Dosen
: Dr.Muhammad Ihsan Andi Dagong,S.Pt. M.Si.
Disusun Oleh:
KELOMPOK III
SANTI
: P4000215009
NURWAHIDA J
: P4000215003
ULVA DIANA SARI :P4000215002
MUHAMMAD JUFRI : P4000215004
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan sapi Bali di Indonesia sangat cepat dibanding dengan
bangsa sapi potong lainnya, hal ini disebabkan karena bangsa sapi lebih diminati
oleh petani kecil. Pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi Bali
memperlihatkan kemampuan untuk berkembang biak dengan baik yang
disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki yaitu memiliki daya adaptasi
sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, tingkat fertilitas
danreproduksi
yang
tinggi
serta
mampu
memanfaatkan
pakan
yang
berkualitas rendah.
Bangsa-bangsa sapi tersebut sanga potensial untuk dikembangkan dan
ditingkatkan peranannya sebagai penghasil daging dengan presentase dan kualitas
karkas yang bervariasi serta meat tenderness yang berbeda pula sesuai dengan
bangsa sapi yang bersangkutan. Akan tetapi, sampai saat ini upaya pengembangan
tersebut belum dibarengi dengan pemanfaatan
melakukan seleksi dini terhadap sapi
dengan
meat
tenderness
tinggi
sejumlah
penanda
molekuler
memungkinkan
untuk
keanekaragaman
hayati
pada
tingkat
molekuler
DNA.
Polymorphism
DNA
(RAPD),
Restricted
Fragment
diharapkan
dapat
mengetahui tentang teknologi DNA yang dapat memperbeiki genetik sapi Bali ,
memberikan informasi kepada peternak
sehingga
dapat mempertahankan
PEMBAHASAN
dalam kulit yang berwarna putih berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih
juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadangkadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (bintik-bintik putih)
merupakan penyimpangan
sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap. 3) Ukuran
badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang. 4) Badan padat dengan
dada yang dalam. 5) Tidak berpunuk. 6) Kakinya ramping, agak pendek
menyerupai kaki kerbau. 7) Pada tengah-tengah punggungnya selalu ditemukan
bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga
pangkal ekor. 8) Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam. 9)
Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk
jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.
Ditinjau dari karakteristik karkas dan bentuk badan yang kompak dan
serasi, sapi Bali digolongkan sebagai sapi pedaging yang ideal, bahkan nilai mutu
dagingnya lebih unggul dari pada sapi pedaging Eropa seperti Hereford, Shortorn
(Murtidjo, 1990). Sedangkan Saka dkk. (2005) melaporkan untuk karkas sapi
Bali jantan (beef) tidak ideal karena perempatan karkas depan (nilai ekonominya
lebih rendah) lebih besar (52%) daripada perempatan karkas belakang (48%),
kecuali dikastrasi ketika masih pedet.
Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi.
Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang
sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Hasil
kajian penelusuran genetik berdasarkan analisis PCR-RAPD menunjukkan bahwa
keragaman genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan masih tinggi. Hal ini
berarti peningkatan mutu sapi Bali masih bisa kita perbaiki dengan catatan bahwa
harus diiringi dengan perbaikan manajemen yang baik (Baco dan Rahim, 2007 ;
Baco dkk., 2010). Keragaman pada sapi Bali dapat dilihat juga dari ciri-ciri
fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat,
tekstur dan panjang bulu, warna dan pola warna tubuh, perkembangan
tanduk, dan sebagainya.
Keragaman Genetik
Keragaman genetik terdiri atas antar spesies, antar populasi, antar
individu, dalam populasi dan dalam individu. Keragaman antar spesies
sebagai manifestasi dari keragaman genetik walaupun pembedaan spesies dengan
mudah tanpa
mengetahui komposisi
gennya
(Indrawan
dkk.,
2007).
populasi.
Muladno
(1994)
membedakan
penciri
genetik
daerah
lain
dalam
genom
yang
tidak
dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi.
Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan.
Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR.
Suhu denaturasi yang rendah dapat
menyebabkan
belum
terbukanya
DNA
Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan
suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi
tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer
menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya
dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut.
Suhu
penempelan
(annealing)
ini
ditentukan
berdasarkan
primer yang
merupakan
salah
satu
teknik
molekuler
berupa
terbatas,
sehingga
sangat
membantu
untuk
keperluan
atau berpindah
karena
genetic
rearrangement
dapat
menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim, atau enzim
restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan
terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukurannya
dari
satu
orang
menciptakan
mesin
DNA
sequencer.
Pada
prinsipnya polimorfisme dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen
tertentu dari suatu genom organisme (Weisburg et al., 1991).
d. PCR-DGGE
Teknik analisis ini sebenarnya mirip dengan RAPD ataupun RFLP, hanya
saja primer yang digunakan misalnya primer GC clamp. Elektroforesis yang
dilakukan menggunakan
gel
poliakrilamida
dengan
gradien
urea
yang
sekuen
dasar perbedaan stabilitas produk PCR. Dengan demikian sangat tergantung dari
jumlah ikatan hidrogen yang ada dalam DNA tersebut (Weisburg et al., 1991).
e. MFLP
Pada prinsipnya semua teknik pemisahan DNA, misalnya pada RFLP dan
RAPD, menggunakan suatu teknik elektroforesis medan listrik tetap dan
satu arah (konfigurasi horizontal) dengan media agarose atau akrilamid. Gel
agarose memiliki kapasitas
pemisahan
yang
lebih
rendah
dibandingkan
dengan gel akrilamid, tetapi memilik spektrum pemisahan yang lebih besar.
Teknik elektroforesis gel agarose konvensional ini biasanya digunakan untuk
memisahkan fragmen DNA dengan ukuran relatif kecil dengan ukuran sekitar
200 bp sampai kira-kira 50 kb. Fragmen dengan ukuran di atas 50 kb tidak
lagi dapat dipisahkan dengan baik dengan menggunakan teknik ini. Fragmenfragmen ini akan bergerak dalam kecepatan yang sama dalam gel agarosa. Batas
kemampuan linier tersebut melampaui ukuran pori-pori gel.
Hasil Penelitian Mengenai Teknologi DNA dalam Konservasi Genetik Sapi
Bali
1.Kemurnian sapi bali
Alel dan genotipe sapi Bali dan Banteng tidak identik meskipun sapi
Bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng. Hal ini disebabkan karena pada
lokus INRA035 ditemukan alel C yang frekuensi alelnya yaitu 0,0187 dan alel
tersebut tidak terdapat pada Banteng. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
aliran gen dari luar atau campuran dari bangsa sapi lain yang masuk kedalam
populasi sapi Bali yang. Adanya alel-alel yang lain diduga karena alel-alel
tersebut merupakan alel mutasi sebagai akibat proses replication slippage yang
menghasilkan rangkaian yang lebih panjang (Levinson dan Gutman, 1987 ; Li
dan Graur, 1991).
Upaya melacak gen meat tendernes pada DNA yang telah diperoleh,
digunakan 3 macam primer yaitu : Primer gen meat tenderness (forward: 5
GGGCCGAGGAGATACCGTGAA-3 ; reverse: GCTTCCCGGGTGGCAACTG3 ) Hasil amplifikasi dapat ditunjukkan pada Gambar 2. Panjang frgamen DNA
hasil amplifikasi.
pada
penelitian
ini
Bali untuk gen marbling dan meat tenderness. Hasil PCR yang baik dipengaruhi
oleh
beberapa
pemilihan
faktor
primer
merupakanbagian
seperti kemurnian
yang
yang
digunakan
penting
dalam
PCR
karena primer
Syarat-syarat
yang
merupakan
harus dipenuhi di
dalam menyusun suatu primer adalah terdiri dari 20 basa, kandungan G/C 50 %.
Ketepatan kondisi PCR juga sangat mempengaruhi hasil dari reaksi PCR.
Ketepatan kondisi PCR ditentukan oleh
ketepatan
campuran
reaksi
dan
KESIMPULAN
Dari pembahasan dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut :
1. Sapi bali merupakan sapi asli indonesi yang sangat potensial untuk
dikembangkan dan ditingkatkan peranannya sebagai penghasil daging dengan
presentase dan kualitas karkas yang bervariasi serta meat tenderness yang
berbeda pula sesuai dengan bangsa sapi yang bersangkutan
2. Keragaman genetik terdapat di dalam suatu individu bilamana ada dua
alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan konfigurasi DNA yang
menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom
3. Analisis DNA terdapat beberapa teknik analisis keanekaragaman genetik
seperti RAPD, RFLP, dan DGGE membutuhkan amplifikasi daerah genom
tertentu dari suatu organisme.
4. Teknologi melekuler DNA dalam konservasi genetik sapi Bali diantaranya;
kemurnian sapi Bali, amplifikasi DNA gen Meat Tenderness pada Sapi Bali,
dan Identi kasi keragaman genetik gen reseptor hormon pertumbuhan (GHR|
ALU I) pada sapi bali.
DAFTAR PUSTAKA
Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali di Sulawesi
Selatan
Berdasarkan
Perbedaan
Performans dan Topografi
Menggunakan
RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental, Dikti
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Baco, S., R. Malaka dan L. Rahim. 2010. Kesamaan Genetik Dalam dan
Antar Populasi Sapi Bali dan Persilangannya di Sulawesi Selatan
Berdasarkan
Analisis
Polymerase
Chain
Reaction
Random
Amplified Polymorphic DNA (PCR-RAPD). Laporan Penelitian StranasDikti.
Beuzen, N.D., M.J. Stear and K.C. Chang. 2000. Molecular Markers and Their
Usi in Animal Breeding. The Veterinary Journal. 160 : 42-52.
Brown, W.M. 1983. Evolution of animal mitochondrial DNA. In. Evolution
of genes and proteins. Ed. M.Nei & R.K. Hoehn. Sunderland: Sinaeuer
Associates Inc.Publ. pp. 62-88.
Djagra, I. B., I. G. N. R. Haryana, I. G. M. Putra, I. B. Mantra dan A. A. Oka.
2002. Ukuran Standar Tubuh Sapi Bali Bibit. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar.
Djarsanto. 1997. Kebijaksanaan Pelestarian Ternak Asli Indonesia dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Perbibitan Ternak Nasional. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm. 182-185.
Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Mahmud,A.B.T.A., 2014. Evaluasi Kemurnian Genetik Sapi Bali Di Kabupaten
Barru Menggunakan Dna Penciri Mikrosatelit Lokus INRA035, Skripsi
Jurusan
Produksi
Ternak
Fakultas
Peternakan
Universitas
Hasanuddin,Makassar.
Muladno. 1994. DNA Marker for pig gene mapping. A thesis submitted to Faculty
of Agriculture in fulfilment of the requirements for the degree of
Doctor of Philosophy. The University of Sidney, Australia. 201 p.
Murtidjo, B. A. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius Yogyakarta.
Romans, J. R., W. J. Costello, C. W. Carlson, M. L. Greaser and K. W.
Jones. 1994. The Meat We Eat. 14th Ed. Interstate Publishers, Inc.
Danville, Illinois.