Anda di halaman 1dari 40

BAB I

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN

NO RM
: 33 29 03
NAMA
: Ny s
UMUR
: 63 Tahun
AGAMA
: ISLAM
JENIS KELAMIN : Perempuan
PEKERJAAN : ALAMAT
: JL. Kesatriaan IX no 02

A ANAMNESIS
Dilakukan secara autonanmnesis.
Keluhan Utama
Muntah muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
1 - 2 minggu SMRS pasien mengeluh rasa tidak enak pada badan,nyeri ulu hati, Pasien juga
mengeluhkan mual disertai dengan muntah. Mual dan muntah dirasakan pasien sejak
munculnya nyeri di perut di ulu hati, mual dan muntah bertambah parah dan berkurang
bersama nyeri tersebut dan pada saat mengkonsumsi makanan atau minuman. Keadaan ini
mengakibatkan penurunan nafsu makan pasien.sakit kepala, sakit dirasakan pada seluruh
kepala keluhan disertai dengan demam. Lalu pasien berobat ke klinik, di klinik pasien
diukur suhu badannya 38oC dan pasien mendapatkan obat ranitidin,paracetamol,antasida.
keluhan pasien mulai membaik. Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah badan terasa
lemas yang juga dirasakan sejak 5 hari yang lalu. Rasa lemas ini dirasakan sebagai rasa
kurang bertenaga dan mudah lelah apabila melakukan aktifitas ringan sekalipun. Keluhan
ini muncul secara perlahan-lahan dan berlangsung sepanjang hari serta semakin hari
dirasakan semakin berat sehingga beberapa hari terakhir pasien tidak dapat melakukan
aktifitas sehari-harinya. Rasa lemas ini tidak berkurang meskipun pasien telah cukup lama
beristirahat (>6 jam). Keluhan ini semakin diperberat dengan nafsu makan pasien yang
berkurang.
4 5 hari SMRS pasien masih mengeluh mual dan muntah, muntah berisi makanan yang
dimakan, buang air kecil berwarna kuning gelap seperti air teh yang dirasakan sejak 4 hari
yang lalu.Warna air kencing seperti ini terlihat tidak ada perubahan warna, dan terus
menerus dengan jumlah yang banyak. Saat kencing tidak disertai rasa sakit pada daerah

perut bagian bawah, tidak terasa perih, tidak terasa panas, maupun adanya gangguan
kencing seperti kencing anyang-anyangan, kencing yang sulit keluar atau kencing yang sulit
ditahan. Pasien juga mengaku kencingnya tidak berwarna kemerahan. Buang air besar
berwarna putih seperti dempul tidak ada. Keluhan tidak disertai dengan gatal-gatal di
seluruh, tubuh. Keluhan juga tidak disertai dengan panas badan, mata penderita kemerahan,
adanya bintik-bintik perdarahan di kulit, nyeri pada otot betis.Mata pasien berwarna kuning
Warna kuning ini muncul secara perlahan-lahan dan terus-menerus serta dirasakan semakin
lama semakin bertambah. Semula berwarna kuning keputihan, kemudian menjadi kuning
sedikit gelap. Warna kuning ini tidak tampak pada kulit muka dan telapak tangan pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit Jantung

: Disangkal

Riwayat penyakit Paru

: Disangkal

Riwayat penyakit kencing manis

: Disangkal

Riwayat penyakit kuning

: Disangkal

Riwayat operasi

: Disangkal

Riwayat alergi

: Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal adanya riwayat penyakit seperti pasien, darah tinggi, kencing manis.
Riwayat Kebiasaan

Riwayat minum obat-obatan


Riwayat merokok
Kebiasaan minum alkohol

: disangkal
: disangkal
: disangkal

B PEMERIKSAAN
Status Generalis
Keadaan Umum

Tampak sakit sedang

Kesadaran

Kesadaran compos mentis,

GCS
Tanda Vital

:
:

GCS: 15 ; E4V5M6
TD : 110/70 mmHg
N

: 96x/mnt

RR : 22x/mnt

: 36,9o C

Kulit

Turgor kulit baik

Kepala

Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak


mudah dicabut.

Mata

Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera


ikterik +/+, pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya

Telinga

+/+, reflek kornea +/+


Bentuk normal, simetris, serumen -/-

Hidung

Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-

Mulut

Faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang, deviasi (-)

Leher

Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada


deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar getah

Dada

bening, tidak ada peningkatan JVP, kaku kuduk (-)


Pulmo : I = Normochest, dinding dada simetris
P = Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dinding dada
simetris
P

= Sonor di kedua lapang paru

Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),

wheezing (-/-)
Cor

I = Tidak tampak ictus cordis

P = Iktus cordis tidak teraba


P = Batas atas ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri ICS VI linea midklavicula sinistra
Batas kanan ICS IV linea stemalis dextra
A
Abdomen

BJ I dan II reguler, Gallop

-/-, Murmur -/I = Supel


P = Dinding perut supel, turgor kulit baik
Hepar Lien tidah teraba membesar, Murphy
sign (-), CVA (-)
P

= Timpani seluruh lapang abdomen

= Bising usus (+) N

Ekstremitas

Edema (-), sianosis (-), atrofi otot (-), capillary refill


<2detik, akral hangat pada kedua ekstremitas atas dan
kedua ekstremitas bawah.

C PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
24 november 2015
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
LENGKAP
Hemoglobin
Jumlah Leukosit
Jumlah Hematokrit
Jumlah trombosit
LED
HITUNG JENIS
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
KIMIA DARAH
FUNGSI GINJAL
Ureum
Creatinin
DIABETES
Glukosa Sewaktu
ELEKTROLIT
(Na,K,Cl)
Kalium
Natrium
klorida

HASIL

NILAI REFERENSI

14,4
11,8
44
346
60

13,2 17,3 g/dl


3,8 10,6 ribu/ul
40 52 %
150 440 ribu/ul
< 20 mm/jam

0
0
2
85
12
1

<1 %
<3 %
<6%
50 70 %
20 40 %
<8%

39
0,87

10 - 50 mg/dl
0,6-1,1 mg/dl

120

<140 mg/dl

4,1
151
112

3,5 5 mmol/L
135 145 mmol/L
98 106 mmol/L

25 november 2015
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai referensi

9.32
3,68
5.64

0,3 1 mg/dl
<0,4 mg/dl
<0,6 mg/dl

KIMIA DARAH
FUNGSI HATI
BILIRUBIN
Total
Direk
Indirek

SGOT/ASAT
SGPT/ALAT
FUNGSI GINJAL
Uric Acid
LEMAK
Triglyserida
Total cholesterol
HCL cholesterol
LDL cholesterol

278
274

<25 U/l
<31 U/l

3.8

2 -7 mg/dl

125
244
35
184

< 150 mg/dl


< 200 mg/dl
35 73 mg/dl
<155 mg/dl

Hasil

Referensi

Non reaktif

Non reaktif

Hasil

Referensi

Non reaktif

Non reaktif

Hasil

Referensi

6,3
3,9
2,4

6 8,8 g/dl
3,5 5,3 g/dl
1,3 2,7 g/dl

4,9
1,3
3,6

0,3 1 mg/dl
< 0,4 mg/dl
< 0,6 mg/dl

Kuning jernih
6
1015
Negatif
Negatif
Negatif
Normal

Kuning jernih
4,8 7,4
1015 1025
Negatif
Negatif
Negatif
Normal

26 november 2015
Jenis pemeriksaan
IMMUNOLOGI
Screening
HBsAg

27 november 2015
Jenis pemeriksaan
IMUNOLOGI
VIRUS HEPATITIS
Anti HAV IgM

28 november 2015
Jenis pemeriksaan
FUNGSI HATI
PROTEIN
Protein Total
Albumin
Globulin
BILIRUBIN
Total
Direk
Indirek
URIN
Warna
Ph
Berat jenis
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen

Bilirubin
Darah
Nitrit
Leukosit
SEDIMEN
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Jamur
Bakteri

Positif 1(+)
Negatif
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

02
04
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif

<1 /LPB
1 4 /LPB
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif

DIAGNOSIS KERJA :
-

Suspek hepatitis akut


Gastritis

DIAGNOSIS BANDING
Kolesistitis akut
TERAPI
-IVFD RL 6 kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x 1 amp
- inj Omeprazol 2 x1 amp
-inpepsa 3 x 1c
- pct 3 x1

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal
25/11/15

Subjective
Kepala pusing

Objective
KU : TSS

(+), perut sakit

Kes : CM

(-), mual

TD :90/70 mmHg

(-),muntah (-)

N : 78 x/menit

Assesment
- Suspek
hepatitis
akut
- gastritis

Planning
-IVFD RL 6
kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x
1 amp

S : 36,5 C
RR : 20 x/menit

- inj Omeprazol 2 x1

Mata : CA (-/-), SI (+/

amp

+)

-inpepsa 3 x 1c

THT : DBN
- pct 3 x1

Thorax
C : BJI II reguler,
murmur (-),gallop (-)
P : Vesikuler +/+
wheezing +/+, rhonki
-/Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas : akaral
hangat(+),edema(-)
26/11/15

Pusing

KU:TSS

(+),mual(+),

Kes: CM

muntah(-)

TD: 110/70 mmHg, N


: 81 x/menit,
S : 36,5 C,

Suspek
hepatitis
akut
gastritis

-IVFD RL 6
kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x
1 amp

RR : 21 x/menit

- inj Omeprazol 2 x1

Mata : CA (-/-),SI(+/

amp

+)

-inpepsa 3 x 1c

THT :DBN
Thorax

- pct 3 x1

C : BJI-II regular,
murmur (-),gallop()
P : vesikuler (+/+)
wheezing (+/+),
rhonki (-/-)
Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas : akaral
27/11/15

Lemas (+), mual

hangat(+),edema(-)
KU :baik

(+), muntah (-)

Kes : CM
TD 100/60 mmHg,

Suspek
hepatitis
akut
gastritis

N : 80 x/menit,

-IVFD RL 6
kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x
1 amp

S : 36 C,
RR : 20 x/menit

- inj Omeprazol 2 x1

Mata : CA (-/-),SI(+/

amp

+)

-inpepsa 3 x 1c

THT :DBN
- pct 3 x1

Thorax
C : BJI-II regular,
murmur (-),gallop()
P : vesikuler (+/+)
wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas :akral
28/11/15

Lemas (+), mual

hangat (+),edema(-)
KU :baik

(+)

Kes : CM

Suspek
hepatitis

-IVFD RL 6
kolf/24jam

TD 100/60 mmHg,
N : 80 x/menit,

akut
gastritis

S : 36 C,

- inj ondancentron 3 x
1 amp
- inj Omeprazol 2 x1

RR : 20 x/menit

amp

Mata : CA (-/-),SI(+/
-inpepsa 3 x 1c

+)
THT :DBN

- pct 3 x1

Thorax
C : BJI-II regular,
murmur (-),gallop()
P : vesikuler (+/+)
wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas :akral
29/11/15

Lemas (+)

hangat (+),edema(-)
KU :baik

Pusing (-) mual

Kes : CM

(-) muntah (-)

TD 120/70 mmHg,
N : 74 x/menit,
S : 36 C,

Suspek
hepatitis
akut
gastritis

-IVFD RL 6
kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x
1 amp

RR : 22 x/menit

- inj Omeprazol 2 x1

Mata : CA (-/-),SI(+/

amp

+)

-inpepsa 3 x 1c

THT :DBN
Thorax
C : BJI-II regular,
murmur (-),gallop()
P : vesikuler (+/+)
wheezing (-/-), rhonki

- pct 3 x1

(-/-)
Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas :akral
30/11/15

Mual (+), pusing

hangat (+),edema(-)
KU :TSS

berputar

Kes : CM
TD 120/80 mmHg,

Suspek
hepatitis
akut
gastritis

N : 91 x/menit,
S : 36,3 C,

-IVFD RL 6
kolf/24jam
- inj ondancentron 3 x
1 amp

RR : 20 x/menit

- inj Omeprazol 2 x1

Mata : CA (-/-),SI(+/

amp

+)

-inpepsa 3 x 1c

THT :DBN
Thorax
C : BJI-II regular,
murmur (-),gallop()
P : vesikuler (+/+)
wheezing (-/-), rhonki
(-/-)
Abdomen : BU (+) N,
murphy sign (-),CVA
(-)
Ekstremitas :akral
hangat (+),edema(-)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HEPATITIS VIRUS AKUT

- pct 3 x1

A. Definisi
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Merupakan
masalah kesehatan utama dinegara sedang berkembang dan negara maju. Hampir semua
kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima virus yaitu: virus hepatitis
A(HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HCV), virus
hepatitis E(HEV). Semua jenis hepatitis virus yang menyerang manusia. Virus hepatitis A,
C, D, dan E merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang merupakan virus DNA.
Hepatitis A dan E tidak diketahui menyebabkan sakit kronis, sedang hepatitis B, C, D
menyebabkan morbiditas dan mortalitas penting melalui infeksi kronis.
B. Gejala Hepatitis
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi asimtomatik tanpa kuning
sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian hanya
dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu :
o Fase Inkubasi. Merupakan waktu diantara saat masuknya virus dan saat
timbulnya gejala. Fase ini berbeda beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.
o Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan
pertama dan gejala timbulnya ikterus. Awitannya dapat singkat atau
ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia mudah lelah, gejala
saluran nafas atas dan anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan
dengan perubahan penghidu. Diare dan konstipasi dapat terjadi. Serum
sickness dapat muncul pada hepatitis B akut diawal infeksi. Demam derajat
rendah umumnya terjadi pada hepatitis akut. Nyeri abdomen biasanya ringan
dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat
dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.
o Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak
terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala
prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
o Fase Konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus
dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Munculnya perasaan sudah lebih sehat, kembalinya nafsu makan. Keadaan

akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan
klinis dan laboratorim lengkap terjadi dalam 9 minggu dan 16 minggu untuk
hepatitis B. pada 5%-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit
ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan.
HEPATITIS B
A. Definisi Hepatitis B
Hepatitis B merupakan virus DNA. Virus hepatitis ini memiliki protein permukaan yang
dikenal sebagai hepatitis B surface antigen (HbsAg). Konsentrasi HbsAg ini dapat mencapai
500g/mL darah 109 partikel per milimeter persegi. Dari HbsAg ini dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis bergantung kepada jenis gen didalamnya, dan di setiap geografis memiliki
dominasi gen yang berbeda-beda. Asia di dominasi oleh genotip B dan C. Kemampuan
infeksi, produksi, perusakan hati bergantung pada jenis genotip ini. Genotip B berhubungan
dengan progresifitas yang hebat dari kerusakan hati, dengan gejala yang timbul sering
terlambat, dan berhubungan dengan timbulnya kanker hati. Dari pemeriksaan lain ditemukan
bahwa hepatitis B memiliki antibodi HbeAg di dalam inti selnya, sehigga apabila pasien
dengan HbsAg positif disertai dengan HbeAg positif memiliki kemampuan infeksi dan
menularkan melalui darah (tranfusi darah , ibu-bayi yang dikandung) lebih dari 90%. Dalam
perjalanan penyakit hepatitis B HbeAg akan menurun sejalan dengan perbaikan dari penyakit
tersebut, tetapi apabila dalam 3 bulan tetap positif berarti terjadi suatu infeksi kronis yang
dapat menuju ke arah keganasan.
Penderita dengan HBV akan memiliki kadar HbsAg dalam serum yang meningkat sejalan
dengan perjalanan penyakit, dan akan menurun setelah 1 2 bulan dari akhir gejala, dan
hilang dalam 6 bulan. Setelah HbsAg menghilang akan timbul antibodinya (anti-HBs) yang
akan bertahan dalam tubuh selamanya yang berfungsi untuk mencegah infeksi hepatitis B
kembali. Antibodi lain yang dihasilkan tubuh akibat infeksi hepatitis B adalah anti-HBc,
memiliki fungsi yang sama dengan antibodi hepatitis lainnya tetapi apabila ditemukan dalam
pemeriksaan tidak memberikan makna yang cukup kuat adanya infeksi virus hepatitis. Pada
proses infeksi akut hepatitis B akan timbul juga immunoglobulin yaitu IgM anti-HBc dalam
serum, dan apabila terjadi infeksi kronis akan timbul IgG anti-HBc. Pada penderita hepatitis
B, 1 5% memiliki angka HbsAg yang rendah untuk dapat terukur, sehingga pemeriksaan
IgM anti-HBc dapat digunakan. Pemeriksaan serum HbeAg dapat memperkirakan tingkat
replikasi dan virulensi virus hepatitis B. Infeksi hepatitis B dapat terjadi di luar hati yaitu

pada kelenjar getah bening, sumsum tulang, sel-sel limfosit, limpa dan pankreas.
Kepentingan kondisi ini adalah bahwa tubuh memiliki cadangan hepatitis B walaupun
penderita sudah dilakukan transplantasi jantung. Pada awalnya Hepatitis B diperkirakan
penyebaran melalui produk darah, tetapi setelah dilakukan berbagai penelitian, penyebaran
darah tidak terlalu efektif, penyebaran

yang paling efektif hepatitis B adalah melalui

hubungan seksual dan ibu-bayi yang dikandungnya.


B. Etiologi Hepatitis B
HBV adalah anggota famili hepadnavirus, diameter 42 nm, kelompok virus DNA
hepatotropik non sitopatogenik. Virus hepatitis B terdapat antigen permukaan (HBsAg)
yang membentuk antigen permukaan yang positif kira-kira 2 minggu sebelum timbulnya
gejala klinis dapat menghilang pada masa konvalesen dan dapat pula bertahan selama 4-6
bulan, adanya HBsAg menandakan penderita dapat menularkan HBV ke orang lain.
Terdapat juga antigen partikel Dane (HBcAg) yang merupakan nekleoplasmid virus
hepatitis, tidak rutin terdeteksi, terletak didalam kulit luar HBsAg. Selanjutnya terdapat
antigen e (HBeAG) yang berhubungan erat dengan jumlah partikel virus, nampaknya
merupakan antigen yang spesifik untuk hepatitis B. timbul bersamaan atau segera setelah
HBsAg dan menghilang beberapa minggu sebelum HBsAg menghilang, HBeAg sel alu
ditemukan pada semua infeksi akut, menunjukan adanya replikasi virus dan bahwa penderita
dalam keadaan sangat menular. Replikasi HBV terjadi terutama didalam hati tetapi juga
terjadi dalam limfosit, limpa, ginjal dan pancreas.
Virus hepatitis B adalah berbentuk lingkaran, sebagian beruntai ganda asam deoxyribonucleid
(DNA) virus. Selama replikasi aktif dalam fase awal infeksi, partikel virus muncul dalam
jumlah besar dalam serum dalam dua bentuk; yang pertma adalah virion lengkap diameter 42
nm, yang terdiri dari sebuah amplop, sebuah kapsid dengan protein kapsid, sebuah molekul
DNA sirkuler, dan DNA polimerase, dan yang kedua adalah 22 nm virus amplop kosong,
yang hanya berisi antigen permukaan hepatitis B (HBsAg). Selain itu, antigen larut, hepatitis
B e antigen (HBeAg), yang erat terkait dengan antigen kapsid nonsecretory (hepatitis B
antigen core [HBcAg]), juga muncul dalam serum selama fase replikasi tinggi infeksi VHB.

Gambar 5. Virus Hepatitis B


C. Epidemiologi dan faktor risiko Hepatitis B
Infeksi HBV adalah lazim di Asia, Afrika, Eropa Selatan, dan Amerika Latin, dimana
rentang tingkat HBsAg seropositif 2-20% di wilayah paling. Di daerah hiperendemik, infeksi
HBV terjadi terutama pada bayi dan anak usia dini. Di Taiwan, tingkat HBsAg carrier adalah
sekitar 10-20%. Sebelum pelaksanaan program imunisasi HBV universal, tingkat seropositif
HBsAg pada populasi ini adalah 5% pada bayi dan meningkat menjadi 10% pada 2 tahun,
sisa pada tingkat yang sama setelahnya. Namun, tingkat infeksi, diukur dengan antibodi inti
hepatitis B (anti-HBc) seropositif, mencapai 50% pada usia 15 tahun. ini menunjukkan
bahwa HBsAg carrier paling kronis terinfeksi sebelum 2 tahun pada populasi ini.
Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah tetapi sukar diperkirakan karena sebagiaan
infeksi pada anak tidak bergejala. Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, 50% bayi akan
berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. HBV ditemukan di darah,
semen, secret servikovaginal, saliva, cairan tubuh lain.
Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut. Faktor
risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada anak adalah pemajanan
perinatal terhadap ibu positif-HBsAg. Risiko penularan adalah paling besar jika ibu juga
HBeAg positif, 70-90% dari bayinya menjadi terinfeksi secara kronis jika tidak diobati.
Selama periode neonatal, antigen hepatitis B ada dalam darah 2.5% bayi yang dilahirkan
dari ibu yang terkena sehingga menunjukan bahwa infeksi intra uterin terjadi.
Transmisi perinatal dari ibu HBsAg operator untuk bayi mereka adalah transmisi rute yang
sangat penting. Sekitar 90% bayi dari ibu carrier HBeAg-seropositif menjadi carrier HbsAg,
terlepas dari tingkat carrier HbsAg tinggi atau rendah dalam populasi. Usia infeksi

merupakan faktor penting dalam menentukan hasil infeksi.


Pada kebanyakan kasus antigenemia lebih lambat, memberi kesan bahwa penularan
terjadi pada saat persalinan; virus yang ada dalam cairan amnion atau dalam tinja atau darah
ibu dapat merupakan sumbernya. HBsAg telah diperagakan secara tidak tetap pada ASI ibu
yang terinfeksi. Menyusui bayi yang tidak diimunisasi oleh ibu yang terinfeksi tampak
tidak berisiko hepatitis yang lebih besar pada anaknya daripada minuman buatan
walaupun bahwa putting susu yang pecah-pecah dapat berakibat penelanan bahan darah
terkontaminasi oleh bayi yang sedang menyusu. Faktor risiko penting lain untuk
infeksi HBV pada anak adalah pemberian obat-obat atau produk -produk darah secara
intra vena, perawatan intuisi dan kontak dengan pengidap. Tak ada bukti penyebaran
fekal oral. Masa inkubasinya berkisar dari 15-180 hari (rata-rata 60-90hari).

Gambar 6. Perjalanan serologis hepatitis B


D. Patologi Hepatitis B
Respon akut hati terhadap HBV adalah sama seperti respon akut untuk semua virus
hepatitis. Perubahan histologist yang menetap pada penderita dengan hepatitis B, C, atau D
menunjukan perkembangan penyakit kronis.
E. Patogenesis Hepatitis B

HBV memiliki jangka incubation 2 sampai 6 bulan. Setelah infeksi primer HBV, host dapat
mengalami penyakit yang bersifat akut, fulminan, atau kronis. Interaksi antara host dan virus
menentukan hasil infeksi.
Hepatitis B tidak seperti hepatitis virus lain merupakan virus nonsitopatis yang mungkin
menyebabkan cedera dengan mekanisme yang di perantarai imun. Langkah pertama dalam
proses hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,menyebabkan munculnya antigen
virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen virus ini adalah nukleokapsid,
HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein
histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I,membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T
sitotoksis.
Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan ekstrahepatitis
yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus
DNA biasa dan sederetan strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang
menyebabkan kegagalan mengekspresikan HBeAg dan telah dihubungkan dengan
perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat.
Perjalanan alamiah infeksi hepatitis B
Virus hepatitis B tidak bersifat sitopatik langsung pada sel hepatosit yang terinfeksi.
Kerusakan hepatosit terjadi akibat respon imun yang bekerja menghancurkan sel hepatosit
yang mengandung VHB di dalamnya. Diketahui bahwa HBsAg dan HBcAg dapat berfungsi
sebagai target antigen untul sel T intrahepatik.
Selama infeksi VHB akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi untuk mencapai
pembersihan virus dari tubuh. bersama dengan itu terjadi peningkatan serum transaminase,
dan terbentuk antibodi spesifik terhadap protein VHB, yang terpenting adalah anti-HBs.
Untuk dapat membersihkan VHB dari tubuh seseorang dibutuhkan respons imun non-spesifik
dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera setelah infeksi virus terjadi
mekanisme efektor sistem imun non-spesifik diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini
meningkatkan ekspresi HLA kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB,
sehingga nantinya memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan
melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC) seperti sel makrofag atau sel
Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB. Sel APC ini kemudian akan
mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan HLA kelas II pada sel CD4 + (sel T

helper/TH) sehingga terjadi ikatan dan membantu suatu kompleks. Kompleks ini kemudian
akan mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4+ ini mulanya adalah berupa Th0, dan akan
berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. diferensiasi ini tergantung pada adanya sitokin yang
mempengaruhinya. Bila banyak terdapat IL-12 dan IFN , maka Th0 akan berdiferensiasi
menjadi Th1.
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan IFN , sitokin ini
akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel hepatosis yang terinfeksi VHB dan
melisiskan sel tersebut yang berarti juga melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya
hal ini tidak terjadi. Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun
yang dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan mengaktifkan sel NK
(natural killer). Sel ini merupakan sel primitif yang secara non-spesifik akan melisiskan sel
yang terinfeksi. Pada hepatitis B kronis diketahui terdapat gangguan fungsi sel NK ini.
Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh VHB mempunyai predisposisi untuk mengalami
infeksi HVB kronis. Hal ini terjadi pada neonatus sistem imunnya belum sempurna. Di
samping itu diduga HBeAg ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini akan
menyebabkan sel T helper tidak responsive terhadap HBcAg dan HBeAg pada neonatus yang
lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif.
Akut dan fulminan hepatitis B
Hepatitis akut merupakan perjalanan penyakit yang masih terbatas. Pemulihan ini ditandai
dengan antibodi permukaan hepatitis B (anti-HBs) serokonversi. Hepatitis fulminan ditandai
dengan perubahan status patologis mental dalam waktu 2 sampai 8 minggu setelah gejala
awal pada anak yang sehat.
Gejala hepatitis B akut atau fulminant dapat berkembang sedini mungkin, pada bayi usia 2
bulan dari ibu dengan HbsAg carrier. Dalam daerah endemis untuk infeksi VHB, Sekitar 65%
dari agen etiologi untuk hepatitis fulminan pada anak-anak adalah HBV.
Infeksi HBV kronis
Anak-anak dengan infeksi HBV kronis sebagian besar tanpa gejala. Mereka umumnya aktif
dan tumbuh dengan baik, dengan pengecualian yang sangat langka. Bahkan dengan
eksaserbasi akut dari peradangan hati, sakit kuning atau kegagalan pertumbuhan adalah
jarang. Meskipun kerusakan hati biasanya ringan selama masa kanak-kanak, sequele serius,
termasuk sirosis dan karsinoma hepatoseluler, dapat terjadi secara diam-diam/silent pada

usia berapapun.
Selama eksaserbasi akut infeksi HBV kronis, CD8-positif sitotoksik T limfosit adalah sel
dominan dalam hati pada bagian hati yang mengalami nekrosis. Saat nekrosis hepatoselular
terjadi, terjadi penurunan secara bertahap replikasi HBV dan serokonversi HBeAg terjadi,
bersama dengan penurunan peradangan hati.
HBeAg merupakan penanda penting mencerminkan replikasi virus aktif dan infektivitas.
clearance adalah karena itu digunakan sebagai penanda keberhasilan terapi antivirus. Anakanak dengan infeksi HBV kronis memberikan hasil HBeAg seropositif pada tahap awal
infeksi. selama tahap ini, anak toleran terhadap HBV,dengan virus yangsangat replikatif, dan
kadar serum HBV DNA biasanya tinggi. Kadar aminotranferase berfluktuasi tetapi biasanya
normal atau agak tinggi, dengan tingkat rata-rata lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak
yang sehat noncarrier. Alanine aminotransferase Puncak (ALT) tingkat> 100IU / L adalah
biasa dalam fase ini. Hepatitis antigenemia e B dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah
infeksi primer. Clearance spontan HBeAg serum terjadi secara bertahap pada usia anak.
Replikasi virus berkurang selama proses ini. Proses clearance HBeAg biasanya didahului
dengan ketinggian aminotranferase. Elevasi puncak aminotransferase bisa ringan, sedang, dan
berfluktuasi. Kadar ALT> 1000IU/ml merupakan hal yang tidak biasa. Proses sroconversi
subklinis dari HBeAg terjadi di sebagian besar individu dalam jangka waktu 2 sampai 7
tahun. Setelah deteksi dari peningkatan kadar aminotransferase, sekitar 40% anak akan bersih
dari HBeAg dalam waktu 1 tahun. Anak-anak dengan peningkatan kadar aminotransferase>
100 IU / mL dan HBV DNA tingkat <1.000 pg / mL mengalami seroconveri selama 1 sampai
3 tahun. Setelah clearance HBeAg, tingkat aminotranferase secara bertahap kembali ke batas
normal, dan anti HBe berkembang secara spontan.
F. Manifestasi klinis Hepatitis B
Banyak kasus infeksi HBV tidak bergejala, sebagai dibuktikan dengan angka pengidap
pertanda serum yang tinggi pada orang yang tidak mempunyai riwayat hepatitis akut.
Episode bergejala akut yang biasa, serupa dengan infeksi HAV dan virus hepatitis C (HCV)
tetapi mungkin lebih berat. Bukti klinis pertama infeksi HBV adalah kenaikan ALT,
yang mulai naik tepat sebelum perkembangan kelesuan (lethargi), anoreksia dan malaise,
sekitar 6-7 minggu sesudah pemajanan. Penyakitnya mungkin didahului pada beberapa
anak dengan prodormal sepert peyakit serum termasuk atralgia atau lesi kulit, termasuk
urtikaria, ruam purpura, dan makulapapular. Keadaan-keadaan ekstra hepatik yang lain

disertai dengan infeksi HBV termasuk poliartritis, glomerulonefritis, dan anemia aplastik.
lkterus yang ada pada sekitar 25% individu terinfeksi, biasanya mulai sekitar 8 minggu
sesudah pemajanan dan berakhir selama sekitar 4 minggu. Pada perjalanan penyembuhan
infeksi HBV yang biasa, gejala-gejala muncul selama 6-8 minggu. Persentase orangorang yang padanya berkembang bukti klinis lebih tinggi pada hepatitis B daripada hepatitis
A, clan angka hepatitis Fulminan juga lebih besar. Hepatitis kronis juga terjadi, dan bentuk
kronis juga terjadi, dan bentuk kronis dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma
hepatoseluler.
G. Diagnosis Hepatitis B
Pola serologis untuk HBV adalah lebih kompleks daripada untuk HAV dan berbeda
tergantung pada apakah penyakit akut, subklinis atau kronis. Petanda pertama yang
dipakai untuk identifikasi HBV adalah antigen permukaan HBsAg yang positif kirakira 2
minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa konvalesen
dini tetapi dapat pula bertahan selam 4-6 bulan. Adanya HBsAg menandakan penderita
dapat menularkan HBV ke orang lain dan menginfeksi mereka. Petanda yang muncul
berikutnya biasanya merupakan antibody terhadap antigen "inti", anti HBc. Antigen
"inti" sendiri, HBcAg, tidak terdeteksi secara rutin di dalam serum penderita infeksi
HBV, karena terletak di dalam kulit luar HBsAg. Antibody anti-HBc dapat terdeteksi
segera setelah gambaran klinis hepatitis muncul dan menetap untuk seterusnya; antibody ini
merupakan pertanda kekebalan yang paling jelas didapat dari infeksi HBV (bukan dari
vaksinasi). Antibody ini merupakan petanda yang dapat dipercaya untuk mendeteksi
infeksi baru atau infeksi yang sudah lewat. Adanya predominansi antibody IgG anti-HBc
menunjukan kesembuhan dari HBV di masa lampau atau infeksi HBV kronik.
Antibody yang muncul berikutnya adalah antibody terhadap antigen permukaan, anti-HBs.
Antibody anti-Hbs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan
kekebalan jangka panjang. Setelah vaksinasi (yang hanya memberikan kekebalan
terhadap antigen permukaan), kekebalan dinilai dengan mengukur kadar antibody antiHBs. Cara terbaik untuk menentukan kekebalan yang dihasilkan oleh infeksi spontan adalah
dengan mengukur kadar antibody anti HBc. Antigen "e" HBeAg merupakan bagian HBV
yang larut. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg dan menghilang
beberapa minggu sebelum HBsAg menghilang. HBeAg selalu ditemukan pada semua infeksi
akut, menunjukan adanya replikasi virus dan bahwa penderita dalam keadaan sangat
menular. Jika menetap mungkin menunjukan infeksi replikatif yang kronik. Antibody
terhadap HBeAg (anti-HBe) muncul pada hampir semua infeksi HBV dan berkaitan

dengan hilangnya virus-virus yang bereplikasi dan berkurangnya daya tular. Aknirnya,
pembawa HBV merupakan individu yang pemeriksaan HBsAgnya positif pada sekurangkurangnya dua kali pemeriksaan yang berjarak 6 bulan, atau individu dengan hasil testerhadap HBsAgnya positif tetapi IgM anti-HBcnya negative dari satu specimen tunggal.
Derajat kemampuan menular berhubungan paling erat dengan hasil tes HBeAg positif.
H. Penatalaksanaan Hepatitis B
Memahami perjalanan jangka panjang dari infeksi HBV kronis pada anak-anak sangat
penting untuk mengevaluasi keberhasilan dan menentukan strategi terapi antivirus untuk
infeksi HBV kronis pada anak-anak.
Tujuan terapi hepatitis B adalah untuk. mengeliminasi secara bermakna replikasi VHB
dan mencegah progresif penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal
hati, dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar
HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT,
pengobatan anti virus harus diberikan sebelum virus sempat berintegrasi dalam tubuh
penderita. Karena itu sebaiknya anti virus diberikan sedini mungkin sehingga
kemungkinan terjadinya sirosis dan hepatoma dapat dikurangi. Tujuan pemberian anti
virus adalah merubah fase replikasi menjadi fase integrasi secepat mungkin, sebelum
genom virus masuk kedalam genom penderita. Hal ini dilakukan dengan pemberian
interferon. Diit disesuaikan dengan kebutuhan dan dihindarkan makanan yang sudah
berjamur, yang mengandung zat pengawet yang hepatotoksik.
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada
dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGOt > 10 kali nilai normal,
atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan
anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut
dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan
masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan
pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus
tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis
didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan
replikasi aktif (ditandai dengan HbeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis
dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik
terhadap pengobatan.

Untuk orang dewasa terdapat 7 macam obat antivirus yang sudah diresmikan oleh US Food
and Drugs Administration yang akan digunakan sebagai terapi awal untuk hepatitis B kronik,
yaitu 2 bentuk dari interferon (interferon alfa-2b dan peginterferon alfa-2a) dan 5 macam
analog nukleosida (lamivudine, adefovir dipivoxil, entecavir, telbivudine, dan tenofovir
disoproxil fumarate). Untuk terapi pada anak, 4 diantaranya sudah tersedia ; Adefovir (umur
12 tahun); Entecavir (umur 16 tahun); Interferon alfa-2b (umur 12 bulan); Lamivudine
(umur 3 tahun).
Lamivudine dan adefovir dipilih diantara yang kurang poten, tetapi bukan tanpa resiko.
Untuk lamivudine, terjadinya resistensi obat adalah hal yang signifikan. Penelitian dari Sokal
et al menunjukkan bahwa terjadi resistensi sebanyak 64% pada anak yang diberikan
lamivudine selama 36 bulan. Apabila memungkinkan, pemberian lamivudine sebagai
monoterapi dihindarkan karena tingginya kejadian resistensi yang diamati dari pengobatan ini
dan pengaruhnya terhadap pilihan pengobatan di masa yang akan datang.
a. Interferon alfa
Merupakan suatu imnodulator yang menyebabkan normalisasi SGPT pada 40 70 % tetapi
dengan tingkat kekambuhan 50%. Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah
pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati
(asites,ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif
(HbeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi
penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terhadap
alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan 3 kali
dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.
Efek samping interferon dpaat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imonologis,
neurologis dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot,
nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut dan rambut
rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-interferon,
hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik.
Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar
hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis,
sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis dan sepsis. Efek neurologis berupa
kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang,
koma, penurunan kesadaran, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan penglihatan,

dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depersi, paranoid,
penurunan libido, dan usaha bunuh diri.
Penderita yang mendapatkan pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubun, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu
selama pengobatan. Pemeriksaan HbsAg, HbeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai,
selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau
pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, deperesi sumsum tulang,
deperesi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%-40% penderita
memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikam. Sekitar 2%
timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan
berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia. Keberhasilan pengobatan
dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV
serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya gambaran hepatitis
kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46% penderita yang diobati
mengalami serokonversi dengan tibulnya antibodi anti-Hbe dan 8% dengan timbulnya
antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian
gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah
pengobatan.
Interferon menghambat sintesis protein dan juga merupakan imunostimulator. Interferon
meningkatkan penampilan dari HLA dan mungkin menambah aktivitas interkeukin 2
sehingga membantu penghancuran set hati yang terinfeksi. Cara pengobatan yang
dilakukan adalah pemberian Urbason 10 mg selama 3 minggu kemudian dikurangi
menjadi 5 mg pada minggu ke 4.,Setelah itu diberikan alpha human lympoblastoid
interferon sebanyak 5 mega unit per meter 2 selama 3 hari dan dikuti 10 mega unit per
meter'` selama 2 hari berikutnya. Selanjutnya pengobatan diteruskan dengan pemberian 10
mega unit permeter2 3 kali seminggu selama 3 bulan. Efek samping selama pemberian obat
adalah panas, lemas dan pusing. Gejala tersebut akan berkurang selama Pemberian obat
dan umumnya dapat ditoleransi.
b. Analog Nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat
replikasi HBV. Diberikan peroral, absorbsinya cukup baik pada 68% anak. Diberikan dengan
dosis 3-4 mg/kgBB selama 6 bulan, tetapi ada yang memberikan 150 mg/hari selama 12

bulan. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon.
Dosisnya 3mg/kgBB sehari sekali selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan
gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HbeAg dan timbulnya anti
Hbe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HbeAg menjadi antiHbe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hari, lamivudin memperbaiki skor childplug.
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar
aminotransferase serum dengan spesifikasi : kontraindikasi penggunaan interferon teritama
pada penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core HBV
mendapat imunosupresif dalam jagka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami
kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberika Lamivudin. Apabila dengan
pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau
gansiklovir.
Penggunaan Lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberikan
respon yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan Lamivudin
tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan Lamivudin saja. Parameter penghentian obat :

Bila terjadi serokonversi HbeAg menjadi Anti Hbe

Intoleransi

Terapi selama 1 tahun tidak terjadi perubahan

Perkembangan resistensi terhadap interferon belum pernah diteliti, dan walaupun efikasi pada
dewasa bervariasi, anak kecil (< 5 tahun) dapat meningkatkan respon terhadap obat ini, tetapi
efek sampingnya masih mendapat perhatian.Sebagai tambahan, resistensi obat mempunyai
efek klinis terhadap prognosis pasien (penurunan serokonversi, peningkatan progresifitas
penyakit) dan pengobatan jangka panjang memberikan tantangan pada anak terhadap
resistensi virus.Terapi antivirus umumnya diberikan pada mereka yang mempunyai penyakit
hati yang aktif, di indikasikan dengan pemeriksaan kadar ALT (umumnya mereka yang
bergerak dari fase immune-tolerant ke fase immune-clearance). Pada anak-anak dengan
HbeAg positif dan kadar ALT meningkat dan penyakit hati kompensasi, perlu
dipertimbangkan periode observasi selama 6 sampai 12 bulan untuk menentukan munculnya
serokonversi HbeAg spontan.
Asiklovir dapat pula diberikan dan pada penelitian terbatas ternyata dapat menghambat

DNA polymerase. Sayangnya obat ini hanya dapat diberikan secara intravena. Levamisol
adalah imunostimulator yang kuat untuk set T. dalam studi yang terbatas diperlihatkan
bahwa obat ini memperbaiki gambaran histopatologi dan menyebabkan terjadinya
serokonversi dari HBeAg menjadi Anti-Hbe dan diikuti dengan menghilangnya HBV DNA
dalam darah. Obat ini mungkin Iebih berguna apabila digabungkan dengan obat anti virus.
Penderita dengan anti HBe dan HBV DNA positif biasanya cenderung menderita penyakit
yang lebih lanjut.
I. Komplikasi Hepatitis B
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada virus hepatitis lain, dan risiko hepatitis
fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau superinfeksi dengan HDV.
Mortalitas hepatitis lebih besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi
efektif; penderita sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati
adalah satu-satunya pilihan lain. Infeksi HBV juga dapat menyebabkan hepatitis kronis,yang
dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Glomerulonefritis
membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBcAg pada kapiler glomerulus
merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang.
J. Pencegahan Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B secara efektif mengurangi tingkat infeksi dan pembawa HBV. Imunisasi
adalah metode yang paling penting untuk mencapai pemberantasan penyakit hepatitis B.
Imunisasi bayi universal dengan vaksin hepatitis B sekarang dianjurkan oleh American
Academy of pediatrics (AAP). Masa neonatus menjadi sasaran karena lebih dari 90% bayi
yang mendapat infeksi prenatal akan menjadi pengidap kronis. Risiko mendapat status
pengidap kronis berkurang menurut umur; 50% anak menjadi pengidap kronis. vaksin
Hepatitis B ke 2 diberikan interval I bulan dari hepB-1(saat bayi berumur I bulan). Untuk
mendapat respon imun optimal interval HepB-2 dan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5
bulan. Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah HepB-2, yaitu pada umur 3-6 bulan.
Bayi yang dilahirkan dari wanita yang HBsAg positif harus mendapat vaksin pada saat lahir,
umur I bulan, dan 6 bulan. Dosis pertama harus disertai dengan pemberian 0,5 mL
immunoglobulin hepatitis B (IGHB) sesegera mungkin sesudah lahir karena efektivicasnya
berkurang dengan cepat dengan bertambahnya waktu sesudah lahir seyogyanya dalam 12
jam sesudah lahir, diikuti dosis ke-2, dan ke-3 sesuai dengan jadwal imunisasi
hepatitis, apabila tersedia pada saat yang sama beri imunoglobulin hepatitis B 200 [U i.m

(0.5 ml) disuntikan pada paha yang lainnya, dalam waktu 48 jam sesudah lahir (sebaiknya
24 jam sesudah lahir). Yakinkan ibu untuk tetap menyusui dengan ASI, apabila vaksin
diatas sudah diberikan. Metode pencegahan infeksi hepatitis B tergantung pada bagaimana
keadaan orang tersebut terpajan pada hepatitis B, dan dosis tergantung pada umur orang
tersebut.

KOLESISTITIS AKUT
A. Definisi Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini
patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et
al, 2009).

B. Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis Kolesistitis Akut


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu,
infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah
batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan
terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan
limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu
(Gambar 1). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat
menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor
yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan
empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien
kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini
adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies
Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme organisme tersebut dapat

menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya


menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al,
2009)

Gambar 1 : Patofisiologi kolesistitis akut


(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap
perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar
yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan
dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor
lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang
mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu
(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit
kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai

penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis,


aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi
secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus
dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga
terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).
C. Tanda dan Gejala Klinis Kolesistitis Akut
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan
atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut
dapat memburuk secara progresif. Kadang kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau
skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan
sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan
gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 70% pasien melaporkan adanya riwayat
serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah
relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan
ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila
dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas
biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W.
Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara
mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen
dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum
generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi.
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.
Pada pasien pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada
tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis
kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi
kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda tanda
kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat
tanda tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
D. Diagnosis Kolesistitis akut
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan
fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis sangat
sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel
per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat
[kurang dari 85,5 mol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan
alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan
enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun
amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan
menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung
empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan konfirmasi
bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa visualisasi
kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15
% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena
mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini
tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung
empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh
S, et al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu
dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 95%.

Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik,
penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya
batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).

Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu batu empedu


berukuran kecil
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar
dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan
dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas
intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.

Pemeriksaan dengan CT scan dapat

memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat
pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).

Gambar 4 : CT scan abdomen, tampak batu batu empedu dan penebalan dinding
kandung empedu.
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic
acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah (Gambar 5).
Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat
dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus
tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau
scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).

Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit.
Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk melihat
struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris komunis
pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al,
2009).
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana
terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat

gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada
kasus kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
E. Diagnosis Banding Kolesistitis Akut
Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien pasien yang dirawat di ICU,
kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila telah
terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien.
(Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba tiba, perlu dipikirkan seperti
penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang
retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark
miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan
kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat
mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).
F. Tatalaksana Kolesistitis Akut
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya,

mungkin

diperlukan

periode

stabilisasi

di

rumah

sakit

sebelum

kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti
petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk
mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin,
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun
pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih
dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3
gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram,
lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan
imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik

atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu
merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut.
Pasien pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda tanda
obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit penyakit lain yang menyertai (seperti
diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai
seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu setelah terapi konservatif dan
keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan
bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi
kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi
lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini
akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit
karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E, et al,
2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir
30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi
dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila
dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan
(Wilson E, et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis
akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat
mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati
0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring

dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka
pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang
terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu
(Mutignani M, et al, 2009)
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991,
hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan
ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan
kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh
karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%),
perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan
ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan
ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan
seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik
lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien
(Siddiqui T, et al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman
dilakukan pada semua trimester (Cox MR, et al, 2008)
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:

Resiko tinggi terhadap anastesi umum

Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis

Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan

Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan
darah (Wilson E, et al, 2010).

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan peemriksaan fisik pasien
Nyeri ulu hati, mual ,muntah. penurunan nafsu makan pasien.sakit kepala, demam. 38oC
badan terasa lemas,buang air kecil berwarna kuning gelap seperti air teh.
Mata

Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera


ikterik +/+, pupil isokor diameter 3/3 mm, reflek cahaya

+/+, reflek kornea +/+


Pada kasus hepatitis proses perjalanan penyakit berlangsung menurut 3 fase yaitu:
1. Fase pre-ikterik/prodromal
-

Berlangsung selama 5 7 hari.

Ditandai oleh panas dan nyeri sendi.

2. Fase ikterik
-

Berlangsung selama 18 22 hari, ditandai oleh kencing seperti teh dan


kuning.

Ditandai oleh mual, anoreksia, lemah badan, nyeri perut kanan atas terjadi
pada fase antara pre ikterik dan ikterik yang berlangsung selama 3 20
hari.

3. Fase sembuh

Pada saat ini pasien masih merasa lemas, tanda-tanda kuning pada matanya
sudah mulai berkurang.

Gambaran klinis hepatitis virus bervariasi, mulai dari yang tidak merasakan apa-apa atau
hanya mempunyai keluhan sedikit saja sampai keadaan yang berat, bahkan koma dan
kematian dalam beberapa hari saja. Pada golongan hepatitis inapparent, tidak ditemukan
gejala. Hanya diketahui bila dilakukan pemeriksaan faal hati (peningkatan serum
transaminase) dan biopsi menunjukkan kelainan. Pada hepatitis anikterik, keluhan sangat
ringan dan samar-samar, umumnya anoreksia dan gangguan pencernaan. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan hiperbilirubinemia ringan, dan bilirubinuria. Bentuk hepatitis akut
yang ikterik paling sering ditemukan dalam bentuk klinis. Biasanya perjalanan jinak dan akan
sembuh dalam waktu kira-kira 8 minggu.
Pada pasien ini terdapat gejala nyeri ulu hati, mual ,muntah. penurunan nafsu makan,demam.
38oC badan terasa lemas,buang air kecil berwarna kuning gelap seperti air teh serta sklera
mata berwarna kuning. Ini menandakan gejala hepatitis fase ikterik.

Leukosit tinggi menandakan adanya infeksi

Bilirubin direk dan indirek :


Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir
metabolisme dan secara fisiologis tidak penting. Namun merupakan petunjuk penyakit hati
dan saluran empedu yang penting, karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan
yang berkontak dengannya.
Normal angka bilirubin indirek (tidak terkonjugasi):
< 0,6 mg/100 ml 5,64 mg/dl
Angka bilirubin direk (tidak terkonjugasi):
<0,4 mg/100 ml 3,64 mg/dl
Pada pasien ini menunjukkan adanya peningkatan pada gangguan ekskresi bilirubin
terkonjugasi dan tidak terkonjugasi

SGOT/AST dan SGPT/ALT


Pembuatan SGOT di mitokondria sedangkan SGPT di sito sel pada hepatitis akut

peradangan terjadi di sel-sel hepar terutama sitoplasma sehingga SGPT yang diproduksi di
sito sel meningkat menyebabkan SGOT/SGPT > 1
Normalnya
SGOT/AST 25 UI/L
SGPT/ALT 31 UI/L
Pada pasien ini
SGOT/AST : 278 UI/L
SGPT/ALT : 274 UI/L
Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan karena adanya kerusakan sel-sel hati oleh
karena virus.

HBs Ag :HBs Ag positif berarti terdapat antigen permukaan dalam darah, baik dalam
bentuk lepas maupun dalam bentuk yang terikat dengan partikel Dane. HBs Ag positif
merupakan petunjuk adanya infeksi virus Hepatitis B.
Normalnya dalam darah : negatif
Pada kasus ini nilainya negatif yang berarti mungkin virus ini terdapat banyak hanya dalam
jaringan hati, tetapi tidak banyak di dalam peredaran darah. Maka ada kemungkinan HBs
Ag (-), walaupun terjadi infeksi virus hepatitis B (window period).

IgM anti HAV : Tes ini untuk mengetahui adanya virus hepatitis A pada darah penderita.
Hasil negatif pada kasus ini menunjukkan bahwa tidak ada virus hepatitis A pada keadaan
aktif.

Bilirubin urin

Bilirubin muncul dalam urin sebelum timbul ikterus kemudian ia menghilang walaupun
kadar dalam darah masih meninggi. Bilirubin terkonjugasi akan diekskresi dalam kemih.
Normalnya : negatif
Pada pemeriksaan didapatkan hasil : positif 1 (+)
Hal ini menunjukkan peningkatan karena adanya obstruksi pada sel hati atau saluran
empedu.
-

Trias gejala kolesistitis yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis, dan buang air besar berwarna putih seperti dempul tidak ada.Pada pasien ini
hanya terdapat demam dan leukositosis sehingga diagnosis kolesistitis dapat disingkirkan

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrisanityoso. Buku ajar ilmu penayakit dalam jilid satu . Jakarta : Bagian Ilmu
penyakit dalam FKUI. 2006
2. Jolley, Christopher. Hepatitis. Dalam : Walker, Allan ed.Pediatrics Gastrointestinal
Disease.2004. USA; BC Decker.
3. Isselbacher, dkk. Editor : Asdie A. Hepatitis Akut, Hepatitis kronis. Dalam : Harrison;
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit buku Kedokteran
EGC, Jakarta 2000.
4. Price S A, Wilson L M. Ahli Bahasa : Dr. Peter Anugrah. Fisiologi Hati. Dalam :
Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Buku I. Edisi 4. Penerbit : EGC, Jakarta
2000.
5. World Health Organization. 2000. Hepatitis Virus. Diunduh dari :
http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/en/
6. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis & Treatment.
McGraw Hill: Lange. 2009.
7. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild
forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-Aug
2009;33(4):274-80.

Anda mungkin juga menyukai