INFORMED CONSENT
Disusun oleh:
Liana Anggara Rizkia
030.10.160
Pembimbing:
dr. Triseno, Sp.An
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul ”Informed
Consent”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Informed consent dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing dr. Triseno, Sp.An yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Liana Anggara Rizkia
NIM : 030.10.160
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Anastesi
Periode : Mei 2015 - Juni 2015
Judul makalah : Informed Consent
Pembimbing : dr. Triseno, Sp.An
Pembimbing
DAFTAR ISI
iii
KATA PENGANTAR ………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………… iv
Bab I PENDAHULUAN ………………………………… 1
Bab II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 2
II.1. Definisi ………………………………… 2
II.2. Tujuan ………………………………… 3
II.3. Fungsi ....……………………………… 3
II.4. Jenis ………………………………… 4
II.5. Informasi yang diberikan………………………………… 5
II.6. Ketentuan ………………………………… 7
II.7. Aspek ………………………………… 8
II.8. Sanksi ………………………………… 16
Bab III KESIMPULAN ………………………………… 18
Bab IV DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 19
iv
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang
sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya
memberi inform consent pada pasien adalah untuk:5
a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien; 5
b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.5
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun
Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu
dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien
benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan
keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian
3
tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter
tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes
Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa
dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent. 8
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum
yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed
consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan,
sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan
malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai
berikut :3
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter,
tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko
dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter
4
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas
menyatakan persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam
bentuk verbal atau tulisan.3,9
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien
menyetujui tindakan medis dokter secara verbal.2,9
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara
bertulis pada lembar inform consent yang telah disediakan.2
5
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
6
a. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang
prognosis meliputi :
b. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
c. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
d. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
7
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan
pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
8
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya;
4. Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive)
yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien,
maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.4
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak
mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup
diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed
consent ini.8
9
Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan
memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui
(consent) atau menolah (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan padanya.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan
persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien
tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan
fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh
keluarga yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau
wali atau pengampunya.
3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus
dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan
aturanhukum yang berlaku.
10
(1).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
(2).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(3).Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan
kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat
persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
11
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang
Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999
(selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan
tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis
yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami
12
penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk
itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat
perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum.
Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No.
290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi
berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah
13
informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan
sebuat tindakan medis dan diperlukan persetujuan pasien untuk melakukan
tindakan medis tersebut (consent). dalam pasal 1320 KUHPerdata, informed
sebagai bagian dari informed consent adalah hal yang diperjanjikan dalam
persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam formulir persetujuan tindakan
medis misalnya, isinya sangat terbatas, yaitu hanya persetujuan pasien terhadap
suatu tindakan medis tanpa dijelaskan lebih mendetail bagaimana prosedurnya,
efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya. Detail mengenai tindakan
medis tersebut berada pada informasi yang disampaikan oleh dokter tersebut.
Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis dalam formulir persetujuan
tindakan medis karena tiap-tiap pasien, penjelasan mengenai kesehatan dan
tindakan medisnya pasti berbeda, walaupun penyakitnya sama. Perbedaan
penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia, ketahanan tubuh, parah
tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan,
kecakapan untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang diperjanjikan dan
sebab yang halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya
perjanjian. Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal
tertentu, kemudian suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar
hukum yang ada dan memnuhi syarat sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak
pihak yang melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi dalam perjanjian
medis karena bagi pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya
dalam memberikan persetujuan tindakan medis.
14
diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :11
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien;
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
15
diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajban tersebut ialah :11
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
16
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan
yang sanksinya diatur dalam pasal 351 KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana
BAB III
KESIMPULAN
17
Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan kesehatan yang akan dijalani oleh
seorang pasien setelah pasien tersebut mendapatkan informasi (penjelasan) yang
lengkap dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut. Informed consent
dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, atau
perjanjian yang bersifat khusus, karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak
bisa menjanjikan sesuatu dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi
seorang dokter akan selalu berupaya semaksimal mungkin menurut standar
pelayanan dan keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya
penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang. Karena setiap tindak dalam
pelayanan kesehatan mengandung resiko.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Howard, B., Dickler, MD., David, K., Susan, E., Bernard, S., et all.
“Universal Use of Short and Readable Informed Consent Documents:
18
How Do We Get There? Association of American Medical Colleges.”
http://www.aamc.org/research/clinicalresearch/hdickler-
mtgsumrpt53007.pdf, diakses 15 November 2009
2. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-
Making in Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1 st Edition.
Queensland. Queensland Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-
59
3. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with
Informed Consent. University of Texas. Texas. Available from http://
www. ethicalissues-pdf.com.
4. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Indonesia.
5. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
6. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga
Medik, Rumah Sakit dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta. November 2010.
7. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com.
8. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di
Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor
15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
9. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review
Committee. World Health Organization. Available:
http://www.who.int/rpc/research_ethics .
10. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik
Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta.
11. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.
19