PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada saat ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi orang
mendapatkan pembuktian secara ilmiah yang disebut saksi diam (silent witness). Di
sini diperlukan peran ahli untuk memeriksa barang bukti (corpus delicti) secara
ilmiah, sehingga barang terbukti tersebut dapat berguna sebagai petunjuk tentang apa
yang telah terjadi. Barang bukti dapat berupa orang hidup, mayat, darah, semen,
rambut, sidik jari, peluru, larva lalat, nyamuk, surat tulisan tangan, suara dan lainlain. Kumpulan pengetahuan yang memeriksa barang bukti untuk kepentingan
peradilan dikenal dengan nama forensic sciences. Dalam bidang kesehatan terdapat
beberapa cabang ilmu forensik antara lain: kedokteran forensik, odontologi forensik,
psikiatri forensik, patologi forensik, dan antropologi forensik.1,2
Ilmu kedokteran selalu berkembang selaras dengan perkembangan masyarakat
dan norma yang menatanya. Perkembangan ilmu kedokteran berkat ketekunan kerja
para ahlinya dalam mengenali penyakit dan pengobatannya berjalan bersama
keingintahuan masyarakat tentang penyakit yang menimpanya. Pelaksanaan praktek
ilmu kedokteran dan kepentingan masyarakat yang terkait dengannya mendorong
berkembangnya aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban keduanya saat
berinteraksi yang salah satunya adalah aturan hukum mengenai autopsi (bedah mayat)
klinis.1,2
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat
antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.5
Berdasarkan tujuannya autopsi dapat dibagi atas 3 jenis yaitu autopsi klinik,
autopsi anatomi, dan autopsi forensik/medikolegal. Autopsi klinik berguna untuk
menentukan sebab kematian pasien selama dalam rawatan, autopsi anatomi dilakukan
oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran dalam pendidikan untuk
mengetahui susunan jaringan organ tubuh, sedangkan autopsi forensik/ autopsi
medikolegal berfungsi untuk membantu kalangan penegak hukum dalam menentukan
peristiwa kematian korban secara medis. 1
Autopsi klinik dilakukan pada penderita yang meninggal setelah dirawat
dirumah sakit bertujuan untuk menentukan proses patologis yang terdapat dalam
tubuh korban dan melihat kemungkinan hubungan dengan gejala atau diagnosis
klinis, menentukan penyebab kematian yang pasti, menentukan apakah diagosa klinis
yang dibuat selama perawatan sesuai dengan hasil pemeriksaan post mortem,
menentukan efektivitas pengobatan yang telah diberikan, mempelajari perjalanan
lazim sesuatu penyakit, bermanfaat sebagai pencegahan dalam menghadapi penyakit
yang serupa di kemudian hari.1
Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir
diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri dan
protozoa.1 Faktor predisposisi dan penyebab yang tersering adalah infeksi telinga
tengah (65%), penyebab lain seperti Tetralogi Fallot dengan abses multiple, penyakit
imunologi, dan lain- lain (20%- 37%).8
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotik saat
ini sudah mengalami kemajuan, namun angka kematian akibat penyakit abses otak
masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10%- 60% atau rata- rata 40%. Walaupun penyakit ini
sudah jarang dijumpai terutama di negara- negara maju, namun karena risiko
kematiannya yang tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi yang
mengancam kehidupan masyarakat (life threatening infection).7
Autopsi pada kematian dengan abses otak merupakan salah satu jenis autopsi
klinik. Autopsi klinis biasanya selalu disertai dengan pemeriksaan yang lengkap,
seperti pemeriksaan bakteriologi, histopatologi, serologi, mikrobiologi dan lain sesuai
kebutuhan. Seluruh penyakit yang diketahui sekarang merupakan hasil dari kumpulan
autopsi klinis yang dilakukan di berbagai rumah sakit di berbagai negara dari dahulu
hingga sekarang. Kegiatan ini sangat mempengaruhi kemajuan dalam bidang
kedokteran. Di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda dahulu sudah dilakukan hal
yang serupa namun sejak Indonesia merdeka kegiatan ini semakin menurun, bahkan
sekarang hampir tidah dilakukan lagi.3,4
Berdasarkan hal tersebut di atas maka kami tertarik untuk menulis tentang
makalah tentang temuan autopsi gambaran makroskopis dan mikroskopis pada
kematian dengan abses otak.
1.2
Batasan Penulisan
Referat ini membatasi pembahasan pada defenisi, klassifikasi, tujuan,
Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk mengetahui temuan autopsi gambaran
Tujuan Khusus
Manfaat Penulisan
1. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
2. Menambah informasi bagi para pembaca mengenai defenisi, klassifikasi,
tujuan, ketentuan hukum, dan pemeriksaan tambahan dari autopsi,
kemudian membahasa tentang definisi, patofisiologi, diagnosis, dan
komplikasi dari abses otak serta gambaran makroskopis dan mikroskopis
pada kematian dengan abses otak.
1.5
Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Autopsi
2.2.1 Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat
antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. Pemeriksaan
post mortem berarti pemeriksaan yang dilakukan pada orang yang telah mati.
Necropsi berasal dari necros ( jaringan mati ) dan opsi ( lihat ) jadi berarti
pemeriksaan pada jaringan mati. Demikian pula autopsi berarti lihat sendiri
(auto=sendiri). Kini istilah autopsi lebih sering dipakai selain bedah mayat atau bedah
jenazah.1
Dalam sejarah autopsi untuk kepentingan hukum (medikolegal autopsi)
telah dimulai sejak tahun 1302 di Bologna, Italia, sementara untuk kepentingan
pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran pada mulanya juga mempergunakan
autopsi medikolegal ini, terutama pada korban pembunuhan dan bunuh diri serta
korban hukuman mati. Belakangan, karena sistem demikian tidak efektif untuk
pendidikan maka dipergunakan mayat yang sudah diawetkan terlebih dahulu.1
2.2.2 Klassifikasi
Berdasarkan tujuannya autopsi dapat dibagi atas 3 jenis:1
1. Autopsi klinik, untuk menentukan sebab kematian pasien selama dalam
rawatan.
2. Autopsi anatomi, dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana
kedokteran dalam pendidikan untuk mengetahui susunan jaringan organ
tubuh.
3. Autopsi forensik/ autopsi medikolegal, untuk membantu kalangan penegak
hukum dalam menentukan peristiwa kematian korban secara medis.
Autopsi Klinik
5
untuk member bantuan kepada penegak hukum, sehingga kalangan ini mendapat
pegangan dalam melakukan penyidikan, penuntutan, pembelaan atau pemutusan
perkara disidang pengadilan. Melalui pemerisaan secara ilmiah yang dilakukan oleh
dokter diharapkan proses hukum dapat berjalan dengan bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam istilah hukum kegiatan ini disebut dengan
mendapatkan kebenaran material. Oleh karena itu dokter tidah boleh melakukan
bedah mayat hanya untuk sekedar telah melakukan apa yang diminta, tetapi harus
sadar bahwa hasil pemeriksaannya akan digunakan sebagai petunjuk, pedoman dan
sebagai alat bukti di sidang pengadilan.
2.2.3 Tujuan
Sebelum
melakukan
autopsi,
pemeriksa
harus
menyadari
tujuan
RIB Pasal 68
RIB Pasal 69
Dalam KUHAP yang mulai berlaku pada penutup tahun 1981, terdapat
ketentuan yang menjelaskan keterlibatan dokter dalam melakukan autopsi antara lain:
-
Bila ada dugaan ke arah adanya sepsis, maka darah diambil dari jantung dan limpa
untuk pembiakan kuman. Darah diambil dengan spuit 10ml melalui dinding
kantong jantung yang telah dibakar dengan spatel panas terlebih dahulu, lalul
dipindahkan ke dalam tabung reagen yang steril. Jaringan limpa diambil dengan
pinset dan gunting steril dengan cara pembakaran yang sama seperti di atas, lalu
dimasukkan dalam tabung steril.1,4
4. Pemeriksaan balistik
Pemeriksaan mayat yang diduga mati akibat penembakan seharusnya dimulai
dengan melakukan pemeriksaan rontgenologi pada seluruh tubuh untuk
mendeteksi adanya logam (peluru). Tetapi karena sarana ini tidak terdapat, bahkan
di pusat pemeriksaan kedokteran forensik sekalipun, maka usaha untuk
mendapatkan adanya peluru terpaksa dilakukan dengan menelusuri seluruh
jaringan tubuh. Sering dengan melakukan perabaan usaha ini dapat berhasil.1
Peluru harus diambil dengan sangat hati-hati dengan jari, tidak boleh
menggunakan benda keras seperti tang atau klem. Penggunaan benda keras dapat
menyebabkan terjadinya goresan pada anak peluru yang akan menyebabkan
keraguan pada ahli balistik yang akan memeriksa peluru di laboratorium
kriminologi. Bila peluru tertanam dalam tulang, jangan dipaksa mengambil anak
peluru secara paksa. Dalam keadaan demikian, tulang yang ada pelurunya
dipotong untuk dikirim ke laboratorium. Petugas di Laboratorium Kriminologi
Forensik akan mengambil tulang dengan hati-hati.1,4
Anak peluru sesudah diambil, dikembalikan kepada petugas kepolisian untuk
dikirim ke laboratorium kriminologi dengan cara:4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
membesar
oleh
karena
peningkatan
acellular
debris
dan
11
12
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,
gambaran
klinik,
motorik
sendiri
melibatkan
penilaian
dari
integritas
sistem
13
Abses
otak
menyebabkan
kecacatan
bahkan
kematian.
Adapun
komplikasinya adalah:6
1.
2.
3.
4.
15
Abses otak biasanya merupakan kelainan sekunder dari fokus primer yang
terdapat pada bagian tubuh lain. Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran
perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari
tempat yang jauh atau secara langsung seperti trauma kepala. Abses yang terjadi oleh
penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada
pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya
berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Abses serebri yang
hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari paru), lokasi
pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa
putih dan abu-abu dengan tingkat mortalitas yang tinggi.7,9
Umumnya kondisi yang dapat memicu terjadinya abses otak merupakan
perluasan langsung dari trauma kepala, infeksi dari telinga, mata, hidung dan sinus,
16
dan infeksi dari wajah dan kepala. Infeksi telinga tengah merupakan penyebab
tersering abses otak, sedangkan trauma kepala merupakan penyebab abses otak yang
paling jarang terjadinya. 9,10
Abses otak akibat trauma kepala dapat dicurigai apabila tidak terdapat fokus
primer penyebab abses otak lainnya pada tubuh. Abses otak akibat trauma kepala
biasanya ditemui pada lobus frontal, dan jarang ditemukan di lobus lainnya. Pada
abses yang disebabkan trauma biasanya otak melekat pada duramater, kemudian pada
trauma bisa ditemui adanya robekan pembuluh darah dan perdarahan.
Jika abses cukup besar dan ruptur ke dalam ventrikel secara cepat akan
diikuti oleh kematian. Abses pada pertengahan fossa umumnya merupakan efek
sekunder dari otitis media. Bagian yang paling sering terkena adalah di piarachnoid
langsung diatas tegmen dari antrum atau telinga tengah atau di bagian dari lobus
temporosphenoidal.10
Abses otak bersifat fokal, infeksi intraserebral biasanya dimulai sebagai area
yang terlokalisir dan berkembang ke dalam bentuk sekumpulan pus yang dikelilingi
oleh kapsul dengan vaskularisasi yang baik.9
Pada sebagian besar dari hasil analisi post mortem, abses yang ditemukan di
piarachnoid akan terlokalisir dengan baik tetapi karena efek dari tekanan yang
ditimbulkannya akan menyebabkan nekrosis otak pada area sekitarnya, tetapi tidak
pernah menghasilkan abses yang sebenarnya. Abses perpanjangan yang biasanya
disebut abses temporosphenoidal dengan tangkai
17
kedalam nya disebut dengan necroticzone yang mana jaringan yang baru mati
mengalami pencairan oleh toksin-toksin. Penggabungan kedalam area nekrotik
merupakan granulasi area jaringan dengan jaringan penghubung yang berkembang
18
dari jaringan tersebut. Dari luar ke sekitar infiltrasi sel jaringan di dalam pembungkus
perivaskuler dari pembuluh darah menunjukan adanya inflamasi atau proses
perlindungan yang masih aktif dengan baik di luar kapsul.
Kematian pasien penderita abses otak biasanya terjadi pada saat perubahan
patologi otak sudah memasuki stadium pembentukan kapsul lanjut (Late
Capsule Formation) (stadium 4). Pada stadium 3 biasanya ditandai dengan
gambaran histologis sebagai berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Amri, Amir. 2001. Autopsi Medikolegal. Edisi ke-2. USU PRESS: Medan.
2. Dasar Hukum Proses Identifikasi Forensik. SlideShare. Available from:
http://www.slideshare.net/nurdianirr/dasar-hukum-forensik [Accessed on 14th
November 2015].
3. Staf Kedokteran forensik FK UI. Teknik autopsi forensik. cetakan ke 3.
Jakarta: Bagian kedokteran forensik fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. 1996. Hal:1-54.
4. The Medico-Legal Autopsy. Welcome to the Department of Forensic
Medicine Web Site. Available from:
http://www.dundee.ac.uk/forensicmedicine/notes/autopsy.pdf [Accessed on
14th November 2015].
5. Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC.
6. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th
ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.
7. Xiang Y. Han et al: Fusobacterial brain abscess A review of five cases and
analysis of possible pathognesis; Journal of neurosurgeon, Oct. 2003; Vol.99.
8. Hakim, Adril Arsyad. Abses Otak. Majalah Kedokteran Nusantara, Dec. 2005;
Vol. 38.
9. Glenn E. Mathisen and J. Patrick Johnson. Brain Abscess. Clinical Infectious
Diseases 1997;25:76381.
10. Threadgill, Frank W. Brain abscess. .University of Nebraska Medical Center
Omaha. MD Theses.
21