Anda di halaman 1dari 17

Najd Bukan Iraq?

: Bantahan Bagi Salafy


Ini merupakan kelanjutan dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul Analisis Hadis Tanduk
Setan : Najd Bukan Iraq?. Tulisan kami tersebut ternyata ditanggapi oleh salah satu situs salafy
dan kali ini kami berusaha meluruskan bantahannya yang berkesan tidak paham dengan tulisan
orang lain. Sudah sewajarnya sebelum membantah tulisan orang lain kita hendaknya
memahami betul-betul tulisan yang ingin dibantah supaya tidak terjadi pengulanganpengulangan yang tidak perlu. kita akan lihat bersama tanggapan orang tersebut tetapi
sebelumnya kami akan memperjelas lagi hujjah atau dalil kalau tempat yang dimaksud sebagai
fitnah itu adalah Najd. Silakan perhatikan hadis-hadis berikut




Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya yang berkata telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Salim
bin Abdullah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata dan Beliau
menghadap kearah timur fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini,
dari arah munculnya tanduk setan [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]




Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang menceritakan kepada kami ayahku yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Said mawla bani hasyim yang berkata telah
menceritakan kepada kami Uqbah bin Abi Shahba yang berkata telah menceritakan kepada
kami Salim dari Abdullah bin Umar yang berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mengerjakan shalat fajar kemudian mengucapkan salam dan menghadap kearah matahari
terbit seraya bersabda fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk
setan [Musnad Ahmad 2/72 no 5410]

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan
kepada kami Waki dari Ikrimah bin Ammar dari Salim dari Ibnu Umar yang berkata Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam keluar dari pintu rumah Aisyah dan berkata sumber kekafiran
datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan yaitu timur [Shahih Muslim 4/2228 no 2905]




Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Ismail yang berkata telah menceritakan kepadaku Qais bin Uqbah bin Amru Abi
Masud yang berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya kearah
Yaman dan berkata Iman di Yaman disini dan kekerasan hati adalah milik orang-orang
Faddadin [arab badui yang bersuara keras] di belakang unta-unta mereka dari arah munculnya
tanduk setan [dari] Rabiah dan Mudhar [Shahih Bukhari no 3126]




Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya yang berkata qaratu ala Malik dari Abi Zanad
dari Al Araj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda sumber
kekafiran datang dari timur, kesombongan dan keangkuhan adalah milik orang-orang
pengembala kuda dan unta Al Faddaadin Ahlul Wabar [arab badui] dan kelembutan ada pada
pengembala kambing [Shahih Muslim 1/71 no 52]




Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman yang berkata telah mengabarkan
kepada kami Abul Yaman dari Syuaib dari Az Zuhri yang berkata telah mengabarkan kepadaku
Said bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata aku mendengar Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda Penduduk Yaman datang, mereka bertingkah laku halus dan berhati lembut
iman di Yaman, hikmah di Yaman, kelembutan ada pada penggembala kambing sedangkan
kesombongan dan keangkuhan ada pada orang-orang Faddadin Ahlul Wabar [arab badui]
di arah terbitnya matahari [Shahih Muslim 1/71 no 52]




Telah menceritakan kepada kami Musa bin Harun yang berkata telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Muhammad Fuuraan yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin
Aamir yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Yahya bin Said
dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menghadap ke arah matahari
terbit seraya berkata dari sini muncul tanduk setan, dari sini muncul fitnah dan kegoncangan
dan orang-orang yang bersuara keras dan berhati kasar [Mujam Al Awsath Thabrani 8/74 no
8003]
Hadis riwayat Thabrani di atas sanadnya shahih. Musa bin Harun Abu Imranseorang imam
yang tsiqat [Sualat Al Hakim no 229]. Abdullah bin Muhammad bin Muhaajir Fuuraan adalah
sahabat Ahmad bin Hanbal seorang yang tsiqat mamun [Takmilat Al Ikmal Muhammad bin Abdul
Ghaniy no 4757]. Aswad bin Aamir seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/102]. Hammad bin
Salamah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/238]. Yahya bin Said Al Anshari seorang yang tsiqat
tsabit [At Taqrib 2/303]
Hadis-hadis
di
atas
menyebutkan
kalau
tempat
munculnya
fitnah
tersebut
adalahtimur Madinah dan arah timur yang dimaksud adalah arah matahari terbit dari Madinah.
Dengan fakta ini saja maka diketahui bahwa Najd merupakan tempat yang lebih sesuai daripada
Iraq karena Najd terletak di arah timur matahari terbit dari Madinah sedangkan Iraq tidak terletak
di arah matahari terbit dari Madinah. Dari hadis-hadis di atas juga diketahui kalau tempat yang
dimaksud tertuju pada kediaman orang-orang arab badui Rabiah dan Mudhar. Telah maruf
bahwa pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam Najd merupakan kediaman orang-orang
arab badui [ahlul wabar] Rabiah dan Mudhar bukannya Iraq, Jadi semua hadis-hadis di atas
menyiratkan kalau tempat fitnah yang dimaksud adalah Najd. Oleh karena itu jika menerapkan
metode tarjih maka hadis Najd lebih didahulukan daripada hadis Iraq.
.

.
.
Hadis Ubadillah bin Abdullah bin Aun



!

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Mamariy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ismaail bin Masud yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin
Abdillah bin Aun dari ayahnya, dari Naafi dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan pada
Yamaan kami. Beliau [shallallaahu alaihi wasallam] mengatakannya beberapa kali. Ketika
beliau mengatakan yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata Wahai
Rasulullah, dan juga Iraq kami?. Beliau bersabda Sesungguhnya di sana terdapat
kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan [Mujam Al Kabiir Ath
Thabrani 12/384 no 13422].
Kami sebelumnya mengatakan hadis ini tidak shahih karena Ubaidillah telah menyelisihi dua
orang perawi tsiqat yaitu Azhar bin Sad dan Husain bin Hasan dimana keduanya menyebutkan
lafaz Najd bukan lafaz Iraq. Orang tersebut membantah dengan berkata
Saya katakan : Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang
dikatakan taarudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan dalam makna dan
tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh Najd dan Iraq adalah
bertentangan (taarudl) adlah sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan
ilmu ushul hadits dan ushul-fiqh yang maruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd
dan Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman orang
Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy bagaimana makna kata
Najd bagi orang Arab (bukan menurut orang tersebut).
Sungguh orang ini patut dikasihani, bagaimana mungkin ia bisa tidak mengerti panjang lebar
hujjah kami dalam masalah ini. Lafaz Najd dan Iraq bertentangan karena keduanya adalah nama
negeri yang berbeda. Seandainya pun kedua lafaz itu mau dijamak maka itu berarti kedua
tempat tersebut adalah tempat munculnya fitnah. Bukan seperti logika aneh salafy yang
mengatakan kalau Najd adalah Iraq. Perhatikan baik-baik hadis berikut

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan
kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun dari
Nafi dari Ibnu Umar yang berkata [Nabi shallallahu alaihi wasallam] bersabda Ya Allah berilah
keberkatan kepada kami, pada Syam kami dan pada Yaman kami. Para sahabat berkata dan
juga Najd kami?. Beliau bersabda disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah
muncul tanduk setan[Shahih Bukhari 2/33 no 1037]
Zahir hadis di atas Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan Syam dan Yaman, keduanya
adalah nama Negri yang sudah ada di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian
para sahabat bertanya bagaimana dengan Najd kami. Tentu saja secara zahir maksud Najd
disini adalah nama suatu Negeri seperti halnya Syam dan Yaman. Dan telah kami sebutkan

bahwa di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah masyhur Negeri yang bernama
Najd dan negri itu berbeda dengan Iraq seperti dalam hadis berikut




Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Ammar Al Maushulli yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin Ali dari Al Muafiy dari
Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di
Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman
di Yalamlam [Shahih Sunan Nasai no 2656]




Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits
dari Said bin Abi Said yang mendengar Abu Hurairah berkata Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam mengutus pasukan berkuda ke Najd kemudian pasukan ini datang dengan membawa
seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal pemimpin penduduk
Yamamah kemudian diikat di salang satu tiang masjid, demikian secara ringkas. [Shahih Sunan
Nasai Syaikh Al Albani no 712]
Hadis di atas bahkan menyebutkan kalau Najd yang dimaksud termasuk Yamamahyang pada
zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam terletak tepat disebelah timur Madinah dan yang
sekarang telah menjadi daerah Riyadh dan sekitarnya. Justrumembedakan Najd dan Iraq telah
sesuai dengan lisan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan pemahaman para sahabat bahwa Najd
dan Iraq memang kedua tempat yang berbeda pada masa itu. Jadi tidak ada gunanya perkataan
ulama yang dicatut oleh orang salafy itu.
Kembali ke hadis riwayat Thabrani di atas, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan Syam
dan Yaman, kemudian para sahabat bertanya bagaimana dengan Iraq kami. Anehnya salafy
langsung bisa paham kalau Iraq yang dimaksud disini adalah nama suatu negeri tapi kalau di
hadis Najd salafy jadi pura-pura tidak paham. Salafy itu mengutip perkataan Ibnu Mandzur

Semua tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah Iraaq, maka itu Najd [lihat dalam
Lisaanul-Arab].
Bagi kami tidak ada masalah dengan istilah itu. Najd yang ada pada hadis tanduk setan adalah
nama suatu negeri yang memang sudah masyhur dikenal sahabat sebagaimana halnya negeri
Syam dan Yaman. Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat telah membedakan Najd
dan Iraq jadi tidak ada gunanya perkataan Ibnu Mandzur disini. Apalagi kalau diperhatikan
ternyata ulama lain justru mengatakan hal yang lebih aneh yaitu Al Khaththabi [sebagaimana
yang ditulis sendiri oleh salafy itu]. Ia berkata

:
: :

Najd adalah arah timur. Dan bagi Madinah, najd-nya gurun Iraaq dan sekelilingnya. Itulah arah
timur bagi penduduk Madinah. Asal makna dari najd adalah : setiap tanah yang tinggi;
sedangkan ghaur adalah setiap tanah yang rendah. Seluruh wilayah Tihaamah adalah ghaur,

termasuk juga Makkah. Fitnah muncul dari arah timur; dan dari arah itu pula akan keluar Yajuuj,
Majuuj, dan Dajjaal sebagaimana terdapat dalam kebanyakan riwayat [Ilaamus-Sunan,
2/1274].
Anehnya Al Khattabi mengatakan kalau Najd adalah arah timur dan menurut Al
Khaththabi timurnya madinah adalah Iraq maka Najd-nya madinah adalah Iraq. Pertanyaannya
sejak kapan Najd yang secara etimologi [asal kata] bermakna tanah yang tinggi berubah
maknanya menjadi arah timur?. Kemudian apa gunanya perkataan Ibnu Mandzur semua
tanah yang tinggi dari Tihamah sampai Iraq maka itu Najd padahal Al Khaththabi
mengatakan seluruh wilayah Tihamah adalah ghaur. Salafy itu hanya bisa bertaklid tetapi tidak
bisa memahami perkataan ulama yang ia kutip.
Pada dasarnya setiap kata memiliki makna secara etimologi tetapi selain itu ternyata ada
beberapa kata yang dalam perkembangannya berubah secara historis. Seperti halnya kata Najd
secara etimologi memang bermakna tanah yang tinggi, tetapi secara historis maksud Najd yang
ada dalam hadis Tanduk setan adalah nama suatu negri yang masyhur saat itu yaitu Najd di
sebelah timur Madinah oleh karena itu para sahabat menisbatkannya dengan kata Najd kami.
Negri ini dinamakan Najd karena memang tempat tersebut adalah dataran tinggi. Tidak hanya
Najd, kata Iraq pun secara etimologi bermakna daerah tepian atau daerah yang terletak
diantara sungai sungai dan secara historis Iraq dikenal sebagai nama suatu negri karena
memang negri tersebut terletak diantara sungai sungai sehingga dinamakan Iraq. Pada hadis
tanduk setan, kata Najd dan Iraq yang dinisbatkan dengan kata kamiadalah nama suatu Negri
bukan makna kata secara etimologi.
Adapun Ubaidullah sendiri, maka Al-Bukhaariy berkata : Maruuful-hadiits [At-Taariikh Al-Kabiir,
5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata : Shaalihul-hadiits [Al-Jarh wat-Tadiil, 5/322 no. 1531].
Kita telah buktikan kalau Najd dan Iraq yang ada di hadis Ibnu Umar adalah dua negri yang
berbeda sehingga penjamakan yang dilakukan oleh salafy itu terlalu memaksa. Kesannya justru
malah mendistorsi makna hadis tersebut. Yang meriwayatkan dari Ibnu Aun dari Nafi ada tiga
orang yaitu Husain bin Hasan, Azhar bin Sad dan Ubaidillah. Husain dan Azhar menyebutkan
kalau tempat yang dimaksud adalah Najd sedangkan Ubaidillah menyebutkan Iraq. Ubaidillah
telah menyelisihi dua orang perawi tsiqat yang meriwayatkan dari Nafi sedangkan
kedudukannya sendiri paling tinggi hanya dikatakan shalihul hadits. Perawi seperti ini jika
bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqat maka hadisnya tidak bisa diterima. Kaidah ini
sesuai dengan yang berlaku dalam ilmu hadis.
.
.
.
Hadis Ziyaad bin Bayaan






Telah menceritakan kepada kami Ali bin Said yang berkata telah menceritkankepada kami
Hammaad bin Ismaaiil bin Ulayyah yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku yang
berkata telah mencertakan kepada kami Ziyaad bin Bayaan yangberkata telah menceritakan
kepada kami Saalim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya yang berkata Nabi shallallaahu alaihi

wa sallam pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada orang-orang.
Beliau bersabda Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami berikanlah
keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa kami. Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada
kami pada Syaam kami dan Yaman kami. Seorang laki-laki berkata dan Iraq, wahai
Rasulullah ?. Beliau diam, lalu bersabda Ya Allah berikanlah keberkatan kepada kami pada
Madinah kami berikanlah keberkatan kepada kami pada mudd dan shaa kami. Ya Allah,
berikanlah keberkatan kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah keberkatan kepada
kami pada Syaam kami dan Yaman kami. Seorang laki-laki berkata dan Iraq, wahai
Rasulullah ?. Beliau bersabda dari sana akan muncul tanduk setan dan bermunculan
fitnah [Mujam Al Awsath Ath Thabraani 4/245 no 4098].
Pada tulisan sebelumnya kami menyatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena mengandung
illat [cacat] pada Ziyaad bin Bayaan. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi tidak
shahih hadisnya. Bukhari berkata dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali [Al Mizan juz 2
no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad Dhuafa no 2222 Al Uqaili
juga memasukkannya ke dalam Adh Dhuafa Al Kabir 2/75-76 no 522. Salafy itu menanggapi
dengan berkata
Saya katakan : Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas diri
Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343 no. 2068]. AnNasaaiy berkata : Tidak mengapa dengannya (laisa bihi bas). Ibnu Hibbaan memasukkanya
dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : Ia seorang syaikh yang shaalih. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika
dijelaskan seperti ini adalah diterima, sebagaimana penjelasan Al-Muallimiy Al-Yamaaniy dalam
At-Tankiil.
Mengenai perkataan Nasai maka begitulah yang dinukil Ibnu Hajar dalam At Tahdzib tetapi
mengenai perkataan Ibnu Hibban maka ini patut diberikan catatan. Ibnu Hibban tidak hanya
mentadil Ziyaad bin Bayaan, Ibnu Hibban juga memasukkan nama Ziyaad bin Bayaan dalam
kitabnya Adh Dhuafa yang memuat nama perawi dhaif menurutnya. Ibnu Hibban berkata
Ziyaad bin Bayaan mendengar dari Ali bin Nufail, dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali (fii
isnad nazhar) [Al Majruhin no 365].
Ibnu Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan AlBukhaariy. Dan sebab pendlaifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan sebab hadits AlMahdiy. Al-Bukhaariy berkata : Fii isnadihi nadhar. Jarh ini kurang shariih.
Perkataan salafy kalau jarh ini kurang sharih hanyalah andai-andai dirinya yang memang tidak
bisa memahami dengan baik. Justru jarh Bukhari telah dijelaskan bahwa dalam sanad hadis
Ziyaad bin Bayaan perlu diteliti kembali [fii isnadihi nazhar]. Ziyaad bin Bayaan terbukti
meriwayatkan hadis mungkar dan kemungkarannya terletak pada sanad hadis tersebut. Hadis
yang dimaksud adalah hadis Al Mahdi dimana Ziyad bin Bayaan membawakan dengan sanad
dari Ali bin Nufail dari Ibnu Musayyab dari Ummu Salamah secara marfu. Hadis ini yang
diingkari oleh Bukhari dan pengingkaran tersebut terletak pada sanadnya. Ibnu Ady dalam Al
Kamil dengan jelas mengatakan kalau Bukhari mengingkari hadis Ziyad bin Bayaan ini.
Al Uqaili sependapat dengan pengingkaran Bukhari dan menunjukkan kalau yang tsabit hadis
dengan lafaz seperti itu adalah perkataan Said bin Al Musayyab bukan hadis Nabi shallallahu
alaihi wasallam [Adh Dhuafa Al Uqaili 2/75 no 522]. Ibnu Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah juga
menegaskan bahwa hadis dengan lafaz seperti itu adalah perkataan Ibnu Musayyab bukan
hadis Nabi dan disini Ziyaad bin Bayaan yang merafakan atau menyambungkan hadis tersebut
kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jadi kesimpulannya Ziyaad bin Bayaan tertuduh

meriwayatkan hadis mungkar dan pengingkaran Bukhari terhadap hadisnya justru menunjukkan
kalau disisi Bukhari Ziyaad bin Bayaan adalah seorang yang dhaif. Perkataan Bukhari ini adalah
perkataan yang tsabit bersumber darinya dan kedudukan dirinya lebih dijadikan pegangan
daripada pentadilan Nasai. Apalagi telah maruf dalam ilmu hadis bahwa jarh yang mufassar
lebih didahulukan dari tadil.
Ibnu Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin Umar seorang yang
tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy; Abul-Maliih berkata :
Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah. Ibnu Adiy menjelaskan : Telah
menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah, maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan.
Kemudian Ibnu Adiy menyebutkan sanad yang lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil,
4/144-145 no. 697].
Perkataan salafy ini sangat patut diberikan catatan, entah ia pura-pura tidak tahu atau memang
tidak tahu bahwa tautsiq Abul Maliih ini tidaklah tsabit. Ibnu Ady membawakan dengan sanad
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Yazid bin Aqaal Al Harrani yang
berkata telah menceritakan kepada kami Abu Jafar An Nufaili yang berkata telah menceritakan
kepada kami Abul Maliih yang berkata telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah [Al
Kamil 3/196. Hadis ini tidak tsabit karena Ahmad bin Abdurrahman Al Harrani adalah seorang
yang dhaif. Adz Dzahabi memasukkannya kedalam perawi dhaif seraya mengutip jarh Abu
Arubah [Al Mughni 1/46 no 346]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhuafa [Adh Dhuafa
Ibnu Jauzi no 200]. Al Haitsami berkata riwayat Thabrani dalam Al Ausath dari syaikh-nya
Ahmad bin Abdurrahman bin Aqaal dan dia dhaif [Majma Az Zawaid 5/65 no 8057]. Jadi
tautsiq Abul Maliih disini tidaklah benar. Apalagi penetapan kalau orang yang dimaksud Ziyaad
bin Bayaan tidak nampak dalam sanad tersebut melainkan dugaan Ibnu Adiy.
Hal yang sama pada Al-Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dluafaa dengan pijakan
perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun demikian, yaitu
menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy. Akan tetapi ia memberikan
penghukuman akhir terhadap Ziyaad : Shaduuq [Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Al Uqaili dalam hal ini sepakat dengan Al Bukhari dan disini ia telah menjelaskan kalau hadis
Ziyaad bin Bayaan adalah mungkar dan yang benar hadis tersebut adalah perkataan Ibnu
Musayyab. Mengenai perkataan Adz Dzahabi walaupun ia menyatakan Ziyaad bin Bayaan
shaduq ia sendiri telah menyebutkan dalam Al Mizandan Al Mughni kalau Ziyaad bin Bayaan
tidak shahih hadisnya dan penulisannya dalam dua kitab tersebut menunjukkan kalau Adz
Dzahabi lebih cenderung dengan pendapat yang menjarh Ziyaad bin Bayaan.
Oleh karenanya, pentautsiqan An-Nasaaiy, Ibnu Hibbaan, dan Abul-Maliih lebih kuat dari
perkataan yang mendlaifkannya. Kaidah mengatakan : Tadiil lebih didahulukan daripada jarh
yang mubham.
Pentautsiqan Nasai adalah penukilan sedangkan jarh Bukhari terhadap Ziyaad bin Bayaan
berasal dari kitab Bukhari sendiri. Pentautsiqan Ibnu Hibban juga bertentangan dimana ia sendiri
memasukkan Ziyaad bin Bayaan dalam kitabnya Adh Dhuafa sedangkan pentautsiqan Abul
Maliih tidak tsabit. Tidak benar kalau jarh terhadap Ziyaad dikatakan mubham justru jarh
terhadapnya mufassar yaitu dimana ia telah meriwayatkan hadis dengan sanad yang mungkar
dan ini telah terbukti dari riwayat-riwayat yang disebutkan oleh para ulama seperti Al Bukhari, Al
Uqaili dan Ibnu Jauzi. Mengenai pernyataan Ibnu Hajar dalam At Taqrib kalau Ziyaad bin Bayaan
seorang yang shaduq, itu telah dikritik dalam Tahrir Taqrib At Tahdzib bahwa kedudukan
sebenarnya Ziyaad bin Bayaan adalah dhaif yatabaru bihi [Tahrir At Taqrib no 2057].

Kedudukan hadis yang diriwayatkan perawi seperti Ziyaad bin Bayaan jika bertentangan dengan
hadis shahih maka hadisnya mesti ditolak. Hadis tanduk setan yang sanadnya shahih adalah
hadis dengan lafaz Najd sedangkan hadis dengan lafaz Iraq matannya mungkar. Sebagaimana
telah kami tunjukkan bahwa di hadis shahih Najd merupakan tempat timbulnya fitnah.
.
.
.
Hadis Abdullah bin Syawdzab



.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Aziiz Ar Ramliy yang berkata telah
menceritakan kepada kami Dhamrah bin Rabiah dari Ibnu Syaudzab dari Taubah Al Anbariy dari
Salim dari Ibnu Umar yang berkata Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda Ya Allah
berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa kami, pada mudd kami,
pada Yaman kami, dan pada Syaam kami. Seorang laki-laki berkata Wahai Rasulullah, dan
pada Iraaq kami ?. Beliau menjawab di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana
pula akan muncul tanduk setan [ Marifah Wal Tarikh Yaqub Al Fasawiy 2/746-747]
Mengenai hadis ini kami katakan Ibnu Syawdzab melakukan tadlis, ia tidak mendengar hadis ini
dari Taubah Al Anbari. Terdapat hadis yang menyebutkan kalau ia mendengar hadis tersebut
melalui perantara.







Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy yang
berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan
kepadaku Abdullah bin Syawdzab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin
Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbariy dari Salim bin Abdullah bin
Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda Ya Allah berikanlah
keberkatan kepada Mekkah kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami,
pada shaa kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami. Seorang laki-laki
berkata Wahai Rasulullah, dan pada Iraaq kami ?. Beliau menjawab di sana terdapat
kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan [Musnad Asy Syamiyyin
Thabrani 2/246 no 1276]
Pada riwayat pertama Ibnu Syawdzab membawakan hadis dengan lafaz an anah dari Taubah
Al Anbari kemudian pada riwayat kedua Ibnu Syawdzab membawakan hadis dengan lafaz telah
menceritakan padanya Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah.
Sanad ini menjadi bukti bahwa pada riwayat pertama Ibnu Syawdzab melakukan tadlis. Riwayat
an an ah-nya dari Taubah ia dengar dari para syaikh-nya.
Illat [cacat] riwayat Ibnu Syawdzab disini adalah ia menggabungkan hadis dari ketiga syaikh-nya
yaitu Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dalam satu lafaz matan hadis.

Tetapi tidak disebutkan lafaz matan hadis yang ia sebutkan itu adalah milik siapa. Apakah ketiga
syaikh-nya menyebutkan dengan matan yang sama yang mengandung lafaz Iraq atau hanya
salah satu saja dari syaikh-nya yang menyebutkan lafaz Iraq. Jika kemungkinan yang kedua
maka itu berarti Ibnu Syawdzab menggabungkan sanad hadis ketiga syaikh-nya dengan
menyebutkan matan yang mengandung lafaz Iraq. Kemungkinan ini cukup beralasan mengingat
Ibnu Syawdzab sendiri terbukti melakukan tadlis dari hadis ini. Jika semua syaikh-nya itu tsiqat
tsabit maka tidak ada masalah dengan kemungkinan ini tetapi ternyata diantara syaikh-nya
terdapat perawi yang banyak melakukan kesalahan dalam hadis yaitu Mathr Al Waraaq jadi
terdapat kemungkinan kalau lafaz Iraq itu berasal dari kesalahan Mathr Al Waraaq. Mengapa
dikatakan kesalahan karena telah disebutkan di awal pembahasan di atas kalau tempat yang
dimaksud adalah Najd bukannya Iraq. Jadi kemungkinan kalau perawi disini melakukan
kesalahan dengan menyebutkan lafaz Najd menjadi illat [cacat] hadis tersebut. Salafy itu
mengatakan
Pertama, menyandarkan keterputusan Ibnu Syaudzab dengan Taubah hanya karena Ibnu
Syaudzab juga meriwayatkan melalui perantaraan Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir
bin Sahl; dari Taubah, bukan sebab yang kuat. Alasannya, telah maruf bahwa salah satu
guru/syaikh dari Ibnu Syaudzab adalah Taubah Al-Anbariy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 15/94].
Jadi bukan satu hal yang mustahil ia meriwayatkan dari Taubah, dan bersamaan dengan itu ia
juga meriwayatkan melalui perantaraan orang lain. Semuanya dihukumi bersambung.
Alasan yang dikemukan salafy kalau Taubah maruf dikenal sebagai syaikh-nya Ibnu Syawdzab
patut diberikan catatan. Dalam Tahdzib Al Kamal juga disebutkan kalau salah satu Syaikh Ibnu
Syawdzab adalah Hasan Al Bashri [Tahdzib Al Kamal 15/94] dan Abu Hatim mengatakan
kalau Ibnu Syawdzab tidak melihat Hasan dan tidak mendengar dari-nya [Al Marasil Ibnu Abi
Hatim 1/116 no 94]. Bagaimana mau dikatakan syaikh-nya kalau tidak pernah melihat dan tidak
pernah mendengar darinya?. Jadi mengatakan Taubah maruf sebagai syaikh Ibnu Syawdzab
berdasarkan penyebutan dalam Tahdzib Al Kamal bukan hujjah yang kuat. Sejauh yang kami
tahu, tidak ada hadis Ibnu Syawdzab dari Taubah Al Anbari kecuali dari hadis ini dan di hadis ini
ia terbukti melakukan tadlis.
Misalnya, Hafsh bin Ghiyaats meriwayatkan hadits puasa Syawal melalui jalan Sad bin Saiid
bin Qais [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 6/123 no. 2345 dan
Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912]. Namun, di lain kesempatan ia juga meiwayatkan melalui
perantaraan Yahyaa bin Saiid bin Qais. Keduanya adalah riwayat bersambung. Hafsh bin
Ghiyaats sendiri berkata : Kemudian aku bertemu dengan Sad bin Saiid, lalu ia menceritakan
kepadaku (hadits ini) [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Dalam contoh yang disebutkan salafy itu jelas-jelas Hafsh bin Ghiyaats mengatakankemudian
aku bertemu Sad bin Said lalu ia menceritakan kepadaku. Kalau sudah seperti ini ya mana
mungkin mau dikatakan tadlis berbeda dengan contoh yang ia sebutkan tidak ada pengakuan
dari Ibnu Syawdzab kalau ia bertemu dengan Taubah atau tidak ada Ibnu Syawdzab
menyebutkan dengan lafaz sima langsung dari Taubah. Riwayat Ibnu Syawdzab dari Taubah
adalah riwayat an anah dan riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikhnya dari Taubah itu
dengan lafaz sima langsung. Jadi dalam hadis tanduk setan dengan lafaz Iraq, Ibnu Syawdzab
terbukti melakukan tadlis. Kasus seperti ini termasuk salah satu cara ulama untuk menetapkan
seseorang itu melakukan tadlis atau tidak.
Kedua, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasawiy di atas munqathi; maka sejak kapan
meriwayatkan hadits secara munqathi seperti ini langsung di-tayin melakukan tadlis ? Jelas

beda antara irsal dan tadlis. Pensifatan tadlis itu hanya diterima jika ada perkataan para ulama
yang menjelaskan bahwa ia orang yang melakukan tadlis.
Pernyataan salafy ini menunjukkan kalau ia memang susah sekali untuk memahami tulisan
orang dengan baik. Sebelumnya kami mengatakan kalau Ibnu Syawdzab tidak
mendengar hadis ini dari Taubah. Apa buktinya? Buktinya adalah terdapat riwayat kalau Ibnu
Syawdzab mengambil hadis ini dengan perantaraan ketiga syaikh-nya dari Taubah. Kami pribadi
tidak pernah memastikan bahwa Ibnu Syawdzab tidak mendengar satupun hadis dari Taubah
atau Ibnu Syawdzab tidak pernah bertemu dengan Taubah. Illat [cacat] yang kami sebutkan
adalah Ibnu Syawdzab tidak mendengar hadis ini dari Taubah. Bisa saja dikatakan kalau Ibnu
Syawdzab pernah bertemu dengan Taubah Al Anbari, tetapi ini adalah kemungkinan yang perlu
dibuktikan walaupun kami sendiri tidak menafikan kemungkinan ini. Berbeda halnya dengan
salafy yang dengan angkuhnya mengatakan kalau Taubah maruf dikenal sebagai syaikh-nya
Ibnu Syawdzab padahal kemungkinan irsal tetap ada. Oleh karena kemungkinan bertemu antara
Ibnu Syawdzab dan Taubah itu masih ada maka kami menggunakan kata-kata tadlis bukan irsal.
Sangat maklum kalau pengertian tadlis adalah seorang perawi semasa dan pernah bertemu
dengan perawi lain tetapi ia meriwayatkan suatu hadis dari perawi lain tersebut [yang
sebenarnya ia dengar melalui perantara] tetapi ia mengatakan seolah-olah ia mengambil hadis
itu langsung dari perawi lain tersebut.
Yang lebih lucu bin ajaib adalah perkataan salafy kalau pensifatan tadlis hanya diterima jika ada
ulama yang menjelaskan bahwa ia melakukan tadlis. Lha memangnya seorang ulama bisa tahu
si perawi melakukan tadlis dengan cara apa, wangsit dari langit, asal tebak sesuai selera, atau
sok berasa-rasa. Dalam ilmu hadis justru disebutkan kalau salah satu cara ulama mensifatkan
tadlis kepada seorang perawi adalah dengan melihat hadis yang ia riwayatkan. Jika terdapat
riwayat bahwa ia membawakan suatu hadis dengan an anah dari seorang perawi [semasa dan
pernah bertemu] dan disaat lain ia menyebutkan riwayat dengan sima langsung melalui
perantara dari perawi tersebut maka orang ini dikatakan melakukan tadlis.
Kalau hanya sekedar meriwayatkan secara maushul di satu jalan dan mursal/munqathi di jalan
yang lain, itu bukan tadlis namanya. Saya pingin tahu rujukannya di kitab ilmu hadits yang
menjelaskan kaedah aneh ini. Jika ini diterapkan, maka jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu
Hajar dalam Ath-Thabaqaat akan bertambah tebal dua kali lipat atau lebih.
Lha iya, saya juga pingin tahu rujukan mana yang mengatakan seperti yang salafy katakan itu.
Seharusnya salafy itu memahami dulu tulisan orang lain dengan baik baru membantah. Jika
kasus seperti Ibnu Syawdzab ini tidak dikatakan tadlis dengan alasan mungkin saja Ibnu
Syawdzab juga mendengar hadis ini dari Taubah secara langsung maka kami katakan dengan
cara seperti ini mungkin jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath Thabaqaat
akan berkurang dua kali lipat atau lebih. Kenapa? karena setiap perawi tidak bisa dituduh
melakukan tadlis [kecuali ia sendiri yang mengaku] bisa saja dikatakan mungkin saja ia
mendengar secara langsung. Kami perjelas kembali jika ada suatu hadis diriwayatkan oleh
seorang perawi [kita sebut A] dengan dua kondisi

A meriwayatkan dengan an anah dari B

A meriwayatkan dengan sima langsung dari C dari B

Maka si A dikatakan melakukan tadlis dalam riwayat ini. Jika mau dikatakan A juga mendengar
langsung hadis ini dari si B maka harus dicari riwayat yang memang menyebutkan riwayat A dari
si B dengan lafal sima langsung sehingga dari sini baru kita dapat menyebutkan kalau A
mengambil hadis ini secara langsung dari B dan C sehingga terangkatlah ia dari tuduhan
melakukan tadlis dalam hadis tersebut.
Ketiga, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas munqathi, justru riwayat Ibnu
Syaudzaab yang secara shaarih berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin AlQaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl, dari Taubah Al-Anbariy menunjukkan penyambungan
riwayat munqathi tadi.
Lha iya, justru riwayat inilah yang langsung kita fokuskan untuk dibahas dan dikritik dengan
menunjukkan illat [cacat] yang berupa kemungkinan kesalahan perawinya yaitu Mathar Al
Warraq. Riwayat Al Fasawy langsung kita palingkan pada riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga
syaikh-nya.
Keempat, Abdullah bin Al-Qaasim adalah seorang yang shaduuq. Mathr Al-Warraaq ini adalah
shaduuq, namun banyak salahnya. Katsiir (bin Ziyaad) Abu Sahl ini adalah seorang yang tsiqah.
Ketiganya meriwayatkan dari Taubah, dari Saalim, dari Ibnu Umar secara marfuu. Riwayat
ketiganya saling menjadi saksi dengan yang lain, sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa
riwayat ini shahih.
Pernyataan ini kembali membuktikan ia tidak memahami atau tidak berniat mau memahami illat
[cacat] yang kami sebutkan. Satu hal yang harus kami tekankan kembali disini, Ibnu Syawdzab
menggabungkan ketiga sanad dari gurunya itu dalam satu sanad hadis bukannya membawakan
sanad beserta matan hadis dari guru-gurunya secara terpisah. Pada pembahasan sebelumnya
kami menunjukkan bahwa dalam penggabungan sanad seperti ini terdapat dua kemungkinan

Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga Syaikhnya yaitu Abdullah bin Qasim,
Mathr dan Katsir Abu Sahl dimana ketiganya memang menyebutkan lafaz Iraq.

Ibnu Syawdzab mendengar langsung dari ketiga syaikhnya dimana lafaz Iraq tersebut
hanya berasal dari salah satu Syaikhnya sehingga disini Ibnu Syawdzab
menggabungkan sanad hadis tersebut dan matan hadis yang berlafaz Iraq berasal dari
salah satu syaikhnya.

Untuk kemungkinan pertama maka benarlah apa yang dikatakan oleh salafy itu bahwa ketiga
syaikh-nya itu saling menjadi saksi dengan yang lain. Tetapi mengenai kemungkinan kedua
maka itu tidak bisa, jika lafaz Iraq itu berasal dari Mathar Al Warraq maka sudah jelas dhaif.
Oleh karena itu, perkataan : Illat atau cacat yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab adalah tidak
diketahui dari syaikhnya yang mana lafaz Iraq tersebut berasal; tidak perlu dihiraukan.
Silakan saja, sejak kapan salafy itu menghiraukan argumen orang lain. Pada pembahasan
sebelumnya kami telah menunjukkan kepada pembaca contoh penggabungan sanad seperti ini,
kami tidak keberatan untuk menyebutkannya kembali.


:
:
:



Telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al Hafizh yang berkata telah menceritakan
kepada kami Abu Ali Husain bin Ali Al Hafizh yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Yala Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Waashil bin Abdul Alaa dan
Abdullah bin Umar berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari
ayahnya yang berkata Aku mendengar Saalim bin Abdillah bin Umar berkata Wahai penduduk
Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah
besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin Umar berkata Rasulullah shallallaahu alaihi
wa salam bersabda Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah
timur dari arah munculya dua tanduk setan. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa
hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Firaun itu karena tidak
sengaja. Lalu Allah azza wa jalla berfirman padanya Dan kamu pernah membunuh seorang
manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan
beberapa cobaan. (Thaahaa: 40). [Syuaib Al Iman Baihaqi 4/346 no 5348].
Pada hadis riwayat Baihaqi ini disebutkan bahwa Abu Yala menggabungkan sanad kedua
syaikh-nya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin Abdul Aladengan satu matan
hadis. Padahal sebenarnya matan hadis Abdullah bin Umar bin Aban berbeda dengan matan
hadis Washil bin Abdul Ala. Hadis riwayat Baihaqi di atas yang mengandung lafaz wahai
penduduk irak adalah matan hadis Abdullah bin Umar bin Aban sedangkan matan hadis Washil
bin Abdul Ala tidak ada lafaz wahai penduduk irak. Buktinya adalah apa yang tertera dalam
Musnad Abu Yala


:

{ } :
Telah menceritakan kepada kami Washil bin Abdul Ala Al Kufiy yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ibnu Fudhail dari ayahnya dari Salim dari Ibnu Umar yang berkata aku mendengar
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia
menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah munculya dua tanduk setan. Kalian saling
menebas leher satu sama lain. Musaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari
keluarga Firaun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah azza wa jalla berfirman padanya Dan kamu
pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami
telah mencobamu dengan beberapa cobaan. [Musnad Abu Yala 9/383 no 5511 dishahihkan
oleh Husain Salim Asad]

:
: ! !
:

{ }
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar bin Aban yang berkata telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Fudhail dari ayahnya yang berkata aku mendengar Salim bin
Abdullah bin Umar berkata Wahai penduduk Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil
dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar.Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah
bin Umar berkata Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam bersabda

Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah
munculya dua tanduk setan. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya
membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Firaun itu karena tidak sengaja.
Lalu Allah azza wa jalla berfirman padanya Dan kamu pernah membunuh seorang manusia,
lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan. [Musnad Abu Yala 9/420 no 5570 dishahihkan oleh Husain Salim Asad]
Perhatikanlah riwayat Baihaqi sebelumnya, Abu Yala menggabungkan sanad hadis dimana ia
mengambil hadis tersebut dari kedua syaikhnya yaitu Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin
Abdul Ala kemudian meriwayatkan dengan satu matan yang ada lafaz wahai penduduk Iraq.
Lafaz ini berasal dari Abdullah bin Umar bin Aban sedangkan pada riwayat Washil bin Abdul Ala
tidak ada lafaz tersebut. Ini contoh nyata kalau seorang perawi bisa saja menggabungkan sanad
para syaikhnya dan membawakan matan salah satu syaikhnya saja. Seandainya ini seandainya
lho, Abdullah bin Umar bin Aban ini dhaif maka lafaz tersebut wahai penduduk Irak adalah
dhaif. Tidak bisa dikatakan kalau Washil bin Abdul Ala menjadi saksi atas lafaz tersebut karena
matan hadis Washil tidak memuat lafaz yang dimaksud.
Kembali ke riwayat Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya maka kami katakan tidak ada
penjelasan dari Ibnu Syawdzab kalau lafaz tersebut milik syaikh-nya yang mana. Bisa saja
memang dari ketiga syaikh-nya tetapi bisa saja dari salah satu syaikhnya. Poin kami disini
kemungkinan dhaif itu ada apalagi Ibnu Syawdzab terbukti melakukan tadlis maka bisa saja
disini lafaz matan itu milik Mathar Al Waraaq tetapi Ibnu Syawdzab menggabungkan sanadnya
dengan syaikh-nya yang lain.
Anehnya, ada metode pilih-pilih perawi saat orang itu berkata : Terdapat kemungkinan kalau
riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz Iraq ini berasal dari Mathar bin Thahman Al Warraq dan
disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan [At
Taqrib 2/187]. Mengapa harus Mathar bin Thahmaan ? Ya, karena ia adalah perawi yang paling
mungkin untuk dijadikan alasan pendlaifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini
diikuti (punya mutabaah) dari Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Lucu sekali salafy ini, kami telah panjang lebar menjelaskan dan jelas-jelas kami katakan
disitu terdapat kemungkinan kalau lafaz tersebut berasal dari Mathar Al Warraq. Kami tidak
berani memastikan tetapi kami menunjukkan kemungkinan ini apalagi telah kami kutip perkataan
Abu Nuaim


Begitulah riwayat Dhamrah dari Ibnu Syawdzab dari Taubah dan telah meriwayatkan Walid bin
Mazyad dari Ibnu Syawdzab dari Mathar dari Tawbah [Hilyatul Auliya 6/133]
Perhatikan baik-baik disini Abu Nuaim hanya menyebutkan Mathar padahal setelah itu ia
menyebutkan hadis Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya. Mengapa Abu Nuaim hanya
menyebutkan Mathar dalam komentarnya di atas?. Mengapa Abu Nuaim tidak menyebutkan
Abdullah bin Qasim dan Katsir Abu Sahl?. Abu Nuaim pilih-pilih perawi?. Bagi kami disini
terdapat isyarat kalau matan tersebut adalah milik Mathar Al Warraq. Kemungkinan dhaif yang
kami paparkan disini menjadi illat [cacat] karena hadis ini bertentangan dengan hadis shahih
kalau tempat keluarnya fitnah tersebut adalah Najd. Jadi pada awalnya kami menganggap hadis
Iraq matannya mungkar sehingga kemungkinan dhaif atau illat yang seperti itu sudah cukup
menjadi alasan kalau hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah
.

.
.
Hadis Salim bin Abdullah bin Umar

) (



}
[ 40 / / 20 ] {
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar bin Abaan, Waashil bin Abdul Alaa, dan
Ahmad bin Umar Al Wakiiiy [dan lafaznya adalah lafaz Ibnu Abaan] ketiganya berkata telah
menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya yang berkata Aku mendengar Saalim bin
Abdillah bin Umar berkata Wahai penduduk Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil
dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah
bin Umar berkata Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi wa salam bersabda
Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini ia menunjukkan tangannya ke arah timur dari arah
munculya dua tanduk setan. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musaa hanya
membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Firaun itu karena tidak sengaja.
Lalu Allah azza wa jalla berfirman padanya Dan kamu pernah membunuh seorang manusia,
lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan. [Thaahaa: 40]. Berkata Ahmad bin Umar dalam riwayatnya dari Salim tanpa
mengatakan aku mendengar [Shahih Muslim 4/2228 no 2905].
Hadis ini shahih dan menunjukkan kalau Salim bin Abdullah bin Umar sedang mengingatkan
penduduk Iraq atas sikap mereka. Perhatikan baik-baik perkataan Salim terhadap penduduk Iraq
hanya berupa kata-kata Wahai penduduk Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan
aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar selebihnya ia menyebutkan hadis Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang fitnah sampai akhir hadis. Jadi sangat wajar kalau kami
katakan Salim sedang mengingatkan atas sikap penduduk Irak karena sikap mereka tersebut
dapat menimbulkan fitnah.
Adapun perkataannya bahwa perkataan tabiin tidak menjadi hujjah, maka ini bukan konteksnya.
Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam penafsiran hadits. Asal
perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Ini
yang maruf.
Silakan saja, sebagai suatu penafsiran maka itu mengandung kemungkinan benar atau salah.
Apalagi jika hadis yang dimaksud terkait dengan ramalan maka penafsiran Salim tidak bersifat
mutlak. Kaidah perkataan perawi terhadap hadis yang dibawakannya lebih didahulukan jelas
tidak relevan disini karena perkara yang ada dalam hadis Salim adalah Nubuwat atau ramalan,
bisa jadi si perawi kurang memahami hadis tersebut karena dimasa ia hidup belum nampak
nubuwatnya. Diketahui dari hadis shahih yang diriwayatkan oleh Salim sendiri bahwa arah timur
yang dimaksud dalam hadis tanduk setan adalah arah matahari terbit sedangkan Irak tidak
terletak pada arah matahari terbit dari Madinah. Berdasarkan fakta yang ada sekarang Irak
terletak di arah timur laut yang lebih dekat ke utara dari Madinah. Sejak kapan matahari terbit
dari arah ini di madinah. Silakan bagi siapa yang berminat untuk pergi ke Madinah dan lihat
dimana arah matahari terbit disana, kemudian teruslah berjalan menelusuri arah itu. Apakah
akan sampai di Irak? silakan pembaca menjawabnya sendiri.

Lagipula terdapat hadis lain riwayat Nafi dari Ibnu Umar kalau tempat yang dimaksud adalah
Najd dan ini sesuai dengan hadis Salim bahwa tempat tersebut terletak pada arah matahari
terbit dari Madinah. Jadi bisa saja Salim tidak mengetahui dengan tepat arah yang dimaksud
[karena keterbatasan ilmu alam saat itu] dan bisa saja Salim tidak mengetahui hadis Najd yang
diriwayatkan oleh Nafi. Yang ia tahu adalah hadis dengan lafaz timur sehingga ia menafsirkan
timur disini bisa termasuk Irak. Oleh karena itu kami katakan perkataan tabiin tidak menjadi
hujjah disini karena yang menjadi hujjah adalah hadis shahih Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam. Terakhir ada hadis pamungkas yang dijadikan hujjah oleh salafiyun bahwa timur yang
dimaksud Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah Iraq.




Telah menceritakan kepada kami Abdullah telah menceritakan kepadaku ayahku [Ahmad bin
Hanbal] yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah
menceritakan kepada kami Hanzalah dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Ibnu Umar yang
berkata aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallammengisyaratkan tangannya ke
Iraq [dan bersabda] fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, tiga kali dari arah munculnya
tanduk setan [Musnad Ahmad 2/143 no 6302]
Hadis ini khata [salah] dan kesalahan ini kemungkinan berasal dari Ibnu Numair [atau bisa
saja terjadi tashif]. Telah diriwayatkan dari Salim, Nafi dan Abdullah bin Dinar dari Ibnu
Umar semuanya dengan lafaz timur dan telah diriwayatkan dari jamaah tsiqat dari Salim hadis
tersebut semuanya dengan lafaz timur bukan Iraq bahkan Hanzalah bin Abi Sufyan sendiri juga
meriwayatkan dari Salim hadis denganlafaz timur. Disebutkan dalam Shahih Muslim 4/2228 no
2905 dan Musnad Ahmad 2/40 no 4980 riwayat Ishaq bin Sulaiman dari Hanzalah bin Abi Sufyan
dari Salim dari ayahnya secara marfu dengan lafaz timur





Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku
yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman yang berkata aku mendengar
Hanzalah berkata aku mendengar Salim berkata aku mendengar Abdullah bin Umar berkata
aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya ke arah timur
atau [Ibnu Umar] berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengisyaratkan tangannya ke
arah timur dan bersabda fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini
dari arah munculnya tanduk setan [Musnad Ahmad 2/40 no 4980]
Riwayat Ishaq bin Sulaiman Ar Razi dari Hanzalah ini sesuai dengan riwayat shahih yang lain
dimana disebutkan dengan lafaz timur. Ishaq bin Sulaiman adalah seorang yang tsiqat dan
memiliki keutamaan [At Taqrib 1/81] sedangkan Abdullah bin Numair adalah seorang yang tsiqat
[At Taqrib 1/542]. Jadi riwayat Ishaq bin Sulaiman dari Hanzalah lebih didahulukan daripada
riwayat Ibnu Numair.
Selain itu bukti kalau hadis ini khata adalah pada hadis Muslim dimana Salim mengingatkan
penduduk Iraq, Salim sendiri tidak mengutip hadis ini padahal hadis ini mengandung lafaz Iraq.
Salim malah membawakan hadis dengan lafaz timur yang menunjukkan bahwa lafaz timur itulah
yang tsabit sedangkan lafaz Iraq adalah kesalahan dari perawinya. Bukankah kalau mau

mengingatkan penduduk Irak maka digunakan hadis yang memang menunjukkan kata Irak. Ada
baiknya salafy itu melihat hadis berikut



Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami
Juwairiah dari Nafi dari Abdullah radiallahuanhu yang berkata Nabi shallallahu alaihi wasallam
berdiri menyampaikan khutbah kemudian Beliauberisyarat menunjuk tempat tinggal Aisyah dan
berkata disini fitnah tiga kali dari arah munculnya tanduk setan [Shahih Bukhari no 2937]
Hadis dengan lafaz seperti ini anehnya ditolak oleh para salafiyun dengan alasan telah
diriwayatkan oleh jamaah dengan lafaz timur dan itulah yang tsabit. Pada hadis ini dikatakan
kalau yang sebenarnya ditunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah arah timur. Kalau
tempat tinggal Aisyah yang sangat dekat itu saja bisa terjadi salah persepsi maka apalagi hadis
dengan lafaz Iraq. Karena telah maruf bahwa Iraq itu terletak sangat jauh dari Madinah. Jadi jika
Nabi shallallahu alaihi wasallam mengarahkan tangannya ke suatu arah maka yang dipersepsi
oleh mereka yang melihat adalah arah seperti arah timur atau barat. Jika memang tempatnya
dekat seperti rumah Aisyah ra, rumah Hafsah ra atau rumah salah satu sahabat ra maka mereka
yang melihat dapat mengetahui bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam memang menunjuk ke
tempat tersebut. Tetapi jika tempat yang dimaksud adalah Iraq yang jauh sekali dari
Madinah, bagaimana mungkin orang tahu kalau yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam adalah Iraq padahal dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak ada
disebutkan Iraq, disinilah keanehan lafaz tersebut. Sudah jelas bahwa hadis-hadis shahih dari
Ibnu Umar [termasuk riwayat Salim] menyebutkan kalau Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengisyaratkan tangannya ke arah timur dan timur yang dimaksud disini adalah arah matahari
terbit arah munculnya tanduk setan dan sekali lagi Irak tidak terletak pada arah matahari terbit
dari Madinah.
Soal pernyataan salafy bahwa para ulama terdahulu menjelaskan kalau tempat yang dimaksud
adalah Irak maka kami katakan terdapat juga ulama yang mengatakan kalau tempat yang ada
pada hadis fitnah itu adalah tepat di timur Madinah termasuk Najd. Kami sebelumnya sudah
mengutip pernyataan Ibnu Hibban dimana ia setelah mengutip hadis tanduk setan menyebutkan
kalau timur yang dimaksud adalah timur madinah yaitu bahrain tempat keluarnya Musailamah
yang pertama kali membuat bidah di dalam islam dengan mengaku sebagai Nabi [Shahih Ibnu
Hibban 15/24 no 6648]
.
.
.
Kesimpulan
Kesimpulannya hadis tanduk setan dengan lafaz Iraq tidaklah shahih baik dari segi matan
maupun sanad, sebagiannya dhaif dan sebagian mengandung illat. Seandainya kita menutup
mata terhadap illat [cacat] tersebut, itu tetap saja tidak mendukung hujjah salafy. Karena itu
berarti ada dua hadis yang menunjukkan tempat munculnya fitnah yaitu Najd dan Irak. Jika
kedua hadis tersebut diterima maka ada dua tempat dimana munculnya fitnah yang dimaksud
oleh hadis tersebut yaitu Najd dan Irak. Sedangkan logika salafy kalau Najd adalah Irak sudah
jelas fallacy. Adakah salafy memahami hal ini? Tidak tidak dan tidak, sejak kapan salafy bisa
memahami logika berpikir yang baik. Kebanyakan mereka hanya sibuk membaca kitab dan sibuk
membantah disana-sini tapi cara berpikir benar tidak dipelajari dengan baik. Akibatnya sangat

susah berdialog dengan mereka yang ngaku-ngaku salafy, sudah ditunjukkan kalau mereka
fallacy ya tetap tidak paham dan berulang-ulang mereka membantah kembali hal yang
sama. Salam Damai

Anda mungkin juga menyukai