Anda di halaman 1dari 15

I.

JUDUL
Identifikasi Zat Warna pada Golongan I di Serat Protein

II. MAKSUD dan TUJUAN


Maksud
Mampu mengidentifikasi zat warna pada serat protein
Tujuan
1. Mampu mengidentifikasi zat warna direk pada kain contoh uji
2. Mampu mengidentifikasi zat warna asam pada kain contoh uji
3. Mampu mengidentifikasi zat warna basa pada kain contoh uji

III. DASAR TEORI


3.1 Serat Wool

Wool merupakan serat yang berasal dari bulu biri-biri atau binatang
berbulu lainnya. Serat wool dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu wool
halus, wool sedang, dan wool kasar. Wool halus bersifat lembut, kuat elastik,
dan keriting sehingga dapat dibuat benang halus. Wool sedang umumnya
dihasilkan dari bulu biri-biri yang berasal dari Inggris. Serat lebih kasar, lebih
panjang, dan lebih berkilau dari wool halus. Wool kasar kebanyakan
dihasilkan oleh biri-biri yang hidup dalam kondisi primitif. Warna serat wool
lebih bervariasi dari putih hingga hitam.

Struktur Fisika serat Wool

Serat wol terdiri dari dua-tiga lapisan yaitu:

a. Kutikula, yang merupakan lapisan terluar, terdiri dari sisik-sisik tanduk


pipih yang saling bertumpuan seperti susunan genting. Ujung sisik
menunjuk ke ujung serat.
b. Corter, yang merupakan bagian yang lebih dalam, terbentuk dari bercah-
bercah berbentuk jarum kecil yang disebut sel-sel kortikel. Bagian ini
merupakan 90% dari serat.
c. Beberapa wol yang sangat kasar memiliki medulla yang berupa saluran
kosong atau terisi dengan susunan sel seperti rumah lebah.
Serat wol memiliki sifat keriting alam yang berdimensi tiga. Keriting
tersebut akibat perkembangan sel-sel kortikel yang tidak sama dan
bervariasi dengan kehalusan serat. Serat yang halus mempunyai
pengeritingan sebanyak 75 tiap cm, sedangkan wol kasar lebih sedikit.
Wool adalah serat bi-komponen yang terjadi dari dua komponen
yang berdampingan. Kedua komponen tersebut memiliki daya gelembung
yang berbeda apabila basah. Pada waktu basah pengeritingan lebih sedikit
dari pada waktu kering. Keriting tersebut memberikan daya kohesi yang
baik dengan lenting dan pegangan yang enak.
Serat wol memiliki sifat bergelombang seperti pegas oleh karena itu
apabila serat diregangkan maka akan lurus, namun apabila dilepaskan
akan kembali bergelombang.
Struktur Kimia serat Wool
Wol merupakan jenis protein yang disebut keratin. Keratin terjadi dari
beberapa asam amino yang digabungkan membentuk rantai polipeptida
yang diikat silang dengan ikatan sistina dan ikatan garam. Ikatan ikatan
silang inilah yang menyebabkan wol bersifat lenting dan mudah kembali
kebentuk semula.
Analisa kimia menunjukkan bahwa wol terdiri dari: Karbon: 50 %,
Hidrogen: 8%, Nitrogen: 16,5%, Sulfur:3,5%, Oksigen:22%.
Angka diatas adalah kira-kira saja karena wol tidak homogen. Kadar
hidrogen dan sulfur berbeda antara satu serat dengan yang lain karena
disebabkan oleh pengaruh sinar matahari atau perbedaan jenis makanan
yang dikonsumsinya. Gambar a adalah struktur molekul dari serat wol atau
komposisi serat wol.
Penampang Serat

Apabila dilihat dari mikroskop, serat wol mirip dengan rambut manusia,
bersisik menghadap keatas. Terdisi dari protein yang dibentuk dari karbon,
hidrogen, oksigen dan belerang. Bentuk penampang lintang serat wool
bervariasi dari bulat sampai lonjong. Penyimpangan dari bentuk bulat
biasanya dinyatakan dengan perbandingan antara sumbu panjang dengan
sumbu pendek. Perbandingan tersebut untuk bermacam-macam wool
mempunyai harga tetap.

Penampang membujur Penampang melintang

3.2 Sutera
Sutera adalah serat yang diperoleh dari sejenis serangga yang
disebut lepidoptera. Serat sutera adalah satu-satunya serat alam yang
berbentuk filament dihasilkan dari kepompong ulat sutera. Jenis serat sutera
yang terbaik ialah yang berasal dari kepompong ulat sutera jenis bombyx
mori. Jenis serat sutera lain diperoleh dari ulat sutera liar yaitu jenis ulat
sutera tusah, serat sutera yang dihasilkan lebih kasar dan sulit diwarnai.
Ulat sutera mengeluarkan zat sutera (fibroin) dari mulutnya
membentuk filament. Filament tersebut dibalut oleh zat perekat (serisin). Bila
terkena udara fibroin dan serisin akan mengeras. Keadaan tersebut terjadi
dari dalam dan menambah lapisan demi lapisan sehingga membentuk
lapisan pelindung yaitu kepompong.
Pembentukan kepompong berlangsung selama 2 hari.
Proses pengolahan kepompong dilakukan dengan cara yaitu
sejumlah kepompong direndam dalam air panas supaya serisinnya melunak
untuk memudahkan melepaskan filament dari kepompong. Kepompong
disikat untuk menemukan ujung filament, kemudian diperoleh sutera mentah.
Sutera mentah selanjutnya dimasak dengan air sabun untuk menghilangkan
serisinnya, sehingga sutera menjadi lunak, berwarna putih, berkilau, dan
mudah menyerap pewarna.
Sutera mentah tersusun oleh 76 % protein fibroin (serat), 22 %
protein serisin (perekat), 1,5 % lilin dan 0,5 % garam-garam mineral. Serisin
adalah protein yang melindungi serat dari kerusakan, namun pada proses
penyempurnaan serat sutera, protein ini dihilangkan dengan pemasakan.
Fibroin merupakan protein yang menjadi bagian utama dari serat. Filament
sutera mentah terdiri atas dua serat fibroin yang terbungkus di dalam serisin.

Penampang serat

a. Membujur
Serat sutera tusah memiliki penampang membujur bergaris-garis
dengan lebar tidak merata. Serat sutera anaphe mempunyai bentuk
bergaris-garis pada jarak tertentu sepanjang serat.
b. Melintang
Penampang lintang serat sutera tusah berbentuk pasak. Penampang
lintang serat sutera anaphe berbentuk segitiga yang melengkung.
Penampang lintang serat sutera bombyx mori berbentuk segitiga dengan
sudut-sudut yang membulat. (Lihat Gambar b ).

3.3 Penggolongan Zat Warna Pada Serat Protein


Identifikasi zat warna pada umumnya sangat sukar, dan semua cara
identifikasi yang ada pada umumnya dimaksudkan untuk menentukan
golongan zat warna. Cara identifikasi zat warna didasarkan pada pemisahan
golongan zat warna dan kemudian dapat dilakukan pengujian selanjutnya
secara sistematis untuk menentukan zat warna apa yang digunakan.
3.4 Persyaratan Zat Warna

Empat sifat dasar yang harus dimiliki oleh zat warna agar dapat
dipakai sebagai pewarna warna bahan tekstil adalah
a. Mempunyai intensitas warna yang kuat.
b. Sebaiknya dapat larut dalam media air, atau bila zat warnanya termasuk
golongan zat warna yang tidak larut maka harus dapat didispersikan atau
ketika dipakai (dalam proses pencelupan atau pencapan) dapat dirubah
dulu menjadi larut.
c. Punya kemampuan untuk dapat diserap oleh bahan (substantifitasnya
baik) dan dapat berikatan dengan serat . Mempunyai ketahanan luntur
yang memadai
Untuk mendapatkan sifat-sifat tersebut dapat diatur sedemikian rupa
dengan cara merekayasa struktur molekulnya dan mengatur kondisi proses
pemakaian. Namun demikian sifat-sifat khas suatu zat warna maupun sifat
dalam pemakaiannya seperti corak dan kecerahan warna, kelarutan,
kemampuan beragregrasi, substantifitas, ketahanan luntur dan kestabilannya
pada kondisi proses tertentu sangat tergantung pada struktur zat warna.

3.5 Warna dan Struktur Molekul


Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan teori tentang zat warna,
bahwa dalam suatu struktur molekul zat warna akan mengandung gugus
tidak jenuh yang disebut kromofor (Contoh : -N=N-, >C=O, -NO2) dan gugus
pembentuk garam yang disebut auksokrom ( Contoh : -OH, -NH2, -SO3H ).
Bila kromofor berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh
senyawa yang berwarna, contohnya azo bensena berwarna orange,
antrakwinon berwarna kuning muda. Gabungan sistem aromatik dan
kromofor tersebut disebut kromogen.
Kromogen seperti azobensena belum bisa dipakai sebagai zat warna
karena intensitas warnanya rendah dan belum mempunyai daya celup.
Tetapi bila dimasukkan satu atau lebih gugus auksokrom maka akan menjadi
zat warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa auksokrom ada
yang bersifat donor elelktron dan ada juga yang bersifat penarik electron.
Bila auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan
dengan auksokrom penarik elektron dalam struktur molekul zat warna maka
akan memperbesar sistem konyugasi zat warna, sehingga selain
meningkatkan intensitas warna juga akan menimbulkan efek bathokromik,
yaitu panjang gelombang maksimum ( λ maks) zat warnanya akan semakin
besar, contohnya dari kuning menjadi merah, sebagaimana contoh struktur
pada gambar :

Pada tahun 1900 Gomberg menemukan radikal trifenil metan yang


ternyata berwarna padahal pada strukturnya tidak ada kromofor maupun
auksokrom.

Radikal Tifenil Metan

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori Witt hanya dapat
dipakai pada zat warna jenis azo, nitro atau antrakwinon, tetapi tidak dapat
digunakan untuk menerangkan zat warna trifenil metan.

Pada tahun 1907 Hewitt dan Mitchel menyatakan pentingnya sistem


konyugasi dalam struktur zat warna, bahwa penuaan warna akan semakin
besar dengan semakin panjangnya sistem konyugasi dalam struktur zat
warna.

Seiring dengan ditemukannya konsep resonansi elektron dalam


struktur yang terkonyugasi diperoleh bahwa penyebab timbulnya warna
adalah karena dalam struktur zat warna yang terkonyugasi akan ada
resonansi elektron , seperti contoh struktur resonansi trifenil metan pada
gambar

Struktur resonansi trifenil metan

Semakin besar sistem terkonyugasi dalam struktur molekul zat


warna, resonansinya akan makin besar maka frekuensinya semakin kecil
sehingga panjang gelombangnya semakin besar (efek bathokromik makin
besar) seperti terlihat pada gambar

Efek batokromik pada zat warna antrakuinon

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang menimbulkan


warna pada sruktur zat warna adalah adanya resonasi elektron π, makin
besar resonansinya akan timbul efek batokromik dan meningkatkan
intensitas warnanya.

Zat Warna pada Serat Protein

Zat warna yang mungkin digunakan pada serat protein antara lain :
Zat Warna Direk, Zat Warna Asam, Zat Warna Basa, Zat Warna Bejana, Zat
Warna Naftol dan Zat Warna Reaktif. Zat warna yang biasa digunakan untuk
mencelup serat protein dapat digolongkan menjadi:

Golongan 1: Zat warna yang termasuk golongan ini adalah Zat


Warna Direk, Zat Warna Asam, dan Zat Warna Basa.

Golongan 2: Zat warna yang termasuk golongan ini adalah Zat


Warna Bejana, Zat Warna Naftol dan Zat Warna Reaktif.
3.6 Zat Warna Direk
Zat warna direk umumnya adalah senyawa azo yang disufonasi, zat
warna ini disebut juga zat warna substatif karena mempunyai afinitas yang
besar terhadap selulosa. Beberapa zat warna direk dapat mencelup serat
binatang berdasarkan ikiatan hydrogen. Zat warna direk umunya mempunyai
ketahanan terhadap sinar cukup, tidak tahan terhadap oksidasi dan rusak
oleh zat pereduksi.
Zat warna direk berikatan dengan serat protein dengan ikatan yang
paling rendah yaitu ikatan hidrogen seperti ikatan pada air, untuk itu
ketahanan pencucian dan ketahanan sinarnya kurang bagus. Disamping itu
juga zat warna berikatan dengan serat dibantu dengan ikatan fisika yaitu
ikatan van der wall dan gaya dispersi London yang besarnya tergantung
muatan zat warna dan berat molekul zat warna.
Pengujian dilakukan dengan pelunturan contoh uji dengan Amonia
10%, didihkan, pada larutan ekstraksi dilakukan pencelupan kapas, wol dan
akrilat. Kapas terwarnai tua menunjukkan zat warna direk (+).
Contoh Sturktur molekul Zat Warna Direk. Gambar (c )

3.7 Zat Warna Asam


Zat warna asam mengandung asam-asam mineral / asam-asam
organic dan dibuat dalam bentuk garam-garam natrium dari organik dengan
gugus anion yang merupakan gugus pembawa warna (kromofor) yang aktif.
Struktur kimia zat warna asam menyerupai zat warna direk merupakan
senyawa yang mengandung gugusan sulfonat atau karboksilat sebagai
gugus pelarut.
Zat warna asam dapat mencelup serat-serat binatang, poliamida dan
poliakrilat berdasarkan ikatan elektrovalen / ikatan ionic dimana gugus ion
pada zat warna akan berikatan dengan gugus amina pada struktur serat
protein. Dengan ekstrak hasil pelunturan dengan Amonia 10%, dilakukan uji
pencelupan dengan penetralan larutan dengan H2SO4 10 %, diujikan serat
kapas, wol dan akrilat. Dengan dipanaskan jika wol tercelup warna tua
menunjukkan zat warna asam (+).
Contoh Sturktur molekul Zat Warna Asam. (Gambar d )
IV.

3.6 Zat Warna Basa


Zat warna basa adalah zat warna yang mempunyai muatan positif /
kation. Zat warna basa merupakan suatu garam ; basa zat warna basa yang
dapat membentuk garam dengan asam. Asam dapat berasal dari
hidroklorida atau oksalat. Zat warna basa mampu mencelup serat-serat
protein sedangkan pada serat poliakrilat yang mempunyai gugus-gugus
asam dalam molekulnya akan berlaku/bersifat seperti serat-serat protein
terhadap zat warna basa.
Seperti halnya zat warna asam, zat warna basa akan berikatan
secara ionik denga bahan pada gugus karboksilat serat. Sehingga tahan
luntur dan tahan cucinya sama dengan zat warna asam.
Dasar dari pengujian ini adalah mendapatkan endapan zat warna dari
contoh uji yang telah direduksi dengan alkohol. Kemudian ditambahkan air,
NaOH 10 % dan eter. Eter akan terpisah, kemudian pindahkan lapisan eter
yang ditambahkan Asam asetat 10 %. Larutan asam mewarnai contoh uji
karena perputaran ikatan silang.

Pada uji penentuan, larutan ekstraksi digunakan untuk mencelup serat


akrilat maka serat tercelup, zat warna basa (+).
Contoh Sturktur molekul Zat Warna Basa. (Gambar e )

V. ALAT dan BAHAN


Alat : Bahan :
a. Tabung reaksi dan raknya a. Kain contoh uji 80,87, dan 67
b. Penjepit tabung reaksi b. Kain kapas putih
c. Pipet ukur dan Filler c. Serat wool
d. Pipet tetes d. Serat akrilat
e. Gelas piala e. Kertas lakmus
f. Batang pengaduk Pereaksi :
g. Penangas air a. Amonia/ NH4OH 10%
b. Ch3COOH/ asam sulfat 10%
c. Alkohol
d. NaCl
e. NaOH 5%

VI. CARA KERJA


6.1 Identifikasi Zat Warna Direk
a. Kain contoh uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 4
mL amonia 10%.
b. Larutan dididihkan sehingga sebagian besar zat warna terekstraksi.
c. Kain contoh uji diambil dari larutan ekstrak zat warna ( sebaiknya larutan
ekstraksi dibagi dua, satu bagian untuk uji zat warna direk dan satu
bagian lainnya untuk uji zat warna asam).
d. Kain kapas putih, kain wol putih, kain akrilat putih dimasukkan kemudian
tambahkan NaCl,dan didiidihkan selama 2 menit kemudian biarkan
dingin, kain diambil lalu dicontoh ujici.
e. Pencelupan kembali kain kapas lebih tua dibandingkan kain wol dan
akrilat menunjukkan zat warna direk.
Uji Penentuan :
a. Contoh uji dimasukkan kedalam NaOh 5% didihkan setelah itu
dimasukkan kapas putih, amati warna yang terjadi.
6.2 Identifikasi Zat Warna Asam
a. Apabila dalam uji zat warna direk terjadi pelunturan warna tetapi tidak
mencelup kembali kain kapas putih atau hanya menodai warna dengan
sangat muda, maka dikerjakan pengujian untuk zat warna asam
b. Larutan ekstraksi yang diperoleh dari pengujian zat warna direk
dinetralkan dengan asam asetat 10% (periksa dengan kertas lakmus)
c. Asam asetat 10%ditambahkan lagi sebanyak 1mL
d. Kain kapas putih, kain wol putih, kain akrilat putih dimasukkan dan
dipanaskan selama 2 menit
e. Kain-kain tersebut diambil dan dicontoh ujici dengan air dan amati
warnanya,Pencelupan kembali kain wol lebih tua dibandingkan dengan
kapas dan akrilat menunjukkan zat warna asam.
6.3 Identifikasi Zat Warna Basa
a. Apabila dalam uji zat warna direk tidak terjadi pelunturan atau hanya
luntur sedikit maka dilakukan pengujian untuk zat warna basa,
b. Kain contoh uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
c. 1 mL asam asetat glasial dan 3-5 mL air ditambahkan, lalu dididihkan
sampai terjadi ekstraksi,
d. Kain contoh uji diambil dan bagilah ekstraksi menjadi dua bagian
(satu bagian untuk uji zat warna basa, satu bagian lagi untuk uji
penentuan),
e. Kain kapas putih, wol putih, akrilat putih dimasukkan dan dididihkan
selama 2 menit,
f. Kain diambil lalu dicontoh ujici kemudian diamati,
g. Pencelupan kembali kain akrilat lebih tua dibandingkan dengan
kapas dan wol menunjukan zat warna basa.
VII. DATA PENGAMATAN
( Terlampir )

VIII. PEMBAHASAN
8.1 Zat Warna Direk
Pada percobaan pengamatan ini untuk menentukan uji zat warna
direk. Contoh uji dilarutkan kedalam amonia NH4OH 10% dan didihkan.
Filtrat yang didapat dibagi dua untuk uji penentuan asam dan direk. Filtrat
yang telah dipisahkan di tambahkan kain kapas, serat wool dan akrilat dan
ditambahkan NaCl.
Lunturan yang berwarna akan masuk kedalam kain kapas, serat wool
dan akrilat karena ada penambahan NaCL, dapat dianalisis bahwa NaCL
adalah elektrolit yang mendorong zat warna masuk kedalam kain kapas,
serat wool dan akrilat saat di panaskan.
Uji penentuan juga dilakukan dengan cara menggunakan contoh uji
baru ditambahkan 2 ml NaOH 5% didihkan dan di tambahkan kapas dan
didihkan lagi.
Evaluasi yang didapat adalah pada penentuan zat warna direk kapas
akan tercelup lebih tua. Karena zat warna direk substantif terhadap serat
kapas daripada serat wool dan akrilat. Hal tersebut terjadi karena adanya
ikatan hidrogen pada zat warna dengan sel-OH dan banyaknya molekul
yang terkonjugasi dalam struktur molekul zaat warna, resonansinya akan
semakin besar pada zat warna akan semakin tua karena resonansi adalah
pemberi warna pada zat warna, elektron berpindah-pindah sehingga energi
yang diserap lebih banyak.
Reaksi yang terjadi :
8.2 Zat Warna Asam
Pada penentuan identifikasi zat warna asam digunakan filtrat yang di
dapat dari uji penentuan direk. Filtrat yang di dapat harus diubah
suasananya dalam suasana asam yaitu dengan penambahan asam asetat
10% dengan uji lakmus biru. Lakmus biru akan berubah menjadi merah
setelah penambahan asam astetat 10% 5-6 ml.
Pada percobaan dapat ditambahkan H2SO4 dan larutan yang
digunakan lebih sedikit dibandingkan asam asetat. Identifikasi zat warna
asam dapat bekerja dengan baik untuk mewarnai serat dalam suasana
asam. Pada suasana asam ditambahkan kain kapas, serat wool dan akrilat
dan di panaskan.
Evaluasi yang di dapat adalah serat wool akan tercelup lebih tua
dibandingkan kain kapas dan serat akrilat karena adanya ikatan ionik pada
struktur zat warna dengan struktur wol.
Reaksi yang terjadi :
8.3 Zat Warna Basa
Pada penentuan identifikasi zat warna basa digunakan alkohol
sebagai zat untuk melunturkan, contoh uji ditambahkan 3 ml alkohol
dipanaskan, ditambahkan serat akrilat.
Evaluasi yang di analisis adalah serat akrilat akan tercelup lebih tua
dibandingkan kain kapas dan wool. Karena zat warna basa akan berikatan
secara ionik dengan gugus-gugus sulfonat atau karboksilat yang ada dalam
serat.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan didapatkan pengamatan
dengan kesimpulan :
a. Contoh uji no 80 adalah zat warna Basa karena akrilat tercelup tua
b. Contoh uji no 87 adalah zat warna Direk karena kapas tercelup tua
c. Contoh uji no 67 adalah zat warna Asam karena wool tercelup tua

Anda mungkin juga menyukai