Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
MORBILI

3.1. Definisi
Morbili, campak, atau rubeola adalah suatu penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
morbili, yang pada umumnya menyerang anak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat
menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penyebaran infeksi terjadi melalui perantara droplet.(3, 4)

3.2. Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) morbili menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5
dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).(3)
Angka kejadian morbili di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi
sekitar 3000-4000 per tahun, demikian pula frekuensi terjadinya kejadian luar biasa
(wabah) tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case fatality rate
telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita morbili adalah
12 tahun Transmisi morbili terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet
dari penderita dengan gejala yang minimal bahkan tidak bergejala. Penderita masih dapat
menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari setelah ruam
muncul.(4, 5)
Biasanya penyakit ini muncul pada masa anak-anak dan kemudian menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah menderita morbili akan
mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai usia 46 bulan dan setelah
itu kekebalan akan berkurang, sehingga bayi dapat menderita morbili. Bila ibu belum
penah menderita morbili, maka bayi yang dilahirkan tidak akan memiliki kekebalan
terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah dilahirkan. Bila seorang wanita

menderita morbili pada usia kehamilan 1 atau 2 bulan, kemungkinan 50 % akan mengalami
abortus, sedangkan jika menderita morbili pada trimester I, II, atau III, maka ibu tersebut
mungkin akan melahirkan anak dengan kelainan bawaan, berat badan lahir rendah (BBLR)
atau lahir mati ataupun anak akan meninggal sebelum usia 1 tahun.(6, 7)
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa morbili di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi morbili di Indonesia timbul
secaara tidak terautr. Di daerah perkotaan epidemi morbili terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah
terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap morbili, yaitu di daerah dengan populasi
balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui
bahwa morbili menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah
terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai adalah
bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%), dan lain-lain (7,9%).
(3)

Menurut kelompok umur, kasus morbili yang rawat inap di rumah sakit selama kurun
waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur
balita dengan perincian 17,6% berumur <1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur
2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun, dan 8,2% berumur 4 tahun.(3)

3.3. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari penyakit morbili adalah virus RNA dari famili
Paramixoviridae, genus Morbilivirus. Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Virus tetap
aktif minimal dalam 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu disimpan dalam temperatur 35C, dan beberapa hari dalam suhu 0C.
Virus tidak aktif pada pH rendah. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5 sampai 10 hari,
terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi di dalam
sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul.(3, 6)
Virus morbili termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak
dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari

bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA). Pada selubung luar seringkali
terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai
hemaglutinin.(3)
Virus morbili adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila
berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan
kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37 C waktu paruh usianya
2 jam, sedangkan pada suhu 56 C hanya 1 jam. Sebaliknya virus ini mampu bertahan
dalam keadaan dingin. Pada suhu -70 C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5
tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6 C, dapat hidup selama 5 bulan.
Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan
dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.(3)
Oleh karena selubungnya terdiri dari lemak, maka virus morbili termasuk
mikroorganisme yang bersifat ether labile. Pada suhu kamar, virus ini akan mati dalam
20% ether setelah 10 menit dan dalam 50% aseton setelah 30 menit. Virus morbili juga
sensitive terhadap 0,01% betapropiacetone pada suhu 37 C dalam 2 jam, ia akan
kehilangan sifat infektivitasnya namun tetap memiliki antigenitas penuh. Sedangkan dalam
formalin 1/4.000, virus ini menjadi tidak efektif setelah 5 hari, tetapi tetap tidak kehilangan
antigenitasnya. Penambahan tripsin akan mempercepat hilangnya potensi antigenik.(3)
Virus morbili dapat tumbuh pada berbagai macam tipe sel, tetapi untuk isolasi primer
digunakan biakan sel ginjal manusia atau kera. Pertumbuhan virus morbili lebih lambat
daripada virus lainnya, baru mencapai kadar tertinggi pada fase larutan setelah 7-10 hari.(3)
Virus morbili menyebabkan dua perubahan tipe sitopatik. Perubahan sitopatik
yang pertama berupa perubahan pada sel yang batas tepinya menghilang sehingga
sitoplasma dari banyak sel akan saling bercampur dan membentuk anyaman dengan
pengumpulan 40 nucleus di tengah. Inclusion bodies tampak pada kedua sitoplasma dan
intinya. Efek sitopatik yang kedua menyebabkan perubahan bentuk sel perbenihan dari
polygonal menjadi bentuk gelondong. Sel ini menjadi lebih hitam dan lebih membias
daripada sel normal dan jika dicat menunjukkan inclusion bodies yang berada di dalam inti.
(3)

Penyebaran virus maksimal adalah dengan droplet selama masa prodromal (stadium
kataral). Penularan terhadap kontak rentan sering terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.
Seseorang yang terinfeksi virus morbili menular pada hari ke 9-10 setelah pemajanan
(mulai fase prodromal), pada beberapa kasus dapat terjadi hari ke 7. Tindakan pencegahan
isolasi terutama di rumah sakit atau instisusi lain, harus dipertahankan dari hari ke 7 setelah
pemajanan sampai hari ke 5 setelah timbul ruam.(6)

3.4. Patogenesis dan Patofisiologi


Penularan morbili terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala
klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat
minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas
maupun berhubungan dengan sel mononuclear, kemudian mencapai kelenjar getah bening
regional. Disini virus memperbanyak diri dengan sel mononuklear, kemudian mencapai
kelenjar getah bening regional. Disini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan
dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuklear yang
terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan
limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut aktif
membelah.(3)
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap,
tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke
dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih, dan usus. (3)
Pada hari ke 9-10 fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi
klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput
konjungtiva yang tampak merah. Respons imun yang terjadi ialah proses perandangan pada
sistem saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak

tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis. (3)
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons

delayed

hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit.
Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T. (3)
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh dikulit. Penelitian dengan
imunoflouresens dan histologik menunjukkan adanya antigen morbili dan diduga terjadi
suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media,
dan lain-lain.(3)

3.5. Patologi
Infeksi morbili menyebabkan nekrosis epitel saluran napas dan adanya infiltrat limfositik
yang menyertainya. Morbili menyebabkan terjadinya vaskulitis pembuluh darah kecil pada
kulit dan membran mukosa oral. Histologi dari ruam dan eksantema menunjukkan adanya
edema intraselular dan diskeratosis yang berhubngan dengan pembentukaan sel raksasa
epidermal sinsitial dengan nukleus mencapai 26 nukleus. Partikel virus telah diidentikfikasi
berada dalam sel raksasa ini. Pada jaringan limforetikular, hiperplasia limfoid tampak
menonjol. Bergabungnya sel yang telah terinfeksi menyebabkkan terbentuknya sel raksasa
multinukleus, yang disebut dengan sel raksasa Warthin-Finkeldey, yang merupakan tanda
ptognomonik dari morbili, dengan gambaran nukleus mencapai 100 nukleus dan badan
inklusi intrasitoplasma dan intranuklear.(8)

Sel Warthin-Finkeldey dari Jaringan Paru-Paru

3.6. Manifestasi klinis


Morbili terdiri dari empat fase, yaitu periode inkubasi, prodromal, eksantematosa, dan
konvalesens (recovery).(8)
1. Fase inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 14-21 hari. Dalam beberapa laporan lain waktu
inkubasi minimum 12 hari dan maksimum 17-21 hari.
Selama masa inkubasi, virus morbili bermigrasi ke nodus limfatikus regional.
Viremia primer terjadi ketika virus menyebar ke sistem retikuloendotelial.
Viremia sekunder menyebarkan virus ke permukaan tubuh.(8, 9)
2. Fase prodromal
Gejala prodromal muncul ketika terjadi viremia sekunder yang berkaitan dengan
nekrosis epitel dan pembentukan sel raksasa di jaringan tubuh.
Fase prodromal berlangsung selama 4-5 hari. Gejala menyerupai influenza, yaitu
demam tinggi dapat mencapai 105o F (40,6oC) yang dapat berlangsung selama 3-4
hari, anoreksia, malaise, batuk, nyeri tenggorokan, fotofobia, konjungivitis, dan
coryza.
Menjelang akhir fase prodromal, 24-48 jam sebelum timbul eksantema, timbul
bercak Koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai.
Lesi ini dideskripsi oleh Koplik pada tahun 1986 sebagai suatu bintik berwarna
putih kelabu, sebesar ujung jarum dengan diameter sekitar 1 mm, dikelilingi oleh
eritema, dan berlokasi di mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang

ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum. Timbulnya bercak Koplik hanya
berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan
biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.(9, 10, 11)
3. Fase erupsi
Berlangsung selama 5-10 hari. Gejala pada fase prodromal seperti coryza dan
batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum durum dan
palatum mole.
Kemudian terjadi ruam eritematosa yang berbentuk makulopapular-papula disertai
meningkatnya suhu badan. Di antara makulopapular terdapat kulit yang normal.
Setelah munculnya ruam, biasanya bercak Koplik telah menghilang. Ruam mulamula timbul di belakang telinga, di bagian lateral tengkuk, sepanjang rambut, dan
bagian belakang bawah. Dapat terjadi perdarahan ringan, rasa gatal, dan muka
bengkak. Dalam tiga hari ruam menyebar ke anggota bawah (kranial-kaudal) dan
menghilang sesuai urutan terjadinya. Ruam ini bertahan antara 5-7 hari.

Ruam Makulopapular Morbili


Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening mandibula dan leher bagian
belakang, splenomegali, diare, dan muntah. Variasi lain adalah black measles,
yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung, dan traktus
digestivus.

Demam biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah timbulnya ruam.


Apabila masih terdapat demam lebih dari 3-4 hari setelah timbulnya ruam, maka
kemungkinan pasien mengalami komplikasi.(10)( ika fkui 2007).(9)
4. Fase konvalesens
Pada fase konvalesens, gejala-gejala pada fase prodromal mulai menghilang,
erupsi kulit berkurang dan meninggalkan bekas di kulit berupa hiperpigmentasi
yang akan menghilang sendiri dengan sempurna setelah 23 minggu. Selain
hiperpigmentasi, pada anak Indonesia sering ditemukan pada kulit yang bersisik.
Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada
penyakitpenyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang
tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada
komplikasi.(10, 11)

3.7. Diagnosis
Diagnosis klinis dan managemen morbili biasanya ditegakkan dari presentasi klinis pasien
tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu, tindakan pengendalian
juga harus segera dilakukan tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan laboratorium
mengingat penyakit ini sangat menular dari transmisi virus melalui droplet baik dengan
batuk, bersin, maupun kontak langsung dengan sekresi yang telah terinfeksi atau kontak
personal yang erat.(9)
Diagnosis juga perlu ditunjang data epidemiologi. Tidak semua kasus manifestasinya sama
dan jelas. Sebagai contoh, pada pasien yang mengidap gizi kurang, ruamnya dapat sampai
berdarah dan mengelupas atau bahkan pasien sudah meninggal sebelum ruam timbul. Pada
kasus gizi kurang juga dapat terjadi diare berkelanjutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
diagnosis morbili dapat ditegakkan secara klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang hanya
sekedar membantu.(3)

Anamnesis

Morbili merupakan infeksi serius yang ditandai dengan demam inggi, enanthema,
batuk, coryza, konjungtivitis, dan eksantema yang tampak menonjol. Setelah
periode inkubasi selama 8-12 hari, fase prodromal dimulai dengan demam ringan
yang diikuti dengan konjungtivitis yang disertai fotofobia, coryza, betuk yang
menonjol, dan demam yang semakin meningkat.(8)
Gejala bertambah dalam 2-4 hari sampai munculnya ruam. Ruam dimulai dari
dahi (di sekitar batas tumbuh rambut depan), di belakang telinga, dan leher bagian
atas, kemudian merluas ke batang tubuh dan ekstremitas, mencapai telapak tangan
dan kaki pada 50% kasus. Eksantema cepat menjadi konfluens pada daerah wajah
dan tubuh bagian atas.(8)

Pemeriksaan fisik
Diagnosis klinis akan sangat mudah ditegakkan apabila ditemukan suatu
enanthema yang disebut dengan bercak Koplik yang merupakan tanda
patognomonik dari morbili yang tampak pada hari 1-4 sebelum timbulnya ruam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awalnya bercak ini tampak seperti lesi
merah dengan bercak putih kebiruan di tengahnya. Bercak ini terdapat di mukosa
bukal dekat premolar, tetapi dapat menyebar ke bibir, palatum durum, dan gusi.
Selain itu bercak ini juga dapat diemukan pada lipatan konjungtiva dan mukosa
vagina.(8)

Bercak Koplik

Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratoris utama pada fase akut berupa leukopenia dengan jumlah hitung
jenis limfosit yang berkurang dibandingkan dengan neutrofil. Pada morbili yang
tidak disertai infeksi bakteri, LED dan c-reaktif protein dalam batas normal.

Temuan laboratoris lain yang dapat ditemukan adalah trombositopenia dan


peningkatan transaminase hepar. (8, 9)
Selain itu, dapat juga dilakukan konfirmasi serologis ELISA dengan
mengidentifikasi antibodi IgM dalam serum yang direkomendasikan oleh WHO
sebagai standar pengawasan morbili. Antibodi IgM muncul 1-2 hari setelah onset
ruam dan tetap dapat terdeteksi selama kurang lebih sebulan. Tetapi, apabila
serum diambil <72 jam sebelum terjadinya ruam, maka antibodi morbili akan
didapatkan negative dan harus dilakukan pengambilan specimen ulang.
Konfirmasi serologis dapat juga dilakukan dengan demonstrasi kenaikan antibody
IgG sebanyak 4 kali pada specimen fase akut dan konvalesnes.(8, 9)
Metode diagnostik lain yang dapat dilakukan antara lain netralisasi, fiksasi
komplemen, mikroskop imunofluoresens, isolasi virus, identifikasi antigen atau
RNA virus morbili pada jaringan yang terinfeksi dengan menggunakan RT-PCR
(reverse transcription polymerase chain reaction). Virus morbili dapat dideteksi
pada swab nasofaring, urine, atau darah setelah onset munculnya ruam dengan
PCR.(9)
Apabila terdapat komplikasi, dapat dilakukan pemeriksaan: (13)
Ensefalopati :
pemeriksaan cairan serebrospinal,
kadar elektrolit darah, dan dan analisa gas darah
Enteritis
:
feses lengkap
Bronkopneumonia :
pemeriksaan foto dada dan
analisa gas darah

3.8. Diagnosis Banding


Morbili merupakan kelompok penyakit eksantema, yaitu suatu penyakit yang
bermanifestasi sebagai erupsi difus pada kulit yang berhubungan dengan penyakit sistemik
yang biasanya disebabkan oleh infeksi. Penyakit eksantema sebagian besar disebabkan oleh
virus dan bentuk mnorfologiknya mirip antara yang satu dengan yang lainnya. Morbili
termasuk penyakit eksantema akut dengan gambaran erupsi makulopapular. Kelompok
penyakit dengan erupsi makulopapular digolongkan menjadi dua jenis, yaitu dengan
gambaran ruam makulopapular yang terdistribusi sentral dan ruam makulopapular yang
terdistribusi perifer.(1, 2)

Kelompok penyakit dengan ruam makulopapular yang terdistribusi sentral merupaka


penyakit dimana ruam muncul dari daerah kepala, leher, kemudian menyebar ke seluruh
tubuh atau ke perifer, umumnya berkaitan dengan penyakit campak, rubella, roseola
(exanthema subitum), atau ruam yang berhubungan dengan obat.(2)
1. Rubella
Masa prodromal 1-5 hari ditandai dengan demam subfebris, malaise, anoreksia,
konjungtivitis ringan, coryza, nyeri tenggorokan, batuk dan limfadenopati. Gejala
coryza, konjungtivitis, dan batuk pada rubella langsung menghilang pada saat
ruam muncul. Gejala prodromal pada rubeola lebih ringan dibandingkan dengan
gejala prodromal pada morbili. Demam berkisar 38 oC 38,7oC. Biasanya timbul
dan menghilang bersamaan dengan ruam kulit. Enantema pada rubela
(Forschheimer spots) ditemukan pada periode prodromal sampai satu hari setelah
timbulnya ruam, berupa bercak pinpoint atau lebih besar, warna merah muda,
tampak pada palatum mole sampai uvula. Bercak Forsch heimer bukan tanda
patognomonik.(1, 2)
Terdapat limfadenopati generalisata tapi lebih sering pada nodus limfatikus
suboksipital, retroaurikular atau suboksipital. Eksantema berupa makulopapular,
eritematosa, diskret. Pertama kali ruam tampak di muka dan menyebar ke bawah
dengan cepat (leher, badan, dan ekstremitas). Ruam pada akhir hari pertama mulai
merata di badan kemudian pada hari ke dua ruam di muka mulai menghilang, dan
pada hari ke tiga ruam tampak lebih jelas di ekstremitas
sedangkan di tempat lain mulai menghilang. Ruam pada rubella hanya bertahan
selama tiga hari.(1, 2)
Isolasi virus, virus ditemukan pada faring 7 hari sebelum dan 14 hari sesudah
timbulnya ruam. Sedangkan secara serologis dapat dideteksi mulai hari ke tiga
timbulnya ruam.(1)

Ruam pada Rubela


2. Roseola (exanthema subitum)
Perjalanan penyakit dimulai dengan demam tinggi mendadak mencapai 4040,6oC, anak tampak iritabel, anoreksia, biasanya terdapat coryza, konjungtivitis
dan batuk. Demam menetap 3-5 hari dan menurun secara mendadak ke suhu
normal disertai timbulnya ruam. Ruam tampak pertama kali di punggung dan
menyebar ke leher, ekstremitas atas muka, da ektremitas bawah. Ruam berwarna
merah muda, makulopapular, diskret, jarang koalesen sehingga mirip dengan lesi
rubela. Lamanya timbul erupsi 1-2 hari, kadang dapat hilang dalam beberapa jam.
Ruam hilang tidak meninggalkan bekas berupa pigmentasi atau deskuamasi.(1)
3. Erupsi akibat pemakaian obat
Reaksi karena pemakaian obat dapat bermanifestasi ke kulit menjadi berbagai
macam bentuk efloresensi dan tidak terdapat predileksi khusus maupun teerbatas
pada usia tertentu. Erupsi eksantematosa biasanya berkaitan dengan pemakaian
penisilin atau sefalosporin. Ruam muncul pada minggu pertama setelah konsumsi
obat dan menghilang dalam waktu beberapa hari setelah konsumsi obat
dihentikan. Erupsi akibat pemakaian obat mungkin sulit dibedakan dengan

eksantema karena infeksi virus, tapi pada erupsi karena pemakaian obat dapat
ditemukan ruam yang lebih eritematosa dan disertai rasa yang lebih gatal
dibandingkan pada eksantema karena infeksi virus.(12)

3.9. Tatalaksana
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, dan antibiotic yang diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikovulsan apabila
terjadi kjang, serta pemberian vitamin A.(13)
Indikasi rawat inap:(13)

hiperpireksia
dehidrasi
kejang
asupan oral sulit
adanya komplikasi

Indikasi pemberian vitamin A:(8)

Anak usia 6 bulan-2 tahun yang dirawat karena morbili dan komplikasinya

(misalnya batuk disertai sesak napas, pneumonia, dan diare)


Anak usia lebih dari 6 bulan dengan campak yang sudah mendapatkan
suplemen vitamin A dan memiliki faktor resiko sebagai berikut
Imunodefisiensi
Bukti klinis defisiensi vitamin A
Gangguan absorbs intestinal
Malnutrisi sedang sampai berat
Dalam waktu dekat baru imigrasi dari daerah yang tinggi angka mortalitas
yang disebabkan oleh morbili.

3.9.1. Campak tanpa komplikasi(13, 14, 15)


Pada umumnya tidak memerlukan rawat inap, tetapi apabila ada indikasi rawat inap,
pasien dirawat di ruang isolasi dan tirah baring. Apabila tidak dirawat minta ibu

untuk membawa anaknya kembali dalam waktu dua hari untk melihat luka pada
mulut dan sakit mata anak sembh, atau apabila terdapat tanda bahaya.
Tatalaksana:
Vitamin A
Tanyakan apakah anak sudah mendapatkan vitamin A atau belum pada bulan
Agusus dan Februari. Apabila belum berikan vitamin A dengan dosis menurut
umur sebagai berikut.

Dosis
Pemberian Vitamin A Berdasarkan Usia(15)
Jika demam, berikan parasetamol.
Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai, jenis makanan disesuaikan dengan
tingkat kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
Perawatan mata
:
untuk konjungtivitis ringan dengan
cairan mata yang jernih tidak memerlukan pengobatan
Jika mata bernanah, bersihkan mata dengan kain katun yang
telah direbus dalam air mendidih atau lap bersih yang direndam
dalam air bersih. Oleskan salep mata kloramfenikol atau
tetrasiklin, 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan menggunakan
salep steroid
Perawatan mulut

jaga kebersihan mulut, beri obat

kumur antiseptic bila pasien dapat berkumur.

3.9.2. Campak dengan komplikasi(13, 14)


Campak dengan tanda bahaya meliputi salah satu dari gejala sebagai berikut:

Kesadaran menurun atau kejang


Pneumonia

Dehidrasi karena diare


Gizi buruk
Otitis media akut
Kekeruhan pada kornea
Luka pada mulut yang dalam atau luas

Anak-anak dengan campak yang disertai dengan komplikasi memerlukan perawatan


di rumah sakit.
Tatalaksana:
Vitamin A
Berikan vitamin A secara oral pada semua anak. Jika anak mennjukkan gejala
pada mata akibat kekurangan vitamin A atau dalam keadaan gizi buruk, vitamin A
diberikan 3 kali, yaitu pada hari pertama, kedua, dan 2-4 minggu setelah dosisi
kedua.
Otitis media akut
a. Karena penyebab tersering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Moraxella catharrhalis, berikan amoksisilin dosis 15 mg/
kgBB/ kali, 3 kali sehari atau kotrimoksazol oral dosis 24 mg/ kgBB/ kali, 2
kali sehari selama 7-10 hari
b. Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara
mengeringkannya dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tissue
kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3 kali
sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar.
c. Nasihati ibu untuk tidak memasukkan apapun ke dalam telinga anak, kecuali
jika terjadi penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan
dengan meneteskan lartan garam normal. Larang anak untuk berenang atau
memasukkan air ke dalam telinga
Ensefalopati atau ensefalitis:
a. Kloramfenikol dosis 75 mg/kg/hari dan ampisilin 100 mg/kg/hari selama 7-10
hari
b. Kortikosteroid: deksametason 1 mg/kg/hari sebagai dosis awal dilanjutkan 0,5
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian
lebih dari 5 hari dilakukan tapering off)

c. Jumlah cairan dikurangi menjadi kebutuhan serta koreksi terhadap

gangguan elektrolit
Bronkopneumonia:
a. Kloramfenikol dosis seperti tertera di atas dan ampisilin 100 mg/kg/hari
selama 7-10 hari.
b. Oksigen 2 liter/menit.
c. Koreksi gangguan analisis gas darah dan elektrolit.
Masalah pada mata:
a. Konjungtivitis ringan tanpa adanya pus tidak perlu diobati
b. Jika ada pus, bersihkan mata dengan kain bersih yang dibasahi dengan air
bersih. Setelah itu berikan salep mata tetrasiklin 3 kali sehari selama 7 hari.

Jangan gunakan salep yang mengandung steroid.


c. Jika tidak ada perbaikan, rujuk.
Luka pada mulut:
a. Jika ada luka pada mulut, mintalah ibu untuk membersihkan mulut anak
dengan menggunakan air bersih yang diberi sedikit garam, minimal 4 kali
sehari.
b. Berikan gentian violet 0,25% pada luka di mulut setelah dibersihkan
c. Jika luka di mulut menyebabkan berkurangnya asupan makanan, anak

mungkin memerlukan makanan melalui NGT (nasogastric tube).


Jika demam, berikan parasetamol.

3.10. Pencegahan
Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi aktif. Imunisasi Campak di Indonesia
termasuk imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap anak usia 9 bulan dengan ulangan
saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke dalam program pengembangan imunisasi (PPI).
Imunisasi campak dapat pula diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15
bulan. Anak yang telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan
pada usia 6 tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita kurang bermakna karena
transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari dan didiagnosis sebagai campak.(3, 16)

Rekomendasi Imunisasi Campak (8)


Selain melalui imunisasi aktif, pencegahan dapat juga dilakukan dengan imunisasi pasif
denagn pemberian immunoglobulin. Immunoglobulin (IG) dapat diberikan secara
intramuskuler untuk mencegah atau memodifikasi campak pada orang yang rentan dalam
waktu 6 hari setelah terpapar. Dosis yang dianjurkan biasa adalah 0,25 mL/ kg diberikan
intramuskuler, anak immunocompromised harus menerima 0,5 mL/ kg intramuskular (dosis
maksimum dalam contoh baik adalah 15 mL). IG diindikasikan untuk kelompok orang yang
rentan atau kontak dekat dengan pasien campak, khususnya pada anak usia < 1 tahun, wanita
hamil, dan orang-orang yang immunocompromised. IG tidak diindikasikan untuk kelompok
orang yang telah menerima 1 dosis vaksin pada usia 12 bulan atau lebih kecuali mereka
immunocompromised.(16)
Intravenous Immune Globulin (IGIV) umumnya mengandung antibodi campak di sekitar
konsentrasi yang sama per gram protein sebagai IG, meskipun konsentrasi dapat bervariasi
tergantung produsen yang memproduksi immunoglobulin tersebut. Untuk pasien yang

menerima IGIV teratur, dosis biasa 400 mg/ kg harus memadai untuk profilaksis campak
setelah pajanan yang terjadi dalam 3 minggu setelah menerima IGIV.
Untuk anak-anak yang menerima IG untuk modifikasi atau pencegahan campak setelah
paparan, vaksin campak (jika tidak kontraindikasi) harus diberikan 5 bulan (jika dosisnya
adalah 0,25 mL/ kg) atau 6 bulan (jika dosisnya adalah 0,5 mL / kg) setelah pemberian IG,
asalkan anak setidaknya anak berusia 12 bulan. Interval antara pemberian IGIV atau produk
biologis lainnya yang mengandung vaksin bervariasi.

Interval Waktun yang Disarankan antara Pemberian Imunoglobulin


dan Produk Biologis Lain (8)
3.11. Komplikasi

Kejang demam
Kejang demam dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat
ruam keluar.(3)
Laringitis akut
Laringitis akut muncul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran napas, yang
bertambah berat pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres

pernapasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik.(3)
Otitis media
Otitis media merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada morbili. Agen
penyebab dari otitis media pada campak tidak berbeda dengan anak lain yang juga
menderita otitis media akut (OMA) tanpa campak, maka terapi antibiotik diperlukan
pada kasus seperti ini. Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemolitikus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang
kadang ditemukan juga Haemophylus influenza, Escheria coli, Proteus vulgaris, dan
Pseudomonas aerugenosa. Haemophylus influenza sering ditemukan pada anak yang
berusia di bawah 5 tahun. Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di
nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya
mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan
antibodi. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas atas.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, semakin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena

tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.(3, 6)


Bronkopneumonia
Bronkopneumonia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada campak. Dapat
disebabkan oleh virus morbili atau oleh Pneumococcus, Streptococcus, Staphylococcus.
Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak

dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun (misalnya tuberkulosis),


leukemia dan lainlain. Oleh karena itu pada keadaan tertentu perlu dilakukan
pencegahan. Gambaran pada foto toraks yang sering dijumpai adalah hiperinflasi,
infiltrat perihiler, atau bintikbintik perihiler, dan penebalan hilus.

Konsolidasi

sekunder atau efusi pleura juga dapat dijumpai. Bronkopneumonia ditandai dengan
batuk, meningkatnya frekuensi napas, dan adanya ronkhi basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan hilang, kecuali batuk yang
masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada
saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga
adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang

telah dirusak oleh virus.(3, 17)


Konjungtivitis
Konjungtivitis dapat erjadi pada semua kasus campak, ditandai dengan adanya mata
merah, pembengkakan kelopak mata, lakrimasi dan fotofobia. Kadangkadang terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri. Virus campak atau antigennya dapat dideteksi pada lesi
konjungtiva pada harihari pertama sakit. Konjungtivitis dapat memburuk dengan
terjadinya hipopion dan pan-oftalmitis hingga menyebabkan kebutaan. Dapat pula
timbul ulkus kornea.(3)(17)

Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia, paraplegia, afasia, gangguan
mental, neuritis optika dan ensefalitis.(3)

Ensefalitis
Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita
morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus morbili
hidup (ensefalitis morbili akut), pada penderita yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif (immunosuppresive measles encephalopathy) dan sebagai subacute
sclerosing panencephalitis (SSPE). Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium
eksantem, angka kematian rendah dan sisa defisit neurologis sedikit. Angka kematian
ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah

vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000 dosis.(3)
Subacute sclerosing panencephalitis
SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Penyakit
ini merupakan komplikasi kronis dari morbili, berjalan progresif dan fatal, dapat

ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba
tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalanan klinis
lambat dan sebagian besar penderita meninggal dunia dalam 6-9 bulan setelah terjadi
gejala pertama. Meskipun demikan remisi spontan masih dapat terjadi.
Pada tahap awal (stage I) biasanya gejala terlewatkan karena ringannya dan singkatnya
gejala yang muncul. Demam, sakit kepala, dan gejala lain ensefalitis tidak ditemukan.
Pada tahap kedua ditandai adanya mioklonus massif. Keadaan ini berkaitan dengan
adanya proses inflamasi yang meluas ke struktur otak yang lebih dalam, termasuk
ganglia basalis. Gerakan involunter dan hentakan mioklonik yang berulang dimulai
pada kelompok otot tunggal tetapi juga member jalan terjadinya hentakan dan spasme
massif yang melibatkan otot aksial dan apendikular. Kesadaran tetap dipertahankan.
Pada tahap ketiga, gerakan involunter menghilang dan digantikan dengan koreoatetosis,
imobilitas, distonia, dan rigiditas yang terjadi akibat destruksi pusat terdalam dari
ganglia basalis. Sensorium memburuk kea rah demensia, stupor, kemudian koma. Tahap
keempat ditandai dengan hilangnya pusat penting yang menunjang pernapasan, denyut
jantung, dan tekanan darah. Lambat laun akan terjadi kematian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti bahwa virus morbili memegang peranan
dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum usia 2 tahun,
sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7-13 tahun setelah menderita morbili. SSPE yang
terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kirakira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili sekitar 0,51,1 tiap 10 juta populasi,
sedangkan setelah infeksi morbili sebesar 5,29,7 tiap 10 juta populasi.
Diagnosis SSPE dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis minial salah satu dari
temuan: (1) antibodi morbili yang terdeteksi di LCS (liquor cerebrospinal); (2) temuan
elektroensefalografik; (3) temuan histologis tipikal dan/atau isolasi virus atau antigen

virus pada jaringan otak yang diperoleh dari biopsi atau pemeriksaan postmortem.(3, 8, 17)
Ensefalomielitis diseminata akuta (pasca vaksinasi atau pasca infeksi)
Ensefalitis diseminata akuta walaupun jarang terjadi, tetapi merupakan gangguan
demielinisasi lain yang patut disebutkan karena penyakit ini pada dasarnya dapat
dicegah. Penyakit ini merupakan suatu mielitis atau ensefalitis akut dengan perjalanan
yang bervariasi dan ditandai dengan gejala-gejala yang merupakan indikasi kerusakan
pada substansia alba otak atau medula spinalis. Gambaran patologis berupa
demielinisasi sirkumskripta yang banyak terdapat pada daerah perivaskular. Sekitar 1

minggu sesudah campak, dapat timbul gejala-gejala neurologik secara cepat berupa
sakit kepala, mengantuk, stupor, kelumpuhan otot mata dan seringkali disertai lesi
transversal medula spinalis sehingga keempat anggota badan (tungkai dan lengan)
mengalami paralisis flaksid. Tingkat paralisis seringkali bervariasi.
Ensefalomielitis pasca infeksi terjadi sesudah infeksi virus, terutama campak, yaitu
pada satu dari 1000 kasus. Angka kematian mencapai 10 hingga 20%, dan sekitar 50%
di antara mereka yang dapat bertahan akan mengalami kerusakan neurologik.(3)
Penyulit lain diantaranya adalah aktivasi tuberkulosis, enteritis, miokarditis, adenitis
servikal, purpura trombositopenik, aktivasi tuberculosis, emfisema subkutan, gangguan
gizi, infeksi piogenik pada kulit serta pada ibu hamil dapat terjadi abortus, prematur dan
kelainan kongenital pada bayi.(3, 8)

3.12. Prognosis
Pada awal abad ke 20, angka kematian akibat morbili bervariasi antara 2000-10000
atau sekitar 10 kematian per 1000 kasus morbili. Dengan adanya peningkatan pelayanan
kesehatan dan terapi antimikroba, nutrisi yang lebih baik, pengurangan kepadatan, angka
kematian akibat morbili berkurang menjadi 1 kematian per 1000 kasus. Antara tahun 1982
dan 2002, CDC mengestimasikan terjadi 259 kematian akibat morbili di US, dengan rasio
kematian berbanding kasus 2,5-2,8 per 1000 kasus morbili. Pneumonia dan ensefalitis
adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus yang fatal, serta kondisi
imunodefisiensi juga ditemukan pada 14-16% kematian.(8)
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahayu T, Tumbelaka AR. Sari pediatri: Gambaran klinis penyakit eksantema akut pada
anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2002. p. 104-7, 109
2. Ismoedjiyanto. Demam dan ruam di daerah tropik. Surabaya: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Airlangga; 2011. p. 150-3

3. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri tropis:
campak. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p.109-18
4. Sastroasmoro S, Bondan, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B, et all. Panduan
Pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSUP Nasional dr.
Ciptomangunkusumo; 2007. p.150-2
5. Katz SL. Measles. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ, Apt
L, et all, Editors. Rudolphs pediatrics. 21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. p. 576-89
6. Mason WH, Behrman RE, Kliegman RM. Measles. In: Wahab AS, Editor. Nelson ilmu
kesehatan anak volume 2. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 1068-71
7. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. 3 rd ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2000. p.
417-418
8. Mason WH. Measles. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, Editors.
Nelson textboon of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 1090-8
9. Batirel A, Doganay M. clinical approach to skin eruption and measles: a mini review. J
Gen Pract. 2013; 1: 118
10. Staf Pengajar FKUI. Ilmu kesehatan anak 2. 9th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. p.
6248
11. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007. p. 189-93
12. McKinnon HD, Howard T. evaluating the febrile patient with rash. Am fam physician.
2000 Aug 15; 62(4): 804-816
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Campak. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris
NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, Editors. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI;
2009. p. 33-5
14. World health organization. Campak. In: Tim Adaptasi Indonesia, Editor. Buku saku
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO Indonesia; 2008. p. 180-3

15. World Health Organization. WHO guidelines for epidemic preparedness and response to
measles outbreaks. Geneva: WHO; 1999. p. 11-5, 18
16. Hay WW, Levin MJ, SOndheimer J, Detreding RR. Current pediatric diagnosis &
treatment. 17th ed. USA: Appleton & Lange; 2009. p. 1163-1165
17. Rampengan TH, Laurentz IR. penyakit infeksi tropik pada anak. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. p. 109-21
18. Dyne

PL.

Pediatrics

Measles.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/802691-overview Accessed on June 20th. 2014


19. Lewis

LS.

Roseola

Infantum.

Available

http://emedicine.medscape.com/article/803804-overview Accessed on June 20th, 2014

at:

Anda mungkin juga menyukai