Anda di halaman 1dari 2

Salwa memandangi deretan Gazebo yang berjajar di Elison Park.

Berulang kali ia
melirik jam tangannya.
Sudah pukul lima sore, kemana pula Dias?bukankah tadi ia bilang mau menunggu
di Gazebo Taman Elison, Salwa bergumam sendiri. Seandainya ponselnya tidak
mati karena kehabisan baterai, ia pasti sudah menghubungi Dias. Laki-laki itu
memang selalu begini. Jika Salwa hendak belanja, ia seringkali menolak ikut.
Alasannya sederhana: ia tak pernah bisa lama-lama diantara kerumunan manusia.
Dias selalu memilih menunggu sampai Salwa selesai belanja. Ia lebih senang jalanjalan di sekitar pertokoan, mengamati barang-barang yang disukainya, dan tentu
saja suasana toko harus lengang. Selain itu, Dias lebih senang lagi jika menemukan
taman. Iya, taman kota adalah spot favoritnya untuk menunggu. Laki-laki itu
dengan senang hati akan duduk manis dan mulai membaca buku.
Tapi, kali ini tebakan Salwa meleset. Laki-laki berkacamata yang bilang akan
menunggunya di Taman Elison tak kelihatan batang hidungnya.
Aku yakin kegemarannnya yang suka menghilang secara tiba-tiba sedang kambuh.
Aku harus mencari tahu kemana kira-kira dia pergi, Sambil menenteng
belanjaannya, Salwa berjalan menuju taman Elison. Setidaknya ia bisa duduk
sejenak sambil melihat-lihat dimana Dias berada. Siapa tahu laki-laki itu tiba-tiba
muncul seperti yang biasa dia lakukan.
Setengah jam berlalu. Kali ini Salwa mulai kesal karena Dias belum juga kembali.
Maghrib akan datang dua jam lagi dan Salwa belum menyiapkan makanan untuk
berbuka puasa.
Assalamualaikum! suara itu sangat Salwa kenal.
Waalaikumsalam ya Suamiku! jawab Salwa sedikit menjerit saking kesalnya.
Darimana saja kamu? tanyanya lagi.
Laki-laki itu tersenyum.
Aku beli ini. Selama ini bunda ngidam makanan ini kan? Dias menenteng satu
kotak makanan.
Ayah beli apa? Tanya Salwa menyelidik.
Nasi Padang! Kebetulan saat asyik jalan-jalan di sekitar sini, ayah menemukan
resto Indonesia dan taraa.ada nasi padangnya. Ayah jadi inget bunda yang
ngefans berat sama nasi padang, Dias tergelak melihat ekspresi Salwa. Ekspresi
kejengkelan yang sudah tak bisa diekspresikan dengan kata-kata lagi.
Lagi-lagi ayah ngilang, bunda mending pulang sendiri ke flat,
Yey, siapa suruh handphone-nya mati. Ayah juga sudah berusaha telepon,

Salwa cemberut.
Ya udah bun, maafin ayah. Yuk pulang! Sebentar lagi adzan maghrib. Ayah nggak
mau buka di jalan, ayah pengin buka puasa sama masakan bunda,
Dias menggandeng tangan Salwa. Di tengah langit yang mulai merona merah,
Salwa mulai menyadari, jika mulai saat ini ia harus memandangi Dias. Meskipun ia
tak suka kebiasaannya yang suka menghilang tiba-tiba, namun laki-laki itulah yang
bisa membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.
Di langit Aachen sore itu, Salwa seperti melihat senyumnya mengembang bersama
laki-laki bernama, Dias.

Anda mungkin juga menyukai