Petang ini, matahari yang berpulang ke barat adalah tanda-tanda para pekerja
segera berpulang ke rumah-rumahnya. Begitu sirine pabrik memecanh kebisingan
baja beradu dengan baja, derap langkah kaki yang sigap dan haus akan istirahat
segera menghampiri ruang loker, membawa serta perkakas, alat keselamatan, dan
lainnya. Hal ini, salah satu rutinitas yang telah dialami Barlito sejak menginjak ibu
kota.
Hidupnya yang dulu dekat dengan sungai dan hutan, kini digantikan oleh gang ke
gang, jalanan yang tak pernah sepi, dan terminal yang sesak oleh asap dan
manusia. Suara kendaraan juga menggantikan suara-suara alam, tak siang-tak
malam pastilah dia dengar ada kendaraan melintas. Di kampungnya, hanya aliran
sungailah yang demikian.
Di ruang loker, seperti biasa dia bertemu dengan kawan se kampungnya yang juga
kebetulan bekerja di divisi yang sama, yaitu divisi fabrikasi. Namanya Wansyah, dia
memang berbadan lebih kecil dari Barlito, tetapi stamina dan keuletannya yang
tinggi membuatnya mampu bertahan kerja di divisi ini. Dengan modal itu, dia bekerja
sebagai pengangkut raw material, dan tukang gerinda. Berbeda dengan Barlito yang
beruntung diterima sebagai pengelas dan operator, berkat skill yang dia miliki
sewaktu magang.
Wan, kau nampak bugar-bugar saja, padahal siang tadi ku lihat banyak pipa yang
kau angkut.
Wansyah meregangkan tubuhnya, sebenarnya ada pegal dan letih yang dia rasakan.
Ah, itu karena aku baru dapat kabar dari kampung To.
Kabar apa? Barlito penasaran.
Wansyah senyam-senyum, dia nampaknya merasa malu.
Ah pasti tentang si Yuli, iya kan? Barlito menggodanya.
Anu, bukan itu aja, si mak juga kembali sehat.
Tuh kan, tapi syukurlah si mak sehat lagi.
Mendengar kabar itu, dalam hati Barlito terasa kerinduan pada ibu dan bapaknya,
juga saudaranya di kampung nan jauh di mata. Tapi, Barlito lebih senang bila
mereka yang menelfon dan menanyakan kabar dirinya. Dia senang jika orang
tuanya bahagia, sehat-sehat saja, aman, dan bangga padanya. Ada hal yang
menahan dirinya untuk menanyakan langsung kabar mereka. Dia tahu bahwa
hatinya ingin jujur. Kerja disini memang menghasilkan rupiah yang tak Cuma buat
mengisi perut di ibu kota, tapi sanak saudara di kampungnya. Bahkan, dia tahu jika
ditabung, dia bakal punya cukup uang untuk buka usaha disini dan di kampungnya.
Kerjanya memang tak seberat Wansyah, dan lebih berduit pula, hanya saja semakin
lama dia merasa sama saja seperti semut-semut hitam di tembok.
Kok melamun To? Wansyah menepuk bahu Barlito.
Ah, aku belum dapet kabar dari kampung Wan.
Ya kabari.
Bingung Wan.
Wnsyah memahami perasaan kawannya itu. Pembicaraan tidak berlanjut. Masingmasing dari mereka sibuk membereskan peralatan kerja. Tak seperti biasanya, sore
itu suasana pulang kerja lebih lenggang. Ruang loker, lorong, dan parkiran, lebih
lenggang, dan orang-orang buru-buru meninggalkan tempat kerja, seolah
merasakan keangkeran.
Karena dua sekawan ini tak punya kendaraan, mereka pulang dengan beralas
sepatu safety yang sudah tak terasa berat lagi di kaki. Biasanya dua sekawan ini
jalan melewati kompleks pabrik lain. Jalan tersebut membawa pada pasar malam
yang mulai berjualan di sore hari sperti saat ini. Tempat dua sekawan itu mencari
makan. Kalau awal bulan bisa makan enak disana, misal membeli sate hingga 30
tusuk. Namun bila akhir bulan, dua porsi nasi kucing menjadi menu utama. Namun,
karena lelah dan ingin segera berbaring, dua sekawan itu melewati jalanan yang
segera menembus ke jalan raya. Kemudian berbelok dan tinggal berjalan lurus
menuju kosan.
Tidak seperti biasanya juga, jalanan di sekitar juga lenggang. Biasanya beberapa
truk dan sepeda motor masih hilir mudik. Firasat Barlito merasakan hal buruk akan
terjadi. Jantungnya terasa ngilu begitu firasat itu dia rasakan. Dia berkeringat,
namun kali ini bukan karena lelah, tetapi sesuatu yang lain, yang buruk. Sedang
Wansyah sedang asyik menikmati lagu favoritnya, the last fight yang dibawakan oleh
band Bullet for My Valentine.
cold sweet hallucinations,
i wanna scream to show,
the hell iam going through,
Wansyah mencoba meniru vokal Mattew Tuck meski sumbang.
Wan! Pekik Barlito sambil berhenti dan menahan langkah Wansyah.
Wansyah keheranan, dia melepas sebelah headsetnya untuk mendengarkan Barlito.
Mending kita balik arah deh. Barlito menjadi agak pucat.
Walah, tanggung To, mana udah capek lagi, memangnya napa coba? Wansyah
mengeluh.
Firasat buruk, untung aja kau nyanyiin lirik tadi.
Wansyah makin bingung, belum pernah dia melihat Barlito seganjil ini.
Kau pernah dengar cerita dari bang Toni kan, tentang anak-anak sekolahan yang
tawuran di sekitar sini?
Wansyah mengangguk, dia mulai terlihat gelisah.
Mending balik arah, mending cape dari pada tinggal nama, mana sepi lagi, yuk
buruan.
Wansyah mengamati sekitar. Namun karena tak didengarnya ada keributan, maka
dia agak ragu dengan firasat kawannya itu. Dia lalu berkata.
Tapi kok gak ada ribut-ribut ya To, udah lewat sini aja, kalo takut berdoa aja, kalo
tetep takut ya kau balik arah aja, aku udah gak kuat cape nih.
Lah, kita ini kawan seperantauan dan sekampung halaman, masa bisa begitu?
Protes Barlito.
Wansyah kembali berjalan dan mendengarkan lagu yang sedang diputar, dia merasa
bagimanapun Barlito pasti mengikutinya, itu sebabnya dia mengabaikannya dan
berjalan terus.
Sedang Barlito dalam batinnya merasa begitu dibayang-bayangi ketakutan akan
bahaya, lemparan-lemparan batu jalanan, roda gigi dan rantai sepeda motor, benda
tajam, galah, belum lagi dikeroyok masa, membayangi Barlito, andai saja bukan di
jalan dia merasa ingin pipis di celananya saat ini.
Tak lama setelah keluar dari area pabrik, terjadilah apa yang ditakuti oleh Barlito. Di
belakang dua sekawan itu anak-anak usia SMA membawa bambu runcing, botol,
batu, roda gigi dan rantai motor, begitu juga yang di depan mereka. Begitu
mencekam, hidup dan mati mereka kini ditentukan oleh para generasi muda yang
juga mempertaruhkan nyawa mereka di jalan, di jalan yang salah pula.
Wansyah ketakutan hampir mati, tubuhnya mendadak roboh dengan keringat
bercucuran. Barlito merasakan hal yang sama, akan tetapi instingnya segera
membuatnya mengambil tindakan, yaitu memapah Wansyah dan segera berlari ke
sekitar rumah warga. Di saat yang sama, dua kubu berseragam putih abu segera
saling menemui dengan senjata diarahkan pada lawan masing-masing. Bagi dua
sekawan itu, pemandangan ini lebih dahsyat dari pada menonton film perang salib di
televisi LED milik empunya kosan mereka.
Di tempat itu seolah terjadi hujan batu. Mungkin beginilah pemandangan cerita
Sodom dan Gemorah yang mereka berdua dengar dari guru ngaji di kampung,
setidaknya dalam skala yang lebih kecil. Teriakan caci maki menggema di arena
pertempuran, anjing! lah, kunyuk! lah, bangsat! lah, begitulah kala terkena
serangan dan menyerang. Sumpah serapah yang membuat para veteran yang
bertakbir di medang perang menitihkan air mata.
Nasib Barlito dan Wansyah belum cukup beruntung. Mereka mungkin masih selamat
dari batu terbang yang bisa saja kebetulan mendarat mulus di tubuh mereka. Namun
kini ada beberapa anak yang nampaknya ingin melampiaskan kekesalannya pada
dua sekawan ini. Ada yang membawa bambu runcing dan rantai motor yang sembari
diputar-putar. Barlito merasa dirinya ingin meledak, tak tahan pada kekacauan dan
gejolak darah dari jantungnya yang dipompa ketakutan. Sedang Wansyah
mendadak lemas dan pingsan. Barlito makin kebingungan, tubuhnya roboh hingga
setengah berdiri dengan lutut mencium tanah, dengan tangan terangkat.
Salah satu anak yang membawa bambu melangkah dan berlari menuju Barlito,
terlihat jelas hendak menyerang. Kejadian itu beitu cepat, tanpa terduga Barlito
mampu menahan serangan itu dan berbalik menyerang hingga anak itu roboh,
terluka, bersimbah darah. Barlito panik bukan main, hingga akhirnya dia ikut
pingsan.
Tengah malam Barlito mulai sadarkan diri. Suasana di ruangan itu terlihat agak
gelap dan asing. Di sofa yang lain dia melihat Wansyah yang kelihatannya sedang
tertidur dari pada pingsan. Nampak jelas dari cara dan posisi tidurnya yang
mengarah ke kiri. Kepala Barlito masih terasa pusing. Gambaran-gambaran tentang
kejadian sore tadi masih terekam jelas di kepalanya. Dia ingin berteriak, tapi tak
bisa, dia pun menangis. Hingga tertidur pulas.
Paginya, dua sekawan itu segera pamit dan mengucap terima kasih pada ketua RT
setempat yang menolong mereka. Kedua sekawan itu tak berani melihat jalanan,
yang di bayangan mereka aspalnya itu terlukis oleh darah.
Tak jauh dari mereka ada tukang bubur yang berjualan. Barlito dan Wnasyah merasa
lapar dan segera menghampirinya. Sambil sarapan di bangku pinggir trotoar, Barlito
mengungkapkan kegundahannya.
Bagimu Wan, buat apa kita kerja selama ini?
karena tidak ada pilihan, di kampung tidak ada pilihan.
Bagiku Wan, disinilah justru aku merasa tidak ada pilihan. Barlito terdengar pilu.
Wansyah diam sejenak, mencoba memahami kawannya itu.
To, kau ingin orang tuamu bahagia, tapi kau pun punya cita-cita, tapi keduanya tidak
pernah bertentangan, kau Cuma merasa terikat, itu saja.
kau
bayangannya dalam cermin, Barlito memasukan jiwanya kedalam kanvas itu untuk
membangun keindahan dari dalam.
Entah berapa lama waktu telah berjalan. Barlito menyelesaikan lukisannya dengan
bangga dan puas. Lebih bangga lagi karena kini dia mendapat perhatian dari para
mahasiswa karena lukisannya. Mereka mengangumi karyanya itu. Ada perasaan
yang sama Barlito rasakan ketika hal itu terjadi, perasaan seperti ketika
supervisornya mengangumi hasil lasannya. Tiba-tiba dia merasa bingung, siapa
yang dikagumi sebenarnya, karya atau penciptanya. Ketika karyanya itu dikagumi
dia merasa dirinya terasing. Karyanya lepas dari penciptanya, karena jiwa tak
bersemayam dalam kanvas itu, dia kembali pada tubuhnya yang kini merasa tak ada
kepantasan untuk dikagumi.
Orang-orang itu, jika mereka tahu siapa aku, mereka pasti meninggikan dada
mereka ketika melihat karyaku. Keluh Barlito dalam benaknya.
Tiba-tiba dari belakang terdengar tepukan tangan, yang kemudian diikuti dengan
yang lain. Hingga riuh oleh tepuk tangan dan sorak-sorai. Barlito menoleh
kebelakang, dia melihat seorang pria paruh baya berkacamata, bersetelan ala para
dosen. Pria itu berjalan menuju Barlito, para mahasiswa segera memberi jalan.
Kau pasti putra alam. Sahut pria itu sambil menyodorkan tangan untuk berjabat
tangan.
Barlito semakin kebingungan, mana yang bisa dia percayai, pikirannya atau orangorang di luar sana. Barulah ketika dia merasa seperti lukisannya, yang pantas
dikagumi, dia merasa dirinya sempurna, dia kembali percaya diri.
Ya, ya, saya putra alam itu. Katanya sambil masih kebingungan dengan maksud
pria paruh baya itu.
Mereka berdua kemudian tertawa sejenak, dan berjabat tangan.
Ngomong-ngomong, apa nama karyamu itu? tanya pria paruh baya itu dengan
antusias.
Eh, anugrah alam.
Para mahasiswa bergumam tanda kagum dan setuju.
Pria itu mengangguk, kemudian mengelus dagunya sambil kembali mengamati
anugrah alam.
Ada yang kurang, jangan sampai pelukis melewatkan bagian yang paling krusial
ini.
Tiba-tiba suasana jadi hening. Barlito merasa gelisah.
Apa itu?
Tanda tangan.
Para mahasiswa bertanya-tanya, dan membenarkan.
Barlito selama ini hampir tidak pernah berkeharusan untuk menandatangani sesuatu
secara intens. Terakhir kali dia menanda tangan adalah ketika membuat KTP. Dia
lalu mengambil kuas yang paling sedikit rambutnya. Dia celupkan pada cat hitam,
kemudian mulai menorehkannya pada kanvas. Para mahasiswa kembali kagum,
seolah melihat penyihir menganyunkan tongkatnya, menyisakan gemerlap kelapkelip di udara.