Anda di halaman 1dari 18

Mata Kuliah : Ilmu dan Teknologi Pemuliabiakan dan Reproduksi Ternak

Dosen
: Dr.Muhammad Ihsan Andi Dagong,S.Pt. M.Si.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI DNA DALAM


KONSERVASI GENETIK SAPI BALI

Disusun Oleh:
KELOMPOK III
SANTI
: P4000215009
NURWAHIDA J
: P4000215003
ULVA DIANA SARI :P4000215002
MUHAMMAD JUFRI : P4000215004

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan sapi Bali di Indonesia sangat cepat dibanding dengan
bangsa sapi potong lainnya, hal ini disebabkan karena bangsa sapi lebih diminati
oleh petani kecil. Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali
memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik yang
disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki yaitu memiliki daya adaptasi
sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, tingkat fertilitas
danreproduksi

yang

tinggi

serta

mampu

memanfaatkan

pakan

yang

berkualitas rendah.
Bangsa-bangsa sapi tersebut sanga potensial untuk dikembangkan dan
ditingkatkan peranannya sebagai penghasil daging dengan presentase dan kualitas
karkas yang bervariasi serta meat tenderness yang berbeda pula sesuai dengan
bangsa sapi yang bersangkutan. Akan tetapi, sampai saat ini upaya pengembangan
tersebut belum dibarengi dengan pemanfaatan
melakukan seleksi dini terhadap sapi

teknologi molekuler yang mampu

dengan

meat

tenderness

tinggi

sehingga upaya pengembangan yang efisien belum tercapai. Sebaiknya seleksi


dalam pengembangan sapi potong diarahkan untuk menghasilkan karkas dan
kualitas daging yang berkualitas
Perkembangan

sejumlah

penanda

molekuler

memungkinkan

untuk

melakukan identifikasi terhadap perubahan-perubahan genetik yang terjadi dalam


suatu persilangan serta hubungan dengan sifat kuantitatif dan kualitatif
terrnak.

Perkembangan ilmu dan pengetahuan dalam biologi molekuler,

khususnya pada pengkajian karakter bahan genetik telah menghasilkan kemajuan


yang sangat pesat bagi perkembangan penelaahan suatu organisme dan
pemanfaatannya bagi kesejahteraan manusia. Brown (1983) mengungkapkan
peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keanekaragaman genetika dan
biologi populasi pada hewan. mtDNA dapat digunakan sebagai penanda
genetika karena ukurannya relatif kecil. Untuk menunjang pengetahuan tentang
variasi gen sudah semestinya kita memulai pendekatan yang baru dalam
rangka melihat variasi ini melalui pengetahuan biologi molekuler DNA yang.
dapat digunakan untuk tujuan konservasi.
Tulisan ini mendiskusikan beberapa teknik yang biasanya digunakan
untuk melihat

keanekaragaman

hayati

pada

tingkat

molekuler

DNA.

Beberapa teknik didasarkan pada polimorfisme gen secara langsung seperti


Random Amplified Polymorphic
Length

Polymorphism

DNA

(RAPD),

Restricted

Fragment

(RFLP), Degradative Gradien Gel Electrophoresis

(DGGE), analisis sekuen dan Macrorestricted Fragment Length Polymorphism


(MFLP) membutuhkan amplifikasi daerah genom tertentu dari suatu ternak.
Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus)
untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan
dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin
panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu
kelompok ternak memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan
untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok
tersebut.

Beberapa faktor seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang


primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer
harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh
dan baik. Maka kegunaan penulisan makalah ini adalah

diharapkan

dapat

mengetahui tentang teknologi DNA yang dapat memperbeiki genetik sapi Bali ,
memberikan informasi kepada peternak

sehingga

dapat mempertahankan

kelestarian sapi lokal dan menambah wawasan ipteks peternakan.


Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
perbaikan kualitas gen sapi Bali dengan teknologi melekuler DNA. Sedangkan
kegunaannya adalah memberikan informasi kepada peternak sehingga dapat
mempertahankan kelestarian sapi lokal dan menambah wawasan ipteks
peternakan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalah yang diambil dalam
makalah ini adalah bagimana memperbaiki genetik sapi bali baik dari sifat
kuantitatif dan kualitatif melalui teknologi melekuler DNA.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sapi Bali


Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai potensi
genetik dan nilai ekonomis yang cukup potensial untuk dikembangkan
sebagai ternak potong. Sapi Bali mempunyai dua peranan penting di
masyarakat yaitu sebagai sapi potong dan kerja. Sapi Bali memiliki daya
adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan (Djagra dkk., 2002). Adaptabilitas
sapi Bali terhadap lingkungan baik, secara langsung (suhu, kelembaban,
angin) dan yang tidak langsung (lahan, pakan, hama penyakit) lebih baik
dibanding bangsa sapi lain yang ada di Indonesia (Darmadja, 1980)
Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri
yang dikemukakan Romans et al. (1994) sebagai berikut : 1) Warna bulu
pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya. Pada saat masih
pedet,bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah
dewasa sapi jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi
betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi
coklat tua atau hitam setelah mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan
menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi
coklat tua atau merah bata kembali apabila sapi Bali jantan dikebiri, yang
disebabkan pengaruh hormon testosterone. 2) Kaki di bawah persendian
telapak kaki depan dan telapak kaki belakang berwarna putih. Kulit
berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian

dalam kulit yang berwarna putih berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih
juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadangkadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (bintik-bintik putih)
merupakan penyimpangan

yang ditemukan sekitar kurang daripada 1%. Bulu

sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap. 3) Ukuran
badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. 4) Badan padat dengan
dada yang dalam. 5) Tidak berpunuk. 6) Kakinya ramping, agak pendek
menyerupai kaki kerbau. 7) Pada tengah-tengah punggungnya selalu ditemukan
bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga
pangkal ekor. 8) Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. 9)
Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk
jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
Ditinjau dari karakteristik karkas dan bentuk badan yang kompak dan
serasi, sapi Bali digolongkan sebagai sapi pedaging yang ideal, bahkan nilai mutu
dagingnya lebih unggul dari pada sapi pedaging Eropa seperti Hereford, Shortorn
(Murtidjo, 1990). Sedangkan Saka dkk. (2005) melaporkan untuk karkas sapi
Bali jantan (beef) tidak ideal karena perempatan karkas depan (nilai ekonominya
lebih rendah) lebih besar (52%) daripada perempatan karkas belakang (48%),
kecuali dikastrasi ketika masih pedet.
Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi.
Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang
sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Hasil
kajian penelusuran genetik berdasarkan analisis PCR-RAPD menunjukkan bahwa

keragaman genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan masih tinggi. Hal ini
berarti peningkatan mutu sapi Bali masih bisa kita perbaiki dengan catatan bahwa
harus diiringi dengan perbaikan manajemen yang baik (Baco dan Rahim, 2007 ;
Baco dkk., 2010). Keragaman pada sapi Bali dapat dilihat juga dari ciri-ciri
fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat,
tekstur dan panjang bulu, warna dan pola warna tubuh, perkembangan
tanduk, dan sebagainya.
Keragaman Genetik
Keragaman genetik terdiri atas antar spesies, antar populasi, antar
individu, dalam populasi dan dalam individu. Keragaman antar spesies
sebagai manifestasi dari keragaman genetik walaupun pembedaan spesies dengan
mudah tanpa

mengetahui komposisi

gennya

(Indrawan

dkk.,

2007).

Keragaman genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh


tiga mekanisme yaitu mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan
migrasi gen dari satu tempat ketempat lain (Suryanto, 2003 ; Elrod and Stansfield,
2007). Keragaman genetik terdapat di dalam suatu individu bilamana ada
dua alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan konfigurasi DNA yang
menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom (Sofro, 1994).
Adanya variasi genetik merupakan ciri-ciri yang umumnya terdapat di
dalam suatu populasi. Keragaman genetik terjadi tidak hanya antar jenis
spesies tetapi juga dapat terjadi di dalam suatu spesies yang sama, antar individu
maupun antar

populasi.

Muladno

(1994)

membedakan

penciri

genetik

kedalam penciri genetik konvensional dan penciri DNA, sementara penciri

konvensional di golongkan ke dalam tiga kategori yaitu penciri fenotipe,


golongan darah dan biokimia.
Teknologi Analisis DNA
Suryanto,D.,(2003) Beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik
seperti RAPD, RFLP, dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom
tertentu dari suatu organisme. Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik
(sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri
dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam
genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang
diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat,
maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang
sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor seperti konsentrasi
DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer,konsentrasi ion
Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat
diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik.
Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan
efisiensi dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat
menyebabkan teramplifikasinya

daerah

lain

dalam

genom

yang

tidak

dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi.
Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan.
Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR.
Suhu denaturasi yang rendah dapat

menyebabkan

belum

terbukanya

DNA

utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru.

Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan
suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi
tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer
menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya
dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut.
Suhu

penempelan

(annealing)

ini

ditentukan

berdasarkan

primer yang

digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu


penemelan ini sebaiknya sekitar 5C di bawah suhu leleh. Secara umum suhu
leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T)C (Rybicky, 1996)
a. PCR-RAPD
PCR-RAPD

merupakan

salah

satu

teknik

molekuler

berupa

penggunaan penanda tertentu untuk mempelajari keanekaragaman genetika. Dasar


analisis RAPD adalah menggunakan mesin PCR yang mampu mengamplifikasi
sekuen DNA secara in vitro. Teknik ini melibatkan penempelan primer tertentu
yang dirancang sesuai dengan kebutuhan. Tiap primer boleh jadi berbeda untuk
menelaah keanekaragaman genetik kelompok yang berbeda. Penggunaan teknik
RAPD memang memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme fragmen DNA
yang diseleksi dengan menggunakansatu primer arbitrasi, terutama karena
amplifikasi DNA secara in vitro dapat dilakukan dengan baik dan cepat dengan
adanya PCR (Suryanto,D.,2003)
Penggunaan penanda RAPD relatif sederhana dan mudah dalam hal
preparasi. Teknik RAPD memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan
dengan teknik molekuler lainnya. Teknik ini juga mampu menghasilkan jumlah
karakter yang relatif tidak

terbatas,

sehingga

sangat

membantu

untuk

keperluan

analisis keanekaragaman organisme yang tidak diketahui latar

belakang genomnya (Suryanto,D.,2003)


b. PCR-RFLP
Teknik ini mirip dengan RAPD pada prinsip penggunaan primer. Untuk
melihat polimorfisme dalam genom organisme digunakan juga suatu enzim
pemotong tertentu (restriction enzymes). Karena sifatnya yang spesifik, maka
enzim ini akan memotong situs tertentu yang dikenali oleh enzim ini. Situs
enzim pemotong dari genom suatu kelompok ternak yang kemudian berubah
karena mutasi

atau berpindah

karena

genetic

rearrangement

dapat

menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim, atau enzim
restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan
terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya

dari

satu

organisme ke organisme lainnya. Polimorfisme ini selanjutnya digunakan


untuk membuat pohon filogeni/dendogram kekerabatan kelompok (Brown, W.M.
1983)
Pemilihan DNA ribosom untuk tujuan identifikasi suatu organisme
didasarkan pada:
Secara fungsional dan evolusioner memiliki sifat homolog dari
berbagai orgenisme yang berbeda
Molekul purba dengan struktur dan sekuen nukelotida sangat konservatif

Sangat banyak di dalam sel

Cukup besar untuk memungkinkan uji statistik perbedaan-perbedaannya


satu sama lain

c. PCR- ANALISIS SEKUEN


Analisis sekuen merupakan suatu teknik yang dianggap paling baik
untuk melihat keanekaragaman hayati suatu kelompok organisme. Teknik ini
berkembang setelah

orang

menciptakan

mesin

DNA

sequencer.

Pada

prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen
tertentu dari suatu genom organisme (Weisburg et al., 1991).
d. PCR-DGGE
Teknik analisis ini sebenarnya mirip dengan RAPD ataupun RFLP, hanya
saja primer yang digunakan misalnya primer GC clamp. Elektroforesis yang
dilakukan menggunakan

gel

poliakrilamida

dengan

gradien

urea

yang

ditambah dengan formamida. Pemisahan dilakukan tanpa enzim restriksi


dan

sekuen

bukan berdasarkan berat molekul. Teknik ini menggunakan

dasar perbedaan stabilitas produk PCR. Dengan demikian sangat tergantung dari
jumlah ikatan hidrogen yang ada dalam DNA tersebut (Weisburg et al., 1991).
e. MFLP
Pada prinsipnya semua teknik pemisahan DNA, misalnya pada RFLP dan
RAPD, menggunakan suatu teknik elektroforesis medan listrik tetap dan
satu arah (konfigurasi horizontal) dengan media agarose atau akrilamid. Gel
agarose memiliki kapasitas

pemisahan

yang

lebih

rendah

dibandingkan

dengan gel akrilamid, tetapi memilik spektrum pemisahan yang lebih besar.
Teknik elektroforesis gel agarose konvensional ini biasanya digunakan untuk
memisahkan fragmen DNA dengan ukuran relatif kecil dengan ukuran sekitar
200 bp sampai kira-kira 50 kb. Fragmen dengan ukuran di atas 50 kb tidak

lagi dapat dipisahkan dengan baik dengan menggunakan teknik ini. Fragmenfragmen ini akan bergerak dalam kecepatan yang sama dalam gel agarosa. Batas
kemampuan linier tersebut melampaui ukuran pori-pori gel.
Hasil Penelitian Mengenai Teknologi DNA dalam Konservasi Genetik Sapi
Bali
1.Kemurnian sapi bali
Alel dan genotipe sapi Bali dan Banteng tidak identik meskipun sapi
Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng. Hal ini disebabkan karena pada
lokus INRA035 ditemukan alel C yang frekuensi alelnya yaitu 0,0187 dan alel
tersebut tidak terdapat pada Banteng. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
aliran gen dari luar atau campuran dari bangsa sapi lain yang masuk kedalam
populasi sapi Bali yang. Adanya alel-alel yang lain diduga karena alel-alel
tersebut merupakan alel mutasi sebagai akibat proses replication slippage yang
menghasilkan rangkaian yang lebih panjang (Levinson dan Gutman, 1987 ; Li
dan Graur, 1991).

Gambar 1. Alel yang teridentifikasi melalui gel polyacrylamide 30 % pada


lokus INRA035. (M) Marker 100 pb. (1-15) sampel sapi Bali
(Mahmud,A.B.T.A., 2014).
2. Amplifikasi DNA Gen Meat Tenderness pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

Upaya melacak gen meat tendernes pada DNA yang telah diperoleh,
digunakan 3 macam primer yaitu : Primer gen meat tenderness (forward: 5
GGGCCGAGGAGATACCGTGAA-3 ; reverse: GCTTCCCGGGTGGCAACTG3 ) Hasil amplifikasi dapat ditunjukkan pada Gambar 2. Panjang frgamen DNA
hasil amplifikasi.

Gambar 2. Fotograf gel agarosa yang menunjukkan spesifitas hasil


PCR dengan menggunakan primer DNA dari gen meat tenderness.
M : DNA ladder ,100 bp. 1-8 : sapi Bali (Susilo,A., et al, 2012)
Tabel 1. Panjang Fhasil Amplifikasi

Sumber : Susilo,A., et al, 2012


Hasil Amplifikasi pada gen meat tenderness menghasilkan satu pita,
berturut-turut berukuran 210. Munculnya satu pita ini menunjukkan bahwa
primer DNA yang digunakan

pada

penelitian

ini

adalah spesifik untuk sapi

Bali untuk gen marbling dan meat tenderness. Hasil PCR yang baik dipengaruhi

oleh

beberapa

pemilihan

faktor

primer

merupakanbagian

seperti kemurnian

yang
yang

digunakan
penting

serta ketepatan kondisi PCR. Primer

dalam

inisiator pada sintesis DNA target.

DNA hasil ekstraksi, ketepatan

PCR

karena primer

Syarat-syarat

yang

merupakan

harus dipenuhi di

dalam menyusun suatu primer adalah terdiri dari 20 basa, kandungan G/C 50 %.
Ketepatan kondisi PCR juga sangat mempengaruhi hasil dari reaksi PCR.
Ketepatan kondisi PCR ditentukan oleh

ketepatan

campuran

reaksi

dan

ketepatan kondisi suhu pada masing-masing siklus (Beuzen et al., 2000).


3. Identi kasi Keragaman Genetik Gen Reseptor Hormon Pertumbuhan
(GHR|Alu I) pada Sapi Bali
Gen GHR|AluI pada sapi bali bersifat monomork dengan frekuensi alel A
dan genotipe AA yang tinggi,sedangkan pada sapi limousin, simmental dan
pesisir bersifat polimork. Nilai pendugaan heterozigositas dan PIC gen GHR|
AluI pada sapi bali rendah disebabkan tingkat keragamannya yang rendah
jika dibandingkan dengan sapi limousin, simmental, dan pesisir. Hasil sekuen
gen GHR|AluI menunjukkan adanya mutasi basa adenin (A) menjadi guanin
(G) pada posisi 81 pb (3338 pb Kode Akses. EF207442 GenBank).
Berdasarkan pohon genetik gen GHR|AluI terdapat pemisahan yang jelas antara
sapi bali, limousin, simmental, dan pesisir.

Gambar 3. Genotipe hasil pemotongan produk PCR gen GHR|AluI


pada sapi bali M (marker)= ladder 100 pb; AA= individu
homozigot (167 pb, 81 pb, dan 50 pb); GG= individu
homozigot (167 pb dan 131 pb; 1,2,12,13,14= sapi limousin;
3,4,5,6= sapi simmental; 7,8,9,10,11= sapi pesisir. (Zulkarnain,
et al. 2010)

KESIMPULAN
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut :
1. Sapi bali merupakan sapi asli indonesi yang sangat potensial untuk
dikembangkan dan ditingkatkan peranannya sebagai penghasil daging dengan
presentase dan kualitas karkas yang bervariasi serta meat tenderness yang
berbeda pula sesuai dengan bangsa sapi yang bersangkutan
2. Keragaman genetik terdapat di dalam suatu individu bilamana ada dua
alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan konfigurasi DNA yang
menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom
3. Analisis DNA terdapat beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik
seperti RAPD, RFLP, dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom
tertentu dari suatu organisme.
4. Teknologi melekuler DNA dalam konservasi genetik sapi Bali diantaranya;
kemurnian sapi Bali, amplifikasi DNA gen Meat Tenderness pada Sapi Bali,
dan Identi kasi keragaman genetik gen reseptor hormon pertumbuhan (GHR|
ALU I) pada sapi bali.

DAFTAR PUSTAKA

Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali di Sulawesi
Selatan
Berdasarkan
Perbedaan
Performans dan Topografi
Menggunakan
RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental, Dikti
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Baco, S., R. Malaka dan L. Rahim. 2010. Kesamaan Genetik Dalam dan
Antar Populasi Sapi Bali dan Persilangannya di Sulawesi Selatan
Berdasarkan
Analisis
Polymerase
Chain
Reaction
Random
Amplified Polymorphic DNA (PCR-RAPD). Laporan Penelitian StranasDikti.
Beuzen, N.D., M.J. Stear and K.C. Chang. 2000. Molecular Markers and Their
Usi in Animal Breeding. The Veterinary Journal. 160 : 42-52.
Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA. In. Evolution
of genes and proteins. Ed. M.Nei & R.K. Hoehn. Sunderland: Sinaeuer
Associates Inc.Publ. pp. 62-88.
Djagra, I. B., I. G. N. R. Haryana, I. G. M. Putra, I. B. Mantra dan A. A. Oka.
2002. Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Djarsanto. 1997. Kebijaksanaan Pelestarian Ternak Asli Indonesia dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Perbibitan Ternak Nasional. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 182-185.
Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Mahmud,A.B.T.A., 2014. Evaluasi Kemurnian Genetik Sapi Bali Di Kabupaten
Barru Menggunakan Dna Penciri Mikrosatelit Lokus INRA035, Skripsi
Jurusan
Produksi
Ternak
Fakultas
Peternakan
Universitas
Hasanuddin,Makassar.
Muladno. 1994. DNA Marker for pig gene mapping. A thesis submitted to Faculty
of Agriculture in fulfilment of the requirements for the degree of
Doctor of Philosophy. The University of Sidney, Australia. 201 p.
Murtidjo, B. A. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius Yogyakarta.
Romans, J. R., W. J. Costello, C. W. Carlson, M. L. Greaser and K. W.
Jones. 1994. The Meat We Eat. 14th Ed. Interstate Publishers, Inc.
Danville, Illinois.

Rybicky, E.P. 1996. PCR primer design and reaction optimisation. In


Molecular Biology Techniques Manual. Ed. V.E. Coyne, M.D. James,
S.J. Reid & E.P. Rybicki. Dept.of Microbiology. Univ. Cape Town
Saka, I. K., Sentana Putra, Ni. M. A. Rasna, I. N. Ardika, N. M. Astawa, I. G. N.
Kayana, I. K. M. Budiasa dan I. N. Tirta Ariana. 2005. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Study Pusat Perbibitan Sapi Bali (PPSB) di Nusa
Penida, Kabupaten Klungkung. Fakultas Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Sofro, A. S. M. 1994. Keanekaragaman Genetik. Andi Offset. Yogyakarta
Sugama.
Suryanto, D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa
Teknik Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
2003 Digitized By Usu Digital Library.
Susilo,A., Hartatik, T., dan Artama,T., 2012. Amplifikasi Dna Gen Meat
Tenderness Pada Sapi Bali (Bos sondaicus). Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak, Maret 2012, Vol. 7, No. 1, Hal. 19-23.
Zulkharnain, Jakaria dan Noor.R.R., 2010. Identi kasi Keragaman Genetik Gen
Reseptor Hormon Pertumbuhan (GHR|Alu I) pada Sapi Bali. Media
Peternakan, Agustus 2010, Vol. 33 No. 2, hlm. 81-87

Anda mungkin juga menyukai