Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN STROKE

A. Konsep Dasar Penyakit Stroke


1.
Stroke
a. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsi otak baik itu sebagian atau
menyeluruh akibat tersumbatnya aliran darah atau pecahnya pembuluh
darah tertentu di otak, sehingga menyebabkan sel-sel otak kekurangan
darah, oksigen, atau zat-zat makanan dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel-sel otak dalam waktu yang singkat (Dourman, 2013).
Sedangkan Price (2006), stroke merupakan gangguan sirkulasi otak yang
dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh darah
misalnya trombus, embolus atau penyakit vaskuler dasar seperti
arterosklerosis dan arteritis yang mengganggu aliran darah cerebral
sehingga suplai nutrisi dan oksigen ke otak menurun, kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya infark.
b. Klasifikasi
1) Menurut patologi anatomi, stroke dibedakan menjadi dua, stroke
haemoragik dan stroke non haemoragik.
a) Stroke haemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak
pada daerah tertentu dan biasanya terjadi saat melakukan aktivitas,
walaupun bisa juga terjadi saat istirahat. Pada pasien stroke
haemoragik umumnya terjadi penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008).
b) Stroke non haemoragik dapat berupa iskemia atau emboli dan
trombosis serebral. Pada stroke ini tidak terjadi perdarahan namun
terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat
timbul edema sekunder. Kesadaran umum pada pasien stroke non
haemoragik biasanya baik (Muttaqin, 2008).
Secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik
(Stroke Non Haemoragik) dapat dibagi menjadi:
(1) Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh
karena trombosis di arteri karotis interna. Permulaan gejala sering
terjadi pada waktu tidur, atau sedang istrirahat kemudian
berkembang dengan cepat, lambat laun atau secara bertahap sampai

mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang


dalam beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya tidak terganggu
dan ada kecenderungan untuk membaik dalam beberapa hari,
minggu atau bulan.
(2) Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
emboli yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala
terlihat sangat mendadak dan berkembang sangat cepat, kesadaran
biasanya tidak terganggu, dan ada kecenderungan untuk membaik
dalam beberapa hari, minggu atau bulan.
2) Stroke berdasarkan perjalanan penyakitnya menurut Tarwoto dkk,
(2007) adalah:
a) Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologis yang timbul karena iskemia otak
sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dalam waktu kurang dari 24
jam.
b) Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
RIND adalah defisit neurologis yang timbul karena iskemia otak yang
berlangsung selama 24 jam - 72 jam.
c) Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Stroke in evolution adalah defisit neurologis karena gangguan
peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan bertambah
buruk dengan gejala yang belum menetap. Proses dapat berlangsung
dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
d) Completed Stroke
Completed stroke adalah defisit neurologis yang sudah menetap.
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Menurut Smeltzer (2002), faktor resiko yang dapat menyebabkan
stroke non hemoragik yaitu:
1) Faktor Resiko Terkendali
Beberapa faktor resiko terkendali yang menyebabkan stroke non
hemoragik sebagai berikut:
a) Hipertensi.
b) Diabetes Mellitus.
c) Penyakit kardiovaskuler, embolisme serebral yang berasal dari
jantung, penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kiri, abnormalitas irama (khususnya fibrasi atrium).

d) Kolesterol tinggi.
e) Obesitas.
f) Peningkatan kekentalan darah.
g) Konsumsi alkohol.
2) Faktor Resiko Tidak Terkendali
Beberapa faktor resiko tidak terkendali yang menyebabkan stroke non
hemoragik yaitu:
a) Usia, merupakan faktor resiko independen terjadinya stroke.
b) Faktor keturunan/genetik.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Lumantobing dalam Wiwit (2012) penyebab stroke non
hemoragik yaitu:
1) Ateroma (endapan lemak), yaitu penyumbatan yang bisa terjadi di
sepanjang arteri menuju otak. Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang
jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak, yaitu pada dua arteri
karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan
cabang dari lengkung aorta jantung. Suatu arteroma bisa terbentuk di
pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya
aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena arteri karotis dalam
keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak.
2) Peradangan atau infeksi yang dapat menyebabkan menyempitnya
pembuluh darah yang menuju ke otak.
3) Obat-obatan, seperti kokain dan amfetamin, juga bisa mempersempit
pembuluh darah ke otak.
4) Penurunan tekanan darah secara tiba-tiba sehingga menghambat alian
darah ke otak. Hal ini sering terjadi pada orang yang kehilangan darah
yang sangat banyak karena cedera atau pembedahan.
5) Trombosis pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan edema
dan kongesti di daerah sekitarnya.
6) Emboli, yaitu endapan lemak yang terlepas dari dinding arteri dan
terbawa aliran darah lalu menyumbat arteri yang lebih kecil. Stroke
3.

semacam ini disebut sebagai stroke emboli serebral.


Patogenesis
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark tergantung pada faktor-faktor seperti lokasi, besar
pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang

disuplai. Suplai darah ke otak dapat berubah (semakin lambat atau semakin
cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskuler atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru
dan jantung). Atherosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting
terhadap gangguan cerebrovaskuler, trombus dapat berasal dari plak
artherosklerosis atau darah beku pada area yang stenosis dimana aliran
darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Trombus yang pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak
yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan sehingga terjadi
edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi
yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang
dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral,
jika aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
4. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer (2002), tanda dan gejala yang bisa ditemukan
pada penderita stroke adalah:
a. Gangguan fungsi motorik (Hemiplegia, Paraplegia, Tetraplegia)
1) Hemiplegia/Hemiparalisis terjadi apabila lesi menduduki kawasan
piramidal sesisi. Pada batang otak daerah piramidal sesisi dilintasi akar
saraf ke III, VI, VII dan XII.
a) Paralise Nervus III (Okulomotorius)
(1) Paralise musculus rectus medialis, didapatkan bola mata divergen,
bola mata tidak bisa digerakkan ke arah nasal, bayangan kontra
lateral dari gambar sebenarnya (bila melihat ke arah yang sehat).
(2) Paralise musculus rectus superior, didapatkan bola mata jatuh ke
bawah (ptosis), abduksi minimal bola mata yang paralitik tidak dapat
digerakkan ke atas, bayangan pada sisi kontralateral bila bola mata

menatap benda yang terletak lebih tinggi dari bidang mata, bila bola
mata digerakkan ke atas/ke samping bayangan akan menjauh dari
gambar sebenarnya.
(3) Paralisis musculus rectus inferior, didapatkan bola mata tidak dapat
digerakkan ke bawah dan samping, posisi bola mata terangkat dan
berputar ke dalam.
b) Paralise Nervus VI (Abdusen) paralise musculus rectus lateralis, maka
akan didapatkan bola mata pada lesi akan bersikap konvergensi, bola
mata tidak dapat digerakkan ke lateral, bayangan jatuh di sebelah
lateral dari benda sebenarnya (bila melihat ke arah lesi).
c) Gangguan Nervus VII (Fasialis) umumnya lesi terjadi pada capsula
interna, ada dua tipe gangguan yaitu:
(1) Tipe central, didapatkan mata dan mulut tidak dapat kontraksi, dahi
kontraksi.
(2) Tipe perifer, didapatkan daerah pipi, mata, dahi tidak kontraksi dan
separuh wajah lumpuh.
d) Gangguan Nervus XII (Hipoglosus) sering terjadi pada perifer, maka
atrofi otot lidah dengan cepat terjadi.
2) Tetraplegia adalah kelumpuhan Upper Motoric Neuron (UMN) akibat
lesi pada medulla spinalis pada umumnya terjadi tetraplegia maupun
paraplegia spastik. Lesi pada medulla spinalis pada segmen C5
mengakibatkan kelumpuhan Upper Motoric Neuron pada otot-otot
dibawah segmen C5 yaitu, otot kedua lengan (C6-C8), otot thoraks dan
otot abdominal, serta otot tungkai bawah. Kondisi ini disebut
tetraplegia/quadriplegia. Lesi pada C5 juga akan merusak lintasan
asenden dan desenden lain sehingga motorneuron juga ikut rusak, maka
tingkat kelumpuhan ini bersifat Lower Motoric Neuron (LMN) karena
lintasan somatosensorik dan lintasan autonomy neurovegetatif asenden
dan desenden terputus. Akibatnya pasien akan mengalami gangguan
sensibilitas (tidak dapat merasakan apa-apa) dan tidak bisa merasakan
BAB atau BAK.
3) Paraplegia adalah lesi pada medulla spinalis pada tingkat segmen
torakal/lumbal atas, sehingga didapatkan tanda hipertonia pada otot

abdomen, reflek dinding perut meningkat, kelumpuhan kedua tungkai


secara lengkap.
b. Gangguan fungsi sensibilitas
1) Anestesia/Hipestesia adalah

berkurangnya

perasaan

raba

dan

diklasifikasikan menjadi:
a) Hemihipestesia, merupakan gejala utama stroke. Terjadi karena lesi
yang menduduki seluruh krus posterior pada capsula interna sesisi.
b) Hipestesia Alternans, hipestesia pada belahan wajah ipsilateral
terhadap lesi yang berkaitan dengan hipestesia anggota badan
kontralateral

terhadap

lesi.

Penyebabnya

adalah

lesi

pada

spinotalomik dan traktus spinalis nervus trigeminus pada medulla


oblongata.
c) Hipestesia tetraplegia, hipestesia pada seluruh tubuh, kecuali pada
kepala dan wajah. Disebabkan lesi yang memotong medulla spinalis
pada segmen servikal. Bila lesi pada medulla spinalis di segmen T1,
maka disebut hipestesia paraplegia.
d) Hipestesia inguinal, disebabkan lesi yang merusak cauda ekuina.
2) Ganggua sensori (Indera)
a) Mata, didapatkan diplopia dan strabismus.
b) Pengecap, didapatkan disfagia, disatria.
c) Kulit, didapatkan anestesia.
c. Gangguan fungsi vegetatif dimana penderita tidak dapat merasakan BAB
atau BAK.
d. Gangguan fungsi luhur, ditemukan papa pasien yang mengalami lesi pada
sub kortek cerebri dimana akan merusak Ascending Reticular Activating
System dan menyebabkan gangguan memori.
e. Jika dilihat dari bagian hemisfer yang terkena, tanda dan gejala dapat
berupa:
1) Stroke hemisfer kanan
a) Hemiparese sebelah kiri tubuh.
b) Penilaian buruk.
c) Mempunyai kerentanan terhadap

sisi

kolateral

kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.


2) Stroke yang hemisfer kiri
a) Mengalami hemiparese kanan.
b) Perilaku lambat dan sangat hati-hati.
c) Kelainan bidang pandang sebelah kanan.
d) Disfagia global.

sehingga

e) Afasia.
f) Mudah frustasi.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin (2008), pemeriksaan penunjang pada stroke
adalah:
a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
2) Lumbal Pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada sub araknoid atau perdarahan pada
intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses
inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya likuor
masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3) CT Scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel atau menyebar ke permukaan
otak.
4) MRI
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menggunakan gelombang magnetik
untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya

perdarahan otak.

Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan


infark akibat hemoragik.
5) USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listik
dalam jaringan otak.
b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan darah rutin dan darah lengkap, untuk mencari kelainan


pada darah itu sendiri.
2) Pemeriksaan kimia darah, pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali.
6. Penatalaksanaan
a. Pada Fase Akut

Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai


berikut:
1) Life Saving
a) Airway, upayakan jalan napas terbebas sumbatan.
b) Breathing, fungsi napas mungkin terjadi gangguan oleh karena pusat
pernapasan atau karena komplikasi infeksi saluran napas.
c) Cardiovascular, mempertahankan fungsi jantung dan pembuluh
darah.
d) Drug/medication, harus dievaluasi obat-obat yang telah diberikan.
e) Electrolyte, terutama natrium, kalium, kalsium yang akan
menggangu/memperberat berbagai fungsi organ.
f) Fluid status/balance, keadaan gangguan cairan akan memberi
pengaruh pada ginjal, jantung, dan fungsi organ lain. Oleh karena itu
pantau dengan baik bila perlu lakukan koreksi balance cairan.
g) Glucose level, kadar glukosa yang terlalu rendah sering memberikan
gejala neurologik fokal, sedangkan kalau terlalu tinggi akan
memperburuk lesi sehingga akan memperburuk status neurologik.
h) Hypertension, merupakan isu penting dalam pengelolaan stroke.
Tekanan darah tidak perlu diturunkan tergesa-gesa kecuali pada
Hypertension Emergency (systole

> 220 mmHg / diastole >130

mmHg) itu pun penurunan tekanan darah maksimal 20 %. Pada


Hypertension Non Emergency tekanan darah dipantau dulu baru
kemudian diturunkan perlahan-lahan.
i) Intake diperlukan guna mempertahankan metabolisme tubuh. I juga
diartikan sebagai Infeksi yang harus dicegah dan ditangani seefektif
mungkin karena akan mempengaruhi prognosis stroke.
2) Hindarkan peningkatan Intra Cranial Pressure (ICP).
3) Hindarkan pemberian makanan lewat oral.

4) Intubasi mungkin diberikan dan pemberian oksigen.


5) Pemberian nutrisi dengan sonde mungkin diperlukan dan sangat tepat
karena menghindari ICP.
6) Pemasangan kateter pada pasien yang mengalami inkontinensia uri.
7) Cegah komplikasi akibat immobilisasi (dekubitus, kontraktur, pressure
sore, dll).
8) Waspada dengan pemberian cairan intra vena terlalu lama karena
dikhawatirkan dapat terjadi peningkatan ICP.
9) Medikamentosa: control blood pressure, antikoagulansia, hindarkan
sedativa
10) Ciptakan lingkungan terapuetik. Rencanakan kebutuhan istirahat sebaik
mungkin, misalnya kapan pasien harus minum obat.
11) Bantu Activity Daily Livings (ADL)
12) Cegah terjadinya regresi intelektual dan disorientasi
b. Tindakan Konservatif
1) Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
3) Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma. (Wiwit, 2012)
c. Tindakan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1) Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis di leher.
2) Revaskularisasi terutama merupakan

tindakan

pembedahan

dan

manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.


3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4) Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya aneurisma. (Wiwit,
2012)
d. Fase Rehabilitasi
Rehabilitasi stroke adalah proses dimana pasien dengan stroke
menjalani perawatan untuk membantu mereka kembali ke kehidupan.

Tujuan dari rehabilitasi bagi penderita stroke adalah untuk membantu para
penderita agar dapat mempelajari keterampilan dan keluasan yang hilang
akibat stroke. Rehabilitasi ini dicapai melalui pendekatan pasien secara
holistik oleh tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter spesialis kedokteran
fisik & rehabilitasi, terapi fisik (fisioterapi), terapi okupasi , terapi wicara,
konseling psikologi, petugas sosial medis. (Wirawan, 2012)
1) Terapi Okupasi
Adalah bagian dari rehabilitasi medik yang berperan dalam:
a) Membantu pasien melakukan gerakan motorik halus.
b) Melatih pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti misalnya
pindah dari duduk ke berdiri, mandi, berpakaian, makan dll.
c) Melatih pasien melakukan gerakan adaptif dengan berbagai alat bantu
dan membantu pasien dalam proses kembali bekerja (back to work).
(Wirawan, 2012)
2) Terapi Wicara
Adalah bagian dari rehabilitasi medik yang berperan dalam:
a) Membantu pasien untuk berkomunikasi untuk membantu komunikasi
misalnya dengan latihan pengucapan kata (artikulasi) atau komunikasi
dengan alat bantu. Caranya:
(1) Dukung pasien dan keularga untuk menghilangkan frustasi yang
berhubungan dengan kesulitan berkomunikasi.
(2) Lakukan dengan membentuk bibir menjadi seperti huruf O.
(3) Lakukan dengan membuat bentuk seperti tersenyum.
(4) Lakukan secara bergantian bibir membentuk huruf O dan bibir
seperti tersenyum, sehingga seolah-olah mengucapkan O E.
(5) Membuka mulut lebar-lebar, kemudian lakukan gerakan pada lidah
ke arah kiri dan kanan.
(6) Tutup bibir seakan-akan mengucapkan eemm.
(7) Ucapakan ma ma ma ma dengan cepat. (Wirawan, 2012)
b) Membantu pasien dengan gangguan menelan (disfagia) dengan
latihan / maneuver khusus untuk mempermudah proses menelan. Uji
reflek faring sebelum memberikan makanan dan cairan dengan cara:
(1) Posisikan pasien dalam keadaan duduk, apabila belum ada
keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan agar dapat
mempertahankan posisi duduk dengan baik.
(2) Berikan 1 sendok teh (5ml) air dingin, minta pasien untuk menelan
dengan kepala sedikit menunduk.

(3) Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba


menelan.
(4) Lihat atau lakukan dengan meletakan jari pada laring, rasakan
apakah terjadi elevasi laring yang menunjukan terjadinya proses
menelan. Monitor apakah terjadi keterlambatan menelan atau terjadi
proses menelan yang inkomplit.
(5) Minta pasien untuk menyuarakan huruf a.. monitor suara yang
terdengar kering atau basah (suara yang basah dicurigai adanya
gangguan menelan). (Wirawan, 2012)
3) Konseling Psikologi
a) Membantu memberikan support mental bagi pasien saat pasien
mengalami depresi.
b) Melakukan tes intelektual (tes IQ) bila diperlukan. (Wirawan, 2012)
4) Petugas Sosial Medis
a) Melakukan evaluasi tempat tinggal dan pekerjaan pasien dan
memberikan

edukasi

untuk

mengatur

tempat

tinggal

yang

mempermudah pasien melakukan aktivitas sesuai kondisi pasien.


b) Membantu mencarikan donatur bila ada pasien yang memerlukan
biaya.
c) Apabila diperlukan, membantu pasien untuk mendapatkan ketrampilan

sesuai dengan kondisi pasien, agar dapat digunakan untuk mata


pencaharian. (Wirawan, 2012).

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas
klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
a. ldentitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan


adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat Keperawatan Sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan
separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku
juga umum terjadi sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan konia.
d. Riwayat Keperawatan Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral
yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obatobat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan
alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
e. Riwayat keperawatan keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psiko, sosio dan spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan

sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah


ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh).
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
mudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien
biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena
gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata
nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual
karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada
salah satu sisi tubuh.
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Stroke
memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan, dan perawatan dapat mernengaruhi keuangan keluarga
sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran
klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada
gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas
dua masalah, keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam
hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan
mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan
individu.
g. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhankeluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara

per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3


(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk
yang menurun yang sering didapatkan pada klien stroke dengan
penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian
inspeksi pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan
tactil fremitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan
bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan
darah >200 mmHg).
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
a) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap
lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien

sudah mengalami koma maka penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)


sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
b) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental,

fungsi

intelektual,

kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.


(1) Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
(2) Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung
dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage
yaitu kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang
tidak begitu nyata.
(3) Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat
memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada
bagian posterior dari girus frontalis inferior (area Broca)
didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi
tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar.
Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan
untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir
rambutnya.
(4) Lobus Frontal
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika
kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau

fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.


Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustrasi dalam
program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin
diperberat oleh respons alamiah klien terhadap penyakit katastrofik
ini.

Masalah

psikologis

lain

juga

umum

terjadi

dan

dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi,


dendam, dan kurang kerja sama.
(5) Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
Pada stroke hemifer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah
kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustrasi.
c) Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan
saraf kranial I-XII.
(1) Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
(2) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam
area spasial) sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
(3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis,
pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
(4) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus,

penurunan

kemampuan

koordinasi

gerakan

mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta


kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus.

(5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah


asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
(6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
(7) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut.
(8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
(9) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
d) Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit Upper Motoric Neuron (UMN) dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik. Oleh karena Upper Motoric Neuron bersilangan, gangguan
kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada Upper Motoric Neuron di sisi yang berlawanan dari
otak.
(1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
(2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
(3) Tonus otot. Didapatkan meningkat.
(4) Kekuatan otot. Pada penilaian dengan tingkat kekuatan otot pada
sisi sakit didapatkan nilai 0-4.
(5) Keseimbangan dan koordinasi didapati mengalami gangguan
karena hemiparase dan hemiplegia.
e) Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat
terjadi hemihipestesia.

Pada

persepsi

terdapat

ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi


persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata
dan korteks visual.
f) Pengkajian Refleks
Menurut Harsono (2005), pemeriksaan dengan rangsangan untuk
mengetahui fungsi neuromuscular.
(1) Refleks Biceps

Menempatkan ibu jari diatas tendon biceps, dengan menggunakan


refleks hammer ketuk tepat diatas tendon biceps. Normalnya lengan
bawah ada refleks untuk ekstensi
(2) Refleks Triseps
Dengan menggunakan refleks hammer ketuk tendon triceps diatas
siku. Normalnya lengan bawah ekstensi
(3) Refleks Patella
Pasien duduk dengan posisi menggantung, dengan refleks hammer
ketuk tendon patella, normalnya ekstensi tungkai bawah.
(4) Refleks Superficial
Buat rangsangan pada daerah perut pasien, dimulai dari daerah
lateral kemudian memutar. Normalnya akan terjadi bilateral
movement dan abdominal contact
(5) Cornea Refleks
Dengan menggunakan kassa yang dipilin, sentuh corneoscleral.
Normalnya kelopak mata akan menutup
(6) Refleks Palatum dan Faringeal
Sentuh jaringan lunak pada palatum dan laring. Normalnya akan
terjadi kontraksi palatum
(7) Brachioradialis Refleks
Pasien duduk dengan tangan dalam keadaan diantara supinasi dan
pronasi diatas paha pasien. Ketuk brachioradialis (tepat diatas
pergelangan tangan) dengan refleks hammer. Normalnya tangan
fleksi atau lengan bawah pronasi
(8) Achilles Refleks
Kaki pasien digantung, satu tangan memegang ujung kaki pasien
lalu ketuk tendon achilles (tepat diatas tumit bagian belakang)
dengan refleks hammer. Normalnya akan terjadi plantar fleksi.
4) B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin
sementara

karena

konfusi,

ketidakmampuan

mengomunikasikan

kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih


karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urina yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan


menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan
oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit Upper Motoric Neuron dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena
neuron motor atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada
salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor
atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling
umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada
sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit
akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan
buruk. Selain itu, perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada
daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas
fisik.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
h. Pola Konseptual Gordon
Menurut Gusty (2011) pengkajian 11 pola konseptual Gordon pada stroke
yaitu :
1) Pola Persepsi dan Managemen Kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan

dan

penanganan

kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan


kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, serta pengetahuan tentang
praktek kesehatan. Pada pasien stroke ditemukan sensorik dan motorik
menurun atau hilang, perubahan persepsi dan orientasi.
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir,

Pada pasien stroke ditemukan nausea, vomiting, disfagia.


3) Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit,
kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi
misalnya oliguria atau disuri, penggunaan kateter, frekuensi defekasi dan
miksi, karakteristik urin dan feses, pola input cairan, infeksi saluran
kemih. Pada pasien stroke ditemukan perubahan kebiasaan BAB dan
BAK. Misalnya inkontinentia uri, anuria, distensi kandung kemih,
distensi abdomen, suara usus menghilang.
4) Pola Latihan dan Aktivitas
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan dan
sirkulasi. Pentingnya latihan/gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak
tubuh dan kesehatan berhubungan satu sama lain Kemampuan klien
dalam menata diri apabila tingkat kemampuan 0: mandiri, 1: dengan alat
bantu, 2: dibantu orang lain, 3 : dibantu orang dan alat 4 : tergantung
dalam melakukan ADL, pada pasien stroke ditemukan kesulitan aktivitas
akibat kelemahan, hilangnya rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah.
5) Pola Kognitif dan Perseptual
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori
meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan, pembau
dan

kompensasinya

terhadap

tubuh.

Sedangkan

pola

kognitif

didalamnya mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap


persitiwa yang telah lama terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan
orientasi klien terhadap waktu, tempat, dan nama (orang atau benda
yang lain). Tingkat pendidikan, persepsi nyeri dan penanganan nyeri,
kemampuan untuk mengikuti, menilai nyeri skala 0-10, pemakaian alat
bantu dengar, melihat, kehilangan bagian tubuh atau fungsinya, tingkat
kesadaran, orientasi pasien, adakah gangguan penglihatan, pendengaran,
persepsi sensori (nyeri), penciuman dll. Pada pasien stroke ditemukan
gangguan penglihatan (penglihatan kabur), dispalopia, lapang pandang
menyempit, hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan
dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
6) Pola Istirahat dan Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi tentang energi.

Jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia
atau mimpi buruk, penggunaan obat, mengeluh letih. Pada pasien stroke
ditemukan mudah lelah dan susah tidur.
7) Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan. Kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri, harga
diri, peran, identitas dan ide diri sendiri. Manusia sebagai system
terbuka dimana keseluruhan bagian manusia akan berinteraksi dengan
lingkungannya. Disamping sebagai system terbuka, manuasia juga
sebagai mahkluk bio-psiko-sosio-kultural spriritual. Adanya kecemasan,
ketakutan atau penilaian terhadap diri, dampak sakit terhadap diri,
kontak mata, asetif atau pasif, isyarat non verbal, ekspresi wajah, merasa
tak berdaya, gugup/relaks. Pada pasien stroke ditemukan emosi labil,
respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan
diri.
8) Pola Peran dan Hubungan
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal klien. Pada
pasien stroke ditemukan gangguan dalam bicara, ketidakmampuan
berkomunikasi.
9) Pola Reproduksi/Seksual
Menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual atau dirasakan
dengan seksualitas. Dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat haid,
pemeriksaan mamae sendiri, riwayat penyakit seksual, pemeriksaan
genital
10) Pola Pertahanan Diri (Koping dan Toleransi Stres )
Menggambarkan kemampuan untuk menangani

stress

dan

penggunaan system pendukung. Pasien stroke mengalami kesulitan


dalam mengambil keputusan
11) Pola Keyakinan dan Nilai
Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai, keyakinan termasuk
spiritual. Menerangkan sikap dan keyakinan klien dalam melaksanakan
agama yang dipeluk dan konsekuensinya.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Menurut Nurarif dan Kusuma, (2013) , masalah yang lazim muncul


pada pasien dengan stroke adalah:
a. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan suplai
darah ke jaringan serebral.
1. Batasan karakteristik:
a) Gangguan status mental.
b) Perubahan perilaku.
c) Perubahan respon motorik.
d) Perubahan reaksi pupil.
e) Kesulitan menelan.
f) Kelemahan atau paralisis ekstrermitas.
g) Abnormalitas bicara.
2. Tujuan:

a)

Mempertahankan tingkat kesadaran, kognitif, dan fungsi


motorik.

b)

Menunjukkan kestabilan TTV dan tidak ada peningkatan


tekanan intra kranial (TIK).

c)

Menunjukkan berkurangnya defisit/kerusakan.

3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, masalah


klien teratasi dengan kriteria hasil:
a)

Tekanan sistole dan diastole dalam rentang yang diharapkan

b)

Tidak ada hipertensi ortostatik

c)

Komunikasi jelas

d)

Menunjukkan konsentrasi dan orientasi

e)

Pupil seimbang dan reaktif

f)

Bebas dari aktivitas kejang

g)

Tidak mengalami nyeri kepala

4. Intervensi:
a) Monitor TTV
b) Monitor analisa gas darah (AGD), ukuran pupil, ketajaman,
kesimetrisan dan reaksi

c) Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala


d) Monitor level kebingungan dan orientasi
e) Monitor tonus otot pergerakan
f) Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
g) Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
h) Monitor status cairan
i) Pertahankan parameter hemodinamik
j) Tinggikan kepala 30-45o tergantung pada konsisi pasien dan order
medis
k) Berikan oksigen
l) Kolaborasi pemberian antikoagulan
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, kehilangan
keseimbangan dan koordinasi, spastisitas dan cedera otak
1. Batasan karakteristik:
a) Penurunan waktu reaksi
b) Kesulitan merubah posisi
c) Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepatan, kesulitan
memulai langkah pendek)
d) Keterbatasan motorik kasar dan halus
e) Keterbatasan rentang gerak
2. Tujuan:
a)

Mempertahankan posisi dan fungsi optimal dengan tidak adanya


kontraktur

b)

Mempertahankan kekuatan dan fungsi area yang sakit

c)

Menunjukkan perilaku aktivitas yang lebih baik

d)

Mempertahankan integritas kulit

3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, masalah


klien teratasi dengan kriteria hasil:
a)

Klien meningkat dalam aktivitas fisik

b)

Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

c)

Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan


kemampuan berpindah

d)

Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi

4. Intervensi:
a) Kaji kekuatan otot klien
b) Kaji kemampuan klien dalam pergerakan
c) Anjurkan untuk melatih perubahan posisi setiap 2 jam
d) Lakukan pemberian bantal pada bahu dan siku, serta ganjalan kaki
e) Anjurkan pasien untuk melatih ekstremitas yang sakit dengan
ekstremitas yang sehat
f) Latih klien dalam program ROM pasif
g) Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien
saat latihan
h) Ajarkan pasien atau keluarga tentang teknik ambulasi
i) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan Activity Daily Livings
(ADLs) secara mandiri sesuai kemampuan
j) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs pasien
k) Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
l) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
m) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk latihan klien
n) Kolaborasi pemberian stimulasi elektrik seperti TENS unit
o) Kolaborasi pemberian antispasmodik
c. Defisit perawatan diri mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan
dengan gejala sisa stroke, penurunan kesadaran
1.

Batasan karakteristik:
Ketidakmampuan untuk mandi, berpakaian, makan, toileting

2.

Tujuan:

a) Pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan


b) Pasien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk merawat diri

3.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x


24 jam, masalah klien teratasi dengan kriteria hasil:

a)

Klien terbebas dari bau badan

b)

Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan


ADLs

c)

Dapat melakukan ADLS dengan bantuan


Intervensi:

4.

a) Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri yang mandiri.


b) Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan makan.
c) Sediakan bantuan sampai klien mampu secara utuh untuk melakukan
self-care.
d) Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan yang dimiliki.
e) Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu melakukannya.
f) Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk
melakukannya.
g) Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai kemampuan.
h) Pertimbangkan usia klien jika mendorong pelaksanaan aktivitas
sehari-hari.
i) Kolaborasi dengan ahli okupasi
d. Risiko

kerusakan

integritas

kulit

berhubungan

dengan

hemiparesis/hemiplegia, penurunan mobilitas


1.

Batasan karakteristik:

a) Faktor mekanik (misalnya: alat yang dapat menimbulkan luka,

tekanan, restraint)
b) Immobilitas fisik
c) Perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan)
d) Perubahan pigmentasi

e) Perubahan sirkulasi
f) Perubahan turgor (elastisitas kulit)
2.

Tujuan:

a) Mempertahankan jaringan kulit


b) Wound Healing : primer dan sekunder
3.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,
masalah klien teratasi dengan kriteria hasil:
a) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b) Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit
yang mengalami gangguan
c) Menunjukkan

pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cedera berulang


d) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
e) Status nutrisi adekuat
f) Sensasi dan warna kulit normal
4.

Intervensi:

a) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar


b) Hindari kerutan pada tempat tidur
c) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
e) Monitor kulit akan adanya kemerahan
f) Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
g) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
h) Monitor status nutrisi pasien
i) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
j) Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan
k) Kolaborasi ahli gizi pemberian diet TKTP, vitamin
l) Cegah kontaminasi feses dan urin
m) Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka
e. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan reflek primitif
1.

Batasan Karakteristik:

a) Peningkatan tekanan dalam lambung


b) Elevasi tubuh bagian atas
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Peningkatan residu lambung
e) Menurunnya fungsi sfingter esofagus
f) Gangguan menelan
g) Penekanan reflek batuk dan gangguan reflek

h) Penurunan motilitas gastrointestinal


2. Tujuan:
a) Respiratory Status : Ventilation, ventilasi tidak mengalami gangguan
b) Aspiration control, asupan asupan oral dan secret tanpa aspirasi
c) Swallowing Status, peningkatan kemampuan menelan
3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, masalah
klien teratasi dengan kriteria hasil:
a)

Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi


pernafasan normal

b)

Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan


mampu melakukan oral hygiene

c)

Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan


tidak ada suara nafas abnormal

4. Intervensi:
a) Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan
b) Monitor status paru
c) Pelihara jalan nafas
d) Lakukan suction jika diperlukan
e) Cek nasogastrik sebelum makan
f) Hindari makan kalau residu masih banyak
g) Potong makanan kecil kecil
h) Haluskan obat sebelumpemberian
i) Naikkan kepala 30-450 setelah makan

f. Gangguan komunikasi verbal atau tulis berhubungan dengan gangguan


neuromuskuler, kelemahan
1. Batasan karakteristik:
a) Tidak ada kontak mata
b) Tidak dapat bicara
c) Kesulitan menyususn kalimat
d) Kesulitan memahami pola kumunikasi yang biasa
e) Kesulitan menggunakan ekspresi wajah
f) Disorientasi orang, ruang dan waktu
g) Menolak bicara
2. Tujuan:
a) Mampu mengekspresikan perasaan
b) Mampu menggunakan bahasa isyarat
3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, masalah
klien teratasi dengan kriteria hasil:
a) Komunikasi penerimaan, interpretasi, dan ekspresi pesan meningkat
b) Mampu mengkoordinasi gerakan dalam menggunakan isyarat
c) Mampu memanajemen kemampuan fisik yang dimiliki
d) Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan sosial
4. Intervensi:
a) Kaji tipe disfungsi, misalnya klien tidak mengerti tekan unntang
kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa sendiri
b) Bedakan afasia dengan disatria
c) Katakan untuk mengikuti perintah sederhana
d) Perintahkan

klien

untuk

menyebutkan

nama

benda

yang

diperlihatkan
e) Perdengarkan bunyi sederhana seperti sh...sh..
f) Suruh klien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak
mampu menulis suruh klien untuk membaca kalimat pendek
g) Pilih metode komunikasi alternatif misalnya menulis, menggambar
atau gerakan

h) Antisipasi dan bantu kebutuhan klien


i) Kolaborasi ke ahli terapi bicara
g. Gangguan harga diri berhubungan dengan biophysikal, psikososial,
perubahan persepsi kognitif
1.

Batasan karakteristik:
a)

Depersonalisasi bagian tubuh

b)

Perasaan negatif tentang tubuh

c)

Secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup

d)

Perubahan aktual struktur dan fungsi tubuh

e)

Kehilangan bagian tubuh

f)

Bagian tubuh tidak berfungsi

2. Tujuan:
1.

Mampu menyatakan pada orang terdekat mengenai situasi dan


perubahan yang sedang terjadi

2.

Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi

3.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam,


masalah klien teratasi dengan kriteria hasil:
a)

Body image positif

b)

Mampu mengidentifikasi kekuatan personal

c)

Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh

d)

Mempertahankan interaksi sosial

4.

Intervensi:
a) Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
b) Monitor frekuensi mengkritik dirinya
c) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
d) Dorong klien mengungkapkan perasaannya
e) Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
f) Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil

3. Evaluasi

Evaluasi dilakukan secara formatif untuk mengetahui respon


pasien terhadap tindakan yang telah diberikan dan juga secara sumatif
untuk mengevaluasi tindakan keperawatan sesuai tujuan pemberian
intervensi dan dilakukan sesuai dengan kerangka kerja. Evaluasi Sumatif
menggunakan format SOAP (Muttaqin, 2008)
Evaluasi hasil dari tindakan keperawatan yang diharapkan pada
pasien stroke adalah mempertahankan tingkat kesadaran dan tanda-tanda
vital stabil, kekuatan otot bertambah, klien dapat beraktivitas dan
berkomunikasi

sesuai

dengan

kondisinya,

serta

klien

mengungkapkan penerimaan atas kondisinya. (Muttaqin, 2008

dapat

Anda mungkin juga menyukai