Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

INFORMED CONSENT

Disusun oleh:
Liana Anggara Rizkia
030.10.160

Pembimbing:
dr. Triseno, Sp.An

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANASTESI


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
PERIODE MEI 2015 - JUNI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul ”Informed
Consent”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Informed consent dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing dr. Triseno, Sp.An yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2015

Liana Anggara Rizkia

LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Liana Anggara Rizkia
NIM : 030.10.160
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Trisakti Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Anastesi
Periode : Mei 2015 - Juni 2015
Judul makalah : Informed Consent
Pembimbing : dr. Triseno, Sp.An

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN PADA TANGGAL :………………….

Pembimbing

dr. Triseno, Sp.An

DAFTAR ISI

iii
KATA PENGANTAR ………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………… iv
Bab I PENDAHULUAN ………………………………… 1
Bab II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 2
II.1. Definisi ………………………………… 2
II.2. Tujuan ………………………………… 3
II.3. Fungsi ....……………………………… 3
II.4. Jenis ………………………………… 4
II.5. Informasi yang diberikan………………………………… 5
II.6. Ketentuan ………………………………… 7
II.7. Aspek ………………………………… 8
II.8. Sanksi ………………………………… 16
Bab III KESIMPULAN ………………………………… 18
Bab IV DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Maraknya kasus ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan medis


sudah mulai sering terlihat di media massa. Kedatangan pasien kepada dokter
memiliki arti bahwa pasien telah memberi kepercayaan kepada dokter untuk
melakukan tindakan terhadap dirinya. Hubungan dokter dengan pasien ketika
pasien datang ke dokter disebut hubungan terapeutik. Hubungan yang dimaksud
ini adalah hubungan yang menyebabkan perikatan antara kedua belah pihak.
Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna
apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan, sehingga ia
dapat mengambil keputusan yang tepat. Dalam setiap tindakan kedokteran yang
mengandung resiko tinggi harus mendapat persetujuan dari pasien/keluarga
pasien. Persetujuan tindakan tersebut dikenal dengan Persetujuan Tindakan
Kedokteran atau dalam dunia kedokteran sering disebut sebagai Informed
Consent. Informasi tersebut diperoleh dari dokter pada saat pengisian informed
consent. Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral
dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual,
pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum
mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak
adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap
sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa
jawaban atas pertanyaan pasien.
Pelaksanaan informed consent wajib hukumnya bagi dokter/dokter gigi.
Jika kewajiban informed consent ini diabaikan akan dapat merugikan salah satu
pihak, baik dokter maupun pasien. Apabila pasien tidak puas dengan informasi
yang diterima tentang barbagai aspek penyakit mereka, atau dokter menganggap
informed consent merupakan suatu tugas yang dianggap sukar untuk dikerjakan,
maka dapat mengakibatkan terjadinya tuntutan hukum, terhadap dokter selaku
penyelenggara pelayanan kesehatan.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI INFORMED CONSENT


Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin, sehingga “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang
diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent”
dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya serta risiko yang berkaitan dengannya.2,3
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI
No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Manual Persetujuan
Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut.4

2.2 TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT


Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan
medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan untuk
melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala
tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan
pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta
penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya.3
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang
tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta
sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas
tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar

2
karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang
sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya
memberi inform consent pada pasien adalah untuk:5
a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien; 5
b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.5

2.3 FUNGSI INFORMED CONSENT


Informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :7
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati
pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun
Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi
pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu
dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien
benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan
keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian

3
tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter
tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes
Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa
dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent. 8
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum
yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed
consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan,
sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan
malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai
berikut :3
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter,
tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko
dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari
tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter

2.4 JENIS-JENIS INFORMED CONSENT


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu :
1. Implied Consent
Pasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu
tindakan oleh dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan
darah rutin untuk pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya
menghulurkan tangan untuk pengambilan darah.2
2. Explicit / Express Consent

4
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas
menyatakan persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam
bentuk verbal atau tulisan.3,9
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien
menyetujui tindakan medis dokter secara verbal.2,9
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara
bertulis pada lembar inform consent yang telah disediakan.2

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :2


a. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek
samping yang bermakna.
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
d. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

4.5 INFORMASI YANG WAJIB DIBERIKAN DALAM INFORMED


CONSENT
Di dalam Undang-undang Praktik Kedoteran, memberikan gambaran
informasi apa saja yang minimal diberikan kepada pasien dalam upaya untuk
membentuk informed consent.
Pasal 45 ayat (3) Undang Undang Praktik Kedokteran memberikan
batasan minimal informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai diagnosis
dapat meliputi:1
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.

5
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-
kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.

Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan


kedokteran yang dilakukan meliputi :1
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan
sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin
terjadi.

Serta alternatif tindakan lain dan risikonya.2


a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif
tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

Risiko-risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi juga harus diberikan2


Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko
dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan,
kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat
ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

6
a. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang
prognosis meliputi :
b. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
c. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
d. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

2.6 KETENTUAN INFORMED CONSENT


Ketentuan persetujuan informed consent sesuai dengan PERMENKES 290
Tahun 2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Keluarga terdekat yang
dimaksud adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-sudara kandung atau pengampunya2,5
Seseorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus
mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena
penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat
memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh
dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah
memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan
harus mengambil otoritas terhadap pasien. Dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau
kepada keluarga terdekat.2
Pemberi informasi tentang tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi, dokter spesialis atau dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri, yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.2
Informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan :2
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

7
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan
pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

2.7 ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT


1. Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter,
dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak
dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan
terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik
yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.2
2. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.10
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi
kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada
hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain
harus memberikan ganti rugi”.10 Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak
ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu
adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat
dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.8
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan
mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis
dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang

8
Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya,
sehingga dokter dan harus menghormatinya;
4. Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan.
Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive)
yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien,
maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.4
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa
“informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum
antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih
banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak
mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup
diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed
consent ini.8

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam:8


1. Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban umum yang
harus dipenuhi oleh seorang dokter terutama pada pasal 5, dimana tiap perbuatan
atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.2
2. Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan
Pasal 25 huruf d dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter
Gigi Pasal 17 bahwa :11
 Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh
persetujuan tindakan medik, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien
mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban untuk saling member informasi.

9
 Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan
memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui
(consent) atau menolah (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan padanya.
 Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan
persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien
tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan
fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh
keluarga yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau
wali atau pengampunya.
3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus
dilatarbelakangi oleh sektor yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan
aturanhukum yang berlaku.

Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan


tindakan medik adalah sebagai berikut:11
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 45
(1).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3).Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

10
(1).Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
(2).Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(3).Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan
kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat
persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

11
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang
Pedoman Persetujuan Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999
(selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan
tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak
kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan
kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis
yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian
atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter
gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami

12
penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk
itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan
pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat
perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum.
Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No.
290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi
berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah

13
informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan
sebuat tindakan medis dan diperlukan persetujuan pasien untuk melakukan
tindakan medis tersebut (consent). dalam pasal 1320 KUHPerdata, informed
sebagai bagian dari informed consent adalah hal yang diperjanjikan dalam
persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam formulir persetujuan tindakan
medis misalnya, isinya sangat terbatas, yaitu hanya persetujuan pasien terhadap
suatu tindakan medis tanpa dijelaskan lebih mendetail bagaimana prosedurnya,
efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya. Detail mengenai tindakan
medis tersebut berada pada informasi yang disampaikan oleh dokter tersebut.
Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis dalam formulir persetujuan
tindakan medis karena tiap-tiap pasien, penjelasan mengenai kesehatan dan
tindakan medisnya pasti berbeda, walaupun penyakitnya sama. Perbedaan
penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia, ketahanan tubuh, parah
tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan,
kecakapan untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang diperjanjikan dan
sebab yang halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya
perjanjian. Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal
tertentu, kemudian suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar
hukum yang ada dan memnuhi syarat sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak
pihak yang melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi dalam perjanjian
medis karena bagi pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya
dalam memberikan persetujuan tindakan medis.

HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER


Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini

14
diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut ialah :11
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien;
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.

HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN


Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan kewajiban ini

15
diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Adapun hak dan kewajban tersebut ialah :11
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

2.8 SANKSI HUKUM TERHADAP INFORMED CONSENT


1. Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan
pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP.
2. Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat
digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer.
3. Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya

16
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan
yang sanksinya diatur dalam pasal 351 KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana

BAB III
KESIMPULAN

17
Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarga pasien terhadap pelayanan kesehatan yang akan dijalani oleh
seorang pasien setelah pasien tersebut mendapatkan informasi (penjelasan) yang
lengkap dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut. Informed consent
dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, atau
perjanjian yang bersifat khusus, karena dalam pelayanan kesehatan, dokter tidak
bisa menjanjikan sesuatu dalam upaya penyembuhan seseorang, akan tetapi
seorang dokter akan selalu berupaya semaksimal mungkin menurut standar
pelayanan dan keilmuan tertinggi yang dimiliki oleh dokter tersebut dalam upaya
penyembuhan dan penyelamatan nyawa seseorang. Karena setiap tindak dalam
pelayanan kesehatan mengandung resiko.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Howard, B., Dickler, MD., David, K., Susan, E., Bernard, S., et all.
“Universal Use of Short and Readable Informed Consent Documents:

18
How Do We Get There? Association of American Medical Colleges.”
http://www.aamc.org/research/clinicalresearch/hdickler-
mtgsumrpt53007.pdf, diakses 15 November 2009
2. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-
Making in Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1 st Edition.
Queensland. Queensland Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-
59
3. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with
Informed Consent. University of Texas. Texas. Available from http://
www. ethicalissues-pdf.com.
4. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Indonesia.
5. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2008.
6. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga
Medik, Rumah Sakit dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta. November 2010.
7. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com.
8. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di
Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor
15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
9. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review
Committee. World Health Organization. Available:
http://www.who.int/rpc/research_ethics .
10. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik
Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta.
11. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
29 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.

19

Anda mungkin juga menyukai