OLEH :
NAMA
NIM
: 11010115410076
KELAS
dua maskapainya yaitu Jetstar Asia dan Valuair. Jetstar Asia sejak awal berdiri di
Singapura pada bulan Maret 200, dengan 49% saham dimiliki oleh perusahaan
cabang QF dan 51% dimiliki oleh pemerintah Singapura. Pada Juli 2005, Jetstar Asia
melakukan merger dengan Valuair.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa Singapura sudah terlebih
dahulu memberlakukan sistem Open Sky yaitu liberalisasi dalam bidang penerbangan.
Oleh karena itu banyak cara yang dilakukan oleh maskapai-maskapai di negaranegara ASEAN lainnya untuk menyaingin maskapai di Singapura. Salah satunya
dengan menerapkan sistem Low Cost Carrier (LCC) yaitu jasa penerbangan dengan
biaya atau tarif yang murah. Hal ini dilakukan untuk menarik minat konsumen agar
beralih pada maskapai mereka. Saat ini Lion Air dari Indonesia dan Air Asia dari
Malaysia merupakan dua perusahaan yang meraup untung paling banyak dari sistem
LCC tersebut. Pada 2013, Lion Air meraup untung sekitar 51% dari sistem LCC dan
40% dari jasa full service.
Namun, ada kelemahan-kelemahan tersendiri dari sistem LCC tersebut.
Banyak masyarakat yang menganggap bahwa maskapai yang menerapkan sistem
LCC tersebut kurang memperhatikan safety dan secure dari para passenger. Hal ini
pun menjadi perhatian khusus oleh negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerikat
Serikat. Yang melarang penerbangan maskapai dari negara Indonesia. Berbeda
dengan Singapura, dapat dilihat Singapura sangat mengutamakan bagaimana
kenyamanan dan keamanan dari para passengernya. Di dukung dengan Bandar udara
Singapura yang menjadi salah satu Bandar udara terbesar di dunia yaitu bandara
udara Changi.
Oleh karena itu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Pada
akhir 2015, pemerintah anggota ASEAN bertujuan untuk menerapkan kebijakan
liberalisasi jasa udara regional, yaitu ASEAN Pasar Tunggal Aviation (ASAM) .
ASAM dianggap sebagai tonggak penting yang akan meningkatkan relasi,
pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Pasar transportasi udara bersama
lebih liberal di ASEAN, kompetisi di rute internasional menjadi lebih intens di
kawasan ASEAN karena munculnya Low Cost Carriers (LCC).
Para LCC telah diberikan hak untuk mengoperasikan banyak rute
internasional dengan liberalisasi pengolahan dan juga rute yang paling domestik di
negara-negara anggota ASEAN melalui kebijakan deregulasi domestik mereka. LCC
menjadi maskapai besar di wilayah tersebut, mengambil pangsa pasar dari FullService Carriers (FSCs) baik untuk rute-ASEAN yang permintaannya tinggi dalam
rute domestik. Salah satu alasannya adalah bahwa sebagian besar penerbangan kurang
dari 2500 km, dan ini cocok untuk operasi Boeing 737 (B737) atau Airbus 320
(A320) pesawat.
Meskipun perubahan ini, ASAM tidak diterjemahkan ke dalam pasar
transportasi udara penuh liberalisasi dalam target saat ini. ASAM hanya bisa
menegakkan kebebasan ketiga, keempat, dan kelima hak lalu lintas, yang masih rezim
penerbangan terbatas. Low Cost Carriers (LCC) memiliki frekuensi lebih tinggi
dengan strategi bertarif rendah. Selain itu, LCC dapat mencocokkan tiket pesawat
mereka untuk tarif dari kedua maskapai penerbangan terkemuka, biasanya FSC, dan
dengan demikian LCC mungkin juga mengadopsi strategi tarif yang tinggi, terutama
ketika LCC ini dianggap sebagai maskapai penerbangan terkemuka. Kemudian
penumpang menikmati manfaat masuknya LCC melalui pengurangan biaya
penerbangan dengan FSCs dan tarif rendah LCC. Model ini dapat menutupi dampak
pada pasar secara keseluruhan dalam jaringan dan hasilnya menunjukkan bahwa satu
entri LCC pada satu rute dapat mempengaruhi tarif, frekuensi, dan profitabilitas di
pasar kompetitif yang terkait di seluruh jaringan.
Area
untuk
penelitian
lebih
lanjut
akan
mempertimbangkan
efek
menghubungkan penumpang dari pasar jarak jauh pada penerbangan jarak pendek.
Rute intra-ASEAN menempuh jarak pendek dalam 4 jam, yang menyediakan kondisi
pasar yang lebih baik untuk LCC daripada FSCs. Oleh karena itu, LCC kapasitas
kursi di kawasan ASEAN dapat terus meningkat setidaknya dalam beberapa tahun ke
depan. Satu-satunya cara praktis bagi operator asing untuk melaksanakan hak-hak
kebebasan ketujuh di ASEAN atau untuk memasuki pasar domestik negara-negara
anggotanya adalah dengan mendirikan "operator joint venture" yang mengikuti aturan
kepemilikan mutlak dan pengawasan. Ini telah menjadi pendekatan yang digunakan
dalam ASEAN dan bagian lain di Asia oleh beberapa LCC ASEAN seperti AirAsia,
Jetstar, Lion Air, dan Tiger Airways.
AirAsia dan Lion Air benar-benar independen dari Full-Service Carriers
(FSCs). Dalam waktu beberapa tahun belakangan ini dan beberapa tahun mendatang,
pasar penerbangan berbiaya rendah ataulow-cost carrier (LCC) di Asia masih akan
diramaikan dengan persaingan sengit antara dua maskapai penerbangan, AirAsia asal
Malaysia dan Lion Air dari Indonesia.
Untuk saat ini, AirAsia boleh jadi masih memimpin sebagai LCC terbesar di
Asia Tenggara mengalahkan Lion Air. Perusahaan yang bermarkas di Kuala Lumpur
ini telah memiliki beberapa cabang, di antaranya di Indonesia, Thailand, Filipina, dan
yang terakhir ada di India meskipun hingga kini belum mulai melayani pelanggan. Di
sisi lain, Lion Air yang merupakan penguasa penerbangan domestik di Indonesia
terus menggerus pasar penerbangan domestik yang dioperasikan oleh Indonesia
AirAsia, sebuah unit AirAsia di Indonesia.
Saat ini terlihat Indonesia AirAsia cukup sulit berkembang pada rute domestik
di Indonesia karena terus mendapatkan tekanan dari Lion Air. Seakan-akan frustasi,
Indonesia AirAsia lebih memilih fokus dalam mengembangkan rute internasional
dibandingkan rute domestik. Saat ini rasio rute internasional Indonesia AirAsia lebih
tinggi dibandingkan rute domestik dengan komposisi 60 berbanding 40.