TINJAUAN PUSTAKA
MORBILI
3.1. Definisi
Morbili, campak, atau rubeola adalah suatu penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus
morbili, yang pada umumnya menyerang anak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat
menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penyebaran infeksi terjadi melalui perantara droplet.(3, 4)
3.2. Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) morbili menduduki
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5
dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%).(3)
Angka kejadian morbili di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi
sekitar 3000-4000 per tahun, demikian pula frekuensi terjadinya kejadian luar biasa
(wabah) tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case fatality rate
telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Umur terbanyak menderita morbili adalah
12 tahun Transmisi morbili terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet
dari penderita dengan gejala yang minimal bahkan tidak bergejala. Penderita masih dapat
menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari setelah ruam
muncul.(4, 5)
Biasanya penyakit ini muncul pada masa anak-anak dan kemudian menyebabkan
kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah menderita morbili akan
mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai usia 46 bulan dan setelah
itu kekebalan akan berkurang, sehingga bayi dapat menderita morbili. Bila ibu belum
penah menderita morbili, maka bayi yang dilahirkan tidak akan memiliki kekebalan
terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah dilahirkan. Bila seorang wanita
menderita morbili pada usia kehamilan 1 atau 2 bulan, kemungkinan 50 % akan mengalami
abortus, sedangkan jika menderita morbili pada trimester I, II, atau III, maka ibu tersebut
mungkin akan melahirkan anak dengan kelainan bawaan, berat badan lahir rendah (BBLR)
atau lahir mati ataupun anak akan meninggal sebelum usia 1 tahun.(6, 7)
Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa morbili di Indonesia ditemukan
sepanjang tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa epidemi morbili di Indonesia timbul
secaara tidak terautr. Di daerah perkotaan epidemi morbili terjadi setiap 2-4 tahun. Wabah
terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap morbili, yaitu di daerah dengan populasi
balita banyak mengidap gizi buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui
bahwa morbili menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah
terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai adalah
bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis (6,7%), dan lain-lain (7,9%).
(3)
Menurut kelompok umur, kasus morbili yang rawat inap di rumah sakit selama kurun
waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur
balita dengan perincian 17,6% berumur <1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur
2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun, dan 8,2% berumur 4 tahun.(3)
3.3. Etiologi
Etiologi atau penyebab dari penyakit morbili adalah virus RNA dari famili
Paramixoviridae, genus Morbilivirus. Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Virus tetap
aktif minimal dalam 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu disimpan dalam temperatur 35C, dan beberapa hari dalam suhu 0C.
Virus tidak aktif pada pH rendah. Perubahan sitopatik, tampak dalam 5 sampai 10 hari,
terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi di dalam
sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul.(3, 6)
Virus morbili termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi yang
kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak
dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri dari
bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA). Pada selubung luar seringkali
terdapat tonjolan pendek. Salah satu protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai
hemaglutinin.(3)
Virus morbili adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi. Apabila
berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada temperatur kamar ia akan
kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5 hari, pada suhu 37 C waktu paruh usianya
2 jam, sedangkan pada suhu 56 C hanya 1 jam. Sebaliknya virus ini mampu bertahan
dalam keadaan dingin. Pada suhu -70 C dengan media protein ia dapat hidup selama 5,5
tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6 C, dapat hidup selama 5 bulan.
Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu bertahan selama 2 minggu, dan
dapat dengan mudah dihancurkan oleh sinar ultraviolet.(3)
Oleh karena selubungnya terdiri dari lemak, maka virus morbili termasuk
mikroorganisme yang bersifat ether labile. Pada suhu kamar, virus ini akan mati dalam
20% ether setelah 10 menit dan dalam 50% aseton setelah 30 menit. Virus morbili juga
sensitive terhadap 0,01% betapropiacetone pada suhu 37 C dalam 2 jam, ia akan
kehilangan sifat infektivitasnya namun tetap memiliki antigenitas penuh. Sedangkan dalam
formalin 1/4.000, virus ini menjadi tidak efektif setelah 5 hari, tetapi tetap tidak kehilangan
antigenitasnya. Penambahan tripsin akan mempercepat hilangnya potensi antigenik.(3)
Virus morbili dapat tumbuh pada berbagai macam tipe sel, tetapi untuk isolasi primer
digunakan biakan sel ginjal manusia atau kera. Pertumbuhan virus morbili lebih lambat
daripada virus lainnya, baru mencapai kadar tertinggi pada fase larutan setelah 7-10 hari.(3)
Virus morbili menyebabkan dua perubahan tipe sitopatik. Perubahan sitopatik
yang pertama berupa perubahan pada sel yang batas tepinya menghilang sehingga
sitoplasma dari banyak sel akan saling bercampur dan membentuk anyaman dengan
pengumpulan 40 nucleus di tengah. Inclusion bodies tampak pada kedua sitoplasma dan
intinya. Efek sitopatik yang kedua menyebabkan perubahan bentuk sel perbenihan dari
polygonal menjadi bentuk gelondong. Sel ini menjadi lebih hitam dan lebih membias
daripada sel normal dan jika dicat menunjukkan inclusion bodies yang berada di dalam inti.
(3)
Penyebaran virus maksimal adalah dengan droplet selama masa prodromal (stadium
kataral). Penularan terhadap kontak rentan sering terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.
Seseorang yang terinfeksi virus morbili menular pada hari ke 9-10 setelah pemajanan
(mulai fase prodromal), pada beberapa kasus dapat terjadi hari ke 7. Tindakan pencegahan
isolasi terutama di rumah sakit atau instisusi lain, harus dipertahankan dari hari ke 7 setelah
pemajanan sampai hari ke 5 setelah timbul ruam.(6)
tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis. (3)
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons
delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit.
Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T. (3)
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh dikulit. Penelitian dengan
imunoflouresens dan histologik menunjukkan adanya antigen morbili dan diduga terjadi
suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media,
dan lain-lain.(3)
3.5. Patologi
Infeksi morbili menyebabkan nekrosis epitel saluran napas dan adanya infiltrat limfositik
yang menyertainya. Morbili menyebabkan terjadinya vaskulitis pembuluh darah kecil pada
kulit dan membran mukosa oral. Histologi dari ruam dan eksantema menunjukkan adanya
edema intraselular dan diskeratosis yang berhubngan dengan pembentukaan sel raksasa
epidermal sinsitial dengan nukleus mencapai 26 nukleus. Partikel virus telah diidentikfikasi
berada dalam sel raksasa ini. Pada jaringan limforetikular, hiperplasia limfoid tampak
menonjol. Bergabungnya sel yang telah terinfeksi menyebabkkan terbentuknya sel raksasa
multinukleus, yang disebut dengan sel raksasa Warthin-Finkeldey, yang merupakan tanda
ptognomonik dari morbili, dengan gambaran nukleus mencapai 100 nukleus dan badan
inklusi intrasitoplasma dan intranuklear.(8)
ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum. Timbulnya bercak Koplik hanya
berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan
biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.(9, 10, 11)
3. Fase erupsi
Berlangsung selama 5-10 hari. Gejala pada fase prodromal seperti coryza dan
batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum durum dan
palatum mole.
Kemudian terjadi ruam eritematosa yang berbentuk makulopapular-papula disertai
meningkatnya suhu badan. Di antara makulopapular terdapat kulit yang normal.
Setelah munculnya ruam, biasanya bercak Koplik telah menghilang. Ruam mulamula timbul di belakang telinga, di bagian lateral tengkuk, sepanjang rambut, dan
bagian belakang bawah. Dapat terjadi perdarahan ringan, rasa gatal, dan muka
bengkak. Dalam tiga hari ruam menyebar ke anggota bawah (kranial-kaudal) dan
menghilang sesuai urutan terjadinya. Ruam ini bertahan antara 5-7 hari.
3.7. Diagnosis
Diagnosis klinis dan managemen morbili biasanya ditegakkan dari presentasi klinis pasien
tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan penunjang. Selain itu, tindakan pengendalian
juga harus segera dilakukan tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan laboratorium
mengingat penyakit ini sangat menular dari transmisi virus melalui droplet baik dengan
batuk, bersin, maupun kontak langsung dengan sekresi yang telah terinfeksi atau kontak
personal yang erat.(9)
Diagnosis juga perlu ditunjang data epidemiologi. Tidak semua kasus manifestasinya sama
dan jelas. Sebagai contoh, pada pasien yang mengidap gizi kurang, ruamnya dapat sampai
berdarah dan mengelupas atau bahkan pasien sudah meninggal sebelum ruam timbul. Pada
kasus gizi kurang juga dapat terjadi diare berkelanjutan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
diagnosis morbili dapat ditegakkan secara klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang hanya
sekedar membantu.(3)
Anamnesis
Morbili merupakan infeksi serius yang ditandai dengan demam inggi, enanthema,
batuk, coryza, konjungtivitis, dan eksantema yang tampak menonjol. Setelah
periode inkubasi selama 8-12 hari, fase prodromal dimulai dengan demam ringan
yang diikuti dengan konjungtivitis yang disertai fotofobia, coryza, betuk yang
menonjol, dan demam yang semakin meningkat.(8)
Gejala bertambah dalam 2-4 hari sampai munculnya ruam. Ruam dimulai dari
dahi (di sekitar batas tumbuh rambut depan), di belakang telinga, dan leher bagian
atas, kemudian merluas ke batang tubuh dan ekstremitas, mencapai telapak tangan
dan kaki pada 50% kasus. Eksantema cepat menjadi konfluens pada daerah wajah
dan tubuh bagian atas.(8)
Pemeriksaan fisik
Diagnosis klinis akan sangat mudah ditegakkan apabila ditemukan suatu
enanthema yang disebut dengan bercak Koplik yang merupakan tanda
patognomonik dari morbili yang tampak pada hari 1-4 sebelum timbulnya ruam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, awalnya bercak ini tampak seperti lesi
merah dengan bercak putih kebiruan di tengahnya. Bercak ini terdapat di mukosa
bukal dekat premolar, tetapi dapat menyebar ke bibir, palatum durum, dan gusi.
Selain itu bercak ini juga dapat diemukan pada lipatan konjungtiva dan mukosa
vagina.(8)
Bercak Koplik
Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratoris utama pada fase akut berupa leukopenia dengan jumlah hitung
jenis limfosit yang berkurang dibandingkan dengan neutrofil. Pada morbili yang
tidak disertai infeksi bakteri, LED dan c-reaktif protein dalam batas normal.
eksantema karena infeksi virus, tapi pada erupsi karena pemakaian obat dapat
ditemukan ruam yang lebih eritematosa dan disertai rasa yang lebih gatal
dibandingkan pada eksantema karena infeksi virus.(12)
3.9. Tatalaksana
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, dan antibiotic yang diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikovulsan apabila
terjadi kjang, serta pemberian vitamin A.(13)
Indikasi rawat inap:(13)
hiperpireksia
dehidrasi
kejang
asupan oral sulit
adanya komplikasi
Anak usia 6 bulan-2 tahun yang dirawat karena morbili dan komplikasinya
untuk membawa anaknya kembali dalam waktu dua hari untk melihat luka pada
mulut dan sakit mata anak sembh, atau apabila terdapat tanda bahaya.
Tatalaksana:
Vitamin A
Tanyakan apakah anak sudah mendapatkan vitamin A atau belum pada bulan
Agusus dan Februari. Apabila belum berikan vitamin A dengan dosis menurut
umur sebagai berikut.
Dosis
Pemberian Vitamin A Berdasarkan Usia(15)
Jika demam, berikan parasetamol.
Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai, jenis makanan disesuaikan dengan
tingkat kesadaran pasien dan ada-tidaknya komplikasi.
Perawatan mata
:
untuk konjungtivitis ringan dengan
cairan mata yang jernih tidak memerlukan pengobatan
Jika mata bernanah, bersihkan mata dengan kain katun yang
telah direbus dalam air mendidih atau lap bersih yang direndam
dalam air bersih. Oleskan salep mata kloramfenikol atau
tetrasiklin, 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan menggunakan
salep steroid
Perawatan mulut
gangguan elektrolit
Bronkopneumonia:
a. Kloramfenikol dosis seperti tertera di atas dan ampisilin 100 mg/kg/hari
selama 7-10 hari.
b. Oksigen 2 liter/menit.
c. Koreksi gangguan analisis gas darah dan elektrolit.
Masalah pada mata:
a. Konjungtivitis ringan tanpa adanya pus tidak perlu diobati
b. Jika ada pus, bersihkan mata dengan kain bersih yang dibasahi dengan air
bersih. Setelah itu berikan salep mata tetrasiklin 3 kali sehari selama 7 hari.
3.10. Pencegahan
Pencegahan terutama dengan melakukan imunisasi aktif. Imunisasi Campak di Indonesia
termasuk imunisasi dasar yang wajib diberikan terhadap anak usia 9 bulan dengan ulangan
saat anak berusia 6 tahun dan termasuk ke dalam program pengembangan imunisasi (PPI).
Imunisasi campak dapat pula diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR) pada usia 12-15
bulan. Anak yang telah mendapat MMR tidak perlu mendapat imunisasi campak ulangan
pada usia 6 tahun. Pencegahan dengan cara isolasi penderita kurang bermakna karena
transmisi telah terjadi sebelum penyakit disadari dan didiagnosis sebagai campak.(3, 16)
menerima IGIV teratur, dosis biasa 400 mg/ kg harus memadai untuk profilaksis campak
setelah pajanan yang terjadi dalam 3 minggu setelah menerima IGIV.
Untuk anak-anak yang menerima IG untuk modifikasi atau pencegahan campak setelah
paparan, vaksin campak (jika tidak kontraindikasi) harus diberikan 5 bulan (jika dosisnya
adalah 0,25 mL/ kg) atau 6 bulan (jika dosisnya adalah 0,5 mL / kg) setelah pemberian IG,
asalkan anak setidaknya anak berusia 12 bulan. Interval antara pemberian IGIV atau produk
biologis lainnya yang mengandung vaksin bervariasi.
Kejang demam
Kejang demam dapat timbul pada periode demam, umumnya pada puncak demam saat
ruam keluar.(3)
Laringitis akut
Laringitis akut muncul karena adanya edema hebat pada mukosa saluran napas, yang
bertambah berat pada saat demam mencapai puncaknya. Ditandai dengan distres
pernapasan, sesak, sianosis dan stridor. Ketika demam turun keadaan akan membaik.(3)
Otitis media
Otitis media merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada morbili. Agen
penyebab dari otitis media pada campak tidak berbeda dengan anak lain yang juga
menderita otitis media akut (OMA) tanpa campak, maka terapi antibiotik diperlukan
pada kasus seperti ini. Kuman penyebab utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemolitikus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu kadang
kadang ditemukan juga Haemophylus influenza, Escheria coli, Proteus vulgaris, dan
Pseudomonas aerugenosa. Haemophylus influenza sering ditemukan pada anak yang
berusia di bawah 5 tahun. Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di
nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya
mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan
antibodi. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran nafas atas.
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, semakin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena
Konsolidasi
sekunder atau efusi pleura juga dapat dijumpai. Bronkopneumonia ditandai dengan
batuk, meningkatnya frekuensi napas, dan adanya ronkhi basah halus. Pada saat suhu
turun, apabila disebabkan oleh virus, gejala pneumonia akan hilang, kecuali batuk yang
masih dapat berlanjut sampai beberapa hari lagi. Apabila suhu tidak juga turun pada
saat yang diharapkan dan gejala saluran nafas masih terus berlangsung, dapat diduga
adanya pneumonia karena bakteri yang telah mengadakan invasi pada sel epitel yang
Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia, paraplegia, afasia, gangguan
mental, neuritis optika dan ensefalitis.(3)
Ensefalitis
Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita
morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus morbili
hidup (ensefalitis morbili akut), pada penderita yang sedang mendapat pengobatan
imunosupresif (immunosuppresive measles encephalopathy) dan sebagai subacute
sclerosing panencephalitis (SSPE). Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium
eksantem, angka kematian rendah dan sisa defisit neurologis sedikit. Angka kematian
ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah
vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000 dosis.(3)
Subacute sclerosing panencephalitis
SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Penyakit
ini merupakan komplikasi kronis dari morbili, berjalan progresif dan fatal, dapat
ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba
tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalanan klinis
lambat dan sebagian besar penderita meninggal dunia dalam 6-9 bulan setelah terjadi
gejala pertama. Meskipun demikan remisi spontan masih dapat terjadi.
Pada tahap awal (stage I) biasanya gejala terlewatkan karena ringannya dan singkatnya
gejala yang muncul. Demam, sakit kepala, dan gejala lain ensefalitis tidak ditemukan.
Pada tahap kedua ditandai adanya mioklonus massif. Keadaan ini berkaitan dengan
adanya proses inflamasi yang meluas ke struktur otak yang lebih dalam, termasuk
ganglia basalis. Gerakan involunter dan hentakan mioklonik yang berulang dimulai
pada kelompok otot tunggal tetapi juga member jalan terjadinya hentakan dan spasme
massif yang melibatkan otot aksial dan apendikular. Kesadaran tetap dipertahankan.
Pada tahap ketiga, gerakan involunter menghilang dan digantikan dengan koreoatetosis,
imobilitas, distonia, dan rigiditas yang terjadi akibat destruksi pusat terdalam dari
ganglia basalis. Sensorium memburuk kea rah demensia, stupor, kemudian koma. Tahap
keempat ditandai dengan hilangnya pusat penting yang menunjang pernapasan, denyut
jantung, dan tekanan darah. Lambat laun akan terjadi kematian.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti bahwa virus morbili memegang peranan
dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum usia 2 tahun,
sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7-13 tahun setelah menderita morbili. SSPE yang
terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kirakira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili sekitar 0,51,1 tiap 10 juta populasi,
sedangkan setelah infeksi morbili sebesar 5,29,7 tiap 10 juta populasi.
Diagnosis SSPE dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis minial salah satu dari
temuan: (1) antibodi morbili yang terdeteksi di LCS (liquor cerebrospinal); (2) temuan
elektroensefalografik; (3) temuan histologis tipikal dan/atau isolasi virus atau antigen
virus pada jaringan otak yang diperoleh dari biopsi atau pemeriksaan postmortem.(3, 8, 17)
Ensefalomielitis diseminata akuta (pasca vaksinasi atau pasca infeksi)
Ensefalitis diseminata akuta walaupun jarang terjadi, tetapi merupakan gangguan
demielinisasi lain yang patut disebutkan karena penyakit ini pada dasarnya dapat
dicegah. Penyakit ini merupakan suatu mielitis atau ensefalitis akut dengan perjalanan
yang bervariasi dan ditandai dengan gejala-gejala yang merupakan indikasi kerusakan
pada substansia alba otak atau medula spinalis. Gambaran patologis berupa
demielinisasi sirkumskripta yang banyak terdapat pada daerah perivaskular. Sekitar 1
minggu sesudah campak, dapat timbul gejala-gejala neurologik secara cepat berupa
sakit kepala, mengantuk, stupor, kelumpuhan otot mata dan seringkali disertai lesi
transversal medula spinalis sehingga keempat anggota badan (tungkai dan lengan)
mengalami paralisis flaksid. Tingkat paralisis seringkali bervariasi.
Ensefalomielitis pasca infeksi terjadi sesudah infeksi virus, terutama campak, yaitu
pada satu dari 1000 kasus. Angka kematian mencapai 10 hingga 20%, dan sekitar 50%
di antara mereka yang dapat bertahan akan mengalami kerusakan neurologik.(3)
Penyulit lain diantaranya adalah aktivasi tuberkulosis, enteritis, miokarditis, adenitis
servikal, purpura trombositopenik, aktivasi tuberculosis, emfisema subkutan, gangguan
gizi, infeksi piogenik pada kulit serta pada ibu hamil dapat terjadi abortus, prematur dan
kelainan kongenital pada bayi.(3, 8)
3.12. Prognosis
Pada awal abad ke 20, angka kematian akibat morbili bervariasi antara 2000-10000
atau sekitar 10 kematian per 1000 kasus morbili. Dengan adanya peningkatan pelayanan
kesehatan dan terapi antimikroba, nutrisi yang lebih baik, pengurangan kepadatan, angka
kematian akibat morbili berkurang menjadi 1 kematian per 1000 kasus. Antara tahun 1982
dan 2002, CDC mengestimasikan terjadi 259 kematian akibat morbili di US, dengan rasio
kematian berbanding kasus 2,5-2,8 per 1000 kasus morbili. Pneumonia dan ensefalitis
adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus yang fatal, serta kondisi
imunodefisiensi juga ditemukan pada 14-16% kematian.(8)
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahayu T, Tumbelaka AR. Sari pediatri: Gambaran klinis penyakit eksantema akut pada
anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2002. p. 104-7, 109
2. Ismoedjiyanto. Demam dan ruam di daerah tropik. Surabaya: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Airlangga; 2011. p. 150-3
3. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri tropis:
campak. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. p.109-18
4. Sastroasmoro S, Bondan, Kampono N, Widodo D, Umbas R, Hermani B, et all. Panduan
Pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSUP Nasional dr.
Ciptomangunkusumo; 2007. p.150-2
5. Katz SL. Measles. In: Rudolph CD, Rudolph AM, Hostetter MK, Lister G, Siegel NJ, Apt
L, et all, Editors. Rudolphs pediatrics. 21st ed. USA: McGraw-Hill; 2003. p. 576-89
6. Mason WH, Behrman RE, Kliegman RM. Measles. In: Wahab AS, Editor. Nelson ilmu
kesehatan anak volume 2. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 1068-71
7. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. 3 rd ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2000. p.
417-418
8. Mason WH. Measles. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, Editors.
Nelson textboon of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 1090-8
9. Batirel A, Doganay M. clinical approach to skin eruption and measles: a mini review. J
Gen Pract. 2013; 1: 118
10. Staf Pengajar FKUI. Ilmu kesehatan anak 2. 9th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. p.
6248
11. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2007. p. 189-93
12. McKinnon HD, Howard T. evaluating the febrile patient with rash. Am fam physician.
2000 Aug 15; 62(4): 804-816
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Campak. In: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris
NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, Editors. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI;
2009. p. 33-5
14. World health organization. Campak. In: Tim Adaptasi Indonesia, Editor. Buku saku
pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta: WHO Indonesia; 2008. p. 180-3
15. World Health Organization. WHO guidelines for epidemic preparedness and response to
measles outbreaks. Geneva: WHO; 1999. p. 11-5, 18
16. Hay WW, Levin MJ, SOndheimer J, Detreding RR. Current pediatric diagnosis &
treatment. 17th ed. USA: Appleton & Lange; 2009. p. 1163-1165
17. Rampengan TH, Laurentz IR. penyakit infeksi tropik pada anak. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2008. p. 109-21
18. Dyne
PL.
Pediatrics
Measles.
Available
at:
LS.
Roseola
Infantum.
Available
at: