Anda di halaman 1dari 7

Hikayat Abu Nawas Buang Air Besar di Tempat Tidur

Pada suatu waktu, Baginda Raja Harun Ar Rasyid sangat gundah hatinya. Seperti biasa,
dirinya ingin sosok Abu Nawas hadir di istana untuk menghibur hati sang raja. Namun,
setelah beberapa kali dipanggil, Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya,
entah kenapa. Setelah lama berfikir, akhirnya baginda raja menemukan cara agar Abu Nawas
bisa hadir di istana kerajaan. Raja menyuruh tiga orang prajurit untuk pergi ke rumah Abu
Nawas agar buang air besar di tempat tidurnya. "Pengawal, pergilah ke rumah Abu Nawas
dan beraklah di tempat tidurnya, dan kalau kalian berhasil maka masing-masing akan aku
berikan uang 1000 dirham," titah raja. "Daulat paduka," jawab ketiga pengawal itu secara
bersamaan.
Sementara itu, duduk di sebelahnya ada ki Patih yang mendengar obrolan rajanya dengan
ketiga pengawal itu. Karena berhubung tugas yang diberikan kepada tiga anak buahnya yang
agak aneh, ki patih memberanikan diri untuk bertanya kepada Sang Raja. "Maaf Paduka,
bukankah tugas yang diberikan itu tampak aneh dan menghina," tanya patih. "Patih...memang
benar, tapi itulah siasatku agar Abu Nawas segera hadir ke istana," jawab Baginda. "Apakah
gerangan rencana Baginda," tanya patih. "Nanti kamu akan segera mengetahuinya, dan
sekarang kamu ikutilah ketiga anak buahmu itu dan intailah mereka dan sampaikan kepada
Abu Nawas, bila dia berhasil menggagalkan tugas pengawalnya, maka Abu Nawas akan aku
beri uang 3000 dirham dan sekaligus ia boleh memukul utusanku itu," titah Raja.
Utusan tiba di rumah Abu Nawas. Dengan perasaan yang masih bingung, patih segera
melaksanakan perintah raja, dia segera berkemas dan menuju ke rumah Abu Nawas. Tidak
beberapa lama kemudian, utusan Baginda raja Harun Ar Rasyid sudah tiba di depan pintu
rumah Abu Nawas. "Kami diutus oleh Baginda Raja untuk buang air besar di tempat tidurmu.
Karena ini perintah Raja, kamu tidak boleh menolak," kata salah satu utusan itu. "Saya sama
sekali tidak keberatan. Silahkan saja kalau kalian mampu melaksanakan perinah Raja," jawab
Abu Nawas dengan santainya. "Betul?" tanya utusan Raja. "Iya...silahkan saja," sahut Abu
Nawas.
Abu Nawas mengawasi orang-orang itu beranjak ke tempat tidurnya dengan geram.
"Hmm...berak di tempat tidurku...?? Betul-betul kelewatan," guman Abu Nawas dalam hati.
Abu Nawas memutar otaknya, bagaimana caranya agar para utusan itu mengurungkan
niatnya. Setelah berfikir beberapa saat, Abu Nawas akhirnya menemukan cara untuk
menggagalkan tugas para utusan itu.
Pada saat para utusan itu hendak bersiap-siap buang air besar, mendadak Abu Nawas berkata
dari balik jendela kamar. "Hai para utusan Raja, ada yang lupa saya sampaikan kepada
kalian," kata Abu Nawas. "Apa itu?" tanya salah satu utusan Raja. "Saya ingatkan supaya
kalian jangan melebihi perintah Baginda Raja. Jika kalian melanggar, saya akan pukul kalian
dengan sebuah pentungan besar dan setelah itu saya akan laporkan kepada Baginda bahwa
kalian melanggar perintahnya," jawab Abu Nawas dengan serius.
Dengan cekatan Abu Nawas segera mengambil sebatang kayu besar yang ada di dapur
rumahnya. Bahkan kini Abu Nawas sudah mengambil pentungan kayu besar itu. "Hai...apa
maksudmu tadi Abu Nawas?" tanya salah satu utusan. "Ingat...perintah raja hanya buang air
besar saja dan tidak boleh lebih dari itu," jawab Abu Nawas. "Iya..benar," jawab utusan itu.
"Aku ulangi lagi, hanya buang air besar saja tidak boleh lebih, ingat....tidak boleh kencing,
tidak boleh buka celana, tidak boleh cebok, hanya buang air besar saja," tegas Abu Nawas

dengan seriusnya. "Mana mungkin...itu tidak mungkin, kami juga harus buka celana dan
kencing," jawab salah satu utusan. "Aku akan pukul kalian sekeras-kerasnya jika kalian
melanggar perintah raja," sahut Abu Nawas.
Abu Nawas mendapat Hadiah 3000 dirham. Para utusan itu saling pandang kebingungan
dengan ucapan Abu Nawas itu. Tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggil Abu nawas.
"Abu Nawas...!" Karena ada suara yang sudah tidak asing lagi didengar, Abu Nawas serta
para utusan segera berkumpul untuk menemui asal suara itu. Oh ternyata suara itu adalah
suara ki Patih Jakfar yang merupakan orang kepercayaan Baginda Raja Harun Ar Rasyid.
"Aku sudah mendengar perdebatan kalian. Baginda Raja memang memerintahkan para
utusan untuk berak di tempat tidurmu. Jika tiga orang ini sanggup, mereka masing-masing
akan mendapatkan seribu dirham. Jika mereka gagal maka mereka boleh engkau pukul
sesuka hatimu," kata ki Patih Jakfar. "Oh..begitu...lalu hadiah dari Baginda untukku berapa
Tuanku?" tanya Abu Nawas. "Sekarang juga engkau boleh menghadap Baginda Raja untuk
menerima tiga ribu dirham," jawab ki Patih. "Haaa....," Abu Nawas kaget disertai rasa
gembira. Segera saja Abu Nawas mengambil pentungan, lalu tiga orang utusan yang mau
buang air besar tadi dipentungi pantatnya. "Buk...! Buk...! Buuuk....!" "Ampun Abu Nawas...!
"Apa kalian mau buang air besar di tempat tidurku...haahhh??" "Tidaaaak....ampuun..."
Ketiga utusan itu lari terbirit-birit. Ki Patih dan Abu Nawas tertawa terpingkal-pingkal
dibuatnya. Sesaat setelah itu, ki Patih berkata, "Abu Nawas...Baginda sangat yakin engkau
dapat mengatasi masalah ini. Baginda memang menginginkan kehadiranmu di istana untuk
menghibur hatinya yang saat ini sedang gundah gulana." Abu Nawas menyetujui permintaan
Tuanku Jakfar, dan mereka segera berangkat menuju istana setelah semua persiapan
dilakukan.

HIKAYAT ABU NAWAS


Botol Ajaib

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu


memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas
yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.
Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah
senyuman. Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib
pribadiku, aku kena serangan angin. kata Baginda Raja memulai
pembicaraan.
Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil.
tanya Abu Nawas.
Aku
hanya
menginginkan
memenjarakannya. kata Baginda.

engkau

menangkap

angin

dan

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak
memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung
bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benarbenar angin.
Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin.
Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat.
Sedangkan angin tidak.
Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu
Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu
Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari
hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan
berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada
orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak
jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari
Baginda Raja atas kecerdikannya.
Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk
menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari
terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa.
Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.
Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani
hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda. la berjalan gontai

menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu,


yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.
Bukankah jin itu tidak terlihat? Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la
berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat
mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu
gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal
karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.
Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.
Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?
Sudah Paduka yang mulia. jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri
sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas
menyerahkan botol itu.
Baginda menimang-nimang botol itu. Mana angin itu, hai Abu Nawas?
tanya Baginda.
Di dalam, Tuanku yang mulia. jawab Abu Nawas penuh takzim.
Aku tak melihat apa-apa. kata Baginda Raja.
Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin
tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu. kata Abu Nawas
menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau
kentut yang begitu menyengat hidung.
Bau apa ini, hai Abu Nawas?! tanya Baginda marah.
Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan
ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar
maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol. kata
Abu Nawas ketakutan.
Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang
masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat. (SELESAI)

Hikayat Cabe Rawit Cerita Rakyat Dari Aceh Selatan


Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka
merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan
seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai
semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar
anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.

Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun
demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
Istriku, kata sang suami suatu malam. Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia
begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti
orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras
untuk tanak.
Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib
kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita
karena kita miskin? keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda
berusaha menahan tangis.
Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon
agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, Kalau aku
diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang. Entah sadar atau
tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga
kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri
sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit
dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi
berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun,
kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum
sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata
tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau
setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang
Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit? hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali
dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur
remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja
mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal
makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu,
tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah.
Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama
cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, Ibu aku akan ke pasar.
Aku akan bekerja menggantikan ayah.
Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,
sahut ibunya.
Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.
Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu
tak mau kehilangan dirimu, kata ibu lagi.
Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau
memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu, bujuk
cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya
memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang
pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. Mug pisang, mug pisang, hati-hati, jangan sampai
raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini, kata cabe rawit.
Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak
dilihatnya seorang pun manusia.
Mug pisang, mug pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil
ini. Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan
ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara

dan kalimat yang sama, mug pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang
dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena
tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mug pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mug
itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. Darimana kau dapatkan
pisang-pisang ini, Rawit? tanya si ibu.
Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. Daripada diambil
orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu, katanya.
Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah
pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia
mendengar sebuah suara. Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas
tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti, kata sara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya
seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut
berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk
halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya
yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah
ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. Tadi, di jalan
aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada
diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah
kita sudah tidak memiliki beras lagi? jawab cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan
jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara
yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe
rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari
meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan
ini sedikit daripada habis dimakan kucing, kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya
darimana ia mendapatkan ikan.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau
pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan
jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya
di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya,
pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda
miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. Bagaimana
mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapasiapa. Suami pun sudah meniggal, kata kepala kampung.
Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap
bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah,
terdengarlan suara dari balik pintu. Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah,
marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku, kata suara tersebut.
Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu.
Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk
melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang
sama kembali terdengar. Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul,
pukullah aku, kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe.
Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah
yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun.
Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun
sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia
tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk
berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam,
pakaian, dan sebagainya.

Ditulis oleh Herman RN berdasarkan tuturan lisan Halimah (80-an), seorang warga Ujung Pasir,
Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.

Anda mungkin juga menyukai