh yang membungkuk (kifosis) atau dorsal kifosis atau dowager’s
hump, biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari
daeraah thoracal dan lumbal. Osteoporosis pada tulang belakang ini menimbulkan
fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan tulang membungkuk ke
depan.

19
Gambar 6. Kompresi tulang belakang

Fraktur kompresi vertebra adalah suatu keretakan pada tulang belakang yang
disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi bersamaan. terjadi jika
berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang beban tersebut,
seperti pada kasus terjadinya trauma.
2.9 Tatalaksana
Penanganan Fraktur Pada Osteoporosis
Pada umumnya penderita dengan Osteoporosis adalah manula, baru datang
berobat ke ahli orthopaedi apabila mengalami patah tulang, wanita lebih sering
dari pria hal ini disebabkan wanita manula berisiko dan reaksi terhadap jatuh juga
lebih lamban. Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah fraktur kollum
femur, fraktur Colles, fraktur vertebra dan fraktur intertrokhanter femur. Pada
prinsipnya penangan patah tulang adalah 4 R yaitu:13,14
1. Recognition
2. Reduction
3. Retaining
4. Rehabilitation
1. Recognition
Yaitu membuat diagnosis patah tulang dengan baik agar dapat dibuat
rencana terapinya, apakah tulang yang terjadi simple, kominutif atau segmental
pada daerah epifisis, metafisis atau diafisis. Patah tulang akibat osteoporosis
biasanya terjadi pada daerah metafisis (daerah cancellous bone). Osteoporosis
memang terjadi lebih banyak di daerah kanselous karena permukaan yang lebih
luas dibanding tulang kortikal, Perlu diketahui pula prognosis dari kemungkinan
union, seperti pada daerah collum femur dimana sebagian besar akan terjadi non
union disamping kemungkinan terjadinya avaskuler nekrosis kaput femoris.

20
2. Reduction
Setelah dibuat diagnosis patah tulang, maka tindakannya adalah
memperbaiki kedudukan fragmen agar terjadi penyambungan yang baik, apakah
harus segera atau dapat ditunda (emergency atau ASAP : as soon as possible)
3. Retaining
Pada patah tulang akibat osteoporosis perlu dipertimbangkan cara
mempertahankan hasil reposisi, Menggunakan implant maka implant harus dapat
memegang fragmen yang ada, kalau tidak ada cara lain yang cukup memadai yaitu
dengan imp/ant yang sederhana yang bersifat adaptasi atau splinting dengan
kirscher wire dan pemasangan fiksasi luas (gips). Selain itu kualitas tulang perlu
diperhatikan dan kalau perlu dapat diperkuat fiksasi bila dipergunakan bone
cement
4. Rehabilitation
Tindakan rehabilitasi adalah untuk mencegah timbulnya kecacatan dengan
mengupayakan fungsi alat atau anggota yang masih baik guna memberikan
kesempatan bagian yangcedera agar menjalani istirahat guna penyembuhan.
Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan beberapa penyulit, baik yang bersifat
umum akibat tirah baring lama mengenai beberapa sistem tubuh seperti sistem
kardiorespirator, ginjal, juga sistem muskuloskeletal yaitu kekakauan sendi
terutama distal dari fraktur dan menambah timbulnya disuse osteoporosis dan
fracture disesase vertebrae yang kolaps. Penyuntikan bone cement tersebut dapat
memperbaiki deformitas dan memberikan kepadatan pada corpus vertebrae.
Kekuatan yang lebih dapat pula memberi tekanan pada corpus vertebrae cranial
dan distal, karenanya tindakan terhadap terapi osteoporosis perlu dilaksanakan.

 PATAH TULANG COLLUM FEMUR (FEMORAL NECK)


Pada umumnya patah tulang collum femur sering terjadi non union atau
nekrosis avaskuler kaput femoris. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mencegah timbulnya penyulit tirah baring yang lama yaitu dengan tindakan bedah
pemasangan endoprothesis (Austin Moore Prosthesis-AMP) atau Total Hip
Replacement (THR).

21
Total hip replacement adalah prosedur operasi dengan mana tulang rawan
(cartilage) dan tulang yang berpenyakit (rusak) dari sendi pinggul secara operasi
diganti dengan materi-materi buatan.

Gambar. Pemotongan tulang femur dan pemasangan hip joint prosthesis

Sambungan tulang pinggul (hip joint) adalah sambungan tulang yang


terletak diantara pinggul dan pangkal tulang paha atas. Hip joint pada manusia
terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: femur, femoral head, dan rounded socket.
memperlihatkan tentang proses penggantian sambungan tulang pinggul dengan
sambungan tulang pinggul tiruan (artificial hip prosthesis). Sambungan tulang
pinggul yang terindikasi arthritis, kemudian dilakukan pemotongan pada tulang
femur terutama di bagian sekitar femoral head. Setelah pemotongan, kemudian
bagian acetabulum akan dihaluskan untuk menempatkan cup pada acetabulum.
Hip joint prosthesis akan dipasang dengan cara menanam femoral stem pada
tulang femur.

Gambar . Hip joint sebelum dan sesudah dilakukan hip joint replacement

Komponen sambungan tulang pinggul buatan terdiri dari sistem


acetabular dan femoral. Dalam sistem acetabular terdiri dari komponen
acetabular shell dan acetabular liner, sedangkan pada sistem femoral terdiri dari
komponen femoral head dan femoral stem.

22
Gambar . hip joint prosthesis
Acetabular Shell adalah bagian terluar dari total hip joint replacement
sebagai metal cup yang menempel pada acetabulum (bagian tulang dari pelvis),
bagian permukaan luar acetabular shell terdapat porous (permukaan kasar yang
mirip jarring-jaring) fungsinya adalah merangsang tulang agar tumbuh dan
merekat pada acetabular shell secara alami, sebagai penguat acetabular shell di
tanam baut kedalam tulang pelvis secara permanen.
Acetabular liner adalah untuk menopang femoral head yang
direkatkan/diikat menempel pada acetabular shell. Femoral head merupakan
implant pengganti bonggol tulang femur yang telah dinyatakan secara medis tidak
berfungsi lagi (rusak) oleh karena suatu sebab, baik karena penyakit atau sebab
lainnya.
 PATAH TULANG RADIUS DISTAL
Pada patah tulang yang segar, reposisi tertutup dan pemasangan gips
cukup memadai. Lain halnya bila datang terlambat dengan malposisi. Walaupun
demikian penderita manula biasanya tidak mengeluh dengan kelainan bentuk dan
gangguan gerak yang terbatas, baik fleksi ekstensi maupun pro dan supinasi. Orif
(Open Reduction Internal Fixation) dengan implant yang minimal yaitu kirshner
wire hanyalah untuk mempertahankan kedudukan setelah reposisi dan kemudian
perlu dipasang gips.
 PATAH TULANG BELAKANG
Patah tulang yang terjadi biasanya bentuk kompresi. Paling banyak pada
tulang belakang tengah (Thorakal XII & Lumbal I). Bila jatuhnya keras tidak
jarang terjadi kelemahan kekuatan otot-otot tungkai bahkan kelumpuhan sampai
gangguan kencing & BAB, hal ini terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen

23
tulang yang patah.
Penanganan patah tulang belakang, bila ringan hanya perlu memakai
Brace, bila menimbulkan kelemahan harus dilakukan operasi dengan tujuan
membebaskan saraf yang terjepit fragmen tulang yang patah sekaligus stabilisasi
dengan implant. Pada awal tahun 2000 ini ditemukan vertebroplasty cara baru
penanganan patah tulang belakang tanpa operasi yang bertujuan menghilangkan
nyeri dan mereposisi fragmen fraktur yang mengalami kompresi dengan cara
menyuntikkan semen tulang kedalam tulang belakang yang patah.
Percutaneous vertebroplasty merupakan teknik penyuntikan suatu semen
tulang acrylic (polymethylmethacrylate; PMMA) ke bagian tulang belakang
melalui jarum trokar yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, menjaga
kestabilan tulang belakang, dan pada beberapa kasus dapat  mengembalikan
postur tubuh.

Gambar. vertebroplasty
Patah tulang belakang mengakibatkan nyeri dan kecacatan. Percutaneous
vertebroplasty dapat mengurangi nyeri tidak hanya pada pasien dengan patah
tulang belakang yang disebabkan oleh osteoporosis, namun juga pada pasien patah
tulang belakang akibat hemagioma (tumor jinak pembuluh darah), dan patah
tulang patologis akibat tumor tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa
percutaneous vertebroplasty  dapat mengurangi nyeri yang diakibatkan oleh patah
tulang belakang dan hemangioma.
Indikasi terapi :
 Patah tulang yang disebabkan oleh osteolysis
 Patah tulang kompresi
 Patah tulang atau nyeri akibat kanker saraf tulang belakang yang menyebar
 Hemangioma pada tulang belakang

24
2.9 Prognosis Osteoporosis
Prognosis osteoporosis baik apabila kehilangan massa tulang terdeteksi
sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan. Pasien bisa
meningkatkan densitas mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur dengan
pengobatan anti osteoporotik yang cukup. Selain itu pasien bisa menyesuaikan
keadaan lingkungannya untuk mengurangi risiko jatuh.15
Fraktur kompresi vertebra berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas osteoporosis. Postur pasien memburuk, kifosis yang progresif,
gangguan keseimbangan, nyeri punggung, dan peningkatan risiko pneumonia.
Secara keseluruhan pasien kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri. Fraktur
vertebra meningkatkan 5-years risk of mortality rate sebesar 15%.15
Fraktur panggul juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien
osteoporosis. Dari seluruh pasien fraktur panggul, 50% memerlukan perawatan di
rumah untuk pemulihan. Sekitar 50% yang sebelumnya dapat hidup mandiri
menjadi cukup bergantung, dan sepertiganya menjadi sangat bergantung pada
orang lain.15
Pasien yang sudah pernah mengalami fraktur berisiko tinggi untuk fraktur
berikutnya. Sebagai contoh, adanya satu fraktur vertebra akan meningkatkan
risiko lima kali lipat untuk fraktur vertebra berikutnya. Pasien dengan fraktur
panggul sebelumnya akan berisiko 2-10 kali lipat untuk frakur panggul kedua.15
WHO membuat Fracture Risk Assesment Tool (FRAX) untuk menilai
kemungkinan 10 tahun osteoporosis menyebabkan fraktur mayor, seperti tulang
belakang, panggul, bahu, atau lengan berdasarkan jumlah faktor risiko klinis
(clinical risk factor/CFR), densitas mineral tulang, indeks massa tubuh, umur
pasien (50-90 tahun), serta epidemiologi masing-masing negara.16
Faktor risiko klinis yang dinilai ialah usia, jenis kelamin, riwayat fraktur,
indeks massa tubuh rendah, pemakaian obat glukokortikoid, osteoporosis
sekunder, riwayat orangtua dengan fraktur panggul, status merokok saat ini, dan
konsumsi alkohol (lebih dari tiga kali sehari).1
BAB III
PENUTUP

25
3.1 Kesimpulan
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga
tulang mudah rapuh dan patah. Osteoporosis dibagi dua, yaitu osteoporosis primer
dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak
diketahui penyebabnya sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis
yang diketahui penyebabnya.
Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan
adalah pemeriksaan massa tulang yang dapat dinilai dengan tiga cara yaitu,
kuantitatif, semi kuantitatif, dan kualitatif.
Osteoporosis dapat ditatalaksana secara farmakologik dan non-
farmakologik. Prognosis osteoporosis baik kehilangan massa tulang terdeteksi
sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan.

3.2 Saran
Pencegahan dan pemberian edukasi sebagai kegiatan preventif sebaiknya
dilakukan oleh pelayanan kesehatan dimulai dari puskesmas sebagai tonggak
utama kesehatan dasar masyarakat. Pemeriksaan radiologi akan diperlukan untuk
mendeteksi apakah telah terjadi komplikasi yang paling ditakutkan dari
osteoporosis yaitu patah tulang.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

26
1. Hough, S., Ascott Evan B., Brown S., Cassim B., De Villiers T., Lipschitz
S., et al. NOFSA Guideline for the Diagnosis and Management of
Osteoporosis. South Africa: NOFSA; 2010
2. Lane, Nancy E. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis.
American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2006;194:S3–11
3. Setiyohadi, Bambang. Struktur dan Metabolisme Tulang dalam Aru W.
Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra:
Interna Publishing; 2006: 1106.
4. Salter, Robert B. Textbook of Disorder and Injuries of the Muskuloskeletal
System. Edisi ketiga. Pennsylvania : Lippincott William and Wilkins;
1999.
5. Setiyohadi, Bambang. Osteoporosis dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing;
2006: 1269-84
6. Bianchi, Maria L. Osteoporosis in children and adolescents. Bone.
2007;41:486–95.
7. Kanis, J.A., E. V. Mc Closkey, H. Johansson, C. Cooper, R. Rizzoli, dan J.
Y. Reginster. European guidance for the diagnosis and management of
osteoporosis in postmenopausal women. Springer : International
Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation; 2012
8. Burgener, A. F., Martti Kormano, dan Tomi Pudas. Differential diagnosis
in conventional radiology. Edisi ketiga. Jerman: Thieme; 2008: 6-11.
9. Sweet, M. G., Jon M. S., Michael P. J., dan Sim S. G. Diagnosis and
Treatment of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):193-200.
10. Kosmin, Dana J. Osteoporosis. Diakses di :
http://emedicine.medscape.com/ article/33059-overview#aw2aab6b2b6.
Diakses pada 11 Maret 2014.
11. WHO Fracture Risk Assesment Tool (FRAX). Diakses di :
www.shef.ac.uk/FRAX. Diakses pada 11 Maret 2014.
12. Banks Alan S., Brad Castellano. Radiology of osteoporosis evaluation and
interpretation. Diakses di : http://www.podiatryinstitute.com/pdfs/Update_
1987/1987_04.pdf pada 10 Maret 2014
13. Razak B. Osteoporosis ditinjau dari sisi pemeriksaan radiologi. Artikel
Radiologi. 2011 
14. Brunader, R dan Shelton D. K. Radiologic bone assessment in the
evaluation of osteoporosis. American Family Physician. 2002; 65(7):
1357-1364
15. Wachjudi R G. OSTEOPOROSIS AKIBAT PEMAKAIAN STEROID.
Diakses di: http://internershs.com/home3/index.php?
option=com_content&task=view&id=76&Itemid=124 pada 10 Maret 2014

27
16. Kawiyana I. K. S. Osteoporosis : Patogenesis, diagnosis, dan penanganan
terkini. J Peny Dalam. 2009; 10 (2): 157-170

28

Anda mungkin juga menyukai