Anda di halaman 1dari 7

VII.

HASIL PENGAMATAN
Pada hari percobaan dilakukan adapun bentuk kulit udang awal yang digerus
adalah:

Dengan karakteristik : serbuk berwarna coklat muda.


Adapun selama percobaan yang diamati adalah:
Bahan yang

Warna air hasil saringan

ditambahkan
HCl
+ Bening kekuning kuningan.

Warna chitosan
Coklat kemerah merahan.

pemanasan
selama 2 menit

Aquadest

+ Berwarna keruh.

Coklat kemerah merahan

+ Berwarna bening.

Berwarna coklat muda kemerah


merahan.

pemanasan
selam 2 menit

Aquadest
NaOH+
pemanasan

selama 2 menit

pH yang diperoleh ketika tahapan yang ketiga setelah penambahan NaOH sebelum
dilakukannya pemanasan adalah 10.

Pengamatan chitosan ini dilakukan selama 2 hari hingga kandungan air dalam
chitosan hilang. Penghilangan kadar air dilakukan di dalam oven.
Hari I pengamatan:

Karakteristik : masih terdapat kandungan air dalam chitosan dan warna chitosan
adalah coklat muda kemerah merahan.
Hari II Pengamatan:

Karakteristik : chitosan sudah kering dan berbentuk serbuk berwarna coklat.


Berat kertas saring + chitosan : 6,0668 gram
Berat kertas saring

: 1,9412 gram

Maka berat chitosan yang diperoleh adalah : ( 6,0668 1,9412 ) gram = 4,1256
gram
VIII.PEMBAHASAN

Pada percobaan pembuatan chitosan, bahan baku utama yang kami gunakan
adalah udang. Walaupun kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan
cangkang kepiting. kandungan kitin dari limbah kepiting mencapai 50%-60%
sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%. Namun, karena limbah kulit udang
mudah diperoleh. Pertama-tama udang yang telah disiapkan tersebut dipisahkan
antara kulit dengan daging udangnya. Dipilih bagian kulitnya karena pada kulit udang
ini terkandung chitin lebih banyak dibandingkan bagian tubuh lainnya, yakni sekitar
60-70%. Kemudian kulit dari udang tersebut dicuci bersih lalu dikeringkan. Namun,
pada saat pengeringan kulit udang, kulit udang yang telah dicuci tersebut belum
benar-benar kering. Sehingga masih tercium bau busuk yang dihasilkan dari kulit
udang. Seharusnya agar kulit udang tersebut bisa benar-benar kering, di keringkan
menggunakan oven.
Setelah dilakukan pengeringan, kemudian kulit udang digerus atau
dihaluskan hingga menjadi bubuk atau powder. Namun, pada sarat penggerusan atau
penghalusan pada kulit udang, kami mengalami kesulitan. Karena kulit udang yg
telah dikeringkan belum benar-benar kering. Tujuan penggerusan atau penghalusan
pada kulit udang ini adalah agar chitin yang terkandung di dalam kulit udang dapat
cepat bereaksi dengan zat kimia (HCl dan NaOH) dan lepas dari kandungan chitin
tersebut.
Kemudian bubuk atau powder dari kulit udang tersebut ditimbang sebanyak 5
gram dengan menggunakan neraca analitis. Bubuk atau powder dari kulit udang ini
kemudian dimasukkan ke dalam beker gelas dan dicampur dengan aquadest sebanyak
300 ml. Meskipun dicampurkan, kedua bahan ini tidak saling melarut. Pelarutan
chitin sebenarnya tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur.oleh
karena itu, pada saat proses pemanasan temperaturnya tidak boleh terlalu tinggi dan
campuran tidak boleh sering diaduk karena dikhawatirkan akan membuat kandungan
chitin terlarut dalam aquadest. Pemanasan pun hanya dilakukan selama 2 menit.
Setelah dipanaskan, larutan ini disaring dengan kertas saring. Slurry kulit
udang kemudian dipanaskan kembali dengan ditambah aquadest hingga jumlahnya

300 ml. Setelah itu, larutan ini diukur pH-nya. pH pada larutan bubuk dari kulit
udang dengan aquadest masih bersifat basa.
Pada percobaan ini dilakukan proses isolasi kitin dari serbuk kulit limbah
udang yang bertujuan untuk memahami teknik isolasi bahan alam dan transformasi
organik serta mengetahui cara pemisahan dan pemurnian hasil dari isolasi serbuk
kulit limbah udang. Metode yang digunakan untuk mengisolasi serbuk kulit limbah
udang menjadi kitin melalui tiga tahap yaitu : deproteinisasi, demineralisasi, dan
deasetilasi.
Pada tahap deproteinasi, bertujuan untuk menghilangkan sisa protein dan
lemak yang terkandung dalam serbuk kulit limbah udang. Pada tahap ini penambahan
NaOH bertujuan untuk menghilangkan protein dan lemak dari kitin. Pada tahap
demineralisasi merupakan proses untuk menghilangkan mineral-mineral dalam
serbuk kulit limbah udang yang sebagian besar merupakan garam-garam kalsium
(Ca) seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Kandungan mineral utamanya
adalah CaCO3 dan Ca3 (PO4) dalam jumlah kecil dan lebih mudah dipisahkan
dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik.
Proses demineralisasi dilakukan dengan mencampurkan serbuk kering
dengan HCl. Konsentrasi HCl tidak boleh terlalu tinggi karena apabila konsentrasi
asam lebih tinggi dan waktu perendaman yang lebih lama akan menyebabkan kitin
yang terdapat dalam kulit udang terdegradasi. Pada proses ini senyawa kalsium akan
bereaksi dengan asam korida (HCl) menghasilkan kalsium klorida yang larut dalam
air, gas CO2 dan air, asam fosfat yang larut dalam air. Karena Organisme laut itu
sangat kaya akan mineral makanya harus dihilangkan terlebih dahulu kandungan
mineralnya.
Proses selanjutnya ialah Proses terakhir adalah de-asetilasi. Proses ini
diperlukan karena Di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus
dibuang dan digantikan dengan gugus NH2, juga pada proses basa, tapi jauh lebih
kuat dari basa pada proses penghilangan protein. Setelah de-asetilasi, jadilah chitosan

dalam bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan, tahapan tahapan
seperti inilah yang bisanya dilakukan dalam proses pengolahan chitosan.

maka larutan kulit udang tersebut ditetesi dengan HCl. Kemudian larutan kulit
udang tadi dipanaskan di atas hot plate selama lebih kurang 2 menit, diamkan
sebentar. Pada saat dilakukan pemanasan temperaturnya tidak boleh terlalu tinggi dan
campuran tidak boleh diaduk terlalu sering karena dikhawatirkan akan membuat
kandungan chitin terlarut dalam aquadest.
Proses deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari kitin
menggunakan NaOH untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino.

Setelah pemanasan selama lebih kurang 2 menit, Kemudian larutan kulit


udang ini disaring dengan menggunakan kertas saring. Kemudian slurry kulit udang
dicampurkan lagi dengan aquadest sebanyak 300 ml. Kemudian larutan kulit udang
ini ditetesi dengan NaOH .Hal ini dilakukan agar pH larutan kulit udang menjadi 9
10. Setelah ditetesi dengan NaOH didapatkan pH larutan sebesar 10. larutan kulit
udang ini kemudian dipanasi lagi di atas hot plate selama lebih kurang 2 menit.
Setelah dipanasi, pH larutan kulit udang tersebut berubah menjadi sebesar 10.
Kemudian larutan kulit udang tadi disaring kembali dan hasil saringan tersebut
kemudian dicampurkan dengan aquadest sebanyak 300 ml. Kemudian diukur pH-nya
agar menjadi basa dengan ditambah NaOH. Proses ini menyebabkan lepasnya gugus
asetil yang melekat pada gugus amino dari molekul kitin dan selanjutnya akan
membentuk chitosan.
Kemudian larutan ini dipanasi kembali selama lebih kurang 2 menit. Lalu
larutan ini disaring dengan menggunakan kertas saring. Hasil saringan ini kemudian
dikeringkan dengan menggunakan oven.
Pada percobaan kali ini, setelah dilakukan proses pengeringan didapatkan
berat chitosan yang dihasilkan sebanyak 4,1256 gram. Hasil akhir ini memberikan

selisih yang cukup besar dengan berat bubuk kulit udang pada saat pertama kali
diguanakan. Hal ini terjadi mungkin dikarenakan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Adanya bubuk / powder kulit udang yang larut ke dalam aquadest yang
digunakan
2. Lolosnya kulit udang pada saat proses penyaringan
3. Tidak telitinya praktikan dalam proses penyaringan
IX.KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.

Chitosan adalah polisakarida linier dengan komposisi glukosamin.


Chitosan terbuat dari kulit udang galah yang telah di haluskan.
Chitosan digunakan sebagai bahan pengawet makanaan.
Perbedaan berat awal dan berat akhir chitosan dapat di sebabkan banyak

factor,baik itu dari proses maupun dari praktikan itu sendiri.


5. Proses pembuatan chitosan dilakukan dengan melalui proses demineralisasi dan
deproteinisasi.

X.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Hatta, 2010, Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses, Laboratorium


Teknologi Bioproses Universitas Sriwijaya.
Hudaya, S., 1978, Food Additives, Bandung : Fakultas Pertanian - Universitas
Pajajaran.

Winarno, F.G.; S. Fardiaz; A. Rahman, 1974, Perkembangan Ilmu Teknologi


Pangan, Bogor: Fakultas Mekanisme dan Teknologi Hasil Pertanian - Institut
Pertanian Bogor.
www.google.com

Anda mungkin juga menyukai