Anda di halaman 1dari 18

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN

IMUNISASI DASAR PADA ANAK


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Oleh :
Ghina Ninditasari

1410 2210 28

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
JAKARTA
PERIODE 4 JANUARI 27 FEBRUARI 2016
I.

Epidemiologi Imunisasi Dasar di Indonesia


Imunisasi dapat mencegah 2-3 juta kematian anak di dunia akibat penyakit
infeksi seperti difteri, tetanus, pertusis, dan campak sehingga imunisasi merupakan
salah satu upaya intervensi kesehatan masyarakat yang paling berhasil dan costeffective, terutama bagi negara berkembang.1 Kegiatan imunisasi sebagai salah satu
kegiatan prioritas Kementrian Kesehatan, bertujuan untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
PD3I adalah penyakit-penyakit yag sangat potensial untuk menimbulkan wabah dan
kematian pada anak balita pada umumnya.2
Berdasarkan Keputusan Menteri Keseharan Nomor 1611/Menkes/SK/XI/2005
tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, ada lima jenis imunisasi yang

diwajibkan untuk balita atau biasa disebut Lima Imunisasi dasar Lengkap (L-I-L)
antara lain: BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, dan Campak. Imunisasi campak sebagi
tolak ukur kelengkapan imunisasi, dimana cakupan imunisasi campak dilaporkan
mencapai 92,1% pada tahun 2009.2
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, cakupan imunisasi
dasar lengkap bervariasi antar provinsi, yaitu tertinggi di DI Yogyakarta (83,1%) dan
terendah di Papua (29,2%). Secara nasional, terdapat 8,7 persen anak 12-23 bulan
yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Papua
(36,6%) dan terendah di DI Yogyakarta (1,1%). Berdasarkan jenis imunisasi
persentase tertinggi adalah BCG (87,6%) dan terendah adalah DPT-HB3 (75,6%).
Papua mempunyai cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi
HB-0 (45,7%), BCG (59,4%), DPT-HB 3 (75,6%), Polio 4 (48,8%), dan campak
(56,8%). Provinsi DI Yogyakarta mempunyai cakupan imunisasi tertinggi untuk jenis
imunisasi dasar HB-0 (98,4%), BCG (98,9%), DPT-HB 3 (95,1%), dan campak
(98,1%) sedangkan cakupan imunisasi polio 4 tertinggi di Gorontalo (95,8%). 3
Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada
di perdesaan (53,7%) dan terdapat 11,7 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan
yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga,
semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala
rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur 12-23 bulan tertinggi
pada kelompok perguruan tinggi (72,5%) dan terendah pada kelompok tidak tamat
SD (49,0%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan
imunisasi dasar lengkap. Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan
cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan pada kepala keluarga yang bekerja
sebagai pegawai maupun wiraswasta.3
Terdapat 8,7 persen anak 12-23 bulan belum pernah diberikan imunisasi.
Berdasarkan survey, alasan utama tidak diimunisasi adalah takut anak menjadi panas
(28,8%), sedangkan persentase anak umur 12-23 bulan yang mengalami demam
tinggi setelah imunisasi hanya 6,8 persen. Persentase anak di perkotaan yang tidak

diizinkan keluarga untuk diimunisasi (35,5%) lebih tinggi dibandingkan di perdesaan


(21,3%). Persentase balita yang menyatakan bahwa keluarga tidak mengizinkan
diimunisasi tertinggi pada kelompok kepala rumah tangga yang bekerja sebagai
pegawai. Pada balita yang tidak diimunisasi karena tempat imunisasi jauh, terlihat
bahwa semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, persentase balita yang tidak
diimunisasi semakin rendah. Persentase anak di perkotaan yang tidak diimunisasi
karena tempat jauh (7,4%) lebih rendah dibandingkan di perdesaan (29,2%).3

II.

Tinjauan Pustaka Imunisasi Dasar Pada Anak


a) Definisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan tubuh seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen menggunakan vaksin, sehingga bila kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit.2
Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan
kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau
mengurangi pengaruh infeksi dari penyakit.2
b) Jenis Vaksin
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati
atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.).4
Pada dasarnya vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Live attenuated (bakteri atau virus yang dilemahkan)
b. Inactivated (bakteri, virus atau komponenya, dibuat tidak aktif)
Vaksin hidup (live attenuated) di produksi di laboratorium dengan cara
melakukan

modifikasi

virus

atau

bakteri

penyebab

penyakit.

Vaksin

mikroorganisme yang di hasilkan memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih


banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan
penyakit.4
Vaksin inactivated dapat terdiri dari atas seluruh tubuh virus atau bakteri,
atau fraksi (komponen) dari kedua organism tersebut. Vaksin fraksi dapat
berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis protein
termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk sub unit atau subvision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri dari dinding sel
polisakarida asli bakteri.4
c) JADWAL IMUNISASI REKOMENDASI IDAI

Gambar. 1. Jadwal Imunisbasi Rekomendasi IDAI 2014.5


Imunisasi Wajib untuk anak ada 5 jenis yang wajib diperoleh bayi
sebelum usia setahun yakni : BCG, Hepatitis B, Polio, DPT, dan Campak.
Sedangangkan Hib, PCV, Rotavirus, Influenza,

Varisela,

MMR, Tifoid,

Hepatitis A, dan HPV adalah imunisasi tambahan yang juga direkomendasikan


untuk mencegah penyakit-penyakit terkait.5
1.

Imunisasi BCG5
Imunisasi BCG (basillus calmette guerin) merupakan imunisasi yang

digunakkan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC. Vaksin BCG merupakan


vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan.
Usia Pemberian
Dibawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes
Montoux (tuberculin) dahulu untuk mengetahui apakah pada bayi telah terdapat
kuman Mycrobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil
tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering
bertandang ke rumah, segera setelah lahir bayi harus di imunisasi BCG.

Jumlah Pemberian

Cukup 1 kali saja, tidak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG
berisi kuman hidup sehingga antibody yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda
dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
Kontra indikasi :
Tidak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukan
mantoux positif. Adanya penyakit kulit yang berat dan menahun seperti : eksim,
furunkulosis dan sebagainya
Efek Samping :
Imunisasi BCG tidak menimbulkan reaksi yang bersifat umum seperti
demam. Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan ditempat
suntikan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi luka. Luka
tidak perlu pengobatan , akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda
parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau
leher, terasa padat tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal
tidak memerlukan pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya.
Cara pemberian :
1. Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih dahulu.
Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril (ADS 5 ml) dengan 4
ml pelarut.
2. Dosis 0,05 cc, untuk mengukur dan menyuntikkan dosis sebanyak itu
secara akurat, harus menggunakan spuit dan jarum kecil yang khusus.
3. Disuntikkan di lengan kanan atas (sesuai anjuran WHO) ke dalam lapisan
kulit dengan penyerapan pelan-pelan (intrakutan). Untuk memberikan
suntikkan intrakutan secara tepat, harus menggunakan jarum pendek yang
sangat halus (10 mm, ukuran 26)
2.

Imunisasi Hepatitis B5
Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit

disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat
menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat

mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat).
Bahkan yang lebih buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Usia Pemberian :
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi
stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1
bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB,
selain imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan
imunisasi tambahan dengan imunoglobin antihepatitis B dalam waktu sebelum
berusia 24 jam.
Jumlah Pemberian
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan
kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
Kontra Indikasi :
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Dan tidak dapat diberikan pada
anak yang menderita sakit berat.
Efek Samping :
Umumnya tidak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa
keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan
pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
Cara Pemberian :
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi
dipaha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot
bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi
efektivitas vaksin.
3.

Imunisasi Polio5
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang

dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat


menular. Penularannya bisa lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.

Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk kemulut orang
sehat.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya
akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun
tidak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan,
tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak.
Imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
Di Indonesia dipakai vaksin sabin yang diberikan melalui mulut dengan
dosis 2 tetes. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur
beberapa hari, dan selanjutnya setiap 4-6 minggu. Vaksin polio dilakukan sampai
4 kali. Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin
hepatitis B, dan DPT. Bagi bayi yang sedang meneteki maka ASI diberikan
seperti biasa karena ASI tidak berpengaruh terhadap vaksin polio. Imunisasi
ulangan diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT dengan interval 2
jam.
Usia Pemberian :
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada
usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin DPT.
Kontra Indikasi :
Tidak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau
demam tinggi (di atas 38 derajat Celsius), muntah atau diare, penyakit kanker
atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan steroid dan
pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.
Pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi
polio sebaiknya ditangguhkan, demikian juga pada anak yang menderita penyakit
gangguan kekebalan (difisiensi imun). Alasan untuk tidak memberikan vaksin
polio pada keadaan diare berat adalah kemungkinan terjadinya diare yang lebih
parah. Pada anak dengan penyakit batuk, pilek, demam, atau diare ringan
imunisasi polio dapat diberikan seperti biasanya.
Efek Samping :

Hampir tidak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing,
diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
Cara Pemberian :

Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau


lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang

digunakan adalah OPV.


1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis) dengan interval setiap

dosis minimal 4 minggu


Setiap membuka vial

baru

harus

menggunakan

penetes

(dropper) yang baru.


4.

Imunisasi DPT4,5
Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan

aktif dalamwaktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk


rejan) dan tetanus.
Vaksinasi dan jenis vaksin
Vaksin difteri terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan
(toksoid). Biasanya diolah dan dikemas bersama dengan vaksin tetanus
dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis (DPT).
Vaksin terhadap pertusis terbuat dari kuman Bordetella Pertusis yang
telah dimatikan. Selanjutnya dikemas bersama dengan vaksin difteria
dan tetanus (DPT, vaksin tripe)
Vaksin tetanus yang digunakan untuk imunisasi aktif adalah toksoid
tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan
kemudian dimurnikan.
Usia dan Jumlah Pemberian :
1. 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), Diberikan 3 kali karena suntikan
pertama tidak memberikan apa-apa dan baru akan memberikan
perlindungan terhadap serangan penyakit apabila telah mendapat
suntikan vaksin DPT sebanyak 3 kali.

2. Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1,5 2 tahun atau pada
usia 18 bulan setelah imunisasi dasar ke-3.
3. Diulang lagi dengan vaksin DT pada usia 5-6 tahun (kelas 1) vaksin
pertusis tidak dianjurkan untuk anak berusia lebih dari 5 tahun
karena reaksi yang timbul dapat lebih hebat selain itu perjalanan
penyakit pada usia > 5 tahun tidak parah.
4. Diulang lagi pada usia 12 tahun (menjelang tamat SD). Anak yang
mendapat DPT pada waktu bayi diberikan DT 1 kali saja dengan
dosis 0,5 cc dengan cara IM, dan yang tidak mendapatkan DPT pada
waktu bayi diberikan DT sebanyak 2 kali dengan interval 4 minggu
dengan dosis 0,5 cc secara IM, apabila hal ini meragukan tentang
vaksinasi yang didapat pada waktu bayi maka tetap diberikan 2 kali
suntikan. Bila bayi mempunyai riwayat kejang sebaiknya DPT
diganti dengan DT dengan cara yang sama dengan DPT.
Pengulangan imunisasi DPT diperlukan untuk memperbaiki daya tahan
tubuh yang mungkin menurun setelah sekian lama. Karena itu mestii diperkuat
lagi dengan pengulangan pemberian vaksin (booster). Kalau sudah dilakukan 5
kali suntikan DPT, maka biasanya dianggap sudah cukup. Namun di usia 12
tahun, seorang anak biasanya mendapat lagi suntikan DT atau TT (tanpa
P/Pertusis) di sekolahnya. Di atas usia 5 tahun, penyakit pertusis jarang sekali
terjadi dan dianggap bukan masalah.
Kontra Indikasi :
Tidak dapat diberikan kepada meraka yang kejangnya di sebabkan suatu
penyakit seperti epilepsy, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau
habis di rawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DPT. Mereka hanya
boleh menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan
panas.
Efek Samping :
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti : lemas, demam,
pembengkakan, dan atau kemerahan pada bekas penyuntikan. Kadang-kadang

terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang biasanya
terjadi 24 jam setelah imunisasi. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya
hilang setelah 2 hari.
Cara pemberian :

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebihdahulu agar suspense


menjadi homogen.

Disuntikan secara Intramuskular pada paha tengah luar dengan dosis


pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
5.

Campak4,5
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun

seiring bertambahnya usia, antibody dari ibunya semakin menurun sehingga


butuh antibody tambahan lewat pemberian vaksin campak.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah
(droplet) penderita yang tertiup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi
yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah
muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerahan-merahan, berair dan
merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul
bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami
diare. Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 3840 derajat celcius. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang
merupakan cirri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu kecil.
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap
dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain
CAM 70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erythromycin.
Usia dan Jumlah Pemberian :
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9-11 bulan, dan ulangan (booster) 1 kali di
usia 6-7 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena
antibody dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya
menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi

10

campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps
Rubella).
Efek Samping :
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bias menyebabkan demam dan
diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu.
Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
Kontra Indikasi :
Anak yang mengidap penyakit immune deficiency atau yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.
Cara pemberian :
Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan
dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut. Suntikan
diberikan pada lengan kiri atas secara subkutan dengan dosis 0,5 cc.
RINGKASAN IMUNISASI BERDASARKAN UMUR PEMBERIAN5
Saat
Lahir

Hepatitis B-

HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir,

dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan, apabila status HbsAg-B


bersamaan dengan vaksin HB-1. apabila semula status HbsAg
ibu tidak diketahui bahwa ibu HsbAg positif maka masih dapat

Polio-O

diberikan HB-lg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari


Polio-O diberikan saat kunjung pertama. Untuk bayi yang lahir di
RB/RS polio oral diberikan pada saat bayi dipulangkan (untuk
menghindari btransmisi virus vaksin kepada bayi lain).

1 bulan

Hepatitis
B-2

0-2
Bulan

BCG

2 bulan

HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2


adalah 1 bulan
BCG dapat diberikan sejak lahir. apabila BCG akan diberikan
pada umur>3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu

DPT-1

dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.


DTP diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat
dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secara kombinasi.

Hib-1

Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan Hib


dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan
DTP.
11

4 bulan

Polio-1

Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1

DPT-2

DTP-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan

Polio-2

Hib-2.
Atau:Dikombinasikan dengan Hib-2.
Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2

DTP 3
Hib 3
Polio 3

DTP 3 diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib


3 (PRP-T).Apabila mempergunakan Hib OMP,Hib 3 pada
umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio 3 diberikan bersamaan

Hib-2

6 bulan
6 bulan

Hepatitis
B-3

dengan DTP 3.
HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk mendapat respons imun
optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5
bulan.

9 bulan

Campak

Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan. Campak-2 pada SD kls


1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15

15-18
Bulan

MMR

bulan, Campak-2 tidak perlu diberikan.


Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi
campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.

Hib-4

Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).

DTP-4

DTP-4 (DTwP atau Dtap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3

Polio-4

Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4

2 tahun

Hepatitis A

Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan

2-3

Tifoid

dua kali dengan interval 6-12 bulan.


Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur

18
bulan

tahun

>2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang


DTP-5

setiap 3 tahun.
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwP/DtaP

Polio-5

Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5

6 tahun

MMR

Diberikan untuk cath-up immunization pada anak yang belum

10

dT/TT

mendapat MMR-1
Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan

Varisela

untuk mendapat imunitas selama 25 tahun


Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

5 tahun

tahun

12

13

III.

Pengendalian Imunisasi Dasar dalam Menurunkan Angka Kematian


Anak dan Balita di Indonesia.
Sampai saat ini status kesehatan anak Indonesia mengalami perkembangan

yang semakin baik, walaupun masih akan belum mencapai target MDGs pada tahun
2015.6

Seperti yang sudah dilaporkan pada laporan pencapaian tujuan pembangunan


Milenium di tahun 2013 bahwa angka kematian balita (AKBa) telah turun secara
bermakna dari 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 40 per 1000
kelahiran hidup pada tahun 2012. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai
target MDG 4 sebesar 32 per 100 kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) turun
dari 68 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi separuhnya, yaitu 34 per
1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, sedangkan target MDGs yang harus dicapai
adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu angka kematian neonatal (AKN)
dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2003 turun dari 32 menjadi 20 per 1000
kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 per 1000 kelahiran hidup pada
tahun 2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun 2012.6
Turunnya AKB dan AKBa menunjukan bahwa program penurunan kematian
bayi dan balita cukup berhasil. Program tersebut meliputi peningkatan imunisasi
termasuk imunisasi campak yang dapat menurunkan kematian melalui penurunan
prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare sebagai akibat komplikasi
campak dan program pengendalian penyakit infeksi lainnya yang berpengaruh
14

terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak. Sampai saat ini sumber data terbaru
penyebab kematian bayi umur 29 Hari-11 bulan dan kematian balita umur 1-4 tahun
adalah dari Riskesdas tahun 2007, sedangkan dari data Riskesdas 2013 tidak ada lagi
variabel mengenai penyebab kematian bayi maupun balita, begitu juga dengan data
rutin tahunan yang bersumber dari Kemenkes RI tidak dirinci penyebab kematian
bayi dan balita.6
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan anak, antara
lain pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas, persalinan oleh tenaga
kesehatan, pelayanan dan penanganan neonatal (kunjungan neonatal), cakupan
imunisasi khususnya imunisasi campak, penanganan neonatal, bayi dan balita sakit
sesuai standar baik di fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas kesehatan rujukan.
Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran keluarga serta masyarakat akan perawatan
pada masa kehamilan, pada masa neonatal, bayi dan balita, serta deteksi dini penyakit
dan semakin sadarnya masyarakat untuk mencari pengobotan ke fasilitas pelayan
kesehatan juga mempengaruhi peningkatan status kesehatan anak. 6
Membaiknya tingkat kesehatan anak tersebut terkait dengan berbagai upaya
pengendalian penyakit, termasuk pemberian imunisasi. Imunisasi dasar lengkap bagi
anak meliputi BCG sebanyak 1 kali, DPT-HB 3 kali, polio 4 kali, dan campak 1 kali.
Gambar 4.3 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan,
yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali
DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi
lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013
(59,2%) namun masih jauh dari cakupan minimal 80% sebagai target pencapaian UCI
(Universal Covarage of Immunization).7

15

Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak


Indikator MDG 4 lainnya adalah proporsi anak usia 1 tahun yang
mendapatkan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam yaitu
dari 44.50 persen pada tahun 1991 menjadi 80,18 persen pada tahun 2012 dan 89.42
persen pada tahun 2014 (Susenas, tw 1). 6
Disparitas Vaksinasi Campak
Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup
tinggi. Variasi cakupan berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 65,07 persen di
Papua dan 100 persen di DI Yogyakarta. Lebih dari separuh dari 33 provinsi
mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional 89,42
persen (BPS, Susenas tw 1, 2014). Imunisasi campak berkaitan dengan angka
kematian bayi, dan balita. Secara umum kematian bayi dan balita rendah pada
provinsi yang mempunyai cakupan imunisasi campak tinggi. Pemerataan cakupan
immunisasi campak yang tinggi sangatlah penting dalam upaya mencapai dan
mempertahankan penurunan angka kematian bayi dan balita.6

16

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO.

2011.

Weekly

Epidemiological

http://www.who.int/wer/2011/wer8646.pdf
2. IDAI. 2010. Imunisasi, Intervensi
http://www.imunisasi.net
3. Kemenkes RI. 2013.

Riset

Kesehatan

Kesehatan

Dasar

Report.

Masa
Tahun

Depan.
2013.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf
4. Suyitno, H. 2011. Jenis Vaksin. In: Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi
4. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
5. Ranuh,dkk. PEDOMAN IMUNISASI DI INDONESIA. Edisi Kedua Tahun
2005. Satgas Imunisasi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 2015. Laporan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014. ISBN 978602-1154-502
.https://drive.google.com/file/d/0By6eopdUM7_fTnh6aVJPZGdQdVU/view

17

Anda mungkin juga menyukai