Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan


bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri
(seperti Malaysia, Timor-Leste dan Papua Nugini) dalam
hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan
menerima upah. Namun demikian, istilah TKI seringkali
dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan
seringkali disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Dalam hal ini format kebijakan yang dikembangkan


adalah mempercepat penggantian tenaga kerja lain: paling
lama ikatan kerjanya tak lebih dari setahun. Strategi
ini memang dapat diharapkan efektivitasnya. Namun, format
kebijakan ini memperlihatkan sikap perusahaan yang tidak
peduli terhadap persoalan kualitas sumberdaya. Dalam
kaitan ini kita dapat memahami sikap egoistik perusahaan
yang tidak peduli itu. Tapi, pemerintah punya kewajiban
moral untuk mendorong perusahaan manapun agar memproses
peningkatan sumberdaya manusianya. Komitmen pemerintah
tentang kualitas SDM merupakan sikap menghargai sekaligus
memperjuangkan upaya perbaikan kesejahteraan.

Dan perbaikan mutu SDM adalah pilar penting.Karena


itu, sudah saatnya pemerintah menunjukkan komitmennya
untuk tidak mentolerir lebih jauh praktik perusahaan yang

16
kian cenderung menerapkan model Jasa Penunjang. Di
samping urgensi peningkatan nilai kesejahteraan para
tenaga kerjanya, persoalan keadilan adalah hak setiap
individu. Akhirnya, model Jasa Penunjang yang membuahkan
ketidakadilan harus segera diakhiri. Inilah misi
kemanusiaan yang harus diwujudkan.
Jika kita telaah pasal demi pasal dalam UU
Ketenagakerjaan itu, kita dapat menggarisbawahi bahwa
hal-hal yang diatur hanyalah seputar hak dan kewajiban
antara perusahaan penyedia tenaga kerja dengan perusahaan
pengguna jasanya (Pasal 64, 65 dan Pasal 66). Sementara,
landasan hukum Jasa Penunjang hanyalah Pasal 1601 b Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang intinya mengatur
perjanjian pekerjaan yang bersifat borongan. Jika pasal
ini yang dijadikan landasan rekrutmen tenaga secara Jasa
Penunjang, maka jenis pekerjaannya haruslah terkategori
khusus yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu.
Berarti, tidak berlaku untuk seluruh jenis pekerjaan
termasuk pekerjaan rutin yang tak akan pernah henti
selama perusahaan masih aktif.
Jenis pekerjaan yang terkategori tertentu tersebut
tampaknya tidak dilihat oleh para perusahaan pengguna
tenaga kerja/buruh, begitu juga perusahaan penyedia.
Salah satu indikasi yang menonjol adalah perusahaan di
manapun cenderung menggunakan tenaga Jasa Penunjang
untuk seluruh jenis pekerjaan.
Praktik penggunaan tenaga Jasa Penunjang ini
sebenarnya ?dari sisi UU Ketenagakerjaan? terkategori
melanggar. Namun, ketidakjelasannya UU yang ada membuat

16
perusahaan pengguna tenaga secara Jasa Penunjang berani
menabraknya. Kiranya, sejumlah titik lemah UU
Ketenagakerjaan ini perlu dibenahi lebih lanjut. Ada
beberapa urgensi pembenahan (penyempurnaan) dari UU No
13/2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama dalam hal Jasa
Penunjang. Pertama, para tenaga kerja/buruh yang
direkrut secara Jasa Penunjang senantiasa dibayang-
bayangi ketidaknyamanan kerja.
Hal ini karena kemungkinan perusahaan pengguna
tenaga kerja Jasa Penunjang melakukan PHK, meski tanpa
alasan yang jelas. Ketidaknyamanan kian terasa sejalan
dengan tindakan perusahaan semena-menanya tidak
berkonsekuensi hukum yang pasti, yang tentu terhindar
dari sejumlah akibat (kerugian materiil).

16
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sikap Menghadapi Keputusan Tenaga Kerja

Penyebab permasalahan bukan hanya dari sisi


pemerintahan saja, tetapi juga melibatkan TKI itu
sendiri. Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, Mukadis
(2005) menganalisa bahwa penyebab banyaknya jumlah TKI
antara lain kurangnya lapangan kerja karena pengaruh
krisis ekonomi, paradigma berpikir yang tidak kreatif,
tidak ditanamkannya sikap berani (be a pigeon among the
peacock), kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri,
dipermalukan jika memiliki pendapat yang berbeda. Diduga
akar dari semua permasalahan di atas berasal dari cara
pendidikan bangsa Indonesia yang tidak benar.

Kian menjadi kecenderungan. Itulah sikap perusahaan


dalam menggunakan pekerja/buruh Jasa Penunjang, sebuah
model rekrutmen melalui perusahaan jasa penyedia tenaga
kerja/buruh.Memang belum diketahui persis seberapa besar
tenaga yang terserap melalui model Jasa Penunjang. Tapi,

16
hampir mudah dijumpai tenaga-tenaga Jasa Penunjang di
berbagai perusahaan besar, berstatus swasta nasional
atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), bahkan di
instansi-instansi pemeintahan. Mereka bertebaran, di
level rendah seperti cleaning service sampai ke level
menengah (manajerial) bahkan pimpinan puncak (direksi),
meski dalam status berbeda. Tentu, banyak pertimbangan
menarik yang mendorong perusahaan penyerap
pekerja/buruhmenerapkan model Jasa Penunjang.
Di antaranya, pertama, perusahaan pengguna tenaga
kerja/buruh melaluiJasa Penunjang tidak harus
mengalokasikan waktu dan tenaganya secara khusus untuk
mengambil tenaga/buruh yang diperlukan, bahkan dapat
diproses dalam waktu relatif singkat. Di sana, terlihat
efisiensi (waktu dan tenaga) untuk memperoleh
tenaga/buruh yang diharapkan. Efisiensinya dapat
dirancang untuk proses manajemen lainnya yang lebih
konstruktif.
Kedua, perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh
melalui Jasa Penunjang terlepas dari kewajiban ideal
untuk program pengembangan karir mereka, terlepas juga
dari kewajiban memberikan jaminan sosial, terlepas dari
beban tunjangan tahunan (tunjangan hari raya atau akhir
tahun). Semua ini memberikan makna positif dalam kontek
pengurangan biaya operasional perusahaan. Dan manakala
muncul konflik tentang penyesuaian upah/gaji bahkan
persoalan lainnya bagi kepentingan pekerja/buruh, pihak
perusahaan pengguna pekerja/buruh Jasa Penunjang dapat

16
mengalihkan persoalannya ke perusahaan penyedia tenaga
kerja/buruh.
Ketiga, perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh Jasa
Penunjang dapat leluasa memutus hubungan kerja (PHK)
secara sepihak tanpa dibayang-bayangi tuntutan secara
hukum. Faktor ketiga ini cukup krusial.

2. Keputusan Tenaga Kerja Dalam Masa Depan

Permasalahan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bukan


merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia. Yan (2004)
mengatakan bahwa sejak era 1970-an, permasalahan ini
menduduki posisi teratas. Selama 35 tahun, permasalahan
TKI tidak mengalami perkembangan yang berarti. Rumitnya
permasalahan ini melibatkan banyak faktor baik dalam
(Indonesia) maupun luar negeri (Malaysia). Juni (2005)
mengidentifikasikan beberapa faktor penyebab masalah ini
tidak kunjung selesai, antara lain dari dalam negeri
meliputi permasalahan di bidang ekonomi, pemerintahan dan
sosial. Sedangkan permasalahan dari luar negeri meliputi
tingginya permintaan akan tenaga kerja dari Indonesia
(Sadli, 2005).

a. Jaminan Masa Depan Tenaga Kerja

Dari jumlah tenaga kerja yang ada, sekitar 2,5 juta


orang bekerja di berbagai sentra kerajinan. Bayangkan,

16
kalau masing-masing sentra kerajinan tumbuh, berkembang
dan kemudian bisa menampung satu, dua tenaga kerja baru,
maka akan bertambah barangkali 3, 4, 5 juta tenaga kerja
kita. Ini tulang punggung ekonomi kerakyatan, ini tulang
punggung koperasi, usaha kecil dan menengah yang bisa
memiliki jaringan kerjasama dengan usaha besar.

Mereka menghasilkan beragam seni kerajinan, mulai


dari anyaman daun dan bambu, ukiran kayu, kain tenun dan
kain ikat tradisional, batik, keramik, hingga kerajinan
perak dan emas. Di samping mereka yang benar-benar
bekerja sebagai perajin, kegiatan ini dapat pula
dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah
penghasilan. Kegiatan yang positif seperti ini harus
didukung,

Melihat banyaknya faktor yang saling berhubungan


dalam permasalahan TKI ini, maka sebaiknya kita mulai
merenungkan kembali akar permasalahan yang membuat TKI
tidak “dimanusiawikan” oleh bangsanya sendiri
(pemerintah) dan juga kualitas dari TKI itu sendiri.
Bandingkan dengan kualitas TKF (Tenaga Kerja Filipina)
yang di atas rata-rata serta kepedulian pemerintah
terhadap TKF yang memperlakukan mereka seperti diplomat
(Samhadi, 2005).

Di sisi lain, para tenaga Jasa Penunjang merasa


sangat tidak nyaman selama bekerja sejalan dengan fitrah
manusia yang tak lepas dari kealpaan, di mana kekhilafan
dapat dijadikan senjata untuk mem-PHK kapanpun

16
perusahaan mau. Kedua, pekerja/buruh sama sekali tak
berdaya menghadapi sikap paksa perusahaan penggguna
tenaga Jasa Penunjang itu. Di sini terlihat jelas
gambaran eksploitasi yang tidak menghargai hak-hak
tenaga kerja yang dipakainya.
Sementara, manakala para tenaga kerja Jasa Penunjang
itu kecewa, mereka tak dapat melakukan reaksi perlawanan
secara langsung kepada pihak perusahaan yang merekrutnya
secara Jasa Penunjang itu. Sebab, alamat kekecewaannya
haruslah ditujukan kepada perusahaan jasa penyedia tenaga
kerja, bukan perusahaan penggunanya. Sementara,perusahaan
jasa penyedia tenaga kerja sudah mengantongi senjata
pamungkas: silakan mundur jika tenaga kerja Jasa
Penunjang tidak puas dengan apa yang dihadapinya, karena
masih banyak lainnya yang antri. Memang, keterbatasan
lapangan kerja membuat pencari kerja pasrah terhadap
sistem apapun yang akan diterapkan, termasuk model Jasa
Penunjang. Dan ketika kekecewaannya diekspresikan kepada
perusahaan jasa penyedia tenaga kerja, para tenaga
kerja/buruh ini pun sulit mendapatkan sesuatu yang
diharapkan.

b. Kelayakan Yang Diterima Tenaga Kerja

Dalam kaitan upah/gaji atau hak-hak lainnya, para


tenaga kerja hasil Jasa Penunjang tetap sulit
mendapatkannya. Faktornya, jika berharap perbaikan pada
perusahaan penyedia jasa tenaga kerja hal ini sungguh
tidak mungkin, karena ia dari awal memang mengambil

16
sebagian upah/gajinya, sekalipun pemotongannya tidak
didasarkan perjanjian/kesepakatan. Pemotongan sekian
persen ini sebagai konsekuensi penyalurannya (mendapatkan
pekerjaan). Sementara, jika mendesak kepada perusahaan
pengguna tenaga kerja Jasa Penunjang, hal ini lebih
tidak memungkinkan lagi, karena hubungan kerjanya

memang bukan dengan perusahaan tempat mereka bekerja.


Organisasi sarikat pekerja pun sulit memperjuangkannya,
karena status kepegawaiannya memang tidak berinduk pada
perusahaan pengguna tenaga Jasa Penunjang itu. Pendek
kata, tenaga kerja Jasa Penunjang sangat menguntungkan
pihak perusahaan. Sebaliknya, tenaga kerja outsorcing
diperlakukan tidak adil, dalam kaitan pendapatan atau
hal-hal nonekonomi. Ia atau mereka memang mendapatkan
pekerjaan, tapi sejumlah hak-haknya dipangkas secara
sepihak (tanpa persetujuan).Sebuah renungan, apakah
perilaku ketidakadilan ini harus dipertahankan? Tentu
tidak. Ini memaksa payung hukum Jasa Penunjang yang lebih
tegas dan jelas.

3. Kinerja Tentang Kerja Outsourcing

a. Apa itu outsourcing?

Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah


strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti
bisnisnya. Namun pada prakteknya outsourcing pada umumnya
didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan
cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan

16
setinggi-tingginya yang seringkali melanggar etika
bisnis.

Outsourcing seringkali mengurangi hak-hak karyawan


yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan
permanen (kesehatan, benefit dkk). Outsourcing pada
umumnya menutup kesempatan karyawan menjadi permanen.
Posisi outsourcing selain rawan secara sosial
(kecemburuan antar rekan) juga rawan secara pragmatis
(kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun)

b. Perjanjian Tentang Outsourcing

Dalam pembuatan perjanjian kerjasama antara


perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna, perlu
diatur beberapa hal agar tidak muncul permasalahan, di
antaranya yaitu adanya pemahaman perusahaan pengguna
tentang hak dan tanggung jawab vendor yang berbeda dalam
hal labour supply dan full outsourcing. Selain itu,
sering juga muncul pemahaman bahwa vendor harus
menanggung resiko keseluruhan. Untuk menghindari hal-hal
tersebut, ruang lingkup perjanjian kerja harus meliputi,
diantaranya:

 Definisi
 Ruang lingkup pengadaan jasa
 Hubungan kemitraan
 Persyaratan administratif
 Biaya penyediaan jasa
 Cara pembayaran

16
 Penerbitan PO
 Pernyataan Jaminan
 Laporan
 Hak, Kewajiban, dan tanggung jawab
 Sanksi
 Bencana tak terduga
 Benturan kepentingan
 Kepemilikan Informasi
 Informasi rahasia
 Penggunaa logo
 Audit
 Jangka waktu kontrak
 Penyelesaian perselisihan
 Hukum yang berlaku
 Pemberitahuan
 Pengalihan tugas
 Keterpisahan
 Lampiran
 Pengakhiran kontrak
 Aturan Tambahan

c. Kesalahan Dalam Menggunakan Outsourcing

Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka


pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan
pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee
perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang
secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir
karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja,

16
organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus
pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat
berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern
perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan
kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada
pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa
permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang
cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan
outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia
kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi
yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang
outsourcing yang telah berjalan tersebut
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan
tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih
dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business)
dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business)
dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen
perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan
pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan
outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam
suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain
tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa
saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing.
Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di
perusahaan pengguna outsourcing.

16
4. Suatu Keputusan Dalam Menyikapi Tenaga Kerja

a. Peran Pemerintah

Muncul renungan, mengapa perusahaan pengguna tenaga


kerja/buruh terdorong melakukannya? Di luar sejumlah
kemanfaatan tersebut bagi kepentingan perusahaan
pengguna tenaga Jasa Penunjang, UU Ketenagakerjaan yang
konon telah disempurnakan (UU No. 13/2003) pun masih
belum jelas masalah tenaga Jasa Penunjang.
Konsekuensinya, hak-haknya, termasuk sikap hukumnya pun
harus jelas, sehingga dapat disikapi dengan hukum yang
tegas pula. Setidaknya, payung hukum yang jelas dalam
bentuk UU Ketenagakerjaan yang disempurnakan atau bentuk
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat
dijadikan pijakan untuk bergerak bagi para tenaga Jasa
Penunjang dan atau para tim penasihat hukumnya. Yang
perku kita catat, ketiadaan payung hukum yang jelas akan
selalu mengantarkan praktik eksploitasi perusahaan
terhadap tenaga-tenaga kerja Jasa Penunjang.
Di satu sisi memang ada penyerapan sejumlah tenaga
kerja yang berarti mengurangi jumlah pengangguran. Tapi,
penyerapannya tidak berkorelasi positif terhadap proses
peningkatan kesejahteraan sejumlah tenaga kerja Jasa
Penunjang, terutama yang berkelas bawah. Setidaknya,
mereka setelah direkrut secara Jasa Penunjang tidak
merasakan kenyamanan selama bekerja. Lalu, di mana makna
konstruktif dari mendapat pekerjaan? Satu hal yang juga
perlu digaris-bawahi, tindakan ketidakadilan itu

16
menciptakan bom waktu yang pada saatnya meledak. Dan
mogok kerja merupakan reaksi akumulatif yang tak dapat
dihindari.
Dari sisi ini, terlihat kegagalan mendasar bagi
perusahaan pengguna tenaga kerja Jasa Penunjang yang
merancangnya sebagai upaya menekan pengeluaran. Sebab,
mogok kerja merupakan kerugian besar, baik dari sisi
pendapatan ataupun citra. Barangkali, perusahaan pengguna
tenaga kerja Jasa Penunjang sudah memikirkan bagaimana
menerapkan strategi efektif dari letupan sosial akibat
perlakuan ketidakadilan.

16
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan Dan Saran

Makalah yang kami tulis ini akan mengulas beberapa


permasalahan di atas secara singkat berdasarkan
pengetahuan kami serta buku panduan serta layanan
internet. Tujuan akhir dari penulisan ini adalah untuk
meninjau ulang sikap kita selama ini terhadap TKI, serta
penyampaian saran tertulis untuk perbaikan sikap kita dan
demi kesejahetraan kita semua yang ditinjau secara
akademis.

Dari hasil penelitian tersebut, maka secara sederhana


kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata “kebanyakan” para
pemegang keputusan di negeri ini tidak menunjukkan contoh
yang bagus. Mereka cenderung untuk menunjukkan
kekuasaannya bukan pelayanannya kepada masyarakat (TKI).
Bisa dikatakan mereka bersikap acuh tak acuh terhadap
nasib jutaan TKI di luar negeri.

Apabila kita melihat kepedulian pemerintah Filipina


kepada tenaga kerjanya sangat bertolak belakang dengan
Indonesia. Pemerintah Filipina mendukung secara aktif,
dimana mereka ikut terlibat sejak pengurusan penempatan
kerja, advokasi, kesejahteraan, pengurusan kepulangan dan
lain sebagainya (Samhadi, 2005). Hal ini sangat bertolak
belakang dengan Filipina. Jika dibandingkan, Indonesia

16
tidaklah jauh berbeda dengan Filipina. Indonesia sama-
sama merupakan negara berkembang di asia tenggara dengan
permasalahan ekonomi, ketenagakerjaan serta penduduk yang
padat.

Namun jika dilihat dari kualitas SDM mereka, bisa


dikatakan kita tertinggal jauh. Sebagai bukti, Filipina
tidak lagi tergolong sebagai negara korup di Asia. Jika
dilihat dari parameter tingkat pendidikan serta
kesehatan, Filipina cukup unggul (Kompas, 2005). Beberapa
faktor penyebab tidak selesainya permasalahan TKI dari
dalam negeri (Indonesia), antara lain permasalahan di
bidang ekonomi, pemerintahan dan sosial.

Untuk menyelesaikan semua permasalahan, langkah yang


terbaik menurut kami adalah mengubah cara pendidikan
kita. Dilakukan dengan reformating metode pendidikan yang
dilakukan. Bukan hanya memikirkan kuantitas tetapi juga
kualitas anak didik yang didasarkan pada konsensus
bersama (Pancasila).

16
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT,

karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi

kesempatan untuk menyelesaikan makalah “ Teori pangambil

Keputusan” Dalam makalah ini saya membahas tentang

Konflik yang terjadi dalam Ketenaga Kerjaan di Indonesia

serta luar negeri. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen

pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan

dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini

masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga

dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi

pembaca dan teman-teman. Amin...

Pangkalpinang, 22 April 2010

Penulis

16
DAFTAR ISI
Halaman Judul Hal
Kata Pengantar.................................... i
Daftar Isi........................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang .............................. 1

BAB II PEMBAHASAN

1. Sikap Menghadapi Keputusan Tenaga Kerja...... 4


2. Keputusan Tenaga Kerja Dalam Masa Depan...... 6
a. Jaminan Masa Depan Tenaga Kerja ........ 6
b. Kelayakan Yang Diterima Tenaga Kerja.... 8

3. Kinerja Tentang Kerja Outsourcing............ 9

a. Apa itu outsourcing?.................... 9


9
b. Perjanjian Tentang Outsourcing..........
c. Kesalahan Dalam Menggunakan
11
Outsourcing.............................
4. Suatu Keputusan Dalam Menyikapi Tenaga

Kerja........................................ 12

BAB III PENUTUP


14
A. Kesimpulan Dan saran...........................

15
DAFTAR PUSTAKA....................................

TUGAS MAKALAH

16
“KONFLIK TENTANG TENAGA KERJA”
Mata Kuliah
TEORI PENGAMBIL KEPUTUSAN

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
RIO ADI SAPUTRA
08030077

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PERTIBA


TAHUN AKADEMIK 2009 / 2010

DAFTAR PUSTAKA

16
Alisadono, S., S. Hardjosunaso, dan A. Mardjuki.

2006. Kebijakan Transmigrasi melalui Kebijakan Sistem.

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta

Asian Development Bank. 2005. Jalan Menuju Pemulihan:

Iklim Investasi di Indonesia. http://www.adb.org..stat.

Carling, J. 2004. Policy Options for Increasing the

Benefits of Remittances.

http://www.gdrc.org.

16

Anda mungkin juga menyukai