berfungsi
untuk
glikogenolisis,
glukoneogenesis
dan
ketogenesis.
Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2005).
Gambar 1. Signaling Insulin
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) dapat
menyebabkan dinding pembuluh darah
makin
lemah
dan
rapuh
sehingga
ini
terjadinya
yang
dapat
menyebabkan
komplikasi
microvaskular
Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe 1 lebih jarang dijumpai, penyakit ini sering mengenai individu berusia
kurang dari 30 tahun, insiden puncak terjadi saat pubertas. Meskipun destruksi autoimun sel
tidak terjadi secara akut, gejala klinisnya muncul mendadak, pasien dengan diabetes melitus tipe
1 terjadi penurunan berat badan serta mengalami peningkatan mencolok kadar glukosa serum
dalam beberapa hari atau minggu. Badan keton juga mengalami peningkatan akibat ketiadaan
insulin, yang menyebabkan asidosis berat yang dapat mengancam nyawa (ketoasidosisi diabetes)
(Mc Phee, 2010). Gejala dari diabetes mellitus yang paling mudah dilihat adalah: Poliuri, yaitu
sering buang air kecil karena tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan lewat ginjal
selalu diiringi oleh air atau cairan tubuh. Polidipsi, akibat dari poliuri maka penderita akan
merasakan haus yang berlebihan sehingga minum berlebihan (polidipsi). Polifagi, penderita
diabetes sering kali merasakan lapar berlebihan (Bustan, 2007). Fatigue (lelah), rasa lelah
muncul karena energi menurun akibat berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel.
Penderita DM tipe 1 mengalami penurunan berat badan. Gatal disebabkan oleh
mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi cairan tubuh) yang membuat kulit mudah luka dan
2
gatal. Gangguan immunitas, meningginya kadar glukosa dalam darah menyebabkan pasien
diabetes sangat sensitif terhadap penyakit infeksi. Gangguan mata, penglihatan berkurang
disebabkan oleh perubahan cairan dalam lensa mata. Polyneuropathy, gangguan sensorik pada
syaraf peripheral (kesemutan/baal) di kaki dan tangan (Mahendra dkk.,2008). Apabila ada
keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga
dapat digunakansebagai patokan diagnosis DM.
Tabel 1. Kadar Glukosa Dalam Darah
2.
Diabetes Tipe 2
Diabetes melistus tipe 2 ditandai dengan terganggunya sekresi insulin dan adanya
Resistensi Insulin
Reseptor insulin gagal merespon insulin secara normal. Hiperinsulinemia mengakibatkan
self regulation
3
(menurunkan
jumlah
reseptor) sehingga
mengakibatkan penurunan respon reseptor, lebih lanjut mengakibatkan resistensi insulin. Disisi
lain hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desentisasi reseptor insulin, selain itu desentisasi
juga dapat disebabkan karena tidak adanya glukosa di jaringan sehingga lemak dan protein
dipecah untuk menjadi energi dimana reaksi ini menghasilkan radikal bebas yang dapat
menyebabkan reseptor insulin tidak sensitif. Kejadian ini mengakibatkan retensi insulin. Obesitas
dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin karena terjadi peningkatan asam lemak bebas
yang mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot (reseptor tertutup lemak).
b.
Penurunan kemampuan sel pankreas
Penurunan kemampuan sel pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap
glukosa. Pada retensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan
glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah. Pada tahap ini, sel pankreas
mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif,
yang akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin.
c.
Produksi glukosa hepatik yang berlebihan
Pada keadaan normal, insulin dan gukosa menghambat pemecahan glikogen dan
menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk
hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis
akibat peningkatan asam lemak bebas dan glukagon.
C. KOMPLIKASI MIKROVASKULAR
Gambar 2. Komplikasi mikrovaskular pada diabetes (Sumber: Ozougwu, 2013; Pitocco et al.,
2013)
Sustained
Hiperglikemia
menyebabkan
keparahan
pada
komplikasi
diabetes
mikrovaskular yakni retinopati, neuropati, dan nephropati. Akumulasi AGEs merupakan reseptor
untuk Advanced Glycation Endproducts menyebabkan pengaktifan sitokin inflamasi :NF-B
pathway, TGF- yang menyebabkan ekstraselular fibrosis.
Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara manifestasi sistemik spesies oksigen
reaktif sistemik dengan kemampuan sistem biologis untuk mengeluarkan zat reaktif atau untuk
memperbaiki kerusakan. ROS (Reaktif Oxidative Stress) meningkatkan aktivitas PKC yang
dapat menyebabkan disfungsi endothelial dan peningkatan permeabilitas vaskular yang
disebabkan oleh meningkatnya produksi VEGF. bFGF di sintesis jika terjadi kronik hipoksia atau
peningkatan ROS yang menyebabkan neongiogenesis sehingga mengarah pada retinopathy.
ROS dapat menginduksi trans-aktivasi Src-dependendent EGFR yang menyebabkan
peningkatan sintesis MAPK dan collagen IV sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas
vaskular pada albumin sehingga menyebabkan renal damage yang mengarah pada nephropathy.
Akumulasi AGEs menyebakan penghambatan axonal regeneration dengan menginduksi
perubahan myelin dan microfilamen. Deplesi NADPH menyebabkan gangguan konduksi saraf
yang menyebakan neuropati (Pitocco, D., 2013).
1. Retinopati diabetes
5
dari adanya vitreous hemorrhage dan traction retinal detachment. Tanpa adanya pengobatan,
maka dapat terjadi kehilangan penglihatan. Fotokoagulasi laser dapat dijadikan sebagai upaya
pencegahan retinopati proliferative menimbukan kebutaan (AOA, 2015).
Manifestasi klinis : Terdapat bintik dan sesuatu yang mengambang pada saat melihat,
Pandangan kabur, Double vision, Nyeri pada mata (Diabetes UK, 2015).
Treatment
a. Goal Therapy : Mencegah dan/atau menunda onset dan perkembangan retinopati
diabetik.
b. Non-pharmacology : diet, olahraga, glycemic control
c. Pharmacology
Rekomend
asi
Skrining
Treatment
2. Nefropati Diabetes
Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal yang terjadi sebagai akibat
dari diabetes. Nefropati diabetik ditunjukkan dengan ekskresi albuminuria lebih dari 300
mg/24 jam atau proteinuria lebih dari 500 mg/24 jam dan fungsi ginjal yang abnormal yang
ditunjukkan oleh kelainan pada serum kreatinin, klirens kreatinin, atau laju filtrasi glomerulus
(GFR). Secara klinis, nefropati diabetik ditandai dengan peningkatan progresif proteinuria dan
penurunan GFR, hipertensi, dan mengarah pada risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
(Gross et al, 2005; Dabla, 2010).
Manifestasi Klinis : Bengkak (edema), pada awalnya berada pada jari dan kaki kemudian ke
seluruh tubuh, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, merasa lelah, mual atau
muntah, gangguan tidur (WebMd, 2014).
Terapi
Tujuan terapi pada pasien nefropati dengan mikro dan makroalbuminuria adalah
mencegah perkembangan dari mikro ke makroalbuminuria, serta munculnya gangguan
kardiovaskular (Gross, et.al., 2005).
Terapi
Tabel Rekomendasi untuk Skrining, Monitoring, dan Manajemen Nefropati Diabetik
Tahap
Nefropati
Diabetik
Tahap 1
(prenefropati)
Definisi
Albumin dalam urin
(mg/g Cr) atau protein
dalam urin (g/g Cr)
Normoalbuminuria (<30)
Tahap 2
(nefropati)
Mikroalbuminuria (30299)**
Tahap 3
(nefropati)
Makroalbuminuria
(>300) atau proteinuria
presisten (0,5)
GFR (eGFR)
(mL/min/
1,73 m2)
30*
30
30***
Skrining/ Monitoring
Annual urine protein
dipstick
Periksa kembali
(recheck) apabila positif
Apabila negatif, tes
mikroalbuminuria
Manajemen
Optimasi kontrol
glikemik
Terapi hipertensi (target
tekanan darah < 130/80
mmHg)
Optimasi kontrol
glikemik
Terapi hipertensi (target
tekanan darah < 130/80
mmHg)
Periksa kembali
Terapi dengan
(recheck) urin untuk
ACEI/ARB untuk
mikroalbuminuria, 2-4
hipertensi dan/atau
kali per tahun
penurunan
mikroalbuminuria
Menghindari diet protein
berlebihan dan garam
Terapi hiperlipidemia
Kuantitasi proteinuria 2- Target tekanan darah <
4 kali per tahun
125/75 mmHg jika
proteinuria > 1 g/hari
Pemeriksaan profil renal
Terapi dengan
2-4 kali per tahun
ACEI/ARB untuk
hipertensi dan/atau
Keterangan
tambahan
Fungsi
renal
normal
Fungsi
renal
normal
Dipstick
negatif
Dipstick
positif
penurunan proteinuria
Terapi hiperlipidemia
Membatasi protein dan
garam
Konsultasikan dengan
nefrologis
Tahap 4
(nefropati)
Tahap 5
(nefropati)
Terdapat keadaan
albuminuria/proteinuria*
***
Sedang melakukan terapi
dialysis
<30
Sebagaimana ditentukan
oleh keadaan individual
Dialisis/ transplantasi
Keterangan :
*Meskipun laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/ min/ 1,73 m 2 selalu mengarah pada diagnosis gagal ginjal kronis, namun
penyebab yang lain selain nefropati diabetes mungkin juga ikut berperan dimana hal ini masih perlu dibutuhkan diagnosis lebih lanjut.
**Pasien dengan mikroalbuminuria yang di diagnosis awal sebagai nefropati berdasarkan kriteria untuk diagnosis awal nefropati diabetes
***Dibutuhkan perhatian lebih untuk pasien dengan makroalbuninuria, dimana kerusakan ginjal meningkat seiring penurunan GFR dibawah 60
mL/ min/ 1,73 m2 (penurunan eGFR setengah dari baseline value perlu dilakukan dialisis)
**** Semua pasien dengan GFR kurang dari 30 mL/min/ 1,73 m 2 diklasifikasikan sebagai gagal ginjal tanpa memperhatikan nilai albumin/
protein dalam urin. Namun demikin, pada pasien dengan normoalbuminuria dan mikroalbuminuria, diagnosis lain diperlukan untuk
menentukan antara nefropati diabetes atau penyakit ginjal non-diabetes lainnya
(Malaysian Society of Nephrology, 2004)
(Medscape, 2011).
a. Direct Renin Inhibitor
Direct Renin Inhibitor menghambat renin sebagai enzim yang menstimulasi perubahan
angiotensinogen menjadi angiotensin I. Contoh dari direct renin inhibitor adalah aliskiren dengan
dosis 150 mg/ hari dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari secara peroral.
b. Aldosterone Antagonist
Memiliki efek diuretik dan antihipertensi, Aldosterone Antagonist mengikat reseptor
sehingga Aldosterone tidak terikat pada aldosterone-dependent Na-K exchange site di tubulus
distal, menyebabkan peningkatan ekskresi Na+, Cl-, dan H2O dan retensi K+ dan H+. Contoh
obatnya : Spironolactone.
c. ACE-Inhibitor
Gen ACE berperan dalam pathogenesis nefropati diabetes, termasuk mikro- dan
makroalbuminuria serta perkembangan penyakit dari mikro ke makroalbuminuria. Pada pasien
diabetes dengan nefropati terjadi aktifitas yang lebih tinggi dari ACE dibandingkan dengan pada
pasien diabetes tanpa nefropati. Adanya ACEI menghambat aktifitas ACE tersebut (Ruggenenti,
Cravedi, Remuzzi, 2011).
d. ARB
ARB mencecegah Angiotensin II berikatan dengan AT resptor sehingga terjadi
penghambatan sistem RAAS. Penghambatan sistem RAAS menyebabkan nephroprotective
effect.
e. ARB dan ACEI
Kombinasi ACEI dan ARB lebih efektif menghambat RAAS dibandingkan masing-masing
agen bekerja sendiri. Pada pasien yang menerima terapi ACI penambahan terapi ARB dapat
menghambat angiotensin II yang diproduksi melalui jalur ACE-independent (Ruggenenti,
Cravedi, Remuzzi, 2011).
Pada pasien yang diterapi menggunakan ARB, penambahan ACEI dapat mengurangi
produksi angiotensin yang diinduksi oleh AT1 receptor blockade (Ruggenenti, Cravedi,
Remuzzi, 2011).
DOSIS OBAT
Golongan
ACEI + ARB
3. Neuropati Diabetes
Diabetes neuropati adalah kelompok penyakit komplikasi diabetes mellitus yang mempengaruhi
50% pasien diabetes yang mencangkup keabnormalan pada bagian saraf secara luas (Vinik et al., 2007).
Dapat juga diartikan sebagai kemunculan symptom dan tanda dari disfungsi sistem saraf perifer pada
penderita diabetes setelah dipisahkan dari penyebab lain (Fowler, 2008). Keabnormalan tersebut dapat
terpusat maupun menyebar, mempengaruhi baik sistem saraf otonom maupun perifer menyebabkan
ketidakwajaran yang mempengaruhi kualitas hidup pasien yang dapat menyebabkan early death (Vinik et
al., 2007).
DAN adalah komplikasi diabetes yang sering tidak terdeteksi pada awal kemunculannya, akan
tetapi merupakan komplikasi yang cukup serius karena menyerang organ tubuh secara luas yang dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas (Verroti et al., 2014).
Gejala DAN adalah takikardi, tidak dapat berolahraga atau berkegiatan fisik terlalu berat,
hipotensi ortostatis, gastroparesis, konstipasi, disfungsi ereksi, disfungsi kelenjar keringat, fungsi
neurovaskular lemah,dan berpotensi mengalami kegeagalan respon otonom pada saat hipoglikemi
(American Diabetes Association, 2015).
c. Cardiovascular Autonomic Neuropathy (CAN)
CAN adalah komplikasi diabetes yang merupakan bagian dari DAN yang menyebabkan
penurunan kontrol otonom dari sistem kardiovaskular (Verroti et al., 2014) yang menyebabkan kerusakan
pada jaringan saraf otonom yang langsung berinteraksi dengan saraf-saraf pada jantung dan pembuluh
darah (Vinik et al., 2007).
Gejala CAN biasanya tidak muncul sampai diabetes teridentifikasi akan tetapi gejalanya tampak
pada penurunan detak jantung, hipotensi ortostasis (American Diabetes Association, 2015), tidak dapat
berkegiatan fisik terlalu berat, ketidakstabilan kardiovaskular setelah operasi maupun selama proses
operasi, sindrom ortostatik takikardi dan bradikardi (Vinik et al., 2007).
d. Gastrointestinal Neuropathies
Gastrointestinal neuropati merupakan kompikasi dari diabetes yang merupakan bagian dari
DAN yang menyebabkan tidak berfungsinya jalur gastrointestinal dengan baik sehingga dapat mengenai
bagian mana saja pada area gastrointestinal. Gejalanya adalah esophangeal enteropathy, gastroparesis,
kesulitan buang air besar yang kemudian dilanjutkan dengan diare beberapa hari (American Diabetes
Association, 2015).
e. Genitourinary Tract Disturbances
Genitourinary tract disturbance juga merupakan bagian dari DAN yang mana pada pria dapat
menyebabkan ejakulasi dini maupun disfungsi ereksi (American Diabetes Association, 2015).
Treatment
Drug Class
Anti convulsants
Gabapentin
Sodium valproate
Anti depressants
Amitriptyline
Venlafaxine
Duloxetine
Opioid
Dextromethorphan
Morphine sufate
Tramadol
Oxycodone
Starting
dose 75
mg bid,
may titrate
up to 300600
mg/day
Starting
dose 300
mg bid,
may titrate
up to 9003600
mg/day
500-1200
mg/day
25-100
mg/day
75-225
mg/day
(Level B)
60-120
mg/day
400
mg/day
titrated to
120
mg/day
210
mg/day
mean 37
mg/day,
(Level B)
(Level B)
Venlafaxin +gabapentin (Level C)
(Level B)
(Level B) Both tramadol and
dextromethorphan were associated with
substantial adverse events
(e.g., sedation in 18% on tramadol and
58% on dextromethorphan, nausea in 23%
on tramadol, and constipation
in 21% on tramadol). Chronic use of
opioids leads to tolerance and frequent
escalation of dose.
Gastroparesis
symptom
Metoclopramide
(maks. 5 hari)
Drug class :
antiemetic,
prokinetic agent
Dosis :
Oral: 10 mg 30
minutes before
each meal and at
bedtime
I.M., I.V. (for severe
symptoms): 10 mg
over 1-2 minutes;
10 days of I.V.
therapy may be
necessary for best
response
Hanya diberikan
pada kasus dimana
pasien tidak
merespon kepada
terapi lain
Other
Pharmacologic
Agent
Capcaisin
Isosorbide
dinitrate spray
Lidoderm
(Lidocaine patch)
max 120
mg/day
0.075%
qid
30 mg
spray to
legs qhs,
May titrate
slowly up
to 30 mg
spray to
legs bid
-
NonPharmacology
Percutaneous electrical
nerve stimulation
Screening
(Level C)
(Level B) tidak disarankan
penggunaan
amitriptyline+electrotherapy
Menggenakan
compressive
garments di kaki
dan abdomen
Perubahan diet
Penghentian obat
yang menurunkan
motilitas lambung
Gastric pacemaker
Kontrol gula secara ketat dan hindari peningkatan kadar gula extreme
Kontrol hipertensi dan dislipidemia
Skrining kronik sensorimotor DPN:
o Type 1 setiap thn, type 2 setidaknya 5 tahun sekali
Semua pasien DM meskipun tanpa simptom DPN harus diajarkan mengenai foot care
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
D. PENATALAKSANAAN
TUJUAN TERAPI
Untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran normal, dipertahankan
dalam kondisi <100 mg/dL (kondisi puasa), 140 mg/dL (setelah makan) dan 70-150 mg/dL
(kondisi glukosa darah sewaktu). Mengontrol kadar glukosa bagi pasien penyakit diabetes tipe 1
berguna untuk mencegah atau menunda komplikasi diabetes. Mengurangi kemungkinan resiko
penyakit komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Untuk mengurangi kematian dan
meningkatkan
kualitas
hidup
pasien.
The
American
Diabetes
Association
(ADA)
Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan
tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong menghambat
penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang
berlebih. Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang terpenting
dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan pencegahan serta
perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya pada regulasi administrasi
insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara berat badan yang sehat
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
2. Olahraga
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur
akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan, antara lain jalan
sehat, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
2005). Pengelolaan berat badan bagi pasien obesitas yang memiliki BMI 25-29,9, bahkan bisa
melebihi 30.(BMI = BB(kg)/TB(m2) (Group Health, 2013).
3. Perawatan kaki
Untuk pasien berisiko sangat tinggi atau peningkatan risiko ulkus kaki, dianjurkan
perawatan kaki sehari-hari, Pasien yang beresiko ulkus kaki akan mengalami amputasi, atau
cacat (Group Health, 2013).
TERAPI FARMAKOLOGI
Pilihan obat :Insulin eksogen.
Efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.Terapi
insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-sel
Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.
Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Berdasarkan
lama kerjanya insulin dibagi menjadi rapid-acting, short-acting, intermediate-acting, dan longacting (Rushakoff, 2009).
17
1. Insulin Kerja Cepat (rapid acting) : insulin lispro, insulin aspart, and insulin glulisine
Insulin mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentuk dimer dan
heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan lama kerjanya. Insulin Lispro, Aspart, dan
Glulisine tidak membentuk agregat dimer maupun heksamer, sehingga dapat dipergunakan
sebagai insulin kerja cepat. Ketiganya merupakan analog insulin kerja pendek (insulin reguler)
yang dibuat secara biosintetik. Pada insulin Lispro, urutan asam amino 28 (prolin) dan 29 (lisin)
dari rantai B insulin dilakukan penukaran menjadi 28 untuk lisin dan 29 untuk prolin. Sedangkan
pada insulin Aspart, asam amino prolin di posisi ke-28 rantai B insulin diganti dengan asam
aspartat. Insulin Glulisine merupakan insulin kerja cepat terbaru dengan modifikasi urutan asam
amino ke-3 (lisin) dan ke-29 (glutamat) dari rantai B insulin secara simultan. Insulin monomer
ini berupa larutan yang jernih, mempunyai kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90
menit, dan lama kerja berkisar 3-5 jam. Potensi dan efek hipoglikemi sama dengan
insulin reguler. Dengan sifat-sifat di atas, insulin kerja cepat direkomendasikan untuk digunakan
pada jam makan, atau penatalaksanaan insulin saat sakit. Dapat diberikan dalam regimen 2 kali
sehari, atau regimen basal-bolus. Pada beberapa keadaan berikut, insulin kerja cepat sangat
efektif digunakan. Pada saat snack sore: akan menurunkan kadar glukosa darah yang biasa terjadi
saat sebelum makan malam pada pengguna regimen 2 kali sehari yang dikombinasi dengan
insulin kerja menengah. Setelah makan, untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial
pada anak pra-pubertas dengan kebiasaan makan yang sulit diramalkan (bayi, balita, dan anak
prasekolah). Pada penggunaan CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) atau pompa
insulin. Hiperglikemia dan ketosis saat sakit.
2. Insulin Kerja Pendek (short acting) : regular (soluble) insulin
Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin reguler.
Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan
tindakan bedah. Kadang-kadang juga digunakan sebagai pengobatan bolus (15-20 menit)
sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari.
Penderita DM tipe-1 yang berusia balita sebaiknya menggunakan insulin jenis ini untuk
menghindari efek hipoglikemia akibat gayahidup dan pola makan yang seringkali tidak teratur.
Fleksibilitas penatalaksanaan pada usia balita menuntut pemakaian insulin kerja pendek atau
digabung dengan insulin kerja menengah.
3. Insulin Kerja Menengah (intermediate acting) : NPH (isophane) insulin
18
Insulin jenis ini tersedia bentuk suspensi sehingga terlihat keruh. Mengingat lama
kerjanya maka lebih sesuai bila digunakan dalam regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada
regimen basal-bolus. Sebelum digunakan, insulin harus dibuat merata konsentrasinya; jangan
dengan mengocok (dapat menyebabkan degradasi protein), tetapi dengan cara menggulunggulung di antara kedua telapak tangan. Insulin jenis ini lebih sering digunakan untuk penderita
yang telah memiliki pola hidup yang lebih teratur. Keteraturan ini sangat penting terutama untuk
menghindari terjadinya episode hipoglikemia. Sebagian besar diabetisi anak menggunakan
insulin jenis ini. DM tipe-1 usia bayi (0-2 tahun) mempunyai pola hidup (makan, minum, dan
tidur) yang masih teratur sehingga lebih mudah mencapai kontrol metabolik yang baik. Apabila
orangtua segan untuk menggunakan regimen insulin dengan insulin kerja menengah secara
multipel (2 kali sehari), penggunaan satu kali sehari masih dimungkinkan pada golongan usia ini
dengan terlebih dahulu memperhatikan efek insulin terhadap kontrol metaboliknya. Dua sediaan
insulin kerja menengah yang saat ini tersedia adalah Isophane atau insulin NPH (Neutral
Protamine Hagedorn) dan Insulin Crystalline zinc-acetate (insulin lente). Insulin Isophane
paling sering digunakan pada anak, terutama karena memungkinkan untuk digabung dengan
insulin reguler dalam satu syringe tanpa adanya interaksi (insulin reguler bila dicampur dengan
insulin lente dalam satu syringe, akan terjadi reaksi sehingga mengurangi efek kerja insulin
jangka pendek).
4. Insulin Kerja Panjang (long acting) : insulin glargine and insulin detemir
Insulin kerja panjang tradisional (UltralenteTM) mempunyai masa kerja lebih dari 24
jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basalbolus. Profi l kejanya pada diabetisi anak
sangat bervariasi, dengan efek akumulasi dosis; oleh karena itu penggunaan analog insulin basal
mempunyai keunggulan dibandingkan ultralente. Tabel 5. Profil farmakokinetik insulin kerja
panjang (long acting). Terlihat lama kerja relatif 20-30 jam, dengan awitan kerja 4-8 jam, dan
puncak kerja 12-24 jam.
70% insulin kerja menengah. Insulin campuran memberikan kemudahan bagi penderita.
Pemakaian sediaan ini dianjurkan bagi penderita yang telah mempunyai kontrol metabolik yang
baik. Penggunaan sediaan ini banyak bermanfaat pada kasus-kasus sebagai berikut penderita
muda dengan pendidikan orang tua yang rendah, penderita dengan masalah psikososial individu
maupun pada keluarganya, para remaja yang tidak senang dengan perhitungan dosis insulin
campuran yang rumit, penderita yang menggunakan insulin dengan rasio yang stabil.
Tabel 3. Jenis Insulin Berdasarkan Lama Kerjanya dan Farmakokinetiknya (Rushakoff, 2009).
Onset of
Action (h)
Peak action
(h)
Effective
duration of
action (h)
Maximum
duration (h)
Insulin lispro
(Humalog)
- 1
3-4
4-6
Insulin aspart
(NovoLog)
-1
3-4
4-6
Insulin glulisine
(Apidra)
-1
3-4
4-6
Regular (soluble)
-1
2-3
3-6
6-8
2-4
6-10
10-16
14-18
Insulin glargine
(Lantus)
3-4
8-16
18-20
20-24
Insulin detemir
(Levemir)
3-4
6-8 (though
relatively flat)
14
up to 20 to 24
Insulin
Preparation
Short-acting
Intermediate-acting
NPH (isophane)
Long-acting analogue
20
Pemberian insulin secara intensif biasanya menggunakan insulin basal kerja panjang
(long acting). Insulin ini tidak ada puncak kerjanya (peakless), seperti glargine.Insulin basal
adalah insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol gula darah pada saat tidak masuknya asupan
makanan dan insulin bolus (bekerja cepat) seperti lispro.Insulin bolus adalah insulin yang di
perlukan untuk membuang energi yang di hasilkan oleh makanan dari aliran darah ke jaringan
untuk menggantikan penyiapan energi (Group Health, 2013). Perhatian yang perlu di lakukan
pada pasien yang menggunakan insulin yaitu mengidentifikasi pola pemantauan gula darah
sebelum sarapan (puasa), sebelum makan siang, sebelum makan malam, dan sebelum tidur,
membatasi jumlah karbohidrat, memantau kadar glukosa darah, menyesuaikan jumlah insulin,
dosis insulin lebih besar dari 50 unit harus dipecah menjadi dua suntikan terpisah, diberikan
dalam lokasi yang berbeda, perhatikan pola makan,olah raga dan terapi insulin (Group Health,
2013).
Tabel 4. Macam-macam Insulin dan Aturan Penggunaannya (Rismayanthi, C., 2008).
Regimen Dosis
1. Dosis terapi insulin awal pada anak-anak :
a. Anak-anak dengan hiperglikemia sedang tanpa ketonuria atau asidosis diawali dengan
dosis tunggal insulin kerja sedang per hari secara subkutan sebanyak 0,3-0,5 unit/kg.
b. Anak-anak dengan hiperglikemia dan ketonuria tetapi tanpa asidosis atau dehidrasi dapat
diberikan dosis awal insulin kerja sedang sebanyak 0,5-0,7 unit/kg dan diberikan secara
subkutan sebanyak 0,1unit/kg secara teratur dalam interval 4-6 jam.
2. Dosis terapi insulin pada dewasa
Menggunakan Insulin reguler (short-acting) yang disuntikkan secara subkutan 2-5 kali
sehari dalam waktu 30-60 menit sebelum makan. Dosis insulin harus disesuaikan secara
individual untuk mencapai/mempertahankan tingkat glukosa darah target yang ditentukan oleh
21
berbagai faktor termasuk berat badan, lemak tubuh, aktivitas fisik, sensitivitas insulin, kadar
glukosa darah, dan glukosa darah sasaran.
Regimen konvensional : Dosis total insulin setiap hari diberikan sebagai campuran dari
insulin rapid/short-acting dan insulin intermediate-acting dalam 1-2 suntikan. Suntikan dua kali
sehari lebih disukai untuk kontrol glikemik yang lebih baik.Dengan rejimen 2-injeksi, umumnya
dua pertiga dari dosis harian diberikan sebelum sarapan dan sepertiga diberikan sebelum makan
malam. Regimen Intensif : Dosis total harian diberikan 3 atau lebih suntikan atau infus subkutan
secara terus-menerus untuk menutupi basal dan kebutuhan insulin bolus pre-meal. Persyaratan
basal adalah sekitar 30-50% dari dosis total, diberikan sebagai insulin intermediate atau longacting (NPH, zinc, extended zinc, lispro-protamine, glargine) 1-2 kali sehari.Bolus Meal sekitar
50-70% dari dosis total, diberikan sebagai rapid / short-acting insulin (regular, aspart, lispro) 2-5
kali sehari sebelum makan.
Regimen umum meliputi suntikan rapid/short acting insulin sebelum makan bersama
dengan suntikan insulin intermediate atau long-acting di pagi hari dan / atau malam. Penyesuaian
dosis dibuat untuk mencapai kadar glukosa darah target dan didasarkan pada pengukuran glukosa
darah sering, diet dan tingkat latihan. Jumlah kebutuhan insulin harian dosis awal: 0,5-0,8 unit /
kg / hari subkutan, fase Honeymoon (fase remisi) : 0,2-0,5 unit / kg / hari subkutan, terapi dosis
terbagi: 0,5-1,2 unit / kg / hari subkutan, resistensi insulin: 0,7-2,5 unit / kg / hari subkutan
(http://www.drugs.com/dosage/insulin-regular.html).
22
23
24
Terapi
farmako
logi
a. Pregabalin
Dosis
50mg/8 jam
b. Duloxetine
Dosis
60mg/hari
c. Tapentadol
Dosis
50mg/12
jam
Kombinasi
Non
farmako
logi
25
DAFTAR PUSTAKA
Abcouwer SF, 2013, Direct effects of PPARa agonists on retinal inflammation and angiogenesis
may explain how fenofibrate lowers risk of severe proliferative diabetic retinopaty, 62(1)
pp. 8-36.
American Diabetes Association. 2015. Standards of medical care for patients with diabetes
mellitus. Diabetes Care : pp 616-623.
Cefalu, W.T., 2015, American Diabetes Association Standards of Medical Care in Diabetes,
American Diabetes Association, pp.S58.
Corwin, E.J., 2009, Buku Saku Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 636638.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008,
Pharmacotherapy: A pathophysiologic approach, seventh edition, Mc Graw Hill, USA,
pp. 139-168.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk penyakit
Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI : Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
McPhee, S.J., dan Ganong, W.F., 2010, Patofisiologi Penyakit, Edisi 5, EGC, Jakarta, hal. 556.
Ozougwu, 2013, Journal of Physiology and Pathophysiology : The Pathogenesis and
pathophyisiology of type 1 and type 2 Diabetes mellitus,.Pearson P.A., et all, 2011,
fluocinolon acetonide intravitreal implant for diabetic macular edema: a 3-year
multicenter, randomized, control led clinical trial, Journal of American academy of
American academy of ophthalmology, pp.1580-1587.
Sitompul, R., 2011, Retinopati Diabetik, J Indon Med Assoc., 61 (8), hal. 339.
Suryathi, Ni Made Ari., 2015, Hemoglobin Glikosilat Yang Tinggi Meningkatkan Prevalensi
Retinopati Diabetik Proliferatif, Tesis. Bali. 24 26.
Tridjaja, Bambang, dr SpA(K), MM (Paed), dkk., 2009, Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Mellitus Tipe 1, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal. 1022.
26