STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
: Ny.ASN
Umur
: 43 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
Status
: Menikah
Tanggal Masuk
: 14 Desember 2015
Tanggal Anamnesis
: 14 Desember 2015
Dirawat yang ke
: 3 (ketiga)
: Autoanamnesis
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Kejang
setelah perawatan pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku
dan kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lainnya kemudian pasien dibawa ke puskesmas terdekat dan
diberi obat untuk mengatasi kejangnya, pada tahun 2014 pasien juga
mengalami keluhan yang sama dan kemudian dibawa ke RSAM dan
diberikan obat anti kejang untuk dirumah tetapi pasien tidak mengkonsumsi
obat tersebut secara rutin, dan keluhan kejang tersebut kembali dirasakan saat
ini. Pasien memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak tahun 2013 dan
tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi, riwayat kencing manis
disangkal. Riwayat benturan pada kepala disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
-
Pada tahun 2013 dan tahun 2014 pasien pernah mengalami serangan
stroke dan dirawat di RSAM
Riwayat kejang sebelumnya (+)
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4V5 M6 = 15
Vital sign
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Nadi
: 82 x/menit,
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8 o C
Gizi
: baik
Status Generalis
-
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Pembesaran KGB
JVP
Trakhea
: di tengah
Toraks
(Cor)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
(Pulmo)
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: Datar
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
Extremitas
Superior
Inferior
Status Neurologis
-
Saraf Kranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung
: normal
N.Opticus (N.II)
- Tajam penglihatan
: 6/60 . 6/60
- Lapang penglihatan
- Tes warna
: normal
- Fundus oculi
: tidak dilakukan
: (-/-)
- Endophtalmus
: (-/-)
- Exopthalmus
: (-/-)
Pupil
- Ukuran
: (3 mm / 3 mm)
- Bentuk
: (Bulat / Bulat)
- Isokor/anisokor
: Isokor
- Posisi
: (Sentral / Sentral)
: (+/+)
: (+/+)
: normal
- Lateral
: normal
- Superior
: normal
- Inferior
: normal
- Obliqus superior
: normal
- Obliqus inferior
: normal
: normal / normal
: normal / normal
N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus
: normal
- Ramus maksilaris
: normal
- Ramus mandibularis
: normal
Motorik
- M. masseter
: normal
- M. temporalis
: normal
- M. pterygoideus
: normal
Refleks
- Refleks kornea
: (+/+)
- Refleks bersin
: Sulit dinilai
N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam
: simetris
- Tertawa
: simetris
- Meringis
: simetris
- Bersiul
: simetris
- Menutup mata
: simetris
: simetris
: simetris
- Mengembungkan pipi
: simetris
Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah
: normal
N.Acusticus (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran
: tidak dilakukan
- Tinitus
: tidak dilakukan
N.vestibularis
- Test vertigo
: tidak dilakukan
- Nistagmus
: (-)
: (-)
- Posisi uvula
: normal
- Palatum mole
: normal
- Arcus palatoglossus
: normal
- Arcus palatoparingeus
: normal
- Refleks batuk
: tidak dilakukan
- Refleks muntah
: tidak dilakukan
- Peristaltik usus
: Normal
- Bradikardi
: (-)
- Takikardi
: (-)
N.Accesorius (N.XI)
- M.Sternocleidomastodeus
: normal
- M.Trapezius
: normal
N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi
: (-)
- Fasikulasi
: (-)
- Deviasi
: -
: (-)
Kernig test
: (-/-)
Laseque test
: (-/-)
Brudzinsky I
: (-/-)
Brudzinsky II
: (-/-)
Sistem Motorik
Superior ka/ki
Inferior ka/ki
(aktif/aktif)
(aktif/aktif)
Gerak
Kekuatan otot
5/3
5/3
Klonus
(-/-)
(-/-)
Atropi
(-/-)
(-/-)
Biceps (+/+)
Pattela (+/+)
Triceps (+/+)
Achiles (+/+)
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Babinsky (-/+)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)
Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba
: normal
- Rasa nyeri
: normal
: normal
: normal
: normal
- Rasa gerak
: normal
- Rasa getar
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
: normal
Koordinasi
Tes telunjuk hidung
: normal
: normal
: Normal
Defekasi
: Normal
Fungsi Luhur
Fungsi bahasa
: baik
Fungsi orientasi
: baik
Fungsi memori
: baik
Fungsi emosi
: baik
Nyeri kepala
Refleks babinsky
D. Resume
Pasien wanita usia 43 tahun datang dengan keluhan kejang sejak 4 jam
SMRS, kejang sebanyak 2x selama 5 menit setiap kejangnya, kejang seperti
kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata melotot melihat
keatas, pada saat kejang pasien tidak sadar dan tidak dapat berkomunikasi,
setelah kejang pasien kembali sadar dan dapat berkomunikasi, sebelum
kejang muncul 1 hari yg lalu pasien juga mengeluh lengan dan tungkai
sebelah kiri terasa lemas dan sulit untuk digerakan. Pasien merupakan rujukan
dari puskesmas rawat inap kota panjang dan dikatakan mengalami stroke
infark dan serangan epilepsi. Pasien mengaku pada tahun 2013 pernah terkena
serangan stroke dan dirawat di RSAM. Saat itu pasien dinyatakan mengalami
penyumbatan pembuluh darah di otak Beberapa hari setelah pulang dari
perawatan pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku dan
kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lain, kejang berlangsung selama 5 menit, setelah kejang pasien
tidak sadar kemudian pasien dibawa ke puskesmas terdekat dan diberi obat
untuk mengatasi kejangnya, pada tahun 2014 pasien juga mengalami keluhan
yang sama dan kemudian dibawa ke RSAM, dalam perawatan diberikan obat
anti kejang untuk dirumah tetapi pasien tidak mengkonsumsi obat tersebut
secara rutin, dan keluhan kejang tersebut kembali dirasakan saat ini. Pasien
memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak tahun 2013 dan tidak rutin
mengkonsumsi obat darah tinggi, riwayat kencing manis disangkal. Riwayat
benturan pada kepala disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan
darah 160/100 mmHg, nadi 82 x/menit ireguler, RR 20 x/menit, suhu 36,8 oC.
Pada status generalis didapatkan batas jantung normal. Kekuatan otot
ekstremitas superior dekstra/sinistra 5/3, inferior 5/3. Pemeriksaan Nervus
Kranialis dalam batas normal. Refleks patologis Babinski (-/+), Chadock (-/-),
Schaefer (-/-) dan Gonda (-/-) H. Trommer (-/+). Rangsang meningeal Kaku
kuduk (-), Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II (-), Kernigs sign (-),
Laseque sign (-)
E. Diagnosis
Diagnosis klinis
: Observasi kejang berulang + hemiparese sinistra
Diagnosis topik
: Korteks hemisfer serebri dekstra
Diagnosis etiologi : Epilepsi pasca stroke
F. Diagnosis Banding
Epilepsi e.c Susp SOL
G. Penatalaksanaan
1. Umum
-
Tirah baring,
2. Medikamentosa
-
IVFD RL XV gtt/menit
Phenytoin 3x100mg
As. Folat 1x1
3. Rehabilitasi
- Fisioterapi
H. Pemeriksaan Penunjang
-
EEG
EKG
Hematologi (14 Desember 2015)
Hemoglobin
11.6 gr/dL
LED
9 mm/jam
Leukosit
8.700/ul
Hitung jenis
Basofil 0%
Eosinofil 1%
Netrofil Batang 0%
Netrofil Segmen 79%
Limfosit 14%
Monosit 6%
Trombosit
284.000/ul
Ureum
17 mg/dl
Creatinin
0,70 mg/dl
10
Natrium
Kalium
Calsium
Chlorida
Protein total
Albumin
Globulin
Guka Darah Sewaktu
137 mmol/L
4,8 mmol/L
8,7 mg/dl
102 mmol/L
5,8 g/dL
3,3 g/dL
2,5 g/dL
81 mg/dL
I. Prognosa
-
Quo ad vitam
= dubia ad bonam
Quo ad functionam
= dubia ad bonam
Quo ad sanationam
= dubia ad malam
Follow Up :
Senin, 15 Desember 2015
S
TD
T
140/90 mmHg
36,8 0C
HR
RR
80 kali/menit
20 kali/menit
11
Extremitas
Superior kanan/kiri
Inferior kanan/kiri
Gerak
(aktif / aktif)
(aktif/ aktif)
Kekuatan otot
5/3
5/3
Atrofi
-/-
-/-
Refleks
fisiologis
Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achilles +/+
Reflek patologis
Babinsky -/+
H.Trommer -/+
Epilepsi post stroke
Analisis
Planning
IVFD RL XV gtt/menit
Phenytoin 3x100mg
As. Folat 1x1
140/120 mmHg
HR
90 kali/menit
0
36,8 C
RR
20 kali/menit
Extremitas
Superior kanan/kiri
Inferior kanan/kiri
Gerak
(aktif / aktif)
(aktif/ aktif)
Kekuatan otot
5/3
5/3
Atrofi
-/-
-/-
Refleks
fisiologis
Analisis
Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achilles +/+
Epilepsi post stroke
12
Planning
IVFD RL XV gtt
Phenytoin 3x100mg
Boleh pulang jika kejang (-), kontrol ke poli syaraf
EEG ket: alat rusak
BAB II
ANALISIS KASUS
14
fisik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien sudah tepat
dengan penyebab kejang pada kasus tersebut adalah pasien pernah mengalami
serangan stroke akibat penyumbatan pembuluh darah otak.
Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat
disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang
pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat
membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi
dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih dari 2 minggu pada onset
lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai
dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang
patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu.
Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35
tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi,
penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien
dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke
iskemik. Dalam penelitian lain, kejang
termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar yang luas, 8,5% dengan
perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan
transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari
perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien.
Dalam penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan,
populasi neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan
terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya
kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti
infark dalam stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi
fokus untuk terjadinya aktivitas kejang. Pada kejang onset lambat, terjadi
perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim
15
yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik
telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik
meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol baik dengan antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat
dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca
stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan
fenitoin natrium. fenitoin natrium juga merupakan pilihan yang utama pada pasien
dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dibanding benzodiazepin,
khususnya lorazepam sangat efektif diberikan kepada pasien dengan kejang yang
sedang berlangsung.
Pilihan OAE pada dewasa dengan jenis epilepsi parsial yaitu carbamazepine,
fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam, lamotrigin dan asam valproat.
Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone. Pada orang dewasa yang lebih
tua gabapentin, lamotrigin dan clobazam dapat dipertimbangkan sedangkan pada
epilepsi jenis general/umum dapat diberikan asam valproat, levetiracetam,
Topiramate, Lamotrigin, Phenobarbital, Carbamazepine dan oxcarbazepine.
Carbamazapine, fenitoin dan oxcarbazepine harus digunakan dengan hati-hati
pada sindrom epilepsi tipe mioklonik atau tidak adanya kejang karena dapat
memperburuk mereka. Lamotrigin dapat memperburuk mioklonus (Glaser et al,
2013).
Pada kasus ini OAE yang dipilih adalah fenitoin karena obat ini sangat efektif
untuk kejang fokal maupun kejang tonik klonik umum dan efek toksik pada
jantung lebih sedikit dibanding obat benzodiazepine. Selain itu fenitoin juga
jarang menyebabkan kejadian sindroma steven johnson dibanding dengan
pemberian OAE seperti karbamazepin yang menurut kepustakaan sering
menyebabkan sindroma steven johnson. Fenitoin diberikan dengan dosis awal:1525 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis
terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap. Pada kasus diberikan obat
16
asam folat 1x1 tablet yang dimaksudkan untuk mengurangi efek samping dari
obat fenitoin, sebagai mana diketahui bahwa fenitoin mempunyai efek samping
depresi sumsum tulang.
A. Definisi
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
17
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan
kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang
mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut
yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari
stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan
kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah
serangan stroke. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan
penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik
sebagai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia
menjadi faktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan
terjadinya peningkatan kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan
epilepsi pasca stroke.
Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-tahun
dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada
orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar
antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada
studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah
pasien begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat
diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan malformasi
arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid atau riwayat
kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering pada
perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak ditunjang dengan bukti-bukti
yang kuat.
Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas
18
35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi,
penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala.
Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang
mempunyai riwayat stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang
berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini.
Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara
ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke
berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265
pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien
dengan stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari
1000 pasien, termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar,
8,5% dengan perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7%
dengan serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan
gambaran dari perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien.
Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi
pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang
terjadi saat pasien berada di rumah sakit (4,1%).
C. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu :
Table 1. Etiologi epilepsi
Kejang fokal
Kejang umum
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
19
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis
e. Kejang fotosensitif
20
kortikal,
E. Manifestasi Klinis
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi
fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah
studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis
yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam
penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial,
sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder.
Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan
cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar
pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus.
Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar,
status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke
(iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau
pola electroencephalographic (EEG).
Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan
timbulnya onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan.
Aktivitas kejang biasanya terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori
22
23
24
berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejang pasca stroke
akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak etis,
meskipun insiden kejang pasca strokerelatif
agen lini
pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang
menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat
mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan
gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi,
lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk
pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih
panjang dari carbamazepine. Meskipun banyak dari antikonvulsan baru,
misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan
untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan
sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi
untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat
yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.
25
26
DAFTAR PUSTAKA
Genesis:
Lessons
From
Models
of
Cerebral
Ischemia.
NEUROSCIENTIST 14(1):7890.
Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. 2005. An Operational Clinical
27
28