Anda di halaman 1dari 28

PAPER

ISS-IT
GASTROENTERITIS
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa
Dosen Pengampu:
Ns. Niken Safitri D.K., S.Kep, M.Si.Med.
Disusun oleh Kelompok 9 Kelas A.14.1:

Anisa Nur Ardillah

22020114130103

Ainur Muhti Ashari

22020114130106

Ana Sholihah

22020114130108

Hizroh Rochmah Tulloh22020114130115

Rana Rofifah

22020114130117

Rianti Putri Tsani

22020114130122

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
2015

GASTROENTERITIS (GE)
Gastroenteritis hingga saat ini masih sebagai salah satu penyebab utama kesakitan
dan kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa
diserang oleh gastroenteritis. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2009-2010
gastroenteritis mernduduki nomor tiga penyebab kematian pada bavi baik di dunia maupun di
Asia Tenggara dengan angka Proportional Mortality Ratio (PMR) masing-masing sebesar 1718%.

A. Definisi
Gasteroenteritis (GE) adalah peradangan yang terjadi pada membran mukosa
saluran gastrointestinal yang dapat menyebabkan kehilangan cairan dan terjadinya
gangguan keseimbangan elektrolit (Ghazali, 2014).
Gasteroenteritis merupakan suatu penyakit dimana membran mukosa pada
permukaan lambung dan usus mengalami inflamasi dengan tanda diare baik disertai
muntah ataupun tidak (Lubis, 2012).
Menurut Wong (2013) Gasteroenteritis adalah suatu peradangan yang
disebabkan oleh patogen parasitik, bakteri ataupun virus yang menyerang bagian
mukosa lambung dan usus manusia.
Gastroenteritis adalah suatu keadaan abnormal dimana frekuensi buang air
besar terjadi lebih dari 3 kali pada usia dewasa dan 4 kali sehari pada bayi baru lahir
baik disertai lendir ataupun tidak, ditandai dengan terjadinya peningkatan volume dan
encernya feses (Hidayat, 2006)

B. Penyebab
Menurut Ngastiyah (2005) faktor penyebab diare diantaranya yaitu:
a. Faktor Infeksi
Ada 3 hal yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi yaitu bakteri, virus,
dan parasit.
Infeksi

oleh

bakteri:

Vibrio,

E.coli,

Salmonella,

Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.


Infeksi oleh virus: Coxsackie, ECHO, Poliomyelitis, Adeno-virus,
Rotavirus, dan lain-lain.

Infeksi

oleh

parasit:

Cacing

(Ascaris,

Trichuris,

Oxyuris,

Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,


Trichomonas hominis) dan jamur (Candida albicans).
b. Faktor Malabsorpsi
Malabsorpsi terjadi pada zat-zat makanan seperti karbohidrat, lemak dan
protein.
c. Faktor Makanan
Faktor makanan yang dimaksud adalah apabila makanan tersebut
beracun, sudah basi, atau penderita memiliki alergi dengan makanan tersebut.
d. Faktor Psikologis
Faktor ini juga dapat menjadi penyebab dari timbulnya penyakit ini,
misalnya saat seseorang merasa takut dan cemas.

C. Tanda dan Gejala Gastroenteritis


Mula-mula pasien tampak gelisah, suhu tubuh meningkat. Nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai
lendir atau darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena bercampur
dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyak asam laktat yang berasal
dari laktosa yang tidak diabsorpsi oleh usus selama diare.
Gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare dan dapat disebabkan
karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan
elektrolit. Bila klien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi
mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun
besar menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi:
Dehidrasi ringan: Kehilangan cairan kurang dari 5% berat badan
a.
b.
c.
d.
e.

Haus, sadar, gelisah, ubun-ubun normal


TD normal, RR normal dan nadi normal, status mental normal
Turgor normal
Mukosa sedikit kering
Urin sedikit mengurang

Dehidrasi sedang: Kehilangan cairan antara 5-9% berat badan


a. Haus meningkat
b. Nadi cepat dan lemah, TD normal, RR cepat

c. Turgor menurun
d. Membran mukosa kering
Dehidrasi berat: Kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan
a.
b.
c.
d.
e.

Kesadaran menurun, lemas, takikardi, ekstermitas dingin


Nadi cepat, TD menurun
Haus meningkat
Keluaran urin tidak ada
Ubun-ubun cekung

D. Patofisiologi dan Pathway


Gastroenteritis bisa disebabkan oleh 4 hal, yaitu faktor infeksi (bakteri, virus,
parasit), faktor malabsorbsi dan faktor makanan dan faktor fisiologis.
Diare karena infeksi seperti bakteri, berawal dari makanan/minuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bakteri tertelan masuk sampai lambung, kemudian bakteri
dibunuh oleh asam lambung. Namun jumlah bakteri yang terlalu banyak
menyebabkan bakteri lolos sampai duodenum dan berkembang biak. Didalam usus
tersebut bakteri akan memproduksi enzim yang akan mencairkan lapisan lendir yang
menutupi permukaan usus, sehingga bakteri mengeluarkan toksin yang merangsang
sekresi cairan-cairan usus dan menghambat absorbsi cairan. Sebagai akibat dari
keadaan ini volume cairan didalam lumen usus meningkat yang mengakibatkan
dinding usus menggembung dan sebagian dinding usus akan kontraksi sehingga
terjadi hipermotilitas untuk mengalirkan cairan di usus besar. Apabila jumlah cairan
tersebut melebihi kapasitas absorbsi usus maka akan terjadi diare.
Diare yang disebabkan karena malabsorbsi makanan akan menyebabkan makanan
atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga
usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi
rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya,
sehingga timbul diare.
Masuknya makanan yang beracun juga dapat menyebabkan diare karena akan
mengganggu motilitas usus. Iritasi mukosa usus menyebabkan hiperperistaltik
sehingga mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan
sehingga timbul diare. Sebaliknya jika peristaltic menurun akan mengakibatkan
bakteri akan tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

Adanya iritasi mukosa usus dan peningkatan volume cairan dirongga usus
menyebabkan klien mengeluh perut merasa sakit. Selain karena 2 hal itu, nyeri
perut/kram timbul karena bakteri disusus yang menghasilkan gas H2 dan CO2 yang
menimbulkan kembung dan flatis berlebihan. biasanya pada keadaan ini klien akan
merasa mual bahkan muntah dan nafsu makan menurun, karena terjadi ketidak
seimbangan asam basa dan elektrolit.
Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan akan menyebabkan klien jatuh
pada keadaan dehidrasi. Yang ditandai dengan berat badan menurun, turgor kulit
berkurang, mata dan ubun-ubun bisa menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir
dan mulut serta kulit tampak kering. Bila keadaan ini terus berlanjut dan klien tidak
mau makan maka akan menimbulkan gangguan nutrisi sehingga klien lemas.
Dehidrasi dan reaksi inflamasi pada mukosa usus menyebabkan peningkatan suhu
tubuh klien. Tubuh yang kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan membuat
cairan ekstraseluler dan intraseluler menurun.

Dimana selain itu air tubuh juga

kehilangan Na, K dan ion karbohidrat. Bila keadaan ini berlanjut terus makan volume
darah juga berkurang . Tubuh mengalami gangguan sirkulasi, perfusi jaringan
terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan syok hipovolemik dengan gejala denyut
jantung menjadi cepat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, klien sangat
lemah kesadaran menurun.
Selain itu, akibat lain dari kehilangan cairan ekstrasel yang berlebihan, tubuh akan
mengalami asidosis metabolik dimana klien akan tampak pucat dengan pernafasan
yang cepat dan dalam.
Faktor psikologis juga dapat menyebabkan diare. Karena faktor psikologis (stress,
marah, takut) dapat merangsang kelenjar adrenalin dibawah pengendalian sistem
pernafasan simpatis untuk merangsang pengeluaran hormon yang kerjanya mengatur
metabolisme tubuh. Sehingga bila terjadi stress maka metabolisme akan terjadi
peningkatan, dalam bentuk peningkatan mortalitas usus.

Pathway Gastroenteritis

Sumber: Arif Muttaqin (2011), Suriadi (2010) & Modivikasi

E. Pengobatan Gastroenteritis
Diare akut didefinisikan sebagai peningkatan secara tiba-tiba frekuensi dan
perubahan konsistensi feses. Perubahan tersebut sering kali disesbabkan oleh agen
infeksius pada saluran pencernaan (Hockenberry & Wilson, 2009, dalam Ulfah, et al,
2012). Gastroenteritis akut adalah penyakit yang terjadi akibat adanya peradangan
pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi dengan gejalanya terutama
adalah muntah, dehidrasi dan diare. Gastroentitis akut disebabkan oleh 90% adanya
infeksi bakteri dan penyebab lainnya antara lain obat-obatan, bahan-bahan toksik,
iskemik dan sebagainya (Noerasid, 1988, dalam Suharyono, et al, 2003). Ada
kecenderungan bahwa pemberi cairan intravena lebih sering digunakan dibanding
cairan oral, walaupun pengunaan cairan rehidrasi oral itu lebih aman, lebih fisiologis,
tidak nyeri, dan lebih murah dibanding penggunaan cairan intravena (Steiner, et al,
2004, dalam Poerwati, 2013).
Resiko akibat diare dapat dikurangi dengan terapi yang tepat. Terapi pertama
bagi penderita diare akut tanpa dehidrasi, dan dehidrasi ringan-sedang adalah dengan
pemberian CRO (cairan rehidrasi oral). Pemberian CRO yang tepat dengan jumlah
yang memadai merupakan modal yang utama mencegah dehidrasi. Terapi lain yang
dapat

diberikan

adalah

adsorben

(attapulgit

dan

pektin),

dan

antiemetik

(metoklopramid, domperidon, dan ondansentron). Pemberian antibiotik hanya


diindikasikan pada keadaan tertentu seperti diare yang terindikasi infeksi patogen
serta diare pada bayi dan anak dengan keadaan immunocompromised (Gunawan, 2007
dalam Siswidiasari, et al, 2014).
1.

Penggunaan Obat Antibiotik Pasien Rawat Inap


Terapi antibiotik diindikasikan untuk gastroenteritis yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Hal ini dikarenakan antibiotika merupakan obat andalan untuk terapi
infeksi bakteri. Pilihan utama antimikroba pada gastroenteritis tergantung pada
mikroba penyebabnya. Infeksi Shigella dapat diobati dengan kotrimoksazol,
fluorokuinolon dan ampisilin. Vibrio cholera dengan tetrasiklin dan kotrimoksazol.
Entamuba

histolytica

dengan

metronidazol.

Campylobacter

jejuni

dengan

eritromisin, fluorokuinolon, dan tetrasiklin (Cakrawardi, Wahyudin, & Saruddin,


2009).

Pada terapi diare akut, golongan antibiotic yang paling banyak digunakan
adalah golongan sefalosporin sedangkan golongan antibiotik yang paling sedikit
diberikan adalah golongan penisilin. Sefalosporin adalah antibiotik yang paling
banyak diberikan pada penelitian ini. Sefalosporin merupakan antibiotik betalaktam
yang memiliki mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan
Gan, 2004). Sefalosporin memiliki spektrum aktivitas yang luas dimana antibiotika
ini dapat digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, infeksi Pneumococcus yang sensitif terhadap penisilin, dan yang
paling sering adalah sebagai alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin
(Fairbanks, 2007, dalam Siswidiasari, 2014).
Jenis antibiotik yang paling sedikit diberikan adalah antibiotik golongan
penisilin. Penisilin adalah senyawa bakterisida dengan indeks terapi lebar yang
bekerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintetis
dinding sel mikroba (Siswandono dan Soekardjo, 2004). Penggunaan dari golongan
penisilin ditemukan dalam persentase yang kecil kemungkinan karena banyak
bakteri yang sudah resisten terhadap golongan penisilin. Suatu hasil studi ditemukan
bahwa 25% bakteri pneumonia resisten terhadap penisilin (Todar, 2008, dalam
Siswidiasari, 2014).
2. Penggunaan Obat Non Antibiotik Pasien Rawat Inap
a. Penanganan Dehidrasi pada Pasien Diare
1) Ringer Laktat
Ringer laktat merupakan cairan garam fiologis steril yang kandungan
asam basanya menyerupai cairan plasma darah. Ringer laktat mengandung
garam NaCl (6g), KCl (0,3g), CaCl2 (0,2g), dan Na Laktat (3,1g) dalam
setiap 1 liter larutan. Cairan ini berfungsi untuk mengembalikan osmolaritas
dan elektrolit tubuh secara cepat melalui rehidrasi intravena. Larutan ringer
laktat akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk
memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Ringer laktat biasa
diberikan pada penderita diare yang mengalami dehidrasi yang berat atau
yang berpotensi menjadi berat sehingga memerlukan rehidrasi intravena
secara cepat.
Terapi intravena ringer laktat pada penderita diare, pada bayi diberikan
sebanyak 30 mg/kg berat badan selama 1 jam pertama, kemudian dapat

dilanjutkan dengan konsentrasi 70 mg/kg berat badan untuk 5 jam


berikutnya. Untuk anak-anak dan dewasa diberikan ringer laktat secara
intravena dengan dosis 100 mg/kg berat badan. Obat-obat lain sering juga
dikombinasikan dengan ringer laktat pada diare akut antara lain tetrasiklin,
trimetoprim, metronidazol (Harianto, 2004). Selain itu, ringer laktat tidak
mengandung glukosa, sehingga seringkali dapat ditambahkan glukosa yang
berguna untuk mencegah terjadinya ketosis (Rudi, 2006).
2) Dekstrosa
Dekstrosa merupakan monosakarida yang berfungsi sebagai sumber
energi bagi tubuh. Dekstrosa disimpan di dalam tubuh sebagai lemak, serta di
otot dan hati sebagai glikogen. Dekstrosa dimetabolisme menjadi
karbondioksida dan air yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh. Salah satu
penyebab diare atau yang memperparah kondisi diare adalah kekurangan
dekstrosa. Tingginya frekuensi defekasi pada penderita diare akut,
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan tubuh beserta pengosongan
makanan secara cepat di usus. Kondisi ini mengakibatkan penderita diare
menjadi

kehilangan

cairan

elektrolit

dan

dekstrosa

tubuh

(World

Gastroenterology Organization, 2008, dalam Agency for Healthcare


Research and Quality).
Dekstrosa dan cairan elektrolit biasanya diberikan secara bersamaan dan
berfungsi sebagai Electrolyte replenisher. Larutan dekstrosa dan garam
elektrolit digunakan untuk menggantikan cairan yang hilang. Dekstrosa bisa
diberikan secara oral dan intravena. Pemberian dekstrosa bisa diberikan pada
semua umur pasien dari bayi sampai dewasa. Pada bayi yang kurang dari dua
tahun diberikan sebanyak 75 ml/kg berat badan selama 8 jam pertama, dan
dapat dipertahankan selama 16 jam berikutnya. Pada anak berusia 2-10 tahun
diberikan 50 ml/kg berat badan untuk 4-6 jam pertama, dan dapat dilanjutkan
menjadi 100 ml/kg berat badan untuk 18-24 jam berikutnya. Untuk anak anak
berusia 10 tahun lebih dan usia dewasa diberikan sebanyak 100 ml/kg berat
badan selama 6 jam, kemudian dapat dilanjutkan dengan 15 ml/kg berat
badan sampai diare berhenti (Health Digest, 2010, dalam Siswidiasari, 2014).
Pemberian dekstrosa melalui inravena, seringkali dikombinasikan dengan
ringer laktat dan antibiotik. Treatment intravena ini diberikan pada pasien

diare akut pederita dehidrasi berat atau berpotensi menjadi berat (WGO,
2008, dalam Agency for Healthcare Research and Quality).
b. Penggunaan CRO (Cairan Rehidrasi Oral) pada Pasien Diare
Pada tahun 1975, WHO dan United Nations Children's Fund (UNICEF)
sepakat untuk mempromosikan cairan rehidrasi oral yang mengandung natrium
90 mmol/L dan glukosa 111 mmol/L dengan total osmolaritas sebesar 311
mOsm/L. Komposisi ini dipilih sebagai suatu larutan tunggal yang digunakan
untuk tatalaksana diare yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius dan
dihubungkan dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Sebagai contoh, diare
karena rotavirus dihubungkan dengan kehilangan natrium dalam tinja sekitar 30 40 mEq/L, pada infeksi enterotoksigenik E. coli sekitar 50 - 60 mEq/L, dan pada
infeksi kolera sekitar 90 - 120 mEq/L (Waspada, 2012).
Sejak tahun 2004, WHO / UNICEF merekomendasikan oralit dengan
osmolaritas rendah. Berdasarkan penelitian dengan oralit osmolaritas rendah
diberikan kepada penderita diare dapat mengurangi volume tinja hingga 25,
mengurangi mual muntah hingga 30, mengurangi secara bermakna pemberian
cairan melalui intravena sampai 33% (Kemenkes RI, 2011, dalam Siswidiasari,
2014). Keadaan gizi yang buruk akan mempengaruhi lamanya diare dan
komplikasinya. Pemberian air susu ibu terbukti meningkatkan daya tahan
terhadap diare (Harianto, 2004).
Cairan rehidrasi oral telah terbukti efektif dalam pencegahan dan
pengobatan terhadap dehidrasi yang disebabkan penyakit diare (Bezera, et al,
1992). Cairan tersebut dapat digunakan untuk menangani gastroenteritis akut,
untuk pemeliharaan rehidrasi, dan mencegah komplikasi lebih lanjut akibat diare.
Cairan rehidrasi oral tersebut terbukti dapat mengatasi dehidrasi ringan hingga
sedang pada bayi dan anak-anak secara aman, efektif, relatif lebih murah, dan
mudah digunakan. Oleh karena itu, American Academy of Pediatrics (AAP) dan
World Health Organization (WHO) merekomendasikan cairan tersebut sebagai
tindakan pertama untuk mengatasi dehidrasi ringan (Ladinsky, et al, 2000, dalam
Siswidiasari, 2014).
Oralit atau cairan rehidrasi oral adalah larutan untuk mengatasi diare.
Larutan ini sering disebut rehidrasi oral. Bahaya utama diare adalah kematian
yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut

yang disebut dehidrasi. Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang bergizi
buruk, karena gizi yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan
orang tuanya tidak segera memberi makanan untuk menggantikan cairan tubuh
yang hilang (Harianto, 2004).
Cairan rehidrasi oral yang dipakai oleh masyarakat adalah air kelapa, air
tajin, air susu ibu, air teh encer, sup wortel, air perasan buah dan larutan gula
garam (LGG). Pemakaian cairan ini lebih dititik beratkan pada pencegahan
timbulnya dehidrasi. Sedangkan bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya
diberi minuman Oralit. Oralit yang menurut WHO mempunyai komposisi
campuran Natrium Klorida, Kalium Klorida, Glukosa dan Natrium Bikarbonat
atau Natrium Sitrat (Harianto, 2004).
Tatalaksana penderita diare yang tepat dan efektif merupakan bagian
penting dalam pemberantasan penyakit diare khsususnya dalam upaya
menurunkan angka kematian diare dan mengurangi komplikasi akibat diare.
Selain daripada itu tatalaksana penderita yang berhasil akan pula menjadi pintu
masuk promosi kesehatan lain dan kegiatan kesehatan lingkungan lain dalam
rangka menurunkan angka kesakitan diare. Bahaya diare terletak pada dehidrasi
maka penanggulangannya dengan cara mencegah timbulnya dehidrasi dan
rehidrasi intensif bila telah terjadi dehidrasi. Rehidrasi adalah upaya
menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan cairan yang
memadai melalui oral atau parenteral (Harianto, 2004).
c. Penggunaan Zink pada Pasien Diare
Cairan rehidrasi oral dianggap tidak signifikan dalam menurunkan defekasi
dan durasi diare. Oleh karena itu, World Health Organization (WHO) dan
UNICEF (2004) kembali merekomendasikan kebijakan terbaru mengenai
penatalaksanaan diare pada anak, yaitu dengan menambahkan suplementasi zink
(Zn) pada terapi rehidrasi oral tersebut. Dalam penatalaksaan pengobatan diare
akut, zink mampu mengurangi durasi episode diare hingga sebesar 25%.
Beberapa penelitian menunjukkan pemberian zink mampu menurunkan volume
dan frekuensi tinja rata-rata sebesar 30%. Zink juga menurunkan durasi dan
keparahan pada diare persisten. Bila diberikan secara rutin pada anak-anak, baik
jangka panjang maupun jangka pendek, zink mampu menunjukkan efektivitas

dalam mencegah diare akut maupun persisten dan mampu memberikan manfaat
menurunkan prevalensi diare yang disebabkan disentri dan shigellosis.
Pemberian zink direkomendasikan untuk pengobatan diare selama 10-14 hari
pada pasien anak diare di bawah usia 5 tahun, bayi usia di bawah 6 bulan dapat
diberikan zink 10 mg setiap hari, dan anak usia 6 bulan hingga 5 tahun diberikan
dengan dosis 20 mg setiap hari. Rekomendasi pemberian zink selama dan sesaat
setelah diare terbukti dapat menurunkan tingkat keparahan dan durasi diare, serta
menurunkan kemungkinan munculnya kembali diare pada 2-3 bulan setelahnya
(Indriani & Asri, 2007).
Kaitan antara zink dan diare telah dilaporkan melalui hasil penelitian
epidemiologis maupun laboratorium. Zink mempunyai efek terhadap beberapa
enterosit dan sel imun yang berinteraksi dengan agen infeksius pada diare. Zink
utamanya bekerja pada jaringan dengan kecepatan turnover yang tinggi seperti
halnya pada saluran cerna dan sistem imun dimana zink dibutuhkan untuk sintesa
DNA dan sintesa protein (Bijleveld, et al, 1997 dalam Armin, 2005, dalam Ulfah,
et al, 2012).
Peningkatan frekuensi defekasi disertai volume tinja yang banyak selama
diare disebabkan karena terjadinya

peningkatan

kandungan air akibat

ketidakseimbangan fungsi usus dalam proses penyerapan substrat organik dan air.
Jika terjadi secara terus menerus, maka anak dapat mengalami dehidrasi. Oleh
karena itu, diare harus dihentikan tidak hanya dengan menggantikan cairan yang
hilang, akan tetapi dengan memperbaiki kondisi usus. Pemberian cairan rehidrasi
oral saja tidak cukup signifikan dalam menurunkan frekuensi defekasi, sehingga
perlu ditambahkan zink sebagai regimen terapi (Lukacik, Thomas, & Aranda,
2008). Terjadinya penurunan frekuensi defekasi dan pengurangan volume tinja
secara otomatis juga akan memperpendek durasi diare atau mencegah
berlanjutnya diare.
Zink merupakan komponen yang memiliki banyak enzim yang memainkan
peranan dalam metabolisme asam nukleat dan sintesis protein, serta untuk
perbaikan struktur dan fungsi membran. Diare dapat menyebabkan hilangnya zink
dalam tubuh. Beberapa penelitian suplementasi zink dalam jumlah besar telah
menunjukkan berkurangnya insiden diare akut dan persisten pada bayi dan anakanak secara bermakna. Meningkatnya status zink pada populasi tersebut juga

berhubungan dengan meningkatnya immunokompeten dan kadar aktivitas


(Irwanto, Rohim, & Sudarmo, 2002).
d. Penggunaan Antiemetik pada Pasien Diare
Penggunaan ondansentron sebagai antiemetik pada pasien diare akut anak
merupakan suatu pilihan yang sudah tepat. Pada mulanya odansentron merupakan
obat antiemetik untuk mengurangi efek mual dan muntah yang ditimbulkan akibat
radiasi dengan efek samping yang paling ringan. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa ondansentron juga dapat menurunkan frekuensi diare dan
mengurangi efek mual dan muntah pada pasien diare. Kiesewetter & Raderer
(2013) melaporkan bahwa pemberian 8 mg ondansentron pada penderita diare
akibat efek samping pengobatan tumor neuroendokrin, mampu menurunkan
intensitas defekasi pasien dari 10 kali perhari menjadi 4 kali perhari setelah terapi
ondansentron selama hari. Terapi ondansentron juga terbukti mampu mengurangi
gejala mual dan muntah pada pasien diare akut anak yang disertai mual dan
muntah. Cheng (2011) melaporkan bahwa pemberian ondansentron pada pasien
diare akut anak berusia 6 bulan sampai 12 bulan mampu mengurangi mual dan
muntah yang menyertai diare. Dosis yang dianjurkan pada pasien diare akut anak
ini, yaitu anak dengan berat badan 8 kg - 15 kg diberikan 2 mg, berat badan 15 kg
-30 kg diberikan 4 kg, dan berat badan lebih dari 30 kg diberikan 6 mg 8 mg.
e. Penggunaan Antipiretik pada Pasien Diare
Parasetamol tidak hanya berfungsi sebagai antipiretik, namun juga berfungsi
sebagai

analgesik. Antipiretik

merupakan

obat yang

digunakan untuk

menurunkan demam yang ditandai oleh peningkatan suhu tubuh pasien. Gejala
demam pada penderita diare akut anak umum terjadi dan biasa disebabkan oleh
aktivitas invasif patogen. Oleh karena itu, pemberian antipiretik merupakan hal
tepat dilakukan untuk menurunkan gejala demam pada penderita diare akut anak.
f. Penggunaan Antasida dan H2Blocker pada Pasien Diare
1) Antasida
Antasida merupakan obat yang berfungsi untuk menetralkan asam
lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri, misalnya pada
penderita maag dan tukak peptik. Antasida tidak mengurangi volume HCL

yang dikeluarkan lambung, tetapi mampu menetralisasi atau meningkatkan


pH lambung. Antasida umumnya merupakan basa lemah. Pemberian antisida
pada penderita diare akut tidak berkorelasi secara langsung. Akan tetapi pada
penderita diare akut yang disertai oleh gejala magg dan peningkatan volume
asam lambung, pemberian antasida merupakan pilihan yang tepat diberikan
pada pasien.
2) H2Blocker
H2Blocker atau Ranitidin berfungsi untuk menghambat sekresi asam
lambung. Pemberian obat ini merupakan pilihan yang tepat untuk mengobati
pasien diare akut anak yang disertai oleh gejala magg, peningkatan asam
lambung, mual dan muntah. Ranitidin adalah suatu histamin antagonis
reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor
H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar
dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi
asam lambung adalah 36 94 mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6 8
jam. Ranitidin di absorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak
plasma dicapai 2 3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak
dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida.
g. Penggunaan Probiotik dan Sinbiotik pada Pasien Diare
1) Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang diberikan sebagai
suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang menguntungkan
terhadap

kesehatan,

dengan

memperbaiki

keseimbangan

mikroflora

intestinal. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah


dan mengobati kondisi patologik usus bila probotik tersebut diberikan secara
oral (Waspada, 2012). Pemberian probiotik ini pada pasien diare akut
merupakan terapi yang tepat sebab telah dibuktikan melalui penelitian bahwa
probiotik efektif untuk pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai
kelainan gastrointestinal, misalnya diare yang disebabkan oleh pemakaian
antibiotik yang berlebihan, infeksi bakteri maupun virus, intoleransi laktosa
dan traveller diarrhea. Probiotik mempunyai keuntungan dalam terapi
penyakit diare pada anak melalui stimulasi sistem imunitas terutama infeksi
Rotavirus pada bayi, dimana suplementasi probiotik mengurangi durasi

penyebaran virus, meningkatkan sel yang mensekresi IgA antirotavirus,


menurunkan

peningkatan

permeabilitas

usus

(yang

secara

normal

berhubungan dengan infeksi Rotavirus) dan mengurangi durasi diare dan


lama rawat rumah sakit (Pratama, 2009, dalam Siswidiasari, 2014).
2) Sinbiotik
Kombinasi dari pemberian probiotik dan prebiotik akan menghasilkan
pengaruh

sinergis

dari

keduanya

yang

akan

meningkatkan

efek

menguntungkan bagi tubuh. Kombinasi ini dikenal dengan nama sinbiotik.


Sinbiotik akan meningkatkan kemampuan hidup dari probiotik saat tidak
disimpan dalam lemari es dan juga saat melewati lambung yang asam.
Prebiotik adalah komponen makanan tertentu yang tidak bisa dicerna
oleh sistem pencernaan tubuh, yang diberikan untuk memacu pertumbuhan
atau aktivitas dari mikroorganisme menguntungkan di usus. Prebiotik tidak
berguna langsung untuk manusia yang mengkonsumsinya, melainkan untuk
bakteri menguntungkan yang menghuni usus. Pada akhirnya, bakteri-bakteri
inilah yang akan memberikan manfaatnya untuk tubuh manusia. Penelitian
menunjukkan bahwa prebiotik (campuran beberapa oligosakarida) dapat
menginduksi sistem imun pada bayi sehingga bayi tersebut lebih tahan
terhadap resiko alergi.
Contoh prebiotik laktulosa, beberapa jenis oligosakarida dan inulin.
Penggabungan penggunaan probiotik dan prebiotik atau yang dikenal dengan
istilah sinbiotik akan meningkatkan peluang keberhasilan bakteri probiotik
untuk sampai di usus dalam keadan viable dan mampu berkembangbiak dan
bekolonisasi serta memperbaiki kondisi mikroflora usus. Dengan demikian
dapat diasumsikan bahwa penggunaan sinbiotik akan lebih efektif dalam
pengobatan terapi diare akut.
F. Penatalaksanaan Gastroenteritis
1.

Pemberian Cairan
Pemberian cairan menurut Wijaya & Putri (2013), meliputi jenis cairan, cara
pemberian, dan jumlah:
a. Cairan peroral
1) Dehidrasi ringan dan sedang: cairan yang berisi NaCl, NaHCO3, KG, dan
glukosa

2) Diare akut dan kolera, umur > 6 bulan: kadar Na 90 mEq/L


3) Dehidrasi ringan atau sedang, umur < 6 bulan: kadar Na mEq/L formula
lengkap sering disebut oralit. Cairan sederhana, hanya mengandung garam
dan gula (NaCl dan sukrosa atau air tajin yang diberi garam dan gula).
b. Cairan parenteral
Garam yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kadang-kadang
tergantung kepada tersedianya cairan setempat. Umumnya ringer laktat. Cara
memberikan:
1) Belum ada dehidrasi
Peroral sebanyak anak mau minum (ad libitium) atau 1 gelas tiap defekasi.
2) Dehidrasi ringan
Satu jam pertama: 25 50 ml/kgBB peroral (intragastrik).
Selanjutnya: 125 ml/kgBB/ hari ad libitium.
3) Dehidrasi sedang
Satu jam pertama: 50 - 100 ml/kgBB peroral / intragastrik (sonde).
Selanjutnya: 125 ml/kgBB/ hari ad libitium.
4) Dehidrasi berat
a) Anak 1 bulan 2 tahun, BB 3 10 kg
1 jam pertama: 40 ml/kgBB/jam = 10 tetes/kgBB/i (set infus berukuran 1
ml = 15 tetes) atau 13 tetes/kgBB/menit.
7 jam berikutnya: 12 ml/kgBB/jam = 3 tetes/kgBB/menit atau 4
tetes/kgBB/menit.
16 jam berikutnya: 125 ml/kgBB oralit peroral/intragastrik. Bila anak
tidak mau minum teruskan dengan intravena 2 tetes/kgBB/menit atau 3
tetes/kgBB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).
b) Anak 2 5 tahun, BB 10 15 kg
1 jam pertama: 30 ml/kgBB/jam atau 8 tetes/kgBB/menit atau 10
tetes/kgBB/menit.
7 jam berikutnya: 10 ml/kgBB/jam atau 3 tetes/kgBB/menit atau 4
tetes/kgBB/menit.
16 jam berikutnya: 125 ml/kgBB oralit peroral/intragastrik. Bila anak
tidak mau minum teruskan dengan intravena 2 tetes/kgBB/menit (set infus
1 ml = 20 tetes).
c) Anak 5 10 tahun, BB 15 25 kg
1 jam pertama: 20 ml/kgBB/jam atau 5 tetes/kgBB/menit atau 7
tetes/kgBB/menit.
7 jam berikutnya: 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tetes/kgBB/menit atau 3
tetes/kgBB/menit.
16 jam berikutnya: 105 ml/kgBB oralit peroral. Bila anak tidak mau
minum teruskan dintravena 1 tetes/kgBB/menit (set infus 1 ml = 15 tetes)
atau 1,5 tetes/kgBB/menit (set infus 1 ml = 20 tetes).

d) Bayi baru lahir (Neonatus) BB 2 - 3 kg


Kebutuhan cairan: 125 ml + 10 ml + 25 ml = 250 mml/kgBB/24 jam.
Jenis cairan: 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1,5%).
Kecepatan:
4 jam pertama, 25 ml/kgBB/jam atau 6 tetes/kgBB/i (1 ml = 15 tetes) atau
8 tetes/kgBBA (1 ml = 20 tetes).
20 jam berikutnya, 150 ml/kgBB/20 jam atau 2 tetes/kgBB/i (1 ml = 15
tetes) atau 2,5 tetes/kgBB/i (1 ml = 20 tetes).
e) Bayi BB rendah < 2 kg
Kebutuhan cairan: 250 mml/kgBB/24 jam.
Jenis cairan: 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1,5%).
Kecepatan cairan = pada bayi baru lahir.
2.

Pengobatan Dietatik (Makanan)


Menurut Wijaya & Putri (2013), untuk anak < 1 tahun dan > 1 tahun dengan
BB < 7 kg jenis makanannya adalah:
a) Susu ASI dan/atau susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam
lemak tidak jenuh, seperti LMM Al miron.
b) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim) bila anak tidak
mau minum susu.
c) Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan.
Cara pemberian:
Hari ke-1, setelah rehidrasi segera diberikan makanan peroral. Bila diberi ASI / susu
formula tetapi diare masih sering, diberikan oralit selang seling dengan ASI.
Hari ke-2 sampai 4, ASI / susu formula rendah laktosa penuh.
Hari ke-5, bila tak ada kelainan, klien dipulangkan. Kembali susu atau makan.

3.

Obat-obatan
Prinsip: mengganti cairan yang hilang melalui tinja dengan / tanpa muntah
dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa / karbohidrat lain (gula, air
tajin, tepung beras, dll) (Wijaya & Putri, 2013).
Obat yang diberikan adalah:
a) Obat antisekresi
Asetosal. 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg.
Klorpromazin. Dosis 0,5 1 mg/kgBB/hari.
b) Obat spasmolitik
Papaverin, ekstrak beladon, opium loperamid tidak digunakan pada klien diare.
Obat pengeras tinja seperti kaolin, pektin, charcoal tabonal tidak bermanfaat
mengatasi diare sehingga tidak diberikan lagi.
c) Antibiotik

Umumnya, antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas. Pada
klien kolera, diberikan tetrasiklin 25 50 mg/kgBB/hari. ATS diberikan bila
terdapat penyakit-penyakit seperti, OMA, faringitis, bronkitis, bronkopneumoni.

G. Pencegahan Gastroenteritis
Upaya pencegahan diare pada balita dapat dilakukan ibu-ibu dengan beberapa
cara, antara lain:
1.

Memberikan ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6
bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula
atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi
dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan
tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme
lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh
(memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6
bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi
dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap
diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya
lindung 4 kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai
dengan susu botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya
bakteri penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang
dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

2.

Memberikan makanan pendamping ASI


Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan
pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana
makanan pendamping ASI diberikan.
Perilaku yang salah dalam pemberian makanan pendamping ASI dapat
menyebabkan resiko terjadinya diare sehingga dalam pemberiannya harus

memperhatikan waktu dan jenis makanan yang diberikan. Pemberian makanan


pendamping ASI sebaiknya dimulai dengan memberikan makanan lunak ketika anak
berumur 6 bulan dan dapat diteruskan pemberian ASI, setelah anak berumur 9 bulan
atau lebih, tambahkan macam makanan lain dan frekwensi pemberikan makan lebih
sering (4 kali sehari). Saat anak berumur 11 tahun berikan semua makanan yang
dimasak dengan baik, frekwensi pemberiannya 4-6 kali sehari.
3.

Menggunakan air bersih yang cukup


Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-Oral
kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui makanan,
minuman atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan
yang wadah atau tempat makan-minum yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai
dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Resiko untuk menderita diare dapat dikurangi dengan menggunakan air yang bersih
dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai
penyimpanannya di rumah.

4.

Mencuci tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%).

5.

Menggunakan jamban / WC
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga
harus buang air besar di jamban.

6.

Membuang tinja balita yang benar


Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini
tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan
orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.

7.

Pemberian imunisasi campak


Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar
bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare,
sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu
berilah imunisasi campak segera setelah bayi berumur 9 bulan (Kemenkes RI, 2011).

H. Askep Gastroenteritis
Menurut Donna L. Wong (2009) dan Sodikin (2011), Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul antara lain sebagai berikut :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan
dari traktus gastrointestinal dalam feses atau muntahan (emesis).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan
cairan akibat diare, dan asupan cairan yang tidak adekuat.
c. Resiko menularkan infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menginvasi
traktus gastroentestinal.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena defekasi yang sering
dan feses yang cair.
e. Ansietas (takut) berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak
kenal, prosedur yang menimbulkan stress.
2. Intervensi dan rasional
Menurut Donna L. Wong (2009) dan Sodikin (2011), Intervensi keperawatan dan
rasional yang mungkin muncul pada setiap Diagnosa Keperawatan antara lain sebagai
berikut :

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan gastroentestinal


berlebihan melalui feses atau muntahan (emesis).
Batasan karakteristik mayor adalah ketidakcukupan asupan cairan oral,
keseimbangan negatif antara asupan dan haluaran, kulit/membran mukosa kering.
Untuk batasan karakteristik minor adalah penurunan haluaran urine atau haluaran
urine berlebih, penurunan turgor kulit, haus, mual, anoreksia.
Batasan karakteristik menurut Nanda (2010) antara lain perubahan status
mental, penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi, turgor kulit, haluaran urine,
membran mukosa kering, kulit kering, peningkatan hematokrit, peningkatan suhu
tubuh, haus dan kelemahan.
Intervensi dan Rasional :
1) Beri larutan rehidrasi oral untuk rehidrasi dan penggantian kehilangan cairan
melalui feses.
Rasional : Berikan larutan rehidrasi oral sedikit tapi sering, khususnya bila anak
muntah, karena muntah bukan merupakan kontraindikasi pemberian oralit kecuali
pada muntah yang hebat.

2) Berikan dan pantau pemberian cairan infus sesuai program .


Rasional : untuk mengatasi dehidrasi dan vomitus yang hebat.
3) Berikan oralit secara bergantian dengan cairan rendah natrium seperti ASI atau
susu formula.
Rasional : untuk terapi rumatan (kebanyakan pakar susu formula yang diberikan
harus bebas laktosa jika bayi tidak dapat mentoleransi susu formula biasa).
4) Setelah rehidrasi, berikan makanan seperti biasa pada anak, selama makanan
tersebut dapat ditoleransi.
Rasional : pemberian kembali secara dini makanan yang biasa dikonsumsi akan
membawa manfaat mengurangi frekuensi defekasi dan meminimalkan penurunan
berat badan serta memperpendek lama sakit.

5) Pertahankan asupan dan keluaran cairan (urine, feses dan cairan).


Rasional : untuk mengevaluasi keefektifan intervensi.
6) Pantau berat jenis urine setiap 8 jam atau sesuai indikasi.
Rasional : untuk menilai status hidrasi.
7) Timbang berat badan anak
Rasional : untuk menilai keadaan dehidrasi.
8) Kaji tanda-tanda vital (TTV), turgor kulit, membran mukosa, dan status mental.
Rasional : untuk menilai status hidrasi.
9) Hindari masukan cairan seperti jus buah, minuman berkarbonat, dan gelatin.
Rasional : Karena cairan ini biasanya tinggi karbohidrat, rendah elektrolit dan
mempunyai osmolalitas tinggi.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan


cairan akibat diare, dan asupan cairan yang tidak adekuat.
Batasan karakteristik mayor adalah asupan makanan tidak adekuat, adanya
penurunan berat badan. Untuk batasan karakteristik minor adalah berat badan . Untuk
batasan karakteristik minor adalah berat badan 10% sampai 20% ataulebih dibawah
berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh, kelemahan otot dan nyeri tekan.
Batasan karakteristik menurut Nanda (2010) adalah kram abdomen, nyeri
abdomen, berat badab 20% atau lebih di bawah berat badab ideal, diare, bising usus
hiperaktif, kurang makanan, kurang informasi, dan kurang minat pada makanan.
Intervensi dan Rasional :
1) Setelah rehidrasi, instruksikan ibu melanjutkan pemberian ASI.
Rasional : tindakan ini cenderunga mnegurangi intensitas dan lamanya sakit.
2) Hindari pemberian diet pisang, beras, apel, dan roti panggang atau teh.

Rasional :Karena diet ini memiliki kandungan energi dan protein yang rendah,
kandungan hidrat arang yang terlampaui tinggi.
3) Amati dan catat respon anak terhadap pemberian makanan.
Rasional : untuk menilai toleransi anak terhadap makanan/susu formula yang
diberikan.
4) Beri tahu keluarga untuk menerapkan diet yang tepat.
Rasional : untuk menghasilkan kepatuhan terhadap program terapeutik.
5) Monitor berat badan pasien sesuai indikasi. (Nanda, 2007)
Rasional : untuk menilai keadaan dehidrasi. (L. Wong, 2009)
6) Sediakan makanan yang sesuai dengan kesukaan pasien dan program diet.
(Nanda,2007)
Rasional : pemberian kembali secara dini makanan yang biasa dikonsumsi akan
membawa manfaat mengurangi frekuensi defekasi dan meminimalkan penurunan
berat badan serta memperpendek lama sakit. (L. Wong, 2009)

c. Risiko menularkan infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menhinvasi


traktus gastrointestinal / GI.
Batasan Karakteritik menurut Newfield (2007): Kurangnya pengetahuan untuk
menghindari paparan patogen, kerusakan jaringan dan peningkatan paparan
lingkungan, malnutrisi, tidak memadai imunitas dan batasan karakteristik menurut
Carpenito (2006) :
1.

Perubahan atau insufisiensi leukosit, imunodefisiensi, demam, urine keruh,


kesulitan makan, muntah, ketidakstabilan suhu, letargi.

Intervensi dan Rasional :


1) Implementasikan kewaspadaan standar pengendalian infeksi lainnya dirumah sakit
yang meliputi pembuangan feses serta penyisihan barang-barang cucian yang tepat
dan penampungan specimen yang tepat.

Rasional : untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi


2) Pertahankan kebiasaan mencuci tangan yang cermat
Rasional : untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi.
3) Pasang popok dengan tepat dan rapat
Rasional : untuk mengurangi kemungkinan resiko penyebaran infeksi.
4) Gunakan popok disposibel yang superabsorben.
Rasional : untuk menahan feses pada tempatnya dan mengurangi kemungkinan
terjadinya dermatitis popok.
5) Upayakan bayi dan anak kecil tidak meletakkan tangannya dan benda apapun pada
daerah yang terkontaminasi.
Rasional : untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi.
6) Bila mungkin ajarkan tindakan protektif kepada anak.
Rasional : untuk mencegah penyebaran infeksi seperti membiasakn mencuci
tangan setelah menggunakan toilet..
7) Anjurkan pasien untuk meminum obat antibiotik sesuai program. (Nanda, 2007)
8) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian terapi sesuai indikasi dan pemeriksaan
laboratorium. (Nanda, 2007)
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena defekasi yang sering
dan feses cair.
Batasan karakteristik mayor : gangguan epidermis dan dermis. Untuk batasan
karakteristik minor : lecet, jaringan nekrotik (warna, konsistensi, pelekatan) dan
jumlah.
Intervensi dan Rasional :
1) Ganti popok dengan sering
Rasional : untuk menjaga agar kulit tetap bersih dan kering.

2) Bersihkan bagian bokong secari hati-hati dengan sabun lunak non alkalis dan air.
Rasional : karena feses pasien diare bersifat sangat iritasi pada kulit.
3) Oleskan salep seperti zink oksida.
Rasional : untuk melindungi kulit terhadap iritasi (tipe salepnya bisa berbeda bagi
setiap anak dan mungkin memerlukan waktu untuk mencobanya dahulu ).
4) Bila mungkin biarkan kulitutuh yang berwarna agak merah terkena udara.
Rasional : untuk memepercepat kesembuhan.
5) Hindari pemakaian tisu pembersih komersial yang mengandung alkohol pada kulit
yang mengalami ekskoriasi.
Rasional : karena penggunaan tisu ini akan menimbulkan rasa perih.
e. Ansietas (takut) berhubungan dengan keterpisahan anak dari orang tuanya,
lingkungan tidak biasa, dan prosedur yang menimbulkan distress.
Batasan karakteristik menurut Nanda NIC & NOC (2007) antara lain: gelisah,
resah, ketakutan, kesedihan yang mendalam, mudah tersinggung.
Intervensi dan Rasional:
1) Lakukan perawatan mulut dan berikan dot kepada bayi
Rasional : untuk memberikan rasa nyaman.
2) Anjurkan kunjungan dan partisipasi keluarga dalam perawatan anak sesuai
kemampuan keluarga.
Rasional : untuk mencegah stress pada anak karena berpisah dengan keluarga.
3) Sentuh, peluk, dan bicara dengan anak sebanyak mungkin
Rasional : untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi stress.
4) Lakukan stimulus dan pengalihan sensorik yang sesuai dengan tingkat dan kondisi
perkembangan anak
Rasional : untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, KB. 2014. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 11 November 2015 pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter%20II.pdf.
Hidayat, AAA. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Lubis, R. 2012. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Diakses pada 11 November 2015 pada
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34097/4/Chapter%20II.pdf.
Wong, DL. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Edisi 4. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/3/jtptunimus-gdl-s1-2007-suhendrago-122-2-bab2.pdf
Diakses pada 14 November 2015.
Agency for Healthcare Research and Quality. Diakses tanggal 10 November 2015 pada
http://www.guideline.gov/content.aspx?id=47569
Bezerra, J.A., Stathos, T.H., Duncan, B., Gaines, J.A., & Udall, J.N. (1992). Pediatrics.
Treatment of infants with acute diarrhea: What's recommended and what's practiced,
vol. 90, no. 1, hal. 1-4
Cakrawardi, Wahyudin, Elly, & Saruddin, Bachtiar. (2009). Majalah Farmasi dan
Farmakologi. Pola penggunaan antibiotik pada gastroenteritis berdampak diare akut
pasien anak rawat inap di badan layanan umum rumah sakit dr. Wahidin
sudirohusodo makassar selama tahun 2009, vol. 15, no. 2, hal. 69-72
Cheng, A. (2011). Pediatri Child Health. Emergency department use of oral ondansetron for
acute gastroenteritisrelated vomiting in infants and children, vol. 16, no. 3, hal. 177179
Harianto. (2004). Majalah Ilmu Kefarmasian. Penyuluhan penggunaan oralit untuk
menanggulangi diare di masyarakat, vol. 1, no.1, hal. 27-33
Indiriani, R, & Asri, E.K. (2007). InfoPOM. Formulasi oralit baru dan suplementasi zink
dalam penanganan diare pada anak, vol. 8, no. 3, hal. 4-5
Irwanto, Rohim, A., & Sudarmo, S.M. (2002). Diare akut pada anak. Dalam: Ilmu penyakit
anak: Diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Istiantoro, Y.H., & V.H.S. Gan. (2004). Penisilin, sefalosporin, dan antibiotika beta laktam
lainnya; Farmakologi dan terapi. (Edisi Keempat). Universitas Indonesia, Jakarta
Kemenkes RI. (2011). Buletin Jendela Data. Pengendalian diare di indonesia, vol. 2, triwulan
2, hal. 19-25
Kiesewetter, B., & Raderer, M. (2013). N Engl J Med. Ondansetron for diarrhea associated
with neuroendocrine tumors, vol. 368, no. 20, hal. 1947-1948
Lukacik, M., Thomas, R.L., & Aranda, J.V. (2008). Pediatrics. A meta-analysis of the effects
of oral zinc in the treatment of acute and persistent diarrhoea, vol. 121, no. 2, hal.
326-336
Poerwati, Endang. (2013). Jurnal Kedokteran Brawijaya. Determinan lama rawat inap pasien
balita dengan diare, vol. 27, no. 4, hal. 241-244
Rudi, M.M. (2006). Pengaruh pemberian cairan ringer laktat di bandingkan nacl 0,9%
terhadap keseimbangan asam-basa pada pasien sectio caesaria dengan anestesi
regional. Universitas Diponegoro, Semarang. Diakses tanggal 10 November 2015
pada http://eprints.undip.ac.id/18349/
Siswidiasari, Arifani, Astuti, K.W., & Yowani, S.C. (2014). Jurnal Kimia. Profil terapi obat
pada pasien rawat inap dengan diare akut pada anak di rumah sakit umum negara,
vol. 8, no. 2, hal. 183-190
Siswandono, & Soekardjo, B. (2004). Peran kimia medisinal dalam pengembangan dan
penemuan obat baru. Universitas Airlangga Surabaya. Diakses tanggal 10
November

2015

pada

https://

adln.lib.unair.ac.id%2Ffiles

%2Fdisk1%2F812%2Fgdlhub-gdl-grey-2015-siswandono-40577-pg.149-1p.pdfTieder, J.S., Robertson, A., & Garrison, M.M. (2009). Pediatrics. Pediatrics
hospital adherence to the standard of care for acute gastroenteritis, vol. 124, no.6,
hal. 1081-1087
Suharyono, Boediarso, A., & Halimun, E.M. (2003). Gastroenterologi anak praktis. Edisi ke4, hal. 51-76. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tieder, J.S., Robertson, A., & Garrison, M.M. (2009). Pediatrics. Pediatrics hospital
adherence to the standard of care for acute gastroenteritis, vol. 124, no.6, hal. 10811087
Ulfah, Maria., Rustina, Yeni., & Wanda, Dessie. (2012). Jurnal Keperawatan Indonesia. Zink
efektif mengatasi diare akut pada balita, vol. 15, no. 2, hal. 137-142
Waspada, I Made Indra. (2012). Suplementasi probiotik pada terapi standar zinc dan cairan
rehidrasi oral pada anak usia 6-36 bulan dengan diare akut. Universitas Indonesia,

Jakarta.

Diakses

tanggal

10

November

2015

pada

http://lib.ui.ac.id/file?

file=digital/20308185-T%2031682-Suplementasi%20probiotik-full%20text.pdf
Wijaya, Andra Saferi & Putri, Yessie Mariza. (2013). Keperawatan medikal bedah (KMB) 1;
Keperawatan dewasa teori dan contoh askep. Yogyakarta: Nuha Medika
http://eprints.ums.ac.id/20516/19/NASKAH_PUBLIKASI.pdf diakses pada 15 November
2015

Anda mungkin juga menyukai