Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kain Jumputan
Di Indonesia kain jumputan dikenal dengan nama yang berbeda-beda,
masyarakat Jawa menyebutnya jumputan, di daerah Bali dikenal dengan nama
sangsangan, sedangkan di Palembang orang menamakannya kain pelangi, di
Kalimantan dikenal denan istilah sasirangan, dan di Sulawesi dikenal dengan
nama kain roto.
Jenis kain jumputan yang ada sekarang ini umumnya terbuat dari serat alam
seperti bahan katun atau sutera yang halus, tipis, dan mudah kusut. Namun, kain
jumputan sebenarnya dapat dibuat dari serat alam yang telah dicampur dengan
serat sintetis, atau bahkan dengan serat sintetis saja. Hal yang terpenting untuk
diperhatikan adalah pada penggunaan zat warna untuk mencelup, hendaknya
disesuaikan dengan jenis kain/serat yang akan dijumput. Hal ini dikarenakan suatu
zat warna hanya efektif mewarnai satu jenis kain/serat tertentu. Warna-warna yang
diterapkan pada umumnya cenderung menggunakan warna-warna tua, seperti
merah tua, hitam, hijau tua, biru tua, dan sebagainya.
Kain jumputan yang dikenal juga dengan nama kain pelangi merupakan suatu
kerajinan tenun yang dihasilkan dengan teknik jumputan (tie and dye) untuk
menghasilkan motif tertentu dari dari bahan berwarna putih polos. Saat ini, teknik
terbaru pada pembuatan kain jumputan disebut strich and dye yaitu membuat
jelujur dengan benang pada bidang kain dengan mengikat pola yang telah
ditentukan. Jelujur pada kain ditarik erat-erat sehingga berkerut-kerut, lalu
dimasukkan ke dalam larutan pewarna kain.
Jumputan ialah teknik membuat pola dengan mengikat kain pada beberapa
bagian yang sebelumnya dicelup pada zat warna. Dengan demikian bagian-bagian
yang diikat tidak akan tercelup dan di bagian itulah terbentuk motif hias jumputan
yang sangat khas. Cara-cara lain untuk menghindari terserapnya celupan pada
kain yaitu dengan menggunakan lilin, balok-balok kayu, atau setikan-setikan.
Prinsipnya sama, yaitu bagian-bagian yang diberi lilin, diikat atau dijepit balok

tidak akan terkena cairan pencelupan. Untuk itu jumputan banyak juga dikenal
dengan teknik celup ikat. Secara prinsip, teknik ini hampir sama dengan teknik
pembuatan batik. Ketika membatik, bagian yang tertutup oleh malam (lilin) ketika
dicelupkan ke dalam larutan pewarna tidak akan terkena warna. Sedangkan pada
proses jumputan, fungsi malam atau lilin diganti dengan ikatan tali pada kain
sebelum dicelupkan, sehingga membuat jumputan menjadi lebih mudah dan
murah jika dibandingkan dengan pembuatan batik.
Teknik jumputan ini dapat diterapkan pada berbagai jenis kain, namun untuk
membuat hasil yang maksimal dapat digunakan kain jenis katun. Ada banyak cara
yang dapat dikembangkan dari teknik celup ikat ini untuk mendapatkan efek hasil
akhir yang berbeda-beda. Efek yang berbeda-beda ini dapat dicapai antara lain
dengan perbedaan cara melipat kain dan mengikatnya. Semakin bervariasi cara
melipat dan mengikat kain yang dibuat produk, semakin bervariasi pula efek pola
yang dihasilkan.
Kain jumputan biasanya memiliki motif yang memenuhi seluruh bahan.
Kain jumputan satu pasang terdiri atas bahan untuk bagian atas, bagian bawah,
dan selendang. Untuk jenis ini, para perajin umumnya membuat jumputan dengan
satu tema warna. Kain jumputan umumnya menggunakan bahan sutera, dan
memiliki berbagai macam motif, antara lain motif bintik tujuh, kembang janur,
bintik lima, bintik sembilan, cuncung (terong), bintang lima, dan bintik-bintik.
Dalam membuat motif jumputan terdapat beberapa teknik khusus yang
menghasilkan motif tertentu, yaitu :
a) Ikatan Mawar
Motif yang terbentuk dari ikatan ini adalah bentuk lingkaran bergerigi. Cara
pembuatannya ialah dengan cara menjumput kain dan ikatlah bagian dasar
jumputan tersebut dengan tali karet/tali rafia/benang kasur.
b) Ikatan Mawar Berbelit
Untuk membuat motif mawar berbelit atau sering disebut pola ledakan matahari
ini, mulailah seperti membuat ikatan mawar. Ikatlah dasarnya, lalu buatlah ikatan
spiral menuju puncak jumputan. Dengan ikatan/tali yang lebih banyak lagi dapat
dibentuk pola yang lebih rumit.

c) Ikatan Donat (Mawar Ganda)


Untuk membuat pola ikatan konsentris, jumputlah kain seperti membuat ikatan
mawar. Peganglah dasarnya dengan ibu jari dan jari telunjuk, kemudian tekan kain
di antara kedua jari itu ke bawah, kemudian ikatlah.
d) Pengerutan
Teknik pengerutan dapat memberikan pola marmer pada hasil jumputannya. Pola
tersebut dapat dilihat dengan mengerutkan kain secara tidak teratur dengan satu
tangan, sementara tangan lainnya memegangi berkas kerutan tersebut. Ikat kain
kuat-kuat agar tidak terurai. Jika ikatan yang dibuat benar, maka akan dihasilkan
ceplok-ceplok putih
2.2. Zat Warna
Warna merupakan spektrum tertentu yang terdapat didalam suatu cahaya
sempurna berwarna putih. Identitas suatu warna ditentukan oleh

panjang

gelombang cahaya tersebut. Sebagai contoh warna biru yang memiliki


panjang gelombang 460 nm. Radiasi yang tersebar secara merata akan
tampak sebagai cahaya putih dan yang akan terurai dalam warna-warna spektrum
bias dengan adanya penyaringan oleh prisma yang dipersepsikan sebagai sinar
foton (Koko, 2011).
Zat Warna adalah semua zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk
mencelup serat tekstil dan mudah dihilangkan kembali. Zat warna memiliki
beberapa syarat seperti mudah larut dalam zat pelarutnya (umumnya air), mudah
masuk ke dalam bahan, stabil berada di dalam bahan, mempunyai gugus penimbul
warna (kromofor), misalnya Azo (N=N), Nitrozo (No), Nitro (No2), antrakwinon
(=O), dan mempunyai gugus afinitas terhadap serat tekstil (auxsochrom),
misalnya pengikat amino (NH) dan hidroksil (OH). Faktor-faktor pemilihan zat
warna yaitu jenis serat yang akan diwarnai, tahan luntur warna yang akan
diinginkan, peralatan produksi yang tersedia, macam warna yang dipilih dan
warna-warna yang ada di dalam jenis zat warna dan biaya.
Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna
alam dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan
pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat

disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat
pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif.
Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut warna
yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya
satu warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna.
Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi
(struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan,
misalnya di dalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahanbahan lain.
2.3

Advanced Oxydation Processes (AOPs)


Teknologi AOPs adalah satu atau kombinasi dari beberapa proses seperti

ozon (O3), hidrogen peroksida (H2O2), radiasi sinar UV, titanium oksida (TiO 2photocatalyst), sonolisis (radiasi ultasonik), dan proses lainnya yang dapat
menghasilkan radikal hidroksil (OH). Radikal OH adalah spesies aktif yang
memiliki potensial oksidasi relatif paling tinggi yaitu sekitar 2,8 V, lebih besar
dari ozon yang memiliki potensial oksidasi sebesar 2,07 V. Hal ini membuat OH
sangat mudah bereaksi dengan senyawa- senyawa lain yang ada di sekitarnya.
Metode AOPs (Advanced Oxidation Process) digunakan untuk pengolahan
limbah, khususnya limbah berat dan beracun yang tidak bisa diolah dengan
system biologi biasa. AOPs adalah sebuah terobosan teknologi terapan yang
berbiaya reliable namun menjadi sebuah solusi terhadap permasalahan limbah
biologi. AOPs merupakan serangkaian proses yang melibatkan produksi oksigen
reaktif yang mampu menghancurkan berbagai senyawa organik. AOPs ditunjang
oleh sumber energi eksternal seperti tenaga listrik, radiasi ultraviolet atau sinar
matahari sehingga proses ini sering lebih mahal daripada pengolahan air limbah
biologis konvensional. Sistim AOPs mudah pengoperasiannya dan tidak sulit
perawatannya. Selain itu, AOPs dapat diterapkan untuk desinfeksi air, udara, dan
untuk remediasi tanah yang terkontaminasi.
Mekanisme Advanced Oxydation Processes (AOPs), yaitu :
a. Pembentukan oksidan yang kuat (misalnya radikal hidroksil).

b. Reaksi oksidan tersebut dengan senyawa organik dalam air (Kommineni et al.
2008) memproduksi biodegradable intermediet.
c. Reaksi biodegradable intermediet dengan oksidan yang disebut sebagai
mineralisasi (produksi air, karbondioksida, dan garam anorganik).

Gambar 2.3.1
Mekanisme teknologi AOPs pada air limbah
2.4. Reagen Fenton
Reagen Fenton merupakan larutan dari hidrogen peroksida sebagai
pengoksida dimana hidrogen peroksida akan menghasilkan radikal hidroksil dan
katalis bes akan menghasilkan ion Fe2+ dan Fe3+ yang digunakan untuk oksidasi
kontaminan atau air limbah. Reagen Fenton ini dapat digunakan untuk merusak
komponen organik seperti Trichloroethylene (TCE) dan Tetrachloroethylene
(PCE). Fe(II) dioksidasi oleh hidrogen peroksida menjadi Fe(III), radikal OHdan
anion OH-. Pada reaksi ini keberadaan Fe(II) adalah sebagai katalis. Besi (II)
sulfat adalah senyawa besi yang dipakai dalam pembuatan reagen fenton yang
berfungsi sebagai katalis. Hidrogen peroksida merupakan oksidator kuat tetapi
padakonsentrasi

rendah

0,1%

kinetika

reaksinya

terlalu

lambat

untuk

mendegradasi kontaminan. Sehingga perlu penambahan Fe (II) untuk dapat


meningkatkan kemampuan atau mempercepat oksidasi peroksida hingga
dihasilkan radikal hidroksil baru dan rantai reaksi dimulai. Reaksi oksidasi
peroksida terkatalisis besi ini biasanya dijalankan pada pH 3-5 yang disebut

sebagai Phenton Chemistry dan kombinasi reagen besi dengan peroksida yang
disebut sebagai Phenton Reagent.
Proses Fenton telah digunakan lebih dari satu abad dan digunakan untuk
mendegradasi polutan organik yang ada dalam air limbah, dalam keadaan
gelapdan waktu reaksi yang relatif singkat. Target utama polutan organik dari
proses fenton adalah kelarutan air, nukleofilik dan zat aromatik

H2O2 + Fe2+ OH + OH - + Fe3

(2.1)

Pembentukan ion Fe3+ dapat dikurangi dengan cara penambahan H2O2


secara berlebih untuk membentuk lagi ion besi dan radikal lainnya sesuai dengan
persamaan reaksi (2.1)-(2.7). Proses kedua ini disebut like-fenton, itu lebih lambat
dari reaksi fenton dan memungkinkan regenerasi ion Fe2+ secara efektif dalam
mekanisme siklik. Walaupun besi ditambahkan dalam jumlah kecil, ia bertindak
sebagai katalis sementara hidrogen peroksida terus membentuk radikal hidroksil.
Fe3++H2O2 Fe2+ + HO2 + H+

(2.2)

H2O2 + HOHO2+ H2O

(2.3)

HO+ Fe2+Fe3+

+ OH-

(2.4)

Fe3+ + HO2Fe2++ O2H+

(2.5)

Fe2++ HO2+ H+Fe3+ +H2O2

(2.6)

2HO2

(2.7)

Baik

H2O2+O2

Fe2+/H2O2

dan

Fe3+/H2O2

merupakan

reagen

yang

dapat

mengdegradasi polutan organik. Bahan awal sebagian ditransformasikan ke


beberapa produk intermediet, yang umumnya muncul untuk melawan reaksi
oksidasi lebih lanjut. Dibandingkan dengan AOPs lain, proses fenton menyajikan
beberapa keuntungan. Tidak ada energi masukan yang diperlukan untuk
mengaktifkan hidrogen peroksida karena reaksi berlangsung pada tekanan
atmosfer dan suhu kamar. (Safarzadeh-Amirietalet al,1996).
2.5. TiO2
TiO2 merupakan katalis yang sering digunakan pada proses fotokatalisis
karena katalis TiO2 bersifat semikonduktor yang baik. Pada reaksi fotokatalitik,
semikonduktor dapat berperan sebagai pengaktivasi/katalis reaksi redoks cahaya
dikarenakan pita valensi yang penuh berisi elektron dan pita konduksi yang

kosong dengan energi celah diantara kedua pita tidak terlalu besar. Reaksi ini
merupakan salah satu jenis teknik oksidasi lanjutan dan merupakan awal dari
reaksi fotokatalitik selanjutnya.
Fotokatalis merupakan salah satu katalis yang bekerja apabila diberi cahaya
dengan panjang gelombang tertentu. Fotokatalis pada umumnya adalah suatu
semikonduktor yang memiliki pita valensi penuh dan pita konduksi kosong seperti
TiO2, Fe2O3, ZnO, WO3, SnO2, CdS, ZnS, CuS, dan lain-lain. Apabila
semikonduktor tersebut dikenai cahaya pada panjang gelombang tertentu, maka
elektron akan tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi menghasilkan hole
pada pita valensi. Proses tersebut terjadi pada tahap awal reaksi fotokatalis. Dari
sekian banyak jenis semikonduktor, hingga saat ini TiO 2 menjadi pilihan terutama
dalam bentuk kristal anatase sebagai fotokatalis.
Secara komersial serbuk TiO2 mudah didapat dan biaya pembuatannya
relatif rendah. Selain itu, serbuk TiO2 sebagai fotokatalis memiliki keunggulan
diantaranya memiliki aktivitas fotokatalis tinggi, non toksik, tahan terhadap
korosi, tidak larut dalam air. TiO2 juga memiliki kemampuan menyerap sinar yang
tinggi yang ditandai dengan nilai energi celah pita (Eg) yang sesuai, yaitu sebesar
3,2 eV untuk struktur anatase. Berdasarkan keunggulan sifat dari TiO2 tersebut
maka TiO2 merupakan fotokatalis yang paling efektif digunakan. Ketika sebuah
foton dengan energi hv yang sama atau lebih besar dari energi celah pitanya,
Eg, maka elektron pada pita valensi akan memiliki energi yang cukup besar
untuk dapat berpindah atau tereksitasi ke pita konduksi dan meninggalkan
lubang positif (hv+) pada pita valensi.
TiO2+ hv e -cb + hv+vb

(2.8)

Lubang pada pita valensi jika beraksi dengan H2O akan menghasilkan radikal
hidroksil.
hv+vb + H2OOH + H+

(2.9)

Reaksi ini merupakan salah satu jenis teknik oksidasi lanjutan dan
merupakan awal dari reaksi fotokatalitik selanjutnya (Deng, Y. 2015). Sedangkan
pada pita konduksi akan mengalami reaksi (2.10).

e -cb + O2O2-

(2.10)

(Sumber: Fitria Qurrota, 2014)


2.6. Foto-Fenton (UV/H2O2)
Foto-fenton dapat didefenisikan sebagai reaksi kimia antara hidrogen
peroksida dan katalis besi yang digunakan untuk oksidasi kontaminan atau air
limbah yang jalannya reaksi dibantu oleh energi cahaya. Dalam teknologi
pengolahan limbah zat pewarna, metode foto-fenton juga merupakan salah satu
teknik yang sedang berkembang, diantaranya karena dapat meningkatkan efisiensi
dan nilai ekonomis dari proses. Teknik ini didasarkan pada kemampuan oksidasi
dari Fe2+ dan Fe3+ melalui adanya cahaya dan H2O2 sebagai sumber radikal dapat
mengoksidasi senyawa organik secara lebih efektif. Logam transisi besi
mempunyai kekuatan yang hebat dan banyak bermanfaat bagi manusia di
antaranya sebagai pemilar lempung yang bersifat semikonduktor, berenergi celah
pita 3,2 eV dan sebagai reagen fenton. Beberapa keunggulan menurut Yang et al.,
(1992) dari pilarisasi oksida besi adalah memberikan ketinggian galeri ruang,
memiliki luas permukaan yang relatif tinggi, dan dalam penggunaannya sebagai
katalis selektif memiliki sifat tahan terhadap racun katalis seperti SO2.
2.7

Chemical Oxygen demand (COD)


Chemical Oxygen Demand adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk

menguraikan senyawa organik yang terkandung dalam air. Senyawa organik yang
ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium
bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Metcalf &
Eddy, 1999), sehingga segala macam senyawa organik, baik yang mudah terurai
maupun yang kompleks dan sulit terurai akan teroksidasi. Jadi COD
menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Reaksinya sebagai berikut :
HaHbOc + Cr2O72- + H+ CO2+ H2O + Cr3+
Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi
biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dan sebagainya, maka lebih cocok
dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat

organic dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam
suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organic dapat dioksidasi.
Perairan dengan nilai COD yang tinggi tidak diharapkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L
dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/ (UNESCO,WHO/UNEP,
1992). Prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium
bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui)
yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan
selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan
cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan
organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan.
2.8. Penelitiaan Sebelumnya
Tabel 2.3. Penelitian Sebelumnya
Nama Peneliti
Mermaliandi dan
Yourdan

Tahun
2015

Judul Penelitian
Pengaruh

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, Procion red yang

Konsentrasi, Waktu

digunakan memiliki konsentrasi 150

Reaksi Dan Rasio

300 mg/L, kecepatan pengadukan 500

Molar Pada

rpm, rasio molar Fenton 1:20 1:80,

Pengolahan Pewarna

pH 3, waktu reaksi 0 20 menit. Hasil

Sintetis Procion red

yang

Menggunakan Foto-

degradasi warna 100% adalah pada

Fenton

waktu 5 menit untuk semua rasio

didapatkan

untuk

mencapai

molar dan penurunan COD maksimum


di dapat pada konsentrasi

limbah

warna sintesis sebesar 150 ppm pada


waktu 10 menit dengan rasio molar 1:
80 yaitu sebesar 95,29 %.

Christiana Adi

Pengaruh Konsentrasi

Hasil yang didapatkan menunjukkan

Damayanti, Sri

TiO2 Dalam Zeolit

bahwa konsentrasi TiO2 berpengaruh

Wardhani, Danar

terhadap Degradasi

terhadap

Purwonugroho

Methylene Blue

methylene blue.

Dwi Astuti

secara Fotokatalitik
Aktivitas

Pada penelitian ini digunakan bahan

Fotokatalitik

pewarna tekstil jenis Procion red MX-

Titanium Dioksida

8B.

(TiO2) Untuk

digunakan adalah 50 ppm, 100 ppm

Degradasi

dan 150 ppm. Sedangkan katalis yang

Bahan Pewarna

ditambahkan adalah 0.1%, 0.2%, 0.3%,

Tekstil Jenis Procion

0.4%, 0.5%, 1%, 2% dan

2014

2008

Red MX-8B

konstanta

Konsentrasi

laju

degradasi

pewarna

yang

3% w/v.

Anda mungkin juga menyukai