Anda di halaman 1dari 19

LI 1.

Memahami dan Menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas


LO 1.1 Makroskopik
HIDUNG

a. Nasal (Hidung), merupakan organ pertama yang berfungsi dalam saluran nafas,
terdiri dari :
2 buah nares anterior = apertura nasalis anterior (lubang hidung)
Vestibulum nasi tempat muara nares anterior pada mukosa hidung
terdapat silia yang kasar yang ebrfungsi sebagai saringan udara
Cavum nasi bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan,
mulai dari nares anterior sampai choana dilanjutkan ke nasopharynx
Septum nasi Sekat antara kedua rongga hidung, dibentuk oleh tulangtulang
o Cartilago septi nasi
o Os vomer
o Lamina parpendicularis ethmoidalis
Concha nasalis
o Concha nasalis superior
o Concha nasalis media
o Concha nasalis inferior
Meatus Saluran keluar cairan melalui hidung
o Meatus nasalis superior (antara concha nasalis superior dan media)

o Meatus nasalis media (antara concha media dan inferior)


o Meatus nasalis inferior (antara concha nasalis inferior dan dinding atas
maxilla)
Sinus paranasalis
o Sinus sphenoidalis, mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior
o Sinus frontalis, ke meatus media
o Sinus maxillaris, ke meatus media
o Sinus ethmoidalis, ke meatus superior dan media
Persyarafan :

Nervus Opthalmicus mempersarafi hidung bagian Depan dan atas cavum nasi

Ganglion Sfenopalatinum mempersarafi sebagian cavum nasi

Ganglion Pterygopalatinum mempersarafi Nasofaring dan concha nasalis.

Proses penciuman dimulai dari : gyrus frontalis (pusat penciuman)


menembus lamina cribrosa ethmoidalis tractus olfactorius bulbus
olfactorius serabut N.olfactorius pd mucusa atas depan cavum nasi.

Vaskularisasi hidung/pendarahan hidung


Berasal dari cabang-cabang A.opthalmica dan A.maxillaris interna
1. Arteria ethmoidalis anterior dengan cabang-cabang nya sbb : a.nasalis externa dan
lateralis, a.septalis anterior
2. Arteria ethmoidalis posterior dgn cabang-cabang nya : a.nasalis posterior, lateralis
dan septal, a.palatinus majus
3. Arteria sphenopalatinum cabang a.maxillaris interna.
Ketiga pembuluh darah di atas pada mukusa hidung membentuk anyaman kapiler
pembuluh darah yang disebut plexus kisselbach
FARING
Bagian sebelah atas faring dibentuk oleh badan tulang sfenoidalis dan sebelah dalamnya
berhubungan langsung dengan esophagus. Pada bagian belakang faring dipisahkan dari
vertebra servikalis oleh jaringan penghubung, semntara dinding depannya tidak sempurna
dan berhubungan dengan hidung, mulut dan laring. Faring merupakan struktur seperti tuba
yang menghubungkan hidung dan ronggamulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
Nasofaring (terletak posterior dari cavitas nasalis di atas palatum)
Orofaring (membentang dari palatum menuju ujung superior epiglottis; terletak posterior
dari
cavitas oral)

Laringofaring (membentang dari ujung epiglottis ke bagian inferior dari cartilaginosa


cricoidea)
LARING

Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid
Rangka laring terbentuk oleh:
1. Berbentuk tulang ialah os hyoid (1 buah) didaerah batas atas leher dengan batas
bawah dagu
2. Berbentuk tulang rawan: tiroid (1buah), arytenoid (2 buah), epiglotis (1 buah)
Cavum laryngis bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas
Aditus laryngis
Os hyoid
o Terbentuk dari ajringan tulang, seperti besi telapak kuda
o Mempunyai 2 cornu; majus dan minus
o Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago tiroid
Cartilago thyroid
o Terdapat prominens laryngis atau adams apple atau jakun
o Jaringan ikatnya ialah membrana thyroid
o Mempunya cornu superior dan inferior
o Perdarahan dari a.thyroidea superior dan inferior

Cartilago arytenoid
o Bentuk seperti penguin, ada cartilago cornuculata dan cuneiforme
o Kedua arytenoid dihubungkan oleh m,arytenoideus transversus
Epiglotis
o Tulang rawan berbentuk sendok
o Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
o Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tapi pada saat menelan epiglotis
menutup aditus laryngis agar makanan tidak masuk ke laring
Cartilago cricoid
o Batas bawah cartilago thyroid
o Batas bawah cincin pertama trachea

Otot-otot ekstrinsik laring:


1. M.cricothyroideus
2. M.thyroepigloticus
Otot-otot intrinsik laring:
1. M.cricoarytenoideus posterior
2. M.cricoarytenoideus lateralis
3. M.arytenoideus tranversus dan oblique
4. M.vocalis
5. M.aryepiglotica
6. M.thyroarytenoideus
Dalam cavum laryngis terdapat :
1. Plica vocalis = pita suara asli
2. Plica vestibularis = pita suara palsu

Plica vocalis adalah pita suara yang terbentuk dari lipatan mucusa lig.vocale dan
lig.ventricularis.
Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan disebut dengan rima glotidis, sedangkan
antara kedua plica vestibularis disebut rima vestibulli
Ruanga yang terletak di antara plica vestibularis dan plica vocalis disebut ventriculus
larynges

LO 1.2 Mikroskopik
1.

Rongga hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat
kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel
respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh
septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing
dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka
superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar
dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses
neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga
hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan
penghangatan sebelum masuk lebih jauh
Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk tertelan atau dikeluarkan
(batuk) .Sel goblet dan kelenjar campur di lamina propria menghasilkan sekret, untuk menjaga
kelembaban hidung dan menangkap partikel debu halus . Di bawah epitel chonca inferior
terdapat swell bodies, merupakan fleksus vonosus untuk menghangatkan udara inspirasi
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya
berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi
yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang
mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum.
Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
2.

Faring

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Terdiri dari :
1.
2.
3.

Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia, dengan sel goblet)


Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk)
Laringofaring (epitel bervariasi)

3.

Laring

Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria
laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah
masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi.. Di bawah epitel
terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
4.

Epiglottis

1.
2.

Memiliki permukaan lingual dan laringeal


Seluruh permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati basis
epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel
bertingkat silindris bersilia

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Saluran Pernapasan Atas


LO 2.1 Fungsi Saluran Pernapasan Atas
Proses pernapasan dibagi menjadi 2,yaitu:
1. Pernapasan luar (eksternal)
Dimana terjadi penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh secara keseluruhan.
2. Pernapasan dalam (internal)
Akan terjadi penggunaan O2 dan pembentukan CO2 oleh sel-sel serta pertukaran gas
antara sel-sel tubuh dengan media cair sekitarnya.
Fungsi pernapasan:
-

Mengeluarkan air dan panas dari tubuh


Proses pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 dalam paru
Meningkatkan aliran balik vena
Mengeluarkan dan memodifikasikan prostaglandin

Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :


- Dihangatkan
- Disaring
- Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi, yang terdiri atas
Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel-partikel halus
ke arah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan
kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi
menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha.
Fungsi chonca :
Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
RESPIRASI merupakan dua proses terintegrasi : internal dan eksternal respirasi.
Eksternal respirasi, merupakan proses yang mencangkup pertukaran O2 dan CO2 pada cairan
intestinal tubuh dengan lingkungan luar. Tujuan dari eksternal respirasi dan fungsi primer dari
system respirasi adalah memenuhi kebutuhan respirasi sel. Respirasi internal merupakan proses
absorpsi O2 dan pelepasan CO2 oleh sel tersebut. Yang diatur oleh mitokondria pada sel.
(sellular respirasi).
Tahap respirasi eksternal:
1.

Ventilasi pulmonal atau bernafas, dimana secara fisih udara keluar-masuk paru.

2.

Diffusi gas , proses pernafasan membrane antara ruang alveolar dengan kapiler
alveolar, dan dinding kapiler antara sel darah dengan jaringan lainya.

3.

Perfusi : pengangkutan O2 dan CO2 oleh sistem pembuluh darah dari paru ke
jaringan,sebaliknya

4.

Transport O2 dan CO2 antara kapiler alveolar dan ruang kapiler dalam jaringan.

Kelainan pada salah satu tahap respirasi eksternal dapat mempengaruhi kadar gas cairan
intestinal dan juga aktivitas sel. Contohnya Hipoksia (kurangnya level oksigen pada tingkat sel)
yang mempengaruhi aktivitas sel sekitarnya. Jika suplai oksigen benar-benar terhalang ( anoxia).
Dapat mengakibatkan mati.
Ventilasi pulmonal, merupakan proses pergerakan aliran udara keluar masuk saluran
pernafasan. Yang tujuan utamanya mengatur kecukupan pergerakan ventikular alveolar udara
keluar-masuk aveoli.
Pada saat mulai bernafas, tekanan dalam dan luar cavum toraks adalah sama, (tidak ada
pergerakan udara keluar-masuk paru).

Pada saat cavum toraks membesar, paru melebar untuk mengisi udara tambahan, yang
menjadikan peningkatan volume dan penurunan tekanan di dalam paru.
Aliran udara masuk kedalam paru pada saat tersebut, dikarenakan tekanan di dalam paru lebbih
kecil daripada tekanan luar paru.
Udara terus masuk kedalam paru sampai volume berhenti meningkat dan pekanan internalsama
dengan tekanan eksternal.
Ketika volum cavum toraks menurun, tekanan dalam paru akan meningkat, dan udara terhembus
keluar system pernafasan.

Mekanisme pernapasan berdasarkan antomi


Pada waktu inspirasi udara masuk melalui kedua nares anterior vestibulum nasi cavum nasi
lalu udara akan keluar dari cavum nasi menuju nares posterior (choanae) masuk ke
nasopharynx,masuk ke oropharynx (epiglottis membuka aditus laryngis) daerah larynx
trakea.masuk ke bronchus primer bronchus sekunder bronchiolus segmentalis (tersier)
bronchiolus terminalis melalui bronchiolus respiratorius masuk ke organ paru ductus
alveolaris alveoli.pada saat di alveoli terjadi pertukaran CO2 (yang dibawa A.pulmonalis)lalu
keluar paru dan O2 masuk kedalam vena pulmonalis.lalu masuk ke atrium sinistra ventrikel
sinistra dipompakan melalui aorta ascendens masuk sirkulasi sistemik oksigen (O2) di
distribusikan keseluruh sel dan jaringan seluruh tubuh melalui respirasi internal,selanjutnya CO2

kembali ke jantung kanan melalui kapiler / vena dipompakan ke paru dan dengan ekspirasi
CO2 keluar bebas.
LO 2.2 Mekanisme Pertahanan Saluran Pernapasan Atas
Hidung merupakan penjaga utama dari udara yang masuk pertama kali. Dalam sehari,
kita menghirup sekitar 10.000-20.000 liter udara. Fungsi hidung selain sebagai jalan masuk
udara, menghangatkan udara, dan melembabkan udara, juga sebagai penyaring udara.
Mekanisme pertahanan utama dari saluran napas adalah epitel permukaannya yang cukup
istimewa yaitu epitel respiratorius atau epitel bertingkat (berlapis semu) silindris bersilia
dan bersel goblet.
Epitel ini terdiri dari lima macam jenis sel yaitu:
1.
Sel silindris bersilia: sel terbanyak (1 sel mengandung 300 silia). Silia ini
terus bergerak utuk menangkap dan mengeluarkan partikel asing.
2.
Sel goblet mukosa: bagian apikal mengandung droplet mukus yang terdiri
dari glikoprotein.
3.
Sel sikat (brush cells): sel yang memiliki ujung saraf aferen pada
permukaan basal (reseptor sensorik penciuman).
4.
Sel basal (pendek)
5.
Sel granul kecil: mirip sel basal tetapi mempunyai banyak granul dengan
bagian pusat yang padat.
Lamina propria dibawah dari epitel ini banyak mengandung pembuluh darah yang berguna
untuk menghangatkan udara masuk serta dibantu dengan silia yang membersihkan udara dari
partikel asing dan kelenjar serosa dan mukosa yang melembabkan udara masuk.Kombinasi hal
ini memungkinkan tubuh untuk mendapatkan udara lembab, hangat serta bersih.
Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 m lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang
mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol).Lapisan gel/mukus dan
cair/sol mengandung mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler.
1. Lapisan gel terdiri atas albumin, glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor komplemen.
2. Lapisan cair terdiri atas sekresi serosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi
leukoprotease, dan sekretorik IgA.
Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara sinkron, sehingga ujungnya dijumpai pada fase gel
dan menyebabkannya bergerak ke arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya
(transpor mukosilier atau bersihan).Banyak faktor dapat mengganggu mekanisme tersebut,
termasuk peningkatan viskositas atau ketebalan mukus, membuatnya lebih sulit untuk bergerak
(misalnya peradangan, asma), perubahan pada fase sol yang menghambat gerakan silia atau
mencegah perlekatan pada fase gel dan gangguan aktivitas silia (diskinesia silia).Transpor
mukosilier ini menurun performanya akibat merokok, polutan, anestetik, dan infeksi serta pada
fibrosis kistik dan sindrom silia imotil kongenital yang jarang terjadi.Transpor mukosilier yang

berkurang menyebabkan infeksi respirasi rekuren yang secara progresif merusak paru, misalnya
bronkiektasis.Pada keadaan tersebut dinding bronkus menebal, melebar, dan meradang, secara
permanen.
Mukus (sekret kelenjar) dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
submukosa.Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut musin yang
memberikan sifat seperti gel pada mukus.Fluiditas dan komposisi ionik fase sol dikontrol oleh
sel-sel epitel. Mukus mengandung beberapa faktor yang dihasilkan oleh sel-sel epitel dan sel lain
atau yang berasal dari sel plasma: antiprotease seperti 1-antitripsin yang menghambat aksi
protease yang dilepaskan dari bakteri dan neutrofil yang mendegradasi protein, defisiensi 1antitripsin merupakan predisposisi terjadinya gangguan elastin dan perkembangan emfisema.
Protein surfaktan A, terlepas dari aksinya pada tegangan permukaan, memperkuat fagositosis
dengan menyelubungi atau mengopsonisasi bakteri dan partikel-partikel lain. Lisozim disekresi
dalam jumlah besar pada jalan napas dan memiliki sifat antijamur dan bakterisidal; bersama
dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase, dan defensin yang berasal dari neutrofil,
enzim tersebut memberikan imunitas non spesifik pada saluran napas.
Imunoglobulin sekretori (IgA) adalah imunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas dan
dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik; IgA juga menahan
perlekatan mikroba ke mukosa.IgA sekretori terdiri dari suatu dimer dua molekul IgA yang
dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori
glikoprotein.Komponen tersebut dihasilkan pada permukaan basolateral sel-sel epitel, tempatnya
mengikat dimer IgA.Kompleks IgA sekretori kemudian dipindahkan ke permukaan luminal sel
epitel dan dilepaskan ke dalam cairan bronkial. Kompleks tersebut merupakan 10% protein total
dalam cairan lavase bronkoalveolar.
LI 3. Memahami dan Menjelaskan Rhinitis Alergi
LO 3.1 Definisi Rhintis Alergi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
LO 3.2 Etiologi Rhinitis Alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari

klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

LO 3.3 Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet
et al, 2001).

3.4 Patofisiologi Rhinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
3.5 Manifestasi Klinik Rhinitis Alergi
Gejala yang timbul pada rhinitis alergi, antara lain:

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis.
Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Garis hitam melintang pada bagian tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute). Pucat dan edema mukosa
hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak disertai dengan sekret
mukoid atau cair.
Edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Suara serak dan edema pita suara

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Rhintis Alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor

genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau
polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis
dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman,
2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu
lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Diagnosis banding dari rhinitis alergika yang harus diperhatikan, adalah :
a. Rhinitis Vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat.
b. Rhinitis Medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topical dalam waktu lama
dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
c. Rhinitis Simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus. Sangat
menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya
tahan tubuh.
d. Rhinitis Hipertrofi :Hipertrofi chonca karena proses inflamasi kronis yang disebabkan
oleh bakteri primer atau sekunder.
e. Rhinitis Atrofi : Infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang chonca.
3.7 Penatalaksanaan dan Pencegahan Rhinitis Alergi

Medikamentosa
Antihistamin antagonis H-1 sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Dibagi menjadi
2 golongan, generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Generasi H-1 bersifat
hipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik.
Dekongestan dipakai hanya untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid intranasal dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung tidak
kunjung membaik setelah diberi antihistamin. Antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas inhibisi
reserptor kolinergik permukaan selefektor.

Dekongestan
Obat ini golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptoralfa-adregenik pada
mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang
membengkak dan memperbaiki pernafasan, contohnya pseudofedrin,efedrin sulfat
dan fenilpropanolamin. Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan
rhinitis medikamentosa, dimana hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer.
Dekongestan oral secara umum tidak dianjurkan karena efek klinisnya masih
meragukan dan memiliki banyak efek samping. Dari keempat obatdekongestan yang
banyak dipakai, fenilopropanolamin dan efedrin memiliki indeksterapi yang sempit.
Keduanya dapat menyebabkan hipertensi pada dosis mendekati terapetiknya.

Kortikosteroid Nasal
merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi rhinitis alergi hingga saat ini.
Efek utama steroid topikal pada mukosa hidung antaralain mengurangi inflamasi
dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis
neutrofil, mengurangi edema intrasel, dan menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai sel mast. Sedangkan efek sampingnya meliputi bersin, perih pada
mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi Candidia albicans.

Sodium Kromolin
bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast danpelepasan mediator, termasuk
histamin. Efek sampingnya paling sering adalah iritasilokal.

Ipratropium Bromida
Bermanfaat pada rhintis alergi perennial atau rhinitis alergi yang persisten, obat ini
memiliki sifat antisekretori jika digunakan secara lokaldan bermanfaat untuk
mengurangi hidung berair. Efek sampingnya tingan, meliputi sakit kepala, epistaksis,
dan hidung terasa kering.

Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) bila konka hipertrofi berat dan
tidak dapat dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau troklor
asetat.

Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
Bersifat kausatif artinya imunoterapi merupakan proses yang lambat dan bertahap
dengan menginjeksikan alergen yang diketahui memicu reaksi alergi pada pasien
dengan dosis yang semakin meningkat.
Tujuannya adalah agar pasien mencapai peningkatan toleransi terhadap alergen,
sampai pasien tidak lagi menunjukkan reaksi alergi jika terpapar oleh senyawa
tersebut.
Caranya: Larutan alergen yang sangat encer (1:100.000 sampai 1:1000.000.000 b/v)
diberikan 1 2 kali seminggu. Konsentrasi kemudian ditingkatkan sampai tercapai
dosis yang dapat ditoleransi. Dosis ini kemudian dipertahankan setiap 2-6
minggu,tergantung pada respon klinik.
Terapi dilakukan sampai pasien dapat mentoleransi alergen pada dosis yang
umumnya dijumpai pada paparan alergen. Parameter efektifitas ditunjukkan dengan
berkurangnya produksi IgE, meningkatnya produksi IgG, perubahan pada limfosit T,

berkurangnya pelepasan mediator dari sel yang tersensitisasi, dan berkurangnya


sensitivitas jaringan terhadap alergen. Namun, imunoterapi terbilang mahal dan butuh
waktu lama, membutuhkan komitmen yang besar dari pasien.

Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen, yaitu dengan:

Pencegahan melalui edukasi


Mencegah terjadinya tahap sensitasi
Mencegah gejala timbul dengan cara terapi medikamentosa
Menghindari kontak dengan alergen
Menggunakan sarung tangan dan masker
Mersihkan debu dengan lap basah, minimal 29 kali dalam 1 minggu

3.8 Komplikasi Rhinitis Alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel
inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia
sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas
sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
3.9 Prognosis Rhinitis Alergi
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada
anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang
sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul
dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Pernapasan dalam Islam


Sesungguhnya Allah Mencintai Orang yang Bersin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasullullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
Sesungguhnya Allah menyukai bersin. (HR Bukhari) Bersin merupakan sesuatu yang disukai
karena bersin dapat menyehatkan badan dan menghilangkan keinginan untuk selalu
mengenyangkan perut, serta dapat membuat semangat untuk beribadah.
Ketika Bersin Hendaknya:
-

Merendahkan suara.
Menutup mulut dan wajah.
Tidak memalingkan leher.
Mengeraskan bacaan hamdalah, walaupun dalam keadaan shalat.

Macam-Macam Bacaan yang Dapat Kita Amalkan Ketika Bersin


Alhamdulillah (segala puji hanya bagi Allah).
Alhamdulillahi Rabbil alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam).
Alhamdulillah ala kulli haal (segala puji bai Allah dalam setiap keadaan)
Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi, mubaarakan alaihi kamaa yuhibbu
Rabbuna wa yardhaa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi penuh berkah dan
diberkahi, sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami).

Anda mungkin juga menyukai