Paper Gastroenteritis
Paper Gastroenteritis
ISS-IT
GASTROENTERITIS
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa
Dosen Pengampu:
Ns. Niken Safitri D.K., S.Kep, M.Si.Med.
Disusun oleh Kelompok 9 Kelas A.14.1:
22020114130103
22020114130106
Ana Sholihah
22020114130108
Rana Rofifah
22020114130117
22020114130122
GASTROENTERITIS (GE)
Gastroenteritis hingga saat ini masih sebagai salah satu penyebab utama kesakitan
dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa
diserang oleh gastroenteritis. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009-2010
gastroenteritis mernduduki nomor tiga penyebab kematian pada bavi baik di dunia maupun di
Asia Tenggara dengan angka Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 1718%.
A. Definisi
Gasteroenteritis (GE) adalah peradangan yang terjadi pada membran mukosa
saluran gastrointestinal yang dapat menyebabkan kehilangan cairan dan terjadinya
gangguan keseimbangan elektrolit (Ghazali, 2014).
Gasteroenteritis merupakan suatu penyakit dimana membran mukosa pada
permukaan lambung dan usus mengalami inflamasi dengan tanda diare baik disertai
muntah ataupun tidak (Lubis, 2012).
Menurut Wong (2013) Gasteroenteritis adalah suatu peradangan yang
disebabkan oleh patogen parasitik, bakteri ataupun virus yang menyerang bagian
mukosa lambung dan usus manusia.
Gastroenteritis adalah suatu keadaan abnormal dimana frekuensi buang air
besar terjadi lebih dari 3 kali pada usia dewasa dan 4 kali sehari pada bayi baru lahir
baik disertai lendir ataupun tidak, ditandai dengan terjadinya peningkatan volume dan
encernya feses (Hidayat, 2006)
B. Penyebab
Menurut Ngastiyah (2005) faktor penyebab diare diantaranya yaitu:
a. Faktor Infeksi
Ada 3 hal yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi yaitu bakteri, virus,
dan parasit.
Infeksi
oleh
bakteri:
Vibrio,
E.coli,
Salmonella,
Shigella,
Infeksi
oleh
parasit:
Cacing
(Ascaris,
Trichuris,
Oxyuris,
c. Turgor menurun
d. Membran mukosa kering
Dehidrasi berat: Kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan
a.
b.
c.
d.
e.
Adanya iritasi mukosa usus dan peningkatan volume cairan dirongga usus
menyebabkan klien mengeluh perut merasa sakit. Selain karena 2 hal itu, nyeri
perut/kram timbul karena bakteri disusus yang menghasilkan gas H2 dan CO2 yang
menimbulkan kembung dan flatis berlebihan. biasanya pada keadaan ini klien akan
merasa mual bahkan muntah dan nafsu makan menurun, karena terjadi ketidak
seimbangan asam basa dan elektrolit.
Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan akan menyebabkan klien jatuh
pada keadaan dehidrasi. Yang ditandai dengan berat badan menurun, turgor kulit
berkurang, mata dan ubun-ubun bisa menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir
dan mulut serta kulit tampak kering. Bila keadaan ini terus berlanjut dan klien tidak
mau makan maka akan menimbulkan gangguan nutrisi sehingga klien lemas.
Dehidrasi dan reaksi inflamasi pada mukosa usus menyebabkan peningkatan suhu
tubuh klien. Tubuh yang kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan membuat
cairan ekstraseluler dan intraseluler menurun.
kehilangan Na, K dan ion karbohidrat. Bila keadaan ini berlanjut terus makan volume
darah juga berkurang . Tubuh mengalami gangguan sirkulasi, perfusi jaringan
terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan syok hipovolemik dengan gejala denyut
jantung menjadi cepat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, klien sangat
lemah kesadaran menurun.
Selain itu, akibat lain dari kehilangan cairan ekstrasel yang berlebihan, tubuh akan
mengalami asidosis metabolik dimana klien akan tampak pucat dengan pernafasan
yang cepat dan dalam.
Faktor psikologis juga dapat menyebabkan diare. Karena faktor psikologis (stress,
marah, takut) dapat merangsang kelenjar adrenalin dibawah pengendalian sistem
pernafasan simpatis untuk merangsang pengeluaran hormon yang kerjanya mengatur
metabolisme tubuh. Sehingga bila terjadi stress maka metabolisme akan terjadi
peningkatan, dalam bentuk peningkatan mortalitas usus.
Pathway Gastroenteritis
E. Pengobatan Gastroenteritis
Diare akut didefinisikan sebagai peningkatan secara tiba-tiba frekuensi dan
perubahan konsistensi feses. Perubahan tersebut sering kali disesbabkan oleh agen
infeksius pada saluran pencernaan (Hockenberry & Wilson, 2009, dalam Ulfah, et al,
2012). Gastroenteritis akut adalah penyakit yang terjadi akibat adanya peradangan
pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi dengan gejalanya terutama
adalah muntah, dehidrasi dan diare. Gastroentitis akut disebabkan oleh 90% adanya
infeksi bakteri dan penyebab lainnya antara lain obat-obatan, bahan-bahan toksik,
iskemik dan sebagainya (Noerasid, 1988, dalam Suharyono, et al, 2003). Ada
kecenderungan bahwa pemberi cairan intravena lebih sering digunakan dibanding
cairan oral, walaupun pengunaan cairan rehidrasi oral itu lebih aman, lebih fisiologis,
tidak nyeri, dan lebih murah dibanding penggunaan cairan intravena (Steiner, et al,
2004, dalam Poerwati, 2013).
Resiko akibat diare dapat dikurangi dengan terapi yang tepat. Terapi pertama
bagi penderita diare akut tanpa dehidrasi, dan dehidrasi ringan-sedang adalah dengan
pemberian CRO (cairan rehidrasi oral). Pemberian CRO yang tepat dengan jumlah
yang memadai merupakan modal yang utama mencegah dehidrasi. Terapi lain yang
dapat
diberikan
adalah
adsorben
(attapulgit
dan
pektin),
dan
antiemetik
histolytica
dengan
metronidazol.
Campylobacter
jejuni
dengan
Pada terapi diare akut, golongan antibiotic yang paling banyak digunakan
adalah golongan sefalosporin sedangkan golongan antibiotik yang paling sedikit
diberikan adalah golongan penisilin. Sefalosporin adalah antibiotik yang paling
banyak diberikan pada penelitian ini. Sefalosporin merupakan antibiotik betalaktam
yang memiliki mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan
Gan, 2004). Sefalosporin memiliki spektrum aktivitas yang luas dimana antibiotika
ini dapat digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, infeksi Pneumococcus yang sensitif terhadap penisilin, dan yang
paling sering adalah sebagai alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin
(Fairbanks, 2007, dalam Siswidiasari, 2014).
Jenis antibiotik yang paling sedikit diberikan adalah antibiotik golongan
penisilin. Penisilin adalah senyawa bakterisida dengan indeks terapi lebar yang
bekerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintetis
dinding sel mikroba (Siswandono dan Soekardjo, 2004). Penggunaan dari golongan
penisilin ditemukan dalam persentase yang kecil kemungkinan karena banyak
bakteri yang sudah resisten terhadap golongan penisilin. Suatu hasil studi ditemukan
bahwa 25% bakteri pneumonia resisten terhadap penisilin (Todar, 2008, dalam
Siswidiasari, 2014).
2. Penggunaan Obat Non Antibiotik Pasien Rawat Inap
a. Penanganan Dehidrasi pada Pasien Diare
1) Ringer Laktat
Ringer laktat merupakan cairan garam fiologis steril yang kandungan
asam basanya menyerupai cairan plasma darah. Ringer laktat mengandung
garam NaCl (6g), KCl (0,3g), CaCl2 (0,2g), dan Na Laktat (3,1g) dalam
setiap 1 liter larutan. Cairan ini berfungsi untuk mengembalikan osmolaritas
dan elektrolit tubuh secara cepat melalui rehidrasi intravena. Larutan ringer
laktat akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk
memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Ringer laktat biasa
diberikan pada penderita diare yang mengalami dehidrasi yang berat atau
yang berpotensi menjadi berat sehingga memerlukan rehidrasi intravena
secara cepat.
Terapi intravena ringer laktat pada penderita diare, pada bayi diberikan
sebanyak 30 mg/kg berat badan selama 1 jam pertama, kemudian dapat
kehilangan
cairan
elektrolit
dan
dekstrosa
tubuh
(World
diare akut pederita dehidrasi berat atau berpotensi menjadi berat (WGO,
2008, dalam Agency for Healthcare Research and Quality).
b. Penggunaan CRO (Cairan Rehidrasi Oral) pada Pasien Diare
Pada tahun 1975, WHO dan United Nations Children's Fund (UNICEF)
sepakat untuk mempromosikan cairan rehidrasi oral yang mengandung natrium
90 mmol/L dan glukosa 111 mmol/L dengan total osmolaritas sebesar 311
mOsm/L. Komposisi ini dipilih sebagai suatu larutan tunggal yang digunakan
untuk tatalaksana diare yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius dan
dihubungkan dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Sebagai contoh, diare
karena rotavirus dihubungkan dengan kehilangan natrium dalam tinja sekitar 30 40 mEq/L, pada infeksi enterotoksigenik E. coli sekitar 50 - 60 mEq/L, dan pada
infeksi kolera sekitar 90 - 120 mEq/L (Waspada, 2012).
Sejak tahun 2004, WHO / UNICEF merekomendasikan oralit dengan
osmolaritas rendah. Berdasarkan penelitian dengan oralit osmolaritas rendah
diberikan kepada penderita diare dapat mengurangi volume tinja hingga 25,
mengurangi mual muntah hingga 30, mengurangi secara bermakna pemberian
cairan melalui intravena sampai 33% (Kemenkes RI, 2011, dalam Siswidiasari,
2014). Keadaan gizi yang buruk akan mempengaruhi lamanya diare dan
komplikasinya. Pemberian air susu ibu terbukti meningkatkan daya tahan
terhadap diare (Harianto, 2004).
Cairan rehidrasi oral telah terbukti efektif dalam pencegahan dan
pengobatan terhadap dehidrasi yang disebabkan penyakit diare (Bezera, et al,
1992). Cairan tersebut dapat digunakan untuk menangani gastroenteritis akut,
untuk pemeliharaan rehidrasi, dan mencegah komplikasi lebih lanjut akibat diare.
Cairan rehidrasi oral tersebut terbukti dapat mengatasi dehidrasi ringan hingga
sedang pada bayi dan anak-anak secara aman, efektif, relatif lebih murah, dan
mudah digunakan. Oleh karena itu, American Academy of Pediatrics (AAP) dan
World Health Organization (WHO) merekomendasikan cairan tersebut sebagai
tindakan pertama untuk mengatasi dehidrasi ringan (Ladinsky, et al, 2000, dalam
Siswidiasari, 2014).
Oralit atau cairan rehidrasi oral adalah larutan untuk mengatasi diare.
Larutan ini sering disebut rehidrasi oral. Bahaya utama diare adalah kematian
yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut
yang disebut dehidrasi. Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang bergizi
buruk, karena gizi yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan
orang tuanya tidak segera memberi makanan untuk menggantikan cairan tubuh
yang hilang (Harianto, 2004).
Cairan rehidrasi oral yang dipakai oleh masyarakat adalah air kelapa, air
tajin, air susu ibu, air teh encer, sup wortel, air perasan buah dan larutan gula
garam (LGG). Pemakaian cairan ini lebih dititik beratkan pada pencegahan
timbulnya dehidrasi. Sedangkan bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya
diberi minuman Oralit. Oralit yang menurut WHO mempunyai komposisi
campuran Natrium Klorida, Kalium Klorida, Glukosa dan Natrium Bikarbonat
atau Natrium Sitrat (Harianto, 2004).
Tatalaksana penderita diare yang tepat dan efektif merupakan bagian
penting dalam pemberantasan penyakit diare khsususnya dalam upaya
menurunkan angka kematian diare dan mengurangi komplikasi akibat diare.
Selain daripada itu tatalaksana penderita yang berhasil akan pula menjadi pintu
masuk promosi kesehatan lain dan kegiatan kesehatan lingkungan lain dalam
rangka menurunkan angka kesakitan diare. Bahaya diare terletak pada dehidrasi
maka penanggulangannya dengan cara mencegah timbulnya dehidrasi dan
rehidrasi intensif bila telah terjadi dehidrasi. Rehidrasi adalah upaya
menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan cairan yang
memadai melalui oral atau parenteral (Harianto, 2004).
c. Penggunaan Zink pada Pasien Diare
Cairan rehidrasi oral dianggap tidak signifikan dalam menurunkan defekasi
dan durasi diare. Oleh karena itu, World Health Organization (WHO) dan
UNICEF (2004) kembali merekomendasikan kebijakan terbaru mengenai
penatalaksanaan diare pada anak, yaitu dengan menambahkan suplementasi zink
(Zn) pada terapi rehidrasi oral tersebut. Dalam penatalaksaan pengobatan diare
akut, zink mampu mengurangi durasi episode diare hingga sebesar 25%.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian zink mampu menurunkan volume
dan frekuensi tinja rata-rata sebesar 30%. Zink juga menurunkan durasi dan
keparahan pada diare persisten. Bila diberikan secara rutin pada anak-anak, baik
jangka panjang maupun jangka pendek, zink mampu menunjukkan efektivitas
dalam mencegah diare akut maupun persisten dan mampu memberikan manfaat
menurunkan prevalensi diare yang disebabkan disentri dan shigellosis.
Pemberian zink direkomendasikan untuk pengobatan diare selama 10-14 hari
pada pasien anak diare di bawah usia 5 tahun, bayi usia di bawah 6 bulan dapat
diberikan zink 10 mg setiap hari, dan anak usia 6 bulan hingga 5 tahun diberikan
dengan dosis 20 mg setiap hari. Rekomendasi pemberian zink selama dan sesaat
setelah diare terbukti dapat menurunkan tingkat keparahan dan durasi diare, serta
menurunkan kemungkinan munculnya kembali diare pada 2-3 bulan setelahnya
(Indriani & Asri, 2007).
Kaitan antara zink dan diare telah dilaporkan melalui hasil penelitian
epidemiologis maupun laboratorium. Zink mempunyai efek terhadap beberapa
enterosit dan sel imun yang berinteraksi dengan agen infeksius pada diare. Zink
utamanya bekerja pada jaringan dengan kecepatan turnover yang tinggi seperti
halnya pada saluran cerna dan sistem imun dimana zink dibutuhkan untuk sintesa
DNA dan sintesa protein (Bijleveld, et al, 1997 dalam Armin, 2005, dalam Ulfah,
et al, 2012).
Peningkatan frekuensi defekasi disertai volume tinja yang banyak selama
diare disebabkan karena terjadinya
peningkatan
ketidakseimbangan fungsi usus dalam proses penyerapan substrat organik dan air.
Jika terjadi secara terus menerus, maka anak dapat mengalami dehidrasi. Oleh
karena itu, diare harus dihentikan tidak hanya dengan menggantikan cairan yang
hilang, akan tetapi dengan memperbaiki kondisi usus. Pemberian cairan rehidrasi
oral saja tidak cukup signifikan dalam menurunkan frekuensi defekasi, sehingga
perlu ditambahkan zink sebagai regimen terapi (Lukacik, Thomas, & Aranda,
2008). Terjadinya penurunan frekuensi defekasi dan pengurangan volume tinja
secara otomatis juga akan memperpendek durasi diare atau mencegah
berlanjutnya diare.
Zink merupakan komponen yang memiliki banyak enzim yang memainkan
peranan dalam metabolisme asam nukleat dan sintesis protein, serta untuk
perbaikan struktur dan fungsi membran. Diare dapat menyebabkan hilangnya zink
dalam tubuh. Beberapa penelitian suplementasi zink dalam jumlah besar telah
menunjukkan berkurangnya insiden diare akut dan persisten pada bayi dan anakanak secara bermakna. Meningkatnya status zink pada populasi tersebut juga
analgesik. Antipiretik
merupakan
obat yang
digunakan untuk
menurunkan demam yang ditandai oleh peningkatan suhu tubuh pasien. Gejala
demam pada penderita diare akut anak umum terjadi dan biasa disebabkan oleh
aktivitas invasif patogen. Oleh karena itu, pemberian antipiretik merupakan hal
tepat dilakukan untuk menurunkan gejala demam pada penderita diare akut anak.
f. Penggunaan Antasida dan H2Blocker pada Pasien Diare
1) Antasida
Antasida merupakan obat yang berfungsi untuk menetralkan asam
lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri, misalnya pada
penderita maag dan tukak peptik. Antasida tidak mengurangi volume HCL
kesehatan,
dengan
memperbaiki
keseimbangan
mikroflora
peningkatan
permeabilitas
usus
(yang
secara
normal
sinergis
dari
keduanya
yang
akan
meningkatkan
efek
Pemberian Cairan
Pemberian cairan menurut Wijaya & Putri (2013), meliputi jenis cairan, cara
pemberian, dan jumlah:
a. Cairan peroral
1) Dehidrasi ringan dan sedang: cairan yang berisi NaCl, NaHCO3, KG, dan
glukosa
3.
Obat-obatan
Prinsip: mengganti cairan yang hilang melalui tinja dengan / tanpa muntah
dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa / karbohidrat lain (gula, air
tajin, tepung beras, dll) (Wijaya & Putri, 2013).
Obat yang diberikan adalah:
a) Obat antisekresi
Asetosal. 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
Klorpromazin. Dosis 0,5 1 mg/kgBB/hari.
b) Obat spasmolitik
Papaverin, ekstrak beladon, opium loperamid tidak digunakan pada klien diare.
Obat pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal tabonal tidak bermanfaat
mengatasi diare sehingga tidak diberikan lagi.
c) Antibiotik
Umumnya, antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas. Pada
klien kolera, diberikan tetrasiklin 25 50 mg/kgBB/hari. ATS diberikan bila
terdapat penyakit-penyakit seperti, OMA, faringitis, bronkitis, bronkopneumoni.
G. Pencegahan Gastroenteritis
Upaya pencegahan diare pada balita dapat dilakukan ibu-ibu dengan beberapa
cara, antara lain:
1.
Memberikan ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6
bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula
atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi
dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan
tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme
lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh
(memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6
bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi
dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap
diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya
bakteri penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang
dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
2.
4.
Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%).
5.
Menggunakan jamban / WC
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga
harus buang air besar di jamban.
6.
7.
H. Askep Gastroenteritis
Menurut Donna L. Wong (2009) dan Sodikin (2011), Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan
dari traktus gastrointestinal dalam feses atau muntahan (emesis).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan
cairan akibat diare, dan asupan cairan yang tidak adekuat.
c. Resiko menularkan infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menginvasi
traktus gastroentestinal.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena defekasi yang sering
dan feses yang cair.
e. Ansietas (takut) berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak
kenal, prosedur yang menimbulkan stress.
2. Intervensi dan rasional
Menurut Donna L. Wong (2009) dan Sodikin (2011), Intervensi keperawatan dan
rasional yang mungkin muncul pada setiap Diagnosa Keperawatan antara lain sebagai
berikut :
Rasional :Karena diet ini memiliki kandungan energi dan protein yang rendah,
kandungan hidrat arang yang terlampaui tinggi.
3) Amati dan catat respon anak terhadap pemberian makanan.
Rasional : untuk menilai toleransi anak terhadap makanan/susu formula yang
diberikan.
4) Beri tahu keluarga untuk menerapkan diet yang tepat.
Rasional : untuk menghasilkan kepatuhan terhadap program terapeutik.
5) Monitor berat badan pasien sesuai indikasi. (Nanda, 2007)
Rasional : untuk menilai keadaan dehidrasi. (L. Wong, 2009)
6) Sediakan makanan yang sesuai dengan kesukaan pasien dan program diet.
(Nanda,2007)
Rasional : pemberian kembali secara dini makanan yang biasa dikonsumsi akan
membawa manfaat mengurangi frekuensi defekasi dan meminimalkan penurunan
berat badan serta memperpendek lama sakit. (L. Wong, 2009)
2) Bersihkan bagian bokong secari hati-hati dengan sabun lunak non alkalis dan air.
Rasional : karena feses pasien diare bersifat sangat iritasi pada kulit.
3) Oleskan salep seperti zink oksida.
Rasional : untuk melindungi kulit terhadap iritasi (tipe salepnya bisa berbeda bagi
setiap anak dan mungkin memerlukan waktu untuk mencobanya dahulu ).
4) Bila mungkin biarkan kulitutuh yang berwarna agak merah terkena udara.
Rasional : untuk memepercepat kesembuhan.
5) Hindari pemakaian tisu pembersih komersial yang mengandung alkohol pada kulit
yang mengalami ekskoriasi.
Rasional : karena penggunaan tisu ini akan menimbulkan rasa perih.
e. Ansietas (takut) berhubungan dengan keterpisahan anak dari orang tuanya,
lingkungan tidak biasa, dan prosedur yang menimbulkan distress.
Batasan karakteristik menurut Nanda NIC & NOC (2007) antara lain: gelisah,
resah, ketakutan, kesedihan yang mendalam, mudah tersinggung.
Intervensi dan Rasional:
1) Lakukan perawatan mulut dan berikan dot kepada bayi
Rasional : untuk memberikan rasa nyaman.
2) Anjurkan kunjungan dan partisipasi keluarga dalam perawatan anak sesuai
kemampuan keluarga.
Rasional : untuk mencegah stress pada anak karena berpisah dengan keluarga.
3) Sentuh, peluk, dan bicara dengan anak sebanyak mungkin
Rasional : untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress.
4) Lakukan stimulus dan pengalihan sensorik yang sesuai dengan tingkat dan kondisi
perkembangan anak
Rasional : untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, KB. 2014. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 11 November 2015 pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter%20II.pdf.
Hidayat, AAA. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Lubis, R. 2012. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 11 November 2015 pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34097/4/Chapter%20II.pdf.
Wong, DL. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Edisi 4. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/3/jtptunimus-gdl-s1-2007-suhendrago-122-2-bab2.pdf
Diakses pada 14 November 2015.
Agency for Healthcare Research and Quality. Diakses tanggal 10 November 2015 pada
http://www.guideline.gov/content.aspx?id=47569
Bezerra, J.A., Stathos, T.H., Duncan, B., Gaines, J.A., & Udall, J.N. (1992). Pediatrics.
Treatment of infants with acute diarrhea: What's recommended and what's practiced,
vol. 90, no. 1, hal. 1-4
Cakrawardi, Wahyudin, Elly, & Saruddin, Bachtiar. (2009). Majalah Farmasi dan
Farmakologi. Pola penggunaan antibiotik pada gastroenteritis berdampak diare akut
pasien anak rawat inap di badan layanan umum rumah sakit dr. Wahidin
sudirohusodo makassar selama tahun 2009, vol. 15, no. 2, hal. 69-72
Cheng, A. (2011). Pediatri Child Health. Emergency department use of oral ondansetron for
acute gastroenteritisrelated vomiting in infants and children, vol. 16, no. 3, hal. 177179
Harianto. (2004). Majalah Ilmu Kefarmasian. Penyuluhan penggunaan oralit untuk
menanggulangi diare di masyarakat, vol. 1, no.1, hal. 27-33
Indiriani, R, & Asri, E.K. (2007). InfoPOM. Formulasi oralit baru dan suplementasi zink
dalam penanganan diare pada anak, vol. 8, no. 3, hal. 4-5
Irwanto, Rohim, A., & Sudarmo, S.M. (2002). Diare akut pada anak. Dalam: Ilmu penyakit
anak: Diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Istiantoro, Y.H., & V.H.S. Gan. (2004). Penisilin, sefalosporin, dan antibiotika beta laktam
lainnya; Farmakologi dan terapi. (Edisi Keempat). Universitas Indonesia, Jakarta
Kemenkes RI. (2011). Buletin Jendela Data. Pengendalian diare di indonesia, vol. 2, triwulan
2, hal. 19-25
Kiesewetter, B., & Raderer, M. (2013). N Engl J Med. Ondansetron for diarrhea associated
with neuroendocrine tumors, vol. 368, no. 20, hal. 1947-1948
Lukacik, M., Thomas, R.L., & Aranda, J.V. (2008). Pediatrics. A meta-analysis of the effects
of oral zinc in the treatment of acute and persistent diarrhoea, vol. 121, no. 2, hal.
326-336
Poerwati, Endang. (2013). Jurnal Kedokteran Brawijaya. Determinan lama rawat inap pasien
balita dengan diare, vol. 27, no. 4, hal. 241-244
Rudi, M.M. (2006). Pengaruh pemberian cairan ringer laktat di bandingkan nacl 0,9%
terhadap keseimbangan asam-basa pada pasien sectio caesaria dengan anestesi
regional. Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses tanggal 10 November 2015
pada http://eprints.undip.ac.id/18349/
Siswidiasari, Arifani, Astuti, K.W., & Yowani, S.C. (2014). Jurnal Kimia. Profil terapi obat
pada pasien rawat inap dengan diare akut pada anak di rumah sakit umum negara,
vol. 8, no. 2, hal. 183-190
Siswandono, & Soekardjo, B. (2004). Peran kimia medisinal dalam pengembangan dan
penemuan obat baru. Universitas Airlangga Surabaya. Diakses tanggal 10
November
2015
pada
https://
adln.lib.unair.ac.id%2Ffiles
%2Fdisk1%2F812%2Fgdlhub-gdl-grey-2015-siswandono-40577-pg.149-1p.pdfTieder, J.S., Robertson, A., & Garrison, M.M. (2009). Pediatrics. Pediatrics
hospital adherence to the standard of care for acute gastroenteritis, vol. 124, no.6,
hal. 1081-1087
Suharyono, Boediarso, A., & Halimun, E.M. (2003). Gastroenterologi anak praktis. Edisi ke4, hal. 51-76. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tieder, J.S., Robertson, A., & Garrison, M.M. (2009). Pediatrics. Pediatrics hospital
adherence to the standard of care for acute gastroenteritis, vol. 124, no.6, hal. 10811087
Ulfah, Maria., Rustina, Yeni., & Wanda, Dessie. (2012). Jurnal Keperawatan Indonesia. Zink
efektif mengatasi diare akut pada balita, vol. 15, no. 2, hal. 137-142
Waspada, I Made Indra. (2012). Suplementasi probiotik pada terapi standar zinc dan cairan
rehidrasi oral pada anak usia 6-36 bulan dengan diare akut. Universitas Indonesia,
Jakarta.
Diakses
tanggal
10
November
2015
pada
http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20308185-T%2031682-Suplementasi%20probiotik-full%20text.pdf
Wijaya, Andra Saferi & Putri, Yessie Mariza. (2013). Keperawatan medikal bedah (KMB) 1;
Keperawatan dewasa teori dan contoh askep. Yogyakarta: Nuha Medika
http://eprints.ums.ac.id/20516/19/NASKAH_PUBLIKASI.pdf diakses pada 15 November
2015