Anda di halaman 1dari 28

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama

: Ny.ASN

Umur

: 43 tahun

Alamat

: Way Lunik, Panjang

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status

: Menikah

Tanggal Masuk

: 14 Desember 2015

Tanggal Anamnesis

: 14 Desember 2015

Dirawat yang ke

: 3 (ketiga)

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Anamnesis

: Autoanamnesis

Keluhan Utama

Keluhan Tambahan

: Lemah pada lengan dan tungkai sebelah kiri

Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada
tanggal 14 Desember 2015 dengan keluhan kejang sejak 4 jam SMRS, kejang
sebanyak 2x selama 5 menit setiap kejangnya, kejang seperti kaku dan
kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata melotot melihat keatas, pada
saat kejang pasien tidak sadar dan tidak dapat berkomunikasi, setelah kejang
pasien tidak sadar selama 10 menit kemudian kembali sadar dan dapat
berkomunikasi, sebelum kejang muncul 1 hari yg lalu pasien juga mengeluh
lengan dan tungkai sebelah kiri terasa lemas dan sulit untuk digerakan. Pasien
merupakan rujukan dari puskesmas rawat inap kota panjang dan dikatakan
mengalami stroke infark dan serangan epilepsi. Pasien mengaku pada tahun
2013 pernah terkena serangan stroke dan dirawat di RSAM. Beberapa hari

setelah perawatan pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku
dan kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lainnya kemudian pasien dibawa ke puskesmas terdekat dan
diberi obat untuk mengatasi kejangnya, pada tahun 2014 pasien juga
mengalami keluhan yang sama dan kemudian dibawa ke RSAM dan
diberikan obat anti kejang untuk dirumah tetapi pasien tidak mengkonsumsi
obat tersebut secara rutin, dan keluhan kejang tersebut kembali dirasakan saat
ini. Pasien memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak tahun 2013 dan
tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi, riwayat kencing manis
disangkal. Riwayat benturan pada kepala disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Pada tahun 2013 dan tahun 2014 pasien pernah mengalami serangan
stroke dan dirawat di RSAM
Riwayat kejang sebelumnya (+)

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien. Riwayat darah tinggi, kencing manis, dan sakit jantung pada keluarga
disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosioekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan seorang anak serta menantunya. Pasien
tinggal di daerah yang padat penduduk.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: E4V5 M6 = 15

Vital sign
Tekanan darah

: 160/100 mmHg

Nadi

: 82 x/menit,

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,8 o C

Gizi

: baik

Status Generalis
-

Kepala
Rambut

: Hitam,beruban, keriting, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik

Telinga

: Liang lapang, simetris, serumen minimal

Hidung

: Sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)

Mulut

: Kering, lidah putih, sianosis (-)

Leher
Pembesaran KGB

: tidak ada pembesaran KGB

Pembesaran kelenjar tiroid

: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

JVP

: tidak ada peningkatan

Trakhea

: di tengah

Toraks
(Cor)
Inspeksi

: Iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: Redup,batas jantung normal

Auskultasi

: Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-),gallop(-)

(Pulmo)
Inspeksi

: Pergerakan dinding dada kanan-kiri simetris

Palpasi

: Taktil fremitus kanan dan kiri sama dan


simetris

Perkusi

: Sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen

Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Teraba lemas, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),


hepar dan lien tidak teraba membesar.

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+)

Extremitas
Superior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik

Inferior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik.

Status Neurologis
-

Saraf Kranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung

: normal

N.Opticus (N.II)
- Tajam penglihatan

: 6/60 . 6/60

- Lapang penglihatan

: sama dengan pemeriksa

- Tes warna

: normal

- Fundus oculi

: tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis

: (-/-)

- Endophtalmus

: (-/-)

- Exopthalmus

: (-/-)

Pupil
- Ukuran

: (3 mm / 3 mm)

- Bentuk

: (Bulat / Bulat)

- Isokor/anisokor

: Isokor

- Posisi

: (Sentral / Sentral)

- Refleks cahaya langsung

: (+/+)

- Refleks cahaya tidak langsung

: (+/+)

Gerakan Bola Mata


- Medial

: normal

- Lateral

: normal

- Superior

: normal

- Inferior

: normal

- Obliqus superior

: normal

- Obliqus inferior

: normal

- Refleks pupil akomodasi

: normal / normal

- Refleks pupil konvergensi

: normal / normal

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
- Ramus oftalmikus

: normal

- Ramus maksilaris

: normal

- Ramus mandibularis

: normal

Motorik
- M. masseter

: normal

- M. temporalis

: normal

- M. pterygoideus

: normal

Refleks
- Refleks kornea

: (+/+)

- Refleks bersin

: Sulit dinilai

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam

: simetris

- Tertawa

: simetris

- Meringis

: simetris

- Bersiul

: simetris

- Menutup mata

: simetris

Pasien disuruh untuk


- Mengerutkan dahi

: simetris

- Menutup mata kuat-kuat

: simetris

- Mengembungkan pipi

: simetris

Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah

: normal

N.Acusticus (N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran

: tidak dilakukan

- Tinitus

: tidak dilakukan

N.vestibularis
- Test vertigo

: tidak dilakukan

- Nistagmus

: (-)

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Suara bindeng/nasal

: (-)

- Posisi uvula

: normal

- Palatum mole

: normal

- Arcus palatoglossus

: normal

- Arcus palatoparingeus

: normal

- Refleks batuk

: tidak dilakukan

- Refleks muntah

: tidak dilakukan

- Peristaltik usus

: Normal

- Bradikardi

: (-)

- Takikardi

: (-)

N.Accesorius (N.XI)

- M.Sternocleidomastodeus

: normal

- M.Trapezius

: normal

N.Hipoglossus (N.XII)

- Atropi

: (-)

- Fasikulasi

: (-)

- Deviasi

: -

Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk

: (-)

Kernig test

: (-/-)

Laseque test

: (-/-)

Brudzinsky I

: (-/-)

Brudzinsky II

: (-/-)

Sistem Motorik

Superior ka/ki

Inferior ka/ki

(aktif/aktif)

(aktif/aktif)

Gerak
Kekuatan otot

5/3

5/3

Klonus

(-/-)

(-/-)

Atropi

(-/-)

(-/-)

Biceps (+/+)

Pattela (+/+)

Triceps (+/+)

Achiles (+/+)

Refleks fisiologis

Refleks patologis

Hoffman Trommer (-/+)

Babinsky (-/+)
Chaddock (-/-)
Oppenheim (-/-)
Schaefer (-/-)
Gordon (-/-)
Gonda (-/-)

Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
- Rasa raba

: normal

- Rasa nyeri

: normal

- Rasa suhu panas

: normal

- Rasa suhu dingin

: normal

Proprioseptif / rasa dalam


- Rasa sikap

: normal

- Rasa gerak

: normal

- Rasa getar

: tidak dilakukan

- Rasa nyeri dalam

: tidak dilakukan

Fungsi kortikal untuk sensibilitas


- Steriognosis
-

: normal

Koordinasi
Tes telunjuk hidung

: normal

Tes pronasi supinasi

: normal

Susunan Saraf Otonom


Miksi

: Normal

Defekasi

: Normal

Fungsi Luhur
Fungsi bahasa

: baik

Fungsi orientasi

: baik

Fungsi memori

: baik

Fungsi emosi

: baik

Algoritma Gajah Mada


Penurunan kesadaran

Nyeri kepala

Refleks babinsky

D. Resume

Pasien wanita usia 43 tahun datang dengan keluhan kejang sejak 4 jam
SMRS, kejang sebanyak 2x selama 5 menit setiap kejangnya, kejang seperti
kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata melotot melihat
keatas, pada saat kejang pasien tidak sadar dan tidak dapat berkomunikasi,
setelah kejang pasien kembali sadar dan dapat berkomunikasi, sebelum
kejang muncul 1 hari yg lalu pasien juga mengeluh lengan dan tungkai
sebelah kiri terasa lemas dan sulit untuk digerakan. Pasien merupakan rujukan
dari puskesmas rawat inap kota panjang dan dikatakan mengalami stroke
infark dan serangan epilepsi. Pasien mengaku pada tahun 2013 pernah terkena
serangan stroke dan dirawat di RSAM. Saat itu pasien dinyatakan mengalami
penyumbatan pembuluh darah di otak Beberapa hari setelah pulang dari
perawatan pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang seperti kaku dan
kelonjotan pada sebagian tubuh sebelah kiri kemudian menjalar kebagian
tubuh yang lain, kejang berlangsung selama 5 menit, setelah kejang pasien
tidak sadar kemudian pasien dibawa ke puskesmas terdekat dan diberi obat
untuk mengatasi kejangnya, pada tahun 2014 pasien juga mengalami keluhan
yang sama dan kemudian dibawa ke RSAM, dalam perawatan diberikan obat
anti kejang untuk dirumah tetapi pasien tidak mengkonsumsi obat tersebut
secara rutin, dan keluhan kejang tersebut kembali dirasakan saat ini. Pasien
memiliki riwayat darah tinggi yang diketahui sejak tahun 2013 dan tidak rutin
mengkonsumsi obat darah tinggi, riwayat kencing manis disangkal. Riwayat
benturan pada kepala disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan
darah 160/100 mmHg, nadi 82 x/menit ireguler, RR 20 x/menit, suhu 36,8 oC.
Pada status generalis didapatkan batas jantung normal. Kekuatan otot
ekstremitas superior dekstra/sinistra 5/3, inferior 5/3. Pemeriksaan Nervus
Kranialis dalam batas normal. Refleks patologis Babinski (-/+), Chadock (-/-),
Schaefer (-/-) dan Gonda (-/-) H. Trommer (-/+). Rangsang meningeal Kaku
kuduk (-), Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II (-), Kernigs sign (-),
Laseque sign (-)

E. Diagnosis
Diagnosis klinis
: Observasi kejang berulang + hemiparese sinistra
Diagnosis topik
: Korteks hemisfer serebri dekstra
Diagnosis etiologi : Epilepsi pasca stroke

F. Diagnosis Banding
Epilepsi e.c Susp SOL
G. Penatalaksanaan
1. Umum
-

Tirah baring,

Pantau tanda vital

2. Medikamentosa
-

IVFD RL XV gtt/menit
Phenytoin 3x100mg
As. Folat 1x1

3. Rehabilitasi
- Fisioterapi

H. Pemeriksaan Penunjang
-

EEG

EKG
Hematologi (14 Desember 2015)
Hemoglobin
11.6 gr/dL
LED
9 mm/jam
Leukosit
8.700/ul
Hitung jenis
Basofil 0%
Eosinofil 1%
Netrofil Batang 0%
Netrofil Segmen 79%
Limfosit 14%
Monosit 6%
Trombosit
284.000/ul
Ureum
17 mg/dl
Creatinin
0,70 mg/dl

10

Natrium
Kalium
Calsium
Chlorida
Protein total
Albumin
Globulin
Guka Darah Sewaktu

137 mmol/L
4,8 mmol/L
8,7 mg/dl
102 mmol/L
5,8 g/dL
3,3 g/dL
2,5 g/dL
81 mg/dL

I. Prognosa
-

Quo ad vitam

= dubia ad bonam

Quo ad functionam

= dubia ad bonam

Quo ad sanationam

= dubia ad malam

Follow Up :
Senin, 15 Desember 2015
S

Kelemahan pada tangan dan kaki kiri, kejang (-)


Sense
compos mentis
GCS
E4V5M6

TD
T

140/90 mmHg
36,8 0C

HR
RR

80 kali/menit
20 kali/menit

11

Extremitas

Superior kanan/kiri

Inferior kanan/kiri

Gerak

(aktif / aktif)

(aktif/ aktif)

Kekuatan otot

5/3

5/3

Atrofi

-/-

-/-

Refleks
fisiologis

Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achilles +/+

Reflek patologis

Babinsky -/+
H.Trommer -/+
Epilepsi post stroke

Analisis
Planning

IVFD RL XV gtt/menit
Phenytoin 3x100mg
As. Folat 1x1

Selasa, 16 Desember 2015


S

Kelemahan pada lengan dan tungkai kiri, kejang (-)


Sense
compos mentis
GCS
E4V5M6
TD
T

140/120 mmHg
HR
90 kali/menit
0
36,8 C
RR
20 kali/menit
Extremitas
Superior kanan/kiri
Inferior kanan/kiri
Gerak

(aktif / aktif)

(aktif/ aktif)

Kekuatan otot

5/3

5/3

Atrofi

-/-

-/-

Refleks
fisiologis

Analisis

Biceps +/+
Triceps +/+
Patella +/+
Achilles +/+
Epilepsi post stroke

12

Planning

IVFD RL XV gtt
Phenytoin 3x100mg
Boleh pulang jika kejang (-), kontrol ke poli syaraf
EEG ket: alat rusak

BAB II
ANALISIS KASUS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada


pemeriksaan fisik sering tidak ditemukan kelainan kecuali pada epilepsi
simptomatik. Sering dibutuhkan pemeriksaan penunjang EEG atau radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan. Anamnesis yang
cermat sangat penting untuk mengetahui jenis kejang karena pemeriksa hampir
13

tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami pasien. Anamnesis dapat


memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
gangguan aliran darah di otak (stroke), ensefalitis, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala klinis
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis meliputi; pola/bentuk serangan, lama serangan, gejala
sebelum, selama kejang, dan sesudah kejang, frekuensi serangan, ada/tidaknya
penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit, penyebab, dan terapi
sebelumnya, riwayat epilepsi dalam keluarga. Pada kasus ini didapatkan dari
anamnesis pasien mengeluhkan kejang sejak 4 jam SMRS, kejang sebanyak 2x
dan berlangsung selama 5 menit setiap kejangnya, sebelum kejang pasien masih
dapat berkomunikasi dan mengeluhkan lengan dan tungkai sebelah kiri terasa
lemas, pada saat kejang pasien tidak sadar mata melotot keatas, kejang seperti
kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, saat setelah kejang pasien tidak
sadar selama 10 menit dan kemudian kembali sadar dan dapat berkomunikasi
kembali. Menurut pengakuan pasien pada tahun 2013 pasien pernah mengalami
serangan stroke dan dirawat di RSAM, pada saat itu pasien dikatakan mengalami
stroke akibat penyumbatan pembuluh darah otak, dan beberapa hari setelah
perawatan pasien mengalami kejang sebanyak 1x, kejang berlangsung selama 5
menit, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada bagian tubuh sebelah kiri
kemudian menjalar ke bagian tubuh lainnya, lalu pasien dibawa ke puskesmas dan
diberikan obat untuk mengatasi kejangnya, keluhan tersebut kembali berulang
pada tahun 2014 pada saat itu pasien dirawat di RSAM dan diberikan obat untuk
mengontrol kejang namun pasien tidak rutin mengkonsumsi obat tersebut. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien mempunyai riwayat darah tinggi yang diketahui
sejak tahun 2013 dan tidak rutin mengkonsumsi obat darah tinggi, riwayat
benturan pada kepala disangkal oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran kompos mentis, TD 160/100, kekuatan otot ekstremitas superior 5/3,
ekstremitas inferior 5/3, pemeriksaan saraf kranialis tidak didapatkan kelainan,
pemeriksaan reflek fisiologis dalam batas normal, pemeriksaan reflek patologis
didapatkan babinsky -/+, Hoffman Trommer -/+. Dari anamnesis dan pemeriksaan

14

fisik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien sudah tepat
dengan penyebab kejang pada kasus tersebut adalah pasien pernah mengalami
serangan stroke akibat penyumbatan pembuluh darah otak.
Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat
disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang
pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat
membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi
dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih dari 2 minggu pada onset
lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai
dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang
patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu.
Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35
tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi,
penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien
dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke
iskemik. Dalam penelitian lain, kejang

terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien,

termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar yang luas, 8,5% dengan
perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan
transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari
perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien.
Dalam penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan,
populasi neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan
terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya
kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti
infark dalam stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi
fokus untuk terjadinya aktivitas kejang. Pada kejang onset lambat, terjadi
perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim

15

yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik
telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik
meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol baik dengan antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat
dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca
stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan
fenitoin natrium. fenitoin natrium juga merupakan pilihan yang utama pada pasien
dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dibanding benzodiazepin,
khususnya lorazepam sangat efektif diberikan kepada pasien dengan kejang yang
sedang berlangsung.
Pilihan OAE pada dewasa dengan jenis epilepsi parsial yaitu carbamazepine,
fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam, lamotrigin dan asam valproat.
Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone. Pada orang dewasa yang lebih
tua gabapentin, lamotrigin dan clobazam dapat dipertimbangkan sedangkan pada
epilepsi jenis general/umum dapat diberikan asam valproat, levetiracetam,
Topiramate, Lamotrigin, Phenobarbital, Carbamazepine dan oxcarbazepine.
Carbamazapine, fenitoin dan oxcarbazepine harus digunakan dengan hati-hati
pada sindrom epilepsi tipe mioklonik atau tidak adanya kejang karena dapat
memperburuk mereka. Lamotrigin dapat memperburuk mioklonus (Glaser et al,
2013).
Pada kasus ini OAE yang dipilih adalah fenitoin karena obat ini sangat efektif
untuk kejang fokal maupun kejang tonik klonik umum dan efek toksik pada
jantung lebih sedikit dibanding obat benzodiazepine. Selain itu fenitoin juga
jarang menyebabkan kejadian sindroma steven johnson dibanding dengan
pemberian OAE seperti karbamazepin yang menurut kepustakaan sering
menyebabkan sindroma steven johnson. Fenitoin diberikan dengan dosis awal:1525 mg/kg; dosis pemeliharaan: 300 mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari pada 3 dosis
terbagi atau 1-2 dosis terbagi untuk pelepasan bertahap. Pada kasus diberikan obat

16

asam folat 1x1 tablet yang dimaksudkan untuk mengurangi efek samping dari
obat fenitoin, sebagai mana diketahui bahwa fenitoin mempunyai efek samping
depresi sumsum tulang.

III. TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI PASCA STROKE

A. Definisi
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.

17

Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan
kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran
parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang
mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut
yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari
stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan
kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah
serangan stroke. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan
penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik
sebagai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia
menjadi faktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan
terjadinya peningkatan kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan
epilepsi pasca stroke.
Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-tahun
dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada
orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar
antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada
studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah
pasien begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat
diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan malformasi
arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid atau riwayat
kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering pada
perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak ditunjang dengan bukti-bukti
yang kuat.
Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas
18

35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi,
penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala.
Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang
mempunyai riwayat stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang
berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini.
Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara
ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke
berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265
pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien
dengan stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari
1000 pasien, termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar,
8,5% dengan perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7%
dengan serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan
gambaran dari perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien.
Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi
pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang
terjadi saat pasien berada di rumah sakit (4,1%).
C. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu :
Table 1. Etiologi epilepsi
Kejang fokal

Kejang umum

a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler

a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik

19

e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

e. Kejang fotosensitif

D. Klasifikasi dan Patogenesis


Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat
disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang
pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat
membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat
terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada
onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke
dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang
jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2
minggu.
Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang
pasca stroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang
yang disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama.
Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat
menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi
lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang.
Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam
bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki
peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk
pengobatan kejang.
Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya
kejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia,
tingginya tingkat neurotransmiter eksitotoksik dapat dilepaskan secara
ekstraseluler. Dalam penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan

20

percobaan, populasi neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat


membran dan terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan
ambang terjadinya kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang
berdekatan dengan inti infark dalam stroke iskemik mengandung jaringan
elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terjadinya aktivitas kejang.
Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab
tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.
Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan
saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel
imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang
onset lambat, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin
bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma. Sebuah
lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi
dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan
kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma,
keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang
lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik
didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan
pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan
pasien stroke hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada
kejang onset cepat vs 93% dengan kejang onset lambat.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk
terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa
lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap
stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang.
Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang masih
kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang
menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer
otak, paling sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh
karena itu penyebab kejang tidak dapat diketahui.
21

Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang


dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral.
Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan
perdarahan dalam struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retromamilar
basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia
basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan
terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul
bersamaan dengan kejang. Pada parenkim, seringnya pada

kortikal,

perdarahan berasal dari kongesti vena lokal adalah kemungkinan penyebab


terjadinya aktivitas kejang.

E. Manifestasi Klinis
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi
fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah
studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis
yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam
penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial,
sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder.
Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan
cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar
pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus.
Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar,
status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke
(iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau
pola electroencephalographic (EEG).
Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan
timbulnya onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan.
Aktivitas kejang biasanya terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori
22

pembedahan pada arteri karotis interna. Kadang-kadang status epileptikus


terjadi kemudian.
F. Diagnosis
Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi
periodik lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi
periodik lateralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap
terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%.
Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada perlambatan EEG,
bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masing-masing
20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal
pada hasil studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada
gambaran EEG tunggal.
Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang
luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau
daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala
neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan
fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan berlawanan
dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak
adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama
dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.
Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark.

23

Gambar 1. gambaran paku pada model percobaan hewan


Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan
resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial.
Studi-studi menunjukkan peningkatan intensitas gambaran tahanan difusi yang
berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi
yang rendah. Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda
iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran
angiografi resonansi magnetik dan peningkatan leptomeningeal pada
pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi
peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi di bagian dorsolateral
dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.
G. Penatalaksanaan
Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik individu
tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan
komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol
untuk mengevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk menilai
agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara
untuk memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan
bahwa kejang pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor
mutlak kejang pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara
empiris untuk kejang ketika mereka baru terserang stroke. Bladin et al

24

berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejang pasca stroke
akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak etis,
meskipun insiden kejang pasca strokerelatif

masih rendah. Arboix et al

menyimpulkan bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi


dalam uji prospektif secara acak yang dilakukan pada pasien dengan risiko
tinggi.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan
tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang
dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal
pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah
karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntungan dari
pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau
status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan
pilihan yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung
lebih rendah dari fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya
harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak
ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset
cepat dan kejang onset lambat.
Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai

agen lini

pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang
menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat
mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan
gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi,
lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk
pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih
panjang dari carbamazepine. Meskipun banyak dari antikonvulsan baru,
misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan
untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan
sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi
untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat
yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.

25

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang


terkena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi
pertama melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat
terikat pada protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui
sulit untuk mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen.
Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American
Heart Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam
periode akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk
perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan
berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis
untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan
subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah
untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut
menunjukkan bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan
serologis (14-23 mg / mL), dengan penghentian pengobatan setelah 1 bulan
tidak ada serangan kejang yang terjadi selama pengobatan. Pasien dengan
aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi munculnya kejang berada pada
risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan mungkin memerlukan terapi
jangka panjang untuk profilaksis kejang.
Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari
antikonvulsan profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena
risiko yang relatif rendah yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan
kekhawatiran yang besar tentang perdarahan aneurisma ulang, uji klinis
tentang masalah ini mungkin tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang
agen antiepilepsi tidak dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan
subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan
setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko yang muncul.
Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adalah
mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi
antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang

26

pada sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit


untuk mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli
bedah memberikan profilaksis secara empiris karena ada kekhawatiran akan
terjadinnya kejang selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada
pasien dengan stenosis karotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena
sering kali diberikan antikoagulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian
trombolisis intra thrombus melalui endovascular telah menunjukkan
keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peraturan pemberian terapi
antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian T. 2010. Carbamazepine (Antikonvulsi) dalam terapi epilepsisebagai


penyebab eritema multiformis mayor. [SKRIPSI]. Universitas Kedokteran
Sumatera Utara.
Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. 2001. Seizures after stroke: a
prospectivemulticenter study. Arch Neurol.;57:1617-1622.
Eipzten J, Ben Y, Represa A, Crepel V. 2008. Late-Onset Epileptogenesis and
Seizure

Genesis:

Lessons

From

Models

of

Cerebral

Ischemia.

NEUROSCIENTIST 14(1):7890.
Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. 2005. An Operational Clinical

Definition of Epilepsy. International League Against Epilepsy (ILAE).

27

Glauser T, Menachem B, Borgeouis B, et al. 2013. Updated ILAE evidence


review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial monotherapy for
epileptic seizures and syndromes. Epilepsia. Mar;54(3):551-63.

International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for


Epilepsy (IBE). 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva

28

Anda mungkin juga menyukai