Anda di halaman 1dari 10

mungkin ini cerita pernah kamu dengar..

Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari
kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati
kebebasannya. Di perjalanan ia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun ia keheranan
kenapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.
Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, Mengapa kau bisa melompat
lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh?
Belalang itupun menjawabnya, Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang
hidup dialam bebas pasti bisa melakukan seperti yang aku lakukan.Saat itu si belalang baru
tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang selama ini membuat lompatannya tidak sejauh dan
setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.
Kadang-kadang kita sebagai manusia tanpa sadar pernah juga mengalami hal yang sama dengan
belalang. Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan
teman, atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang
mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah kamu separah itu? Bahkan lebih
buruk lagi, kita lebih memilih untuk mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Tidakkah kamu pernah mempertanyakan kepada hati nurani bahwa kamu bisa melompat lebih
tinggi dan lebih jauh kalau kamu mau menyingkirkan kotak itu? Tidakkah kamu ingin
membebaskan diri agar kamu bisa mencapai sesuatu yang selama ini kamu anggap diluar batas
kemampuan kamu?
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya
menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai
apapun yang kamu ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tetapi bila kamu sudah sampai
kepuncak, semua pengorbanan itu pasti terbayar.
Kehidupan kamu akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan kamu. Bukan cara hidup
yang seperti mereka pilihkan untuk kamu

Ikan Kecil dan Air


Suatu hari seorang anak dan ayahnya sedang duduk berbincang-bincang ditepi sungai. Kata ayah
kepada anaknya, Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua
akan mati.
Pada saat yang bersamaan seekor ikan kecil mendengarkan percakapan itu dari bawah
permukaan air, ia mendadak menjadi gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu
penting dalam kehidupan ini. Ikan kecil ini berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil
bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya. Hai, tahukah kamu dimana air itu? Aku telah
mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.
Ternyata semua ikan tidak ada yang mengetahui dimana air itu, si ikan kecil mulai gelisah, lalu ia
berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang sudah berpengalaman, kepada
ikan sepuh itu, ikan kecil ini menanyakan hal yang serupa, Dimanakah air itu?
Jawaban ikan sepuh adalah, Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga
bahkan kamu tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita akan mati.
Apa arti cerita tersebut diatas? Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan kecil,
mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya,
kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai tidak menyadarinya.

Hargai Hidupmu, Kawan


Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup sebatang kara. Pendidikan rendah, hidup dari bekerja
sebagai buruh tani milik tuan tanah yang kaya raya. Walaupun hidupnya sederhana tetapi
sesungguhnya dia bisa melewati kesehariannya dengan baik.
Pada suatu ketika, si pemuda merasa jenuh dengan kehidupannya. Dia tidak mengerti, untuk apa
sebenarnya hidup di dunia ini. Setiap hari bekerja di ladang orang demi sesuap nasi. Hanya
sekadar melewati hari untuk menunggu kapan akan mati. Pemuda itu merasa hampa, putus asa,
dan tidak memiliki arti.
"Daripada tidak tahu hidup untuk apa dan hanya menunggu mati, lebih baik aku mengakhiri saja
kehidupan ini," katanya dalam hati. Disiapkannya seutas tali dan dia berniat menggantung diri di
sebatang pohon.
Pohon yang dituju, saat melihat gelagat seperti itu, tiba-tiba menyela lembut. "Anak muda yang
tampan dan baik hati, tolong jangan menggantung diri di dahanku yang telah berumur ini.
Sayang, bila dia patah. Padahal setiap pagi ada banyak burung yang hinggap di situ, bernyanyi
riang untuk menghibur siapapun yang berada di sekitar sini."
Dengan bersungut-sungut, si pemuda pergi melanjutkan memilih pohon yang lain, tidak jauh dari
situ. Saat bersiap-siap, kembali terdengar suara lirih si pohon, "Hai anak muda. Kamu lihat di
atas sini, ada sarang tawon yang sedang dikerjakan oleh begitu banyak lebah dengan tekun dan
rajin. Jika kamu mau bunuh diri, silakan pindah ke tempat lain. Kasihanilah lebah dan manusia
yang telah bekerja keras tetapi tidak dapat menikmati hasilnya."
Sekali lagi, tanpa menjawab sepatah kata pun, si pemuda berjalan mencari pohon yang lain. Kata
yang didengarpun tidak jauh berbeda, "Anak muda, karena rindangnya daunku, banyak
dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk sekadar beristirahat atau berteduh di bawah
dedaunanku. Tolong jangan mati di sini."
Setelah pohon yang ketiga kalinya, si pemuda termenung dan berpikir, "Bahkan sebatang
pohonpun begitu menghargai kehidupan ini. Mereka menyayangi dirinya sendiri agar tidak
patah, tidak terusik, dan tetap rindang untuk bisa melindungi alam dan bermanfaat bagi makhluk
lain".
Segera timbul kesadaran baru. "Aku manusia; masih muda, kuat, dan sehat. Tidak pantas aku
melenyapkan kehidupanku sendiri. Mulai sekarang, aku harus punya cita-cita dan akan bekerja
dengan baik untuk bisa pula bermanfaat bagi makhluk lain".
Si pemuda pun pulang ke rumahnya dengan penuh semangat dan perasaan lega.

Semangkuk Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan
menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa kecewa hati si Putri,
meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana.
Putri kesal, marah, dan jengkel.
"Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya sendiri,
sungguh keterlaluan," gerutunya dalam hati. "Ini semua pasti gara-gara adinda sakit semalam
sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!"

Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada yang
memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.
Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja. Perut kosong
dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan sembarangan. Saat melewati
sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar
perutnya! Dia menatap nanar kepulan asap di atas semangkuk bakso.
"Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso.
"Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang," jawabnya tersipu malu.
"Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso yang super
enak."
Putri pun segera duduk di dalam.
Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "Lho, kenapa menangis, neng?" tanya si abang.
"Saya jadi ingat ibu saya, bang. Sebenarnya... hari ini ulang tahun saya. Malah abang, yang tidak
saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apalagi
memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa, bang."
"Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu sampai
nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari neng bayi sampai
segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin orangtua sendiri neng, ntar
nyesel lho."
Putri seketika tersadar, "Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?"
Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas pergi. Setiba di
rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus lega,
"Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Putri, selamat
ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri. Putri pasti lapar kan? Ayo
nikmati semua itu."
"Ibu, maafkan Putri, Bu," Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan yang
membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik dan
paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan pesta kejutan untuk putri kesayangannya.
Guys,
Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari orang lain, sering
kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya, kadang kasih dan kepedulian
tanpa syarat yang diberikan oleh orangtua dan saudara tidak tampak di mata kita. Seolah menjadi
kewajiban orangtua untuk selalu berada di posisi siap membantu, kapan pun.
Bahkan, jika hal itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak sayanglah, yang tidak
mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan sedih, marah, dan kecewa yang hanya merugikan
diri sendiri. Maka untuk itu, kita butuh untuk belajar dan belajar mengendalikan diri, agar kita
mampu hidup secara harmonis dengan keluarga, orangtua, saudara, dan dengan masyarakat
lainnya.

Pesan Ibu
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan
sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue
menghampirinya, "Kak, beli kue kak, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.
Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.
Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan
menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata,
"Tidak Dik, saya sudah kenyang."
Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang,
Kak."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya
dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini
anggap saja sedekah dari saya."
Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan
uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.
Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia
langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu
berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu
berikan ke si pengemis itu?"
"Kak, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk
mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue
ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang
dari Kakak bukan hasil dari menjual kue. Tadi kakak bilang, uang sedekah, maka uangnya saya
berikan kepada pengemis itu."
Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak
kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung
dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini.
Sampaikan salam saya kepada ibumu."
Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira
diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Ibu saya pasti akan gembira sekali,
hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."
Guys,
Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun
mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan
mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan
membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani
kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal
menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang
mampu kita ukir dengan gemilang.

Bersyukur dan Bahagia


Alkisah, ada seorang pedagang kaya yang merasa dirinya tidak bahagia. Dari pagi-pagi buta, dia
telah bangun dan mulai bekerja. Siang hari bertemu dengan orang-orang untuk membeli atau
menjual barang. Hingga malam hari, dia masih sibuk dengan buku catatan dan mesin hitungnya.
Menjelang tidur, dia masih memikirkan rencana kerja untuk keesokan harinya. Begitu hari-hari
berlalu.
Suatu pagi sehabis mandi, saat berkaca, tiba-tiba dia kaget saat menyadari rambutnya mulai
menipis dan berwarna abu-abu. "Akh. Aku sudah menua. Setiap hari aku bekerja, telah
menghasilkan kekayaan begitu besar! Tetapi kenapa aku tidak bahagia? Ke mana saja aku selama
ini?"
Setelah menimbang, si pedagang memutuskan untuk pergi meninggalkan semua kesibukannya
dan melihat kehidupan di luar sana. Dia berpakaian layaknya rakyat biasa dan membaur ke
tempat keramaian.
"Duh, hidup begitu susah, begitu tidak adil! Kita telah bekerja dari pagi hingga sore, tetapi tetap
saja miskin dan kurang," terdengar sebagian penduduk berkeluh kesah.
Di tempat lain, dia mendengar seorang saudagar kaya; walaupun harta berkecukupan, tetapi
tampak sedang sibuk berkata-kata kotor dan memaki dengan garang. Tampaknya dia juga tidak
bahagia.
Si pedagang meneruskan perjalanannya hingga tiba di tepi sebuah hutan. Saat dia berniat untuk
beristirahat sejenak di situ, tiba-tiba telinganya menangkap gerak langkah seseorang dan teriakan
lantang, "Huah! Tuhan, terima kasih. Hari ini aku telah mampu menyelesaikan tugasku dengan
baik. Hari ini aku telah pula makan dengan kenyang dan nikmat. Terima kasih Tuhan, Engkau
telah menyertaiku dalam setiap langkahku. Dan sekarang, saatnya hambamu hendak
beristirahat."
Setelah tertegun beberapa saat dan menyimak suara lantang itu, si pedagang bergegas
mendatangi asal suara tadi. Terlihat seorang pemuda berbaju lusuh telentang di rerumputan.
Matanya terpejam. Wajahnya begitu bersahaja.
Mendengar suara di sekitarnya, dia terbangun. Dengan tersenyum dia menyapa ramah, "Hai, Pak
Tua. Silahkan beristirahat di sini."
"Terima kasih, Anak Muda. Boleh bapak bertanya?" tanya si pedagang.
"Silakan."
"Apakah kerjamu setiap hari seperti ini?"
"Tidak, Pak Tua. Menurutku, tak peduli apapun pekerjaan itu, asalkan setiap hari aku bisa
bekerja dengan sebaik2nya dan pastinya aku tidak harus mengerjakan hal sama setiap hari. Aku
senang, orang yang kubantu senang, orang yang membantuku juga senang, pasti Allah juga
senang di atas sana. Ya kan? Dan akhirnya, aku perlu bersyukur dan berterima kasih kepada
Allah atas semua pemberiannya ini".
Teman-teman,

Kenyataan di kehidupan ini, kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan sebesar apapun tidak menjamin
rasa bahagia. Bisa kita baca kisah hidup seorang maha bintang Michael Jackson yang meninggal
belum lama ini, yang berhutang di antara kelimpahan kekayaannya. Dia hidup menyendiri dan
kesepian di tengah keramaian penggemarnya; tidak bahagia di tengah hiruk pikuk bumi yang
diperjuangkannya.
Entah seberapa kontroversial kehidupan Jacko. Tetapi, yah... setidaknya, dia telah berusaha
berbuat yang terbaik dari dirinya untuk umat manusia lainnya.
Mari, jangan menjadi budaknya materi. Mampu bersyukur merupakan kebutuhan manusia. Mari
kita berusaha memberikan yang terbaik bagi diri kita sendiri, lingkungan kita, dan bagi manusiamanusia lainnya. Sehingga, kita senantiasa bisa menikmati hidup ini penuh dengan sukacita,
syukur, dan bahagia.

Cerita Rakyat Putri Tandampalik


Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau
Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu
Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan
bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu
adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang
sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah
diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat
jauh dari Luwu.
Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus
beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik.
Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak
dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut
ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita.
Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima
pinangan itu. Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita, pikir Datu Luwu.
Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan
dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang
diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat
mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan
jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan
mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.

Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit.
Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat
menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit
menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung
kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka
cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu
Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan
tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih
Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada
ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya.
Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik,
sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah


pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur.
Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya
di tempat itu. Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo, kata Putri Tandampalik. Sejak saat
itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai
dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat
dan gembira.

Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih
menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri
Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus
menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair
di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih
seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya
telah sembuh. Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan
kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh, kata Putri Tandampalik
pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh
semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo
dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.
Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang
tampan. Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat
seperti ini? tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan
semuanya. Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ? tanya Putri
Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, Putri
Tandampalik maukah engkau menjadi istriku? Sebelum Putri Tandampalik sempat
menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya
merupakan tanda baik baginya.
Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia
ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa
pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah
terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota
tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus
terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri
untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah
perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota
memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat
seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak
lain adalah Putri Tandampalik.

Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ? pikir putra Mahkota. Merasa ada
yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap, rasanya dialah
pemuda yang ada dalam mimpiku, pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan.
Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang
kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski
ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra
Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong.
Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan
langsing menaruh hati.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya
karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah
dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu.
Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng,
Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu,
mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering
melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru
Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang
mereka alami di pulau Wajo. Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri
Tandampalik, kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim
utusan untuk meminang Putri Tandampalik.

Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung
menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu
yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila
keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra
Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari
dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan
Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan
menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.

Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu
Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata
lembut, sopan dan penuh semangat.
Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu
Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan
anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat
mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi
sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit
menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra
Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra
Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai