Anda di halaman 1dari 120

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM

NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP


SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA

RETHNA HESSIE

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

RINGKASAN
RETHNA HESSIE, Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri
serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Dibimbing Oleh
ADI HADIANTO
Pangan merupakan kebutuhan yang vital bagi manusia. Saat ini dunia
sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga
pangan, seperti beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat
dunia. Permintaan impor bahan pangan dari negara-negara penghasil bahan pokok
semakin meningkat. Produksi bahan pangan dunia pun sedang menurun akibat
banyaknya bencana alam yang melanda darerah-daerah produktif serta alih fungsi
lahan sawah ke non sawah.Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia
harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satu
caranya ialah dengan melakukan swasembada beras, karena bagi sebagian besar
bangsa Indonesia beras telah menjadi bahan pangan pokok yang sangat penting
sejak berabad-abad yang lalu.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi dan
konsumsi beras di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1)
menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia, (2)
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di
Indonesia, dan (3) memproyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia
untuk lima tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap
swasembada beras di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berupa data time series selama 38 tahun (1969-2006). Jawaban untuk tujuan
pertama digunakan analisis deskriftif dan untuk menjawab tujuan kedua
digunakan analisis persamaan simultan dengan metode pendugaan 2SLS (Two
Stage Least Squares), sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga
menggunakan parameter elastisitas yang diperoleh dari hasil pendugaan model
untuk menghitung proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta
implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia dianalasis secara deskriptif.
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft office
Excel dan Eviews 5.0.
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke
tahun berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Selama kurun waktu 37 tahun Indonesia masih belum dapat menutupi konsumsi
beras total, sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas areal panen dan
produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil
buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi dan trend
waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan
populasi, sedangkan harga beras hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil
beras tahun sebelumnya. Hasil Proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia
tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras hingga tahun 2010
sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras pemerintah dapat mengimpor
beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009
seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 seluas 77,40 ribu Ha. Pada tahun 2011
Indonesia dapat mencapai swasembada beras dalam arti surplus beras.

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM


NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA

RETHNA HESSIE
H44052269

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

ii

Judul

: Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta


Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia

Nama

: Rethna Hessie

NRP

: H44052269

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Adi Hadianto, SP
NIP: 19790615 200501 1 004

Mengetahui,
Ketua Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc


NIP: 19620421 198603 1 003

Tanggal Lulus:

iii

PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM NEGERI SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA
BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK

LAIN

KECUALI

SEBAGAI

BAHAN

RUJUKAN

YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Rethna Hessie
H44052269

iv

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1987 di Bandung. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari keluarga Bapak Tarmizi dan
Ibu Mimi Kuswati.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gunung Batu 01, pada
tahun 1993 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002
penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2002
penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun
2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Kemudian diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif
dalam organisasi Resource and Environmental Economic Student Association
(REESA) sebagai staf Study Research and Development (SRD) periode 20072008.

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya
terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor.
Skripsi ini membahas tentang perkembangan produksi dan konsumsi beras
di Indonesia. Skripsi ini juga membahas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta membahas
mengenai proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013
serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009

Penulis

vi

UCAPAN TERIMAKASIH
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan petunjuk dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan segenap keluarga, serta
penghargaan pada berbagai pihak yang yang telah membantu dalam persiapan,
pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Adi Hadianto, SP. Selaku dosen pembimbing yang telah memberi
bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Dosen penguji utama Bapak Ir. Nindyantoro, MSP dan dosen penguji wakil
departemen Bapak Novindra, SP. Terimakasih atas kritik dan masukannya
dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Adi Setyanto, terimakasih atas masukan dan bantuannya dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati departemen Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan, FEM IPB. Terimakasih atas ilmu dan jasa yang telah
diberikan selama ini.
5. Teman-teman seperjuangan yang telah setia mendukung dan memberi
semangat dalam penyusunan skripsi ini Murti, Ratih, Tri, Rindra, Eva, Nani,
Sapto serta seluruh keluarga besar ESL 42 terimakasih atas kerjasama dan
kebersamaan yang pernah ada.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas
bantuan dan dukungannya. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas
kebaikannya.

vii

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .........................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................

iii

PERNYATAAN KEORISINILAN ......................................................

iv

RIWAYAT HIDUP .............................................................................

KATA PENGANTAR ...........................................................................

vi

UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................

vii

DAFTAR ISI .........................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ..................................................................................

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................

xii

I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
1.5 Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian ..................................

1
1
4
7
7
8

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................


2.1 Beras Sebagai Komoditas Pangan Pokok ..............................
2.2 Kebijakan Perberasan ............................................................
2.3 Revitalisasi Pertanian ...........................................................
2.4 Konsep Produksi ....................................................................
2.5 Konsep Konsumsi ..................................................................
2.6 Model Persamaan Simultan ...................................................
2.7 Penelitian Terdahulu..............................................................

9
9
10
16
17
21
23
23

III. KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................


3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...............................................
3.1.1 Penawaran Beras.....................................................
3.1.2 Permintaan Beras ....................................................
3.1.3 Harga dan Intervensi Pemerintah............................
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional .........................................

27
27
27
30
31
35

IV. METODE PENELITIAN ...............................................................


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................
4.2 Jenis dan Sumber Data...........................................................
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................
4.3.1 Perumusan Model ..................................................
4.3.1.1 Luas Areal Panen Tanaman Padi ............

39
39
39
40
40
42

viii

4.3.1.2 Produktivitas Padi ....................................


4.3.1.3 Produksi Padi .........................................
4.3.1.4 Produksi Beras .........................................
4.3.1.5 Konsumsi Beras .......................................
4.3.1.4 Harga Beras ............................................
4.3.1.4 Surplus/Defisit Beras ...............................
4.3.2 Identifikasi Model ..................................................
4.3.3 Evaluasi Model .....................................................
4.3.3.1 Kesesuaian Model....................................
4.3.3.2 Uji-f ........................................................
4.3.3.3 Uji-t ........................................................
4.3.3.4 Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas
4.3.4 Pengukuran Elastisitas ............................................
4.3.5 Validasi Model .....................................................
4.3.6 Definisi Operasional ...............................................

43
44
44
44
45
46
46
49
49
50
51
52
53
55
57

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................


5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
5.1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di
Indonesia Periode 1970-1979 .................................
5.1.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di
Indonesia Periode 1980-1989 .................................
5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di
Indonesia Periode 1990-1999 .................................
5.1.4 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di
Indonesia Periode 2000-2006 .................................
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi
Beras di Indonesia .................................................................
5.2.1 Dugaan Model Ekonometrika ................................
5.2.1.1 Luas Areal Panen Tanaman Padi .............
5.2.1.2 Produktivitas Padi ....................................
5.2.1.3 Konsumsi Beras .......................................
5.2.1.4 Harga Beras .............................................
5.3 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras tahun 2009-2013
serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia
5.3.1 Hasil Validasi Model ..............................................
5.3.2 Proyeksi Produksi Padi .........................................
5.3.3 Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras .................
5.3.4 Implikasinya terhadap Swasembada Beras di
Indonesia ..............................................................

59
59

VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................


6.1 Kesimpulan ............................................................................
6.2 Saran .....................................................................................

86
86
87

DARTAR PUSTAKA ............................................................................

89

LAMPIRAN ...........................................................................................

92

62
64
66
68
70
71
71
73
75
77
78
78
79
80
81

ix

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Stok Pangan Dunia (Juta Ton) 2006-2007................................

2.

Posisi Indonesia dalam Impor Pangan di Tingkat Dunia


Tahun 2001-2005 ....................................................................

Ketersediaan dan Konsumsi Beras (Ton)


Tahun 2005-2008 ....................................................................

Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi


Anjuran ....................................................................................

11

5.

Jenis dan Sumber Data Penelitian.............................................

39

6.

Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia.....

60

7.

Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia


Periode 1970- 1979...................................................................

63

Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia


Periode 1980-1989....................................................................

64

Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia


Periode 1990-1999....................................................................

67

Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia


Periode 2000- 2008 .................................................................

68

11.

Hasil Dugaan Parameter Luas Areal Panen Tanaman Padi .....

72

12.

Hasil Dugaan Parameter Produktivitas Tanaman Padi .............

73

13.

Hasil Dugaan Parameter Konsumsi Beras Domestik ...............

75

14.

Hasil Dugaan Parameter Harga Beras Domestik......................

77

15.

Proyeksi Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi


Tanaman Padi ..........................................................................

79

16.

Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras ...................................

80

17.

Lahan yang Sesuai untuk Budidaya Sumber Bahan


Pangan (Juta Ha).......................................................................

83

3.
4.

8.
9.
10.

DARTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi ...................

20

2.

Kurva Indifferens......................................................................

22

3.

Kuurva Penawaran Menurut Nilai Elastisitas Harga dari


Penawaran yang Berbeda ........................................................

29

Permintaan dan Penawaran dengan Harga Dasar pada


saat Panen Raya ....................................................................

33

Permintaan dan Penawaran dengan Harga Atap pada


saat Paceklik ..........................................................................

34

6.

Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional .........................

38

7.

Bagan Kerangka Model Ekonometrika ....................................

41

8.

Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia


Tahun 1970-1979 .................................................................

62

Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia


Tahun 1980-1989......................................................................

65

Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia


Tahun 1990-1999......................................................................

66

Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia


Tahun 2000-2006 .................................................................

69

4.
5.

9.
10.
11.

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1.

Data yang Digunakan Dalam Model Ekonometrika.................

93

2.

Output Komputer Dugaan Model Ekonometrika ....................

96

3.

Output Komputer Hasil Uji Autokorelasi ................................

98

4.

Output Komputer Hasil Uji Heteroskedastisitas.......................

102

5.

Output Komputer Hasil Validasi Model ................................

106

xii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka
urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang vital bagi manusia. Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman (BKP- Departemen Pertanian, 2008).
FAO (2008) dalam Suryana (2008) menyatakan bahwa, pangan merupakan
kebutuhan dasar manuasia (HAM), pemerintah wajib menyediakan pangan yang
layak. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Roma tahun 1996 pada KTT Pangan
Dunia dan Deklarasi Millenium (MDGs) tahun 2000 yang menyepakati penurunan
jumlah penduduk lapar hingga setengahnya pada tahun 2015, dan International
Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICOSOC) yang diratifikasi
dengan UU No. 11 Tahun 2005 yang berisi tentang; Pertama, Hak setiap orang
atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan. Kedua,
Setiap orang harus bebas dari kelaparan. Pangan merupakan kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia. Jika terjadi
kelangkaan dalam kebutuhan vital ini maka keseimbangan dalam kehidupan
manusia juga akan terganggu.
Saat ini dunia sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan
meningkatnya harga-harga sektor pangan, khususnya harga makanan pokok dunia.
Harga beras dan gandum kian melambung dengan permintaan atas komoditi
tersebut juga semakin meningkat. Permintaan impor bahan pangan dari negara-

negara penghasil bahan pokok pun semakin meningkat. Produksi bahan pangan
dunia pun sedang menurun akibat banyaknya bencana alam yang melanda
darerah-daerah produktif serta alih fungsi lahan produksi pangan menjadi lahan
produksi komoditi lain. Adapun stok pangan dunia pada tahun 2006-2007 dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Stok Pangan Dunia (Juta Ton) 2006-2007
No.
Komoditi
2006/2007 2007/2008 (%)
1.
Beras
105,5
105,0
-0,47
2.
Jagung
119,4
103,0
-13,70
3.
Kedelai
61,1
47,3
-22,57
4.
Gandum
159,5
144,5
-9,40
5.
Sawit
5,4
5,7
5,00
Sumber
: FAO food outlook dalam Suryana (2008)
Keterangan : Stok jagung adalah perkiraan tahun 2008 dan ramalan tahun 2009.
Berdasarkan Tabel 1 kita dapat melihat bahwa stok pangan dunia yang
terdiri dari beras, jagung, kedelai dan gandum mengalami penurunan pada tahun
2008. Untuk itu membangun ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama
untuk mengatasi krisis pangan, karena kondisi krisis pangan mempunyai dampak
besar bagi suatu bangsa dan berimbas pada sektor-sektor lain. Sektor yang
berhubungan erat adalah sektor ekonomi. Krisis pangan akan menyebabakan
produktivitas rendah dan memicu krisis ekonomi, krisis pangan juga akan
mengakibatkan tingginya harga komoditas tersebut. Hal ini juga akan berakibat
pada kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia pada khususnya, karena akan
meningkatkan kemiskinan yang akhirnya memicu keresahan/kerusuhan. Selain itu
krisis pangan pun dapat mempengaruhi stabilitas politik suatu bangsa menjadi
instabil.
Semua negara di dunia memandang penting ketahan pangan dan gizi,
begitupun negara Indonesia. Pemerintah Indonesia yang terdiri dari Presiden,

Gubernur, Bupati/Walikota pada berbagai dokumen pembangunan nasional


menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan.
Karena membangun ketahanan pangan merupakan hal yang seharusnya dilakukan
oleh suatu negara, pembangunan ketahanan pangan memerlukan cakupan luas,
keterlibatan lintas sektor, multidisiplin, dan penekanan pada basis sumberdaya
lokal (impor pangan; the last resort). Adapun operasionalisasi ketahanan pangan
pada berbagai tingkat pemerintahan di Indonesia yaitu pada tingkat nasional
dilakukannya swasembada pada komoditas strategis, pada tingkat propinsi,
kabupaten/kota dan desa dengan melakukan pemanfaatan potensi lokal dan pada
tingkat masyarakat dilakukannya peningkatan kemampuan fisik, sosial, politik
dan ekonomi (BKP-Departemen Pertanian, 2008). Negara Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan pangannya masih tergantung pada negara lain, seperti yang
terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Posisi Indonesia dalam Impor Pangan di Tingkat Dunia Tahun
2001- 2005
Komoditas

Rata-Rata Impor Peringkat


5 Tahun (000 Ton) Impor di Dunia

Beras
437,99
Jagung
962,24
Kedelai
1.180,55
Daging sapi
13,60
Gula
822,76
Sumber : FAO dalam Suryana (2008)

13
22
11
33
2

Negara Pengimpor
Terbesar di Dunia
Nigeria
Japan
China
USA
Belgium

Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia harus dapat


mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satunya yaitu melalui
pencapaian swasembada pangan, khususnya beras yang merupakan bahan pokok
yang sangat penting. Oleh karena itu, swasembada pangan yang dalam hal ini
adalah swasembada beras harus terwujud seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional.

Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras dipengaruhi oleh budaya


dimana padi merupakan tanaman asli Asia. Selain itu sebagian besar masyarakat
Indonesia sangat percaya, bahwa padi adalah anugrah dari Yang Maha Pencipta
sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Membudidayakan
tanaman padi adalah wujud rasa syukur dan penghormatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Dilihat dari sisi produksi, meskipun selama kurun waktu 37 tahun
mengalami trend meningkat, namun dengan terjadinya konversi lahan sawah ke
non sawah, banyaknya bencana alam dan perubahan iklim yang saat ini sering
terjadi akan berdampak terhadap produksi beras nasional. Analisis produksi dan
konsumsi beras sangat penting untuk melihat senjang (gap) yang terjadi, sehingga
dapat diambil langkah kebijakan yang tepat dalam rangka pencapaian
swasembada beras di Indonesia.
Oleh karena itu, maka dalam penelitian ini akan dilihat perkembangan
produksi dan konsumsi beras yang telah terjadi di Indonesia selama 37 tahun
terakhir, sehingga diperoleh informasi yang dapat mendukung tercapainya
swasembada beras di Indonesia dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia, sehingga dapat
diperkirakan bagaimana senjang antara produksi dan konsumsi beras di Indonesia
pada masa yang akan datang, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil langkah kebijakan yang tepat bagi pemerintah
untuk meraih swasembada beras di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Pada masa lalu Indonesia berhasil maningkatkan produksi padi dengan
kenaikan yang sangat mengesankan sehingga mengantarkan Indonesia menjadi

negara yang swasembada beras pada tahun 1984, namun setelah itu kondisi
Indonesia mengalami kemunduran dibidang ketahanan pangan. Ketergantungan
terhadap beras sebagai pangan pokok menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan
beras harus dipenuhi melalui impor beras.
Saat ini Indonesia kembali mengupayakan swasembada beras yang pada
masa lalu pernah dicapainya. Di saat dunia sedang mengalami krisis keuangan
global, Indonesia tidak mengalami krisis pangan sebagaimana yang dialami
sebagian negara-negara di dunia, karena menurut data yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 Indonesia mencapai swasembada beras,
produksi tahun ini meningkat 3,12 juta ton gabah kering giling (GKG) atau
meningkat 5,46 persen dari tahun 2007.
Indikator swasembada beras juga ditunjukan pula dengan keberhasilan
Indonesia untuk tidak mengimpor beras selama tahun 2008 berlangsung. Bahkan
Indonesia secara tidak langsung telah berpartisipasi menurunkan harga beras
dunia akibat stok beras dunia tidak dibeli Indonesia. Dengan dijualnya cadangan
beras yang semula dicadangkan untuk Indonesia ke pasaran internasional, maka
harga beras dunia mulai menurun. Meningkatnya produksi padi nasional dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ketersediaan dan Konsumsi Beras (Ton) Tahun 2005-2008
No Uraian
2005
2006
2007
1.
Produksi padi
54.151.097 54.454.937 57.157.435
(GKG)
2.
Ketersediaan beras 30.668.730 30.840.811 32.371.384
3.
Konsumsi
30.592.434 30.995.189 31.398.084
4.
Impor beras
189.000
437.889
1.293.980
5.
Stok akhir
2.035.324 2.318.835
4.586.114
Sumber : BPS, diolah BKP dalam Suryana (2008)

2008
60.279.897
34.139.805
31.799.017
6.926.902

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada data empat tahun terakhir produksi
beras nasional menunjukan perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2005

produksinya mencapai 54.151.097 Ton, maka pada tahun 2006, 2007, 2008
masing-masing produknya meningkat menjadi 54.454.937 Ton (0,56%),
57.157.435 Ton (4,96%), 60.279.897 Ton (5,46%).
Meskipun sudah diakui keberhasilan poduksi padi yang terus meningkat,
namun masih ada sejumlah kendala yang menjadi tantangan. Pertama, jumlah
pupuk bersubsidi yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan yang diusulkan
daerah. Kedua, masih ada penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi diluar
peruntukannya. Ketiga, pabrik pupuk masih beroperasi dibawah kapasitas
terpasang, karena keterbatasan pasokan bahan baku gas maupun non gas.
Keempat, belum optimalnya pelaksanaan pengawasan di daerah.
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah kemajuan
produksi beras dapat dipertahankan dan apakah swasembada beras seperti yang
diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan. Sedangkan masih banyak faktorfaktor yang kurang mendukung dalam pencapaian swasembada beras diantaranya
yaitu keterbatasan lahan petani serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk.
Menurut Notohadiprawiro (1998) dalam Sisworo (2006) berdasarkan data yang
ada, di pulau Jawa setiap tahun terjadi alih guna lahan pertanian untuk
penggunaan non-pertanian seluas 15.000-20.000 Ha. Di Indonesia, kepemilikan
lahan hanya 358 m2 per orang jauh dibandingkan Thailand yang mencapai 1.500
m2 per orang. Sementara itu infrastruktur yang ada belum memadai, lebih dari
20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi sentra produksi
nasional rentan terhadap kekeringan (BKP-Departemen Pertanian, 2008). Selain
itu faktor lain yang tidak mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim
saat ini semakin tinggi intensitasnya.

Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang ingin dijawab dalam


penelitian ini :
1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras
di Indonesia?
3. Berdasrkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
beras di Indonesia, berapa jumlah produksi dan konsumsi beras dalam lima
tahun mendatang (2009-2013), serta bagaimana implikasinya terhadap
swasembada beras di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
beras di Indonesia.
3. Memproyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dalam lima
tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap swasembada
beras di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1. Bagi pemerintah, semoga dapat memberikan Informasi tambahan dalam
menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan dimasa yang akan
datang dalam upaya mengatasi masalah beras.
2. Bagi pembaca, tulisan ini semoga bermanfaat sebagai referensi, penyedia
informasi, literatur, dan bahan melakukan penelitian lanjutan.

3. Bagi penulis sendiri, diharapkan penelitian ini dapat menambah


pengalaman dan pengembangan wawasan serta dapat dijadikan sebagai
aplikasi dari ilmu yang telah didapat selama menuntut ilmu di Institut
Pertanian Bogor.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis produksi dan konsumsi beras
di Indonesia serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Data
yang digunakan merupakan data time-series tahun 1969-2006. Komoditi beras
dalam penelitian ini adalah beras secara umum bukan beras dengan jenis atau
kualitas tertentu.
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, namun tujuan penelitian
ini masih bisa dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Adapun keterbatasan
dari penelitian ini diantaranya; beberapa faktor seperti adanya kebijakan dan nonkebijakan perberasan di Indonesia diasumsikan sama (cateris paribus) dan data
yang digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak
menggambarkan fluktuasi harga bulanan dan musiman.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Beras sebagai Komoditas Pangan Pokok
Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari,
mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar.
Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh
sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis
komoditas lain (Khumaidi, 1997).
Beras adalah hasil olahan dari produk pertanian yang disebut padi (Oryza
sativa). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan pokok bagi
bangsa Asia, khususnya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang, dan
Myanmar (Ambarinanti, 2007).
Beras merupakan komoditas unik, tidak saja bagi Indonesia tetapi juga
bagi sebagian besar negara Asia. Menurut Dawe (1997) dan Tsuji (1998) dalam
Amang dan Sawit (1999) karakteristik beras adalah sebagai berikut :
1) 90% produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda dengan
gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia.
2) Beras yang di perdagangkan di pasar dunia tipis (thin market) yaitu antara 4%5% total produksi, berbeda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya seperti
gandum (20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya volume
beras yang diperdagangkan merupakan sisa konsumsi dalam negara. Semakin
tidak stabilnya harga beras dunia (atau harga beras dalam negeri suatu negara),
semakin besar tingkat self-sufficiency yang dianut oleh suatu negara, demikian
juga rumah tangga tani di Asia.
3) Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya,
misalnya gandum.

4) 80% perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu; Thailand, Amerika
Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras
internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan
oligopoli tersebut.
5) Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada periode 19971998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia.
6) Hampir banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan
political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak stabil dan
tinggi.
2.2. Kebijakan Perberasan
Beras merupakan komoditas strategis,

sehingga kebijakan perberasan

menjadi penentu kebijakan pangan nasional dalam pemenuhan hak pangan dan
kelangsungan hidup rakyat. Kebijakan perberasan juga merupakan bagian penting
kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Hampir semua
pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu
melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti
beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik. Adapun kebijakan perberasan
di Indonesia terdiri dari:
1) Kebijakan Peningkatan Produksi Padi/Beras
Untuk memenuhi kebutuhan akan beras maka pemerintah melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri. Upaya
meningkatkan produksi padi telah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Secara ringkas perubahan kebijakan peningkatan produksi padi dapat dilihat pada
Tabel 4.

10

Tabel 4. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran


Program
Tahun Hard Technology Soft Technology
Evaluasi
Padi Sentra 1959
Varietas Si gadis, Komando Operasi Tidak berhasil,
Jelita, Dara dan
Gerakan Makmur kurang partisipasi
Bengawan
petani
Bimbingan
Masal

1965

Varietas Si Gadis, Perbaikan


Jelita, Dara dan
kelembagaan dan
Bengawan
kredit

Intensifikasi
Masal

1968

Pengenalan
varietas PB5 dan
PB8 (IRRI)

Sama dengan padi Gagal karena


sentra, tanpa
masalah
kredit
pendanaan

Bimas
Gotong
Royong

1969

Penggunaan
varietas PB5 dan
PB8

Penguatan
kelembagaan
modal swasta

Munculnya
Koperasi Unit
Desa (KUD)

Supra
Intensifikasi
Khusus

1987

Sapta Usahatani

Penguatan
kelompok tani

Kurang berhasil,
produksi stagnan

SUPTA

1995

Varietas Cibodas
dan Membramo

Diversifikasi
pertanian

Tidak Berhasil

INBIS

1997

Varietas Cibodas
dan Membramo

Pendampingan
Petani

Gagal karena El
Nino

Gema
Palagung

1998

Sapta Usaha Tani

Kredit Usaha tani


(KUT)

Kurang berhasil,
kredit macet

Corporate
Farming

2000

Varietas Cibodas
dan Membramo

Konsolidasi
Petani
sehamparan

Gagal karena
kesalahan
persepasi petani

Proyek
Ketahanan
Pangan

2000

Varietas Cibodas
dan Membramo

Bantuan dana
langsung

Kurang berhasil,
petani sulit
dimonitor

Perpaduan
Sumberdaya

Kelompok usaha
agribisnis dan
penguatan modal

Kurang berhasil,
tekanan
kerjasama luar
negeri

Bantuan benih,
Pupuk bersubsidi,
pupuk organik,
perbaikan irigasi

Pengendalian
OPT, manajemen
pasca panen dan
kelembagaan

Berhasil
meningkatkan
produksi 2,6 juta
ton

Pengelolaan 2001
tanaman dan
Sumberdaya
Terpadu
Program
2007
Peningkatan
Beas
Nasional
Sumber: Pratiwi (2008)

Varietas unggul
meluas

11

Melalui berbagai kebijakan tersebut, produksi padi nasional terus


mengalami peningkatan akibat peningkatan produktivitas dan luas areal panen.
Peningkatan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia
berswasembada beras.
2) Kebijakan Harga Beras
Harga-harga komoditas pertanian memegang peranan penting baik secara
ekonomi maupun politik karena mempunyai pengaruh yang besar bagi pendapatan
petani dan kesejahteraan konsumen. Telah banyak upaya dilakukan pemerintah
dalam meningkatkan produksi pertanian dan sekaligus memperbaiki tingkat
kesejahteraan petani melalui berbagai macam program intensifikasi dan
ekstensifikasi, namun berdasarkan pengalaman selama ini, bagaimanapun
bagusnya konsep-konsep yang mendasari semua program tersebut, selama harga
jual yang diterima petani tidak turut diperbaiki oleh pemerintah, usaha-usaha
pemerintah tersebut tidak akan membawa hasil yang optimal.
Rangsangan ekonomi dalam bentuk tingkat harga yang menguntungkan
merupakan faktor paling penting bagi petani untuk meningkatkan produksinya,
seperti juga yang berlaku bagi setiap produsen disektor lainnya. Petani pada
akhirnya akan merasa tidak ada untungnya memperluas lahan garapan,
menerapkan teknologi baru dan menggunakan pupuk berkualitas baik apabila
semua hal tersebut tidak menambah penghasilan netonya (Tambunan, 2003).
Untuk memberikan jaminan pada para petani bahwa hasil produksinya
akan dibeli pada harga yang ditetapkan pemerintah atau perusahaan yang telah
ditunjuk, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar gabah dan beras (floor
price). Kebijakan ini juga berfungsi sebagai insentif bagi petani untuk
meningkatkan produksi.

12

Penetapan harga dasar gabah, sudah dilakukan sejak 1969. Pemerintah


menunjukan perhatian yang besar untuk dapat merangsang produksi. Dampak
positif ini terlihat bahwa kenaikan produksi beras selama tiga pelita dicapai karena
peran insentif harga dasar dan harga pupuk serta pestisida sebesar 40%.
Sedangkan faktor-faktor yang lain seperti benih unggul, irigasi dan pengetahuan
dari petani secara bersama-sama menyumbang sebesar 60% bagi kenaikan
produksi padi (Amang dan Sawit, 1999).
Melalui Impres No.9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus
merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah
Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi
sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HPP pemerintah hanya menjamin
harga gabah pada tingkat tertentu dilokasi yang telah ditetapkan, tidak lagi
menjamin harga gabah minimum di tingkat petani. HPP berlaku di gudang Bulog,
bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG, sehingga tidak lagi
memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi padi (Pratiwi,
2008).
Untuk melindungi konsumen, pemerintah (Bulog) menetapkan harga
eceran tertinggi lokal. Untuk memenuhi permintaan pada suatu saat dan pada
suatu tempat, Bulog melakukan penyebaran persediaan di seluruh Indonesia.
Orientasi Bulog dalam distribusi pangan adalah harga, sesuai dengan tugas pokok
Bulog untuk menstabilkan harga. Penyediaan persediaan pangan oleh Bulog
memiliki tujuan yaitu menjaga variasi harga antar musim dan antar tempat
(Amang dan Sawit, 1999).

13

Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga kini
adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM
merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga
beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara
pemotongan harga sekitar 10% 15% di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal dari OPK
adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan
saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan
Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK
diubah namanya menjadi Raskin ( Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin
juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang
volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan
kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).
3) Kebijakan Impor
Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat
ketergantungan impor beras Indoesia. Kebijakan impor diimplementasikan
melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan restriksi nontarif. Adanya
liberalisasi pertanian pada tahun 1998 diwujudkan dengan menghapus berbagai
instrumen kebijakan, diantaranya dengan pencabutan monopoli impor beras oleh
Bulog pada akhir tahun 1999 dan impor terbuka bagi siapa saja, serta adanya
pembebasan bea masuk impor, sehingga mendorong banjirnya impor beras. Hal
ini menyengsarakan petani Indonesia, terutama petani kecil.
Pada tahun 2000, pemerintah melakukan kebijakan protektif dengan
menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430/kg (30% ad volarem). Nilai tarif
ini ternyata lebih kecil dari tariff line yang telah dicatatkan di WTO yaitu sebesar

14

40%, kacuali untuk beras bound rate (160%) dan gula (95%) untuk periode 19952004. Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004
menjadi sebesar Rp 450/Kg yang berlaku mulai awal 2005. Ternyata pengenaan
tarif spesifik tersebut tidak efektif mengangkat harga beras dalam negeri dan
justru mendorong terjadinya penyelundupan beras ke Indonesia (Pratiwi, 2008).
Sebagai alternatif dari kebijakan tarif, pemerintah menerapkan kebijakan
pengaturan impor beras berdasarkan kepmen Perindag No. 9/MPP/Kep/1/2004
yang mengatur pelarangan impor beras satu bulan sebelum dan dua bulan setelah
panen raya, sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada
bulan Januari-Juni, dan pada periode di luar panen raya beras impor dapat masuk
dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu. Proteksi non
tarif juga dilakukan melalui quota tarif dan pengawasan jalur perdagangan.
4) Kebijakan Distribusi
Kebijakan distribusi bertujuan untuk menjamin ketersediaan pangan
sepanjang tahun secara merata dan terjangkau di seluruh lapisan masyarakat.
Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan karena beras
memiliki ciri membutuhkan waktu dalam penyediaannya. Lag penyediaan beras
terjadi karena produksi padi sangat tergantung musim tanam. Karena itu pada
bulan-bulan tertentu, terutama pada musim panen raya (Februari-Mei), pasokan
beras melimpah. Sedangkan pada musim paceklik (Agustus-September) pasokan
beras cenderung berkurang, bahkan sering terjadi kerawanan pangan pada daerahdaerah tertentu. Persediaan beras antar daerah tidak merata karena kemampuan
produksi antar wilayah tidak sama. Sehingga pengaturan distribusi pangan yang
baik sasngat diperlukan.

15

Proses distribusi beras di Indonesia dilakukan dengan dua cara yaitu


melalui Bulog dan mekanisme pasar. Bulog hanya menguasai sekitar 10% market
share beras, sedangkan sisanya melalui mekanisme pasar. Bulog hanya berperan
sebagai stabilisator harga untuk pengadaan beras dalam negeri, bukan sebagai
penentu harga pasar beras secara keseluruhan. Pembelian gabah secara nasional
bertujuan memberikan harga yang wajar pada petani terutama pada saat panen
raya melalui HPP, sebagai sumber pengadaan dalam negeri. Kemudian gabah dan
beras hasil pengadaan dalam negeri akan menjadi persediaan yang tersimpan
dalam gudang-gudang (Divre) di seluruh tanah air sebagai Cadangan Beras
Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton (buffer stock) yang dapat digunakan
pemerintah sebagai sumber bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan
suplai pasar tertentu. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas CBP, pemerintah
menugaskan Bulog untuk mendistribisikannya kepada keluarga miskin melalui
Raskin. Dibandingkan dengan jumlah konsumsi total, besarnya CBP tersebut
belum merepresentasikan pengaruh Bulog terhadap distribusi beras dalam negeri.
Sebagian besar distribusi beras di Indonesia (lebih dari 90%) melalui mekanisme
pasar.
2.3. Revitalisasi Pertanian
Dalam rangka pemantapan ketahanan pangan masyarakat, pemerintah
kabinet Indonesia Bersatu pimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
membangun strategi revitalisasi pertanian yang merupakan salah satu dari strategi
tiga jalur (triple-track strategy) yang berazas pro-growth, pro-employment, dan
pro-poor. Selengkapnya, ketiga jalur strategi itu adalah: (1) peningkatan
pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan
ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan

16

kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, (3) revitalisasi sektor pertanian dan
pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, sebagaimana disebut
sebelumnya (Arifin, 2007).
Strategi

tersebut

telah

dijabarkan

lebih

lanjut

dalam

Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka


Menengah (RPJM). Selanjutnya masing-masing departemen atau lembaga
merumuskan secara spesifik program masing-masing sesuai tugas dan fungsinya
dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) dengan mengacu pada kedua dokumen
tersebut.
Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk
menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan
konstektual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan
kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional
dengan tidak mengabaikan sektor lain (Deptan, 2005).
2.4. Konsep Produksi
Model hubungan anatara masukan dan keluaran diformulasikan dengan
fungsi produksi yang berbentuk q = f(K, L, M....), dimana q mewakili keluaran
untuk suatu barang tertentu dalam satu periode, K mewakili penggunaan modal
selama periode tersebut, L mewakili jam masukan tenaga kerja. M mewakili
bahan mentah yang dipergunakan, dan notasi ini menunjukan kemungkinan
variabel-variabel lain mempengaruhi proses produksi. Menurut Nicholson, (1991)
juga mengatakan produk fisik marginal dari sebuah masukan adalah keluaran
tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari
masukan tersebut sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan.

17

Fungsi produksi merupakan hubungan kuantitatif antara masukan dan


produksi. Masukan seperti pupuk, tanah, tenaga kerja, modal, dan iklim yang
mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Tidak semua masukan
yang dipakai dianalisis, hal ini tergantung penting tidaknya pengaruh masukan itu
terhadap produksi. Jika bentuk fungsi produksi diketahui, maka informasi harga
dan biaya yang dikorbankan dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi
masukan yang baik. Namun biasanya petani sulit melakukan kombinasi ini,
menurut Soekartawi, (1990) karena:
1) Adanya ketidaktentuan mengenai cuaca, hama, dan penyakit tanaman.
2) Data yang dipakai untuk melakkukan pendugaan fungsi produksi mungkin
tidak benar.
3) Pendugaan fungsi produksi tidak hanya diartikan sebagai gambaran rata-rata
suatu pengamatan.
4) Data harga dan biaya yang dikorbankan mungkin tidak dilakukan secara pasti.
5) Setiap petani dan usaha taninya mempunyai sifat yang khusus.
Oleh karena itu keputusan penggunaan faktor produksi baik dalam
kuantitas maupun kombinasi yang dibutuhkan dalam satu tingkat produksi
ditentukan oleh petani. Dalam suatu penelitian biasanya faktor-faktor yang relatif
dapat dikontrol dimasukan kedalam peubah bebas, sedangkan faktor-faktor yang
relatif kurang dapat dikontrol biasanya diperhitungkan sebagai galat.
Bentuk persamaan matematis dari fungsi produksi pada dasarnya
merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan
melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang
sesungguhnya begitu kompleks dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi

18

produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan


produksinya, serta suatu gambaran dari semua metode produksi yang efisisen.
Secara matematis, fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut :
Y = f(X1, X2, X3,....Xn)
Dimana:
Y

= Jumlah produksi

Xn

= Faktor-faktor produksi
Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan

atas tiga daerah yaitu :


1) Daerah I (daerah rasional atau kenaikan hasil yang selalu bertambah). Daerah
dengan elastisitas produksi lebih besar dari satu, sehingga setiap penambahan
faktor produksi sebesar satu persen mengakibatkan penambahan produksi
lebih dari asatu persen. Pada daerah ini keuntungan maksimum belum tercapai
karena produksi masih dapat ditingkatkan dengan pemakaian faktor produksi
yang lebih banyak, dengan asumsi cukup tersedia faktor produksi.
2) Daerah II (daerah rasional atau kenaikan hasil tetap). Daerah dengan
elastisitas produksi antara 0 dan 1, sehingga setiap penambahan faktor
produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi
paling tinggi satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Pada daerah ini
keuntungan maksimum akan tercapi karena faktor produksi telah digunakan
secara maksimum.
3) Daerah III (daerah irasional atau kenaikan hasil negatif). Daerah yang
elastisitas produksi lebih kecil dari nol, sehingga setiap penambahan faktor
produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar

19

nilai elastisitasnya. Pada daerah ini mencerminkan bahwa pemakaian faktor


produksi sudah tidak efisien.
Hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan
dalam suatu proses produksi seperrti yang tergambar dibawah ini :
Y

c
b
PT
a

0
Y

PR
X

0
PM
Keterangan :
a
: PM maksimum
b
: e = 1, PR maksimum
c
:e=0
0-b
: Daerah I
(EP > 1)
b-c
: Daerah II
(0 < EP < 1)
c >> : Daerah III (EP < 1)

X
Y
PT
PR
PM

: Hasil Produksi
: Faktor Produksi
: Produk Total
: Produk Rata-Rata
: Produk Marginal.

Sumber : Soekartawi, 1990

Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah-Daerah Produksi

20

Menurut Soekartawi (1990), beberapa model fungsi produksi yang dikenal


antara lain model linier, Cobb douglas, dan transendental. Model linear berganda
dan model Cobb-Douglas merupakan model yang paling sederhana serta mudah
dianalisis.
2.5. Konsep Konsumsi
Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan langsung oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Keynes menyatakan bahwa konsumsi
sangat bergantung pada pendapatan sekarang. Karena itu para ekonom terbaru
menyatakan bahwa konsumen memahami kalau mereka menghadapi keputusan
antar waktu. Konsumen menatap sumberdaya dan kebutuhan masa depan mereka,
yang menunjukan fungsi konsumsi yang lebih komleks dibanding fungsi
konsumsi yang Keynes berikan. Keynes menyatakan bentuk fungsi konsumsi :
Konsumsi = f (pendapatan sekarang)
Sedangkan studi terbaru menyatakan :
Konsumsi = f (pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan
yang diharapkan, tingkat bunga)
Dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan
dari konsumsi agregat (Mankiw, 2003).
Preferensi konsumen dapat ditunjukan oleh kurva indifferens, dimana
kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai
konsumen. Semakin tinggi kurva indifferens semakin tinggi pula tingkat kepuasan
konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik nol menunjukan kepuasan
yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Konsumsi barang pertama
lebih disukai daripada tingkat konsumsi yang kedua. Kurva ini memiliki
karakteristik :

21

1) Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari


asumsi ini adalah kurva indifferens tidak pernah bersinggungan dan
berpotongan satu sama lain.
2) Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih
banyak daripada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini
adalah kurva indiferens berslope negatif, yang merefleksikan prinsip umum
dimana individu akan mengorbankan barang untuk mendapatkan barang yang
mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
3) Kurva Indifferens menggambarkan efek subtitusi antara barang satu dengan
barang yang lainya. Misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1 : 2 maka
satu kenaikan barang X akan menyebabkan penurunan dua unit barang Y.
Good Y

I1 I2 I3

Good X
Sumber: Nicholson, 1991

Gambar 2. Kurva Indifferens


Pada Gambar 2, konsumen lebih memilih I3 daripada I2 dan lebih memilih
I2 daripada I1, tetapi tidak peduli pada posisi yang berada pada kurva indifferens.
Kemiringan (slope) dalam nilai absolut, dikenal dengan marginal rate of
subtitution, menunjukan besaran dimana konsumen bersedia mengorbankan suatu
barang untuk digantikan dengan suatu kelebihan yang lain. Pada kebanyakan

22

barang angka marginal of subtitution tidak konstan sehingga kurva indifferens


berbentuk

melengkung.

Kurva

berbentuk

cembung

terhadap

sumbu

menggambarkan efek subtitusi negatif. Bila harga naik sementara pendapatan


tetap, maka konsumen akan membeli sedikit barang yang mahal dengan
menggantinya pada kurva indiferens yang lebih rendah (Nicholson,1991).
2.6. Model Persamaan Simultan
Salah satu model ekonometrika yang sering digunakan dalam menganalisis
peubah-peubah ekonomi yang lebih kompleks, yaitu model persamaan simultan.
Menurut Gujarati (1997), persamaan simultan adalah model yang terdapat lebih
dari satu variabel tak bebas dan lebih dari satu persamaan. Suatu ciri unik dari
sistem persamaan simultan adalah bahwa variabel tak babas dalam satu persamaan
mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dari
sistem.
Menurut Pyndick dan Rubinfeld (1998), Sistem persamaan simultan dapat
memberikan gambaran yang lebih baik tentang dunia nyata dibandingkan dengan
model persamaan tunggal. Hal ini disebabkan karena peubah-peubah dalam
persamaan satu dengan yang lainnya dalam model dapat berinteraksi satu sama
lain. Suatu model ekonomi biasanya mengandung beberapa hubungan yang
merupakan sebuah sistem persamaan simultan. Karena itu dalam sistem
persamaan simultan ada kalanya tidak mudah membedakan antara peubah bebas
dengan peubah tak bebas dalam setiap persamaan.
2.7. Penelitian Terdahulu
Pratiwi (2008) dalam studinya mengenai efektifitas dan perumusan strategi
kebijakan beras nasional, memperoleh hasil bahwa prioritas pertama peningkatan
produksi padi adalah dengan membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan

23

Pemda terkait. Hal ini karena masih tingginya potensi peningkatan produksi di
masa mendatang tetapi ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua
adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya
lokal dan yang terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan
pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian
dapat dikurangi.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sari (2007), mengenai analisis
dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga, studi
kasus di Cipinang Jakarta Timur. Menyimpulkan bahwa beras merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang
menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras.
Farihah (2005) dalam penelitiannya, memperoleh hasil ramalan produksi
dan konsumsi beras dengan menggunakan data BPS menunjukan Indonesia dapat
mencapai swasembada beras untuk enam tahun yang akan datang (2006-2011).
Sedangkan dengan menggunakan deret data modifikasi Indonesia belum dapat
mencapai swasembada beras.
Malian dkk (2004) dalam studinya yang bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras, serta perubahan
harga beras domestik dan indeks harga bahan makanan. Dengan menggunakan
data sekunder yang bersumber dari BPS, Deptan dan Bulog yang diananlisis
dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil analisis menunjukan bahwa
kebijakan harga dasar gabah tidak akan efektif apabila tidak diikuti kebijakan
perberasan lainnya. Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh
adalah: (1) Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya,

24

impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras dipasar domestik.
(2) Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras dipasar
domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik,
dan nilai tukar riil. (3) Harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar
riil, harga jagung pipilan dipasar domestik dan harga dasar gabah.
Adnyana (!999) berdasasrkan studinya mengenai penerapan model
penyesuaian Nerlove dalam proyeksi produksi dan konsumsi beras, diperoleh
hasil proyeksi luas areal panen padi cenderung menurun dalam 14 tahun kedepan
(2000-2014) sebesar 0,013% per tahun, namun produksi padi cenderung
meningkat karena persentase peningkatan produktivitas lebih besar dari
penurunan luas areal panen. Dalam periode yang sama, konsumsi beras per kapita
diperkirakan menurun 0,014% per tahun. Bila tidak ada upaya khusus dalam
meningkatkan produksi padi dalam 14 tahun kedepan maka Indonesia
diperkirakan akan mengalami peningkatan defisit rata-rata 7,628% per tahun.
Mulyana (1998) menemukan bukti empirirs dari hasil penelitiannya,
bahwa ada beberapa respon dari para petani Jawa dan Bali dengan para petani
diluar Jawa dan Bali (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya) dalam
meningkatkan areal panen. Untuk Jawa dan Bali harga gabah mempunyai
pengaruh posotif terhadap areal dalam

bentuk rasio terhadap harga pupuk.

Sedangkan di luar Jawa dan Bali, yang berpengaruh positif terhadap areal panen
hanya harga gabah secara tunggal. Selain itu konversi lahan yang terjadi di Jawa
dan Bali berpengaruh negatif terhadap perluasan areal panen. Elastisitas rasio
harga gabah terhadap harga pupuk dalam jangka pendek di Jawa dan Bali sebesar
0,006 dan dalam jangka panjang sebesar 0,011. Sedangkan di Sumatra
elastisitasnya meningkat menjadi 0,020 dan 0,057. Begitu pula dengan

25

Kalimantan dan Sulawesi masing-masing untuk jangka pendek sebesar 0,188 dan
0,137 dan untuk jangka panjang sebesar 1,944 dan 0,759.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (1998), menunjukan hasil
evaluasi dengan simulasi diketahui bahwa dalam periode 1984-1996 swasembada
beras sebenarnya dapat dipertahankan apabila diterapkan kebijakan tunggal
menaikan haga dasar gabah 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, areal
intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% dari kecenderungan
perubahannya. Kebijakan harga dasar atau devaluasi rupiah akan meningkatkan
kesejahteraan petani, namun mengurangi kesejahteraan konsumen. Sebaliknya
kebijakan penambahan areal irigasi dan intensifikasi lebih berpihak kepada
konsumen dan akan merugikan petani karena bertambahnya produksi padi tidak
diiringi dengan peningkatan pengadaan secara proporsional sehingga harganya
turun.
Tabor et all (1989) dalam Ritonga (2004), mengungkapkan bahwa
rendahnya

elastisitas

harga

beras

memberikan

petunjuk

bahwa

usaha

mempertahankan harga beras tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan


beras. Permintaan beras lebih ditentukan oleh pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan daripada perubahan harga.
Respon areal panen yang diteliti oleh Lokollo (1986) dengan
menggunakan data series Indonesia 1969-1983 menemukan hasil bahwa faktorfaktor yang signifikan dalam areal panen adalah penggunaan varietas unggul,
harga pupuk dengan koefisisen elastisitas input masing-masing 0,3952 dan
-1,5434. Sedangkan dalam respon hasil produktivitasnya ditemukan tiga peubah
yang signifikan, yaitu: harga padi (0,127), penggunaan varietas unggul (0,463)
dan harga pupuk urea (-0,738).

26

III. KERANGKA PEMIKIRAN


3.1.

Kerangka Pemikiran Teoritis


Pada bagian ini akan dijelaskan teori yang berhubungan dengan penelitian

antara lain mengenai penawaran beras, permintaan beras, serta harga dan
intervensi pemerintah.
3.1.1. Penawaran Beras
Penawaran disektor pertanian adalah banyaknya komoditas pertaian yang
diproduksi/ditawarkan oleh para petani/produsen. Dalam hukum penawaran
dinyatakan bahwa semakin tinggi harga dari suatu barang semakin banyak jumlah
barang tersebut yang ditawarkan oleh produsen, karena rangsangan ekonominya
tinggi. Sebaliknya, semakin rendah harganya semakin sedikit jumlah yang
ditawarkan dengan sayarat bahwa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi
penawaran, seperti luas tanah, cuaca, dan sebagainya tidak berubah (cateris
paribus) (Tambunan, 2003).
Produksi suatu komoditas pertanian (Qg) dalam model agregat merupakan
fungsi dari masukan utama lahan (A), modal (K) tenaga kerja (L) dan masukan
lainnya (Z), yaitu :
Qg = p(A, K, L, Z) ................................................................................. (1)
Penentuan

keputusan

produksi

itu

didasarkan

atas

pilihan

(1)

meminimumkan biaya, (2) memaksimumkan produksi pada ketersediaan tertentu.


Kedua pilihan itu ditujukan untuk mencapai keuntungan maksimum dan hasil
pemecahannya akan sama (Handerson dan Quand, 1980 dalam Mulyana, 1998),
maka fungsi keuntungan produsen dapat dirumuskan sebagai berikut:
= Pg*q(A,K,L,Z) Pa*A Pk*K PL:*L - Pz*Z - Bt ...................... (2)

27

Dimana Pg adalah harga komoditi (dalam penelitian ini adalah gabah), Pa harga
masukan A, Pk harga masukan K, PL harga masukan L, Pz harga masukan Z dan
Bt adalah biaya tetap.
Dengan melakukan penurunan secra prosedur matematika, sehingga dari
persamaan akan dihasilkan:
NPMi = Pi ................................................................................................ (3)
NPMi nilai produksi marjinal dari masukan i, dan i adalah A, K, L, Z,
sementara Pi adalah harga masukan i. Kemudian dari persamaan (3) dapat
diturunkan fungsi permintaan masing-masing masukannya yaitu:
A = a(Pa, Pg, Pk, PL, Pz) ......................................................................... (4)
K = k(Pk, Pa, Pg, PL, Pz) ......................................................................... (5)
L = l(PL, Pa, Pg, Pk, Pz) .......................................................................... (6)
Z = z(Pz, Pa, Pg, Pk, PL) ......................................................................... (7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4) hingga (7) ke persamaan (1) maka
menurut pendekatan masukan produksi akan diperoleh persamaan penawaran
sebagai berikut:
Qg = g(Pg, Pa, Pk, PL, Pz) ....................................................................... (8)
Jadi penawaran merupakan fungsi dari harga gabah (Pg) dan harga faktor produksi
(Pa, Pk, PL, dan Pz).
Besar kecilnya pengaruh harga komoditas pertanian terhadap jumlah yang
diproduksi tergantung pada nilai elastisitas harga dari penawaran. Semakin besar
niali elastisitasnya, semakin besar perubahan penawaran atau lebih besar daripada
perubahan (Gambar 3A). Sebaliknya, jika nilai elastisitasnya semakin kecil,
perubahan jumlah barang yang ditawarkan juga semakin kecil, atau persentase
perubahannya lebih kecil daripada persentase perubahan harganya, atau jumlah

28

yang ditawarkan tidak berubah sama sekali jika nilai elastisitasnya nol (Gambar
3B) (Tambunan, 2003).
(A)

(B)

P1
P0

Q0

Q1

Sumber : Tambunan (2003)

Gambar 3. Kuurva Penawaran Menurut Nilai Elastisitas Harga dari Penawaran


yang Berbeda.
Produksi padi dipengaruhi oleh luas areal panen dan produktivitas. Faktor
faktor yang mempengaruhi luas areal panen selain harga gabah (Pg) adalah harga
masukan (Pi), upah tenaga kerja (W) luas areal irigasi (I). Maka fungsi luas areal
panen tersebut, sebagai berikut:
At = a( Pgt, Pit, Wt, It) ............................................................................. (9)
Sementara itu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivityas padi
adalah harganya sendiri (Pg), upah tenaga kerja (W), jumlah penggunaan masukan
(M), dan Luas areal intensifikasi (N). Dengan demikian fungsi Produktivitas dapat
dituliskan sebagai berikut :
Yt = y(Pgt, Wt, Mt, Nt) .......................................................................... (10)
Karena itu pula produksi padi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Qgt = At*Yt ........................................................................................... (11)

29

Produksi beras merupakan hasil pengolahan (penggilingan) gabah, yaitu produksi


padi/gabah dikalikan dengan suatu faktor konversi (K), yang nilainya sebesar 0,63
sesuai dengan angka yang berlaku saat ini.
Qbt = Kt*Qgt ......................................................................................... (12)
3.1.2. Permintaan Beras
Permintaan suatu komoditi pertanian adalah banyaknya komoditi pertanian
yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 2002). Menurut
Koutsoyiannis (1977) secara konseptual, permintaan merupakan suatu fungsi yang
dipengaruhi oleh banyak peubah (multivariate), faktor-faktor terpenting yang
mempengaruhi permintaan adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang
lain, pendapatan serta selera.
Fungsi permintaan beras diturunkan dari fungsi utilitas konsumen. Fungsi
utilitas dapat dirumuskan sebgagai berikut:
U = u (Qd, Qn) ..................................................................................... (13)
dengan kendala:
Y = Pb*Qd + Pn*Qn . (14)
dimana :
U

= Tingkat utilitas konsumen

Qd

= Jumlah konsumsi beras

Qn

= Jumlah konsumsi non beras

= Tingkat pendapatan

Pb

= Harga beras

Pn

= Harga konsumsi non beras


Dari persamaan (13) dan (14) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang

akan dimakasimumkan sebagai berikut:

30

L U = u(Qd,Qn) + (Y Pb*Qd + Pn*Qn) .......... (15)


dimana adalah koefisien pengganda Lagrange.
Diasumsikan bahwa syarat turunan kedua dari L untuk maksimisasi
berkendala dipenuhi, yaitu matriks Hessian-nya bernilai lebih besar dari nol. hasil
penyelesaian akhir dari penurunan tersebut adalah fungsi perminataan kedua
komoditas (Silberberg, 1981 dalam Mulyana,1998).
Qd = q( Pb, Pn, Y) ................................................................................ (16)
Qn = q(Pn, Pb, Y) . (17)
Pada persamaan (16) menunjukan bahwa permintaan beras dipengaruhi
oleh harga beras, harga komoditi lain dan pendapatan. Pada kenyataannya
permintaan beras tidak hanya dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut saja,
melainkan dipengaruhi juga oleh jumlah penduduk (O) dengan pengaruh yang
cukup besar. Dengan demikian kurva konsumsi beras dapat dituliskan:
Qdt = q(Pbt, Pnt, Yt, Ot) .. (18)
dimana:
Qdt

= Jumlah beras yang diminta

Pbt

= Harga beras

Pnt

= Harga komoditas pengganti/pelengkap

Yt

= Tingkat pendapatan

Ot

= Jumlah penduduk.

3.1.3. Harga dan Intervensi Pemerintah


Beras dipandang sebagai bahan pokok yang harganya tidak bisa
diserahkan kepada pasar bebas, sehingga membutuhkan intervensi kebijakan
harga. Perkembangan politik berperan penting dalam penentuan harga beras.
Meski demikian pertimbangan ekonomi menjadi tolak ukur dasar, terutama dalam

31

memprediksi konsekuensi dari intervensi yang diambil. Konsekuensi dari


intervensi harga diantaranya; stabilitas harga, surplus-defisit ketersediaan produk,
volume perdagangan, harga konsumen, dan biaya yang ditanggung pemerintah.
Tomek dan Robinson (1990) menyebutkan tujuan dari kebijakan harga
antara lain (1) untuk meningkatkan pendapatan petani, (2) melindungi petani
(terutama petani kecil) dan menekan tingkat eksodus dari desa ke kota, (3)
mencapai swasembada pangan dan mengurangi ketergantungan impor, (4)
mengurangi instabilitas harga produk, (5) menekan biaya konsumen dan
meningkatkan konsumsi pangan.
Kebijakan harga yang diatur oleh pemerintah terdiri dari kebijakan harga
dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceiling
price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen
tidak menurun jauh kebawah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan
diupayakan agar harga pasar minimal sama dengan harga dasar. Sebaliknya, harga
atap tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan
produksi terbatas. Dengan demikian kebijakan harga sangat efektif apabila harga
pasar berada diantara harga dasar dan harga atap. Dengan kata lain, kebijakan
harga dimaksudkan untuk melindungi produsen dari tekanan pasar yang tidak
berfungsi sempurna. Dalam keadaan harga pasar berada diantara harga dasar dan
harga atap, maka baik produsen maupun konsumen masing-masing tidak
dirugikan (Soekartawi, 2002).
Penerapan kebijakan harga dasar gabah dapat dijelaskan melalui kasus
dibawah ini, misalnya dalam kedaan panen raya, produksi sangat melimpah
sehingga harga pasar berada di bawah harga keseimbangan. Karena itu diperlukan
kebijakan harga dasar yang lebih tinggi dari harga pasar tersebut. Jadi andaikan

32

harga pasar adalah Pm dan harga dasar adalah Pf, maka Pf lebih besar daripada
Pm. Dengan berlakunya harga dasar ini, konsekuensinya pemerintah harus
membeli kelebihan produksi. Tentu saja kalau pasar dikehendaki bekerja pada
harga dasar. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 4. Pada gambar tersebut
terlihat bahwa OQ0 adalah besarnya produksi yang diminta masyarakat pada harga
pasar (Pm) Yang berada dibawah harga dasar (Pf). Bila harga dasar diberlakukan,
maka jumlah permintaan adalah sebesar OQ1. Namun agar harga dasar dapat
berfungsi dengan baik, maka pemerintah perlu membeli kelebihan produksi
(penawaran) sebesar Q1Q2. Dalam situasi seperti ini maka jumlah produksi yang
seharusnya dijual produsen adalah sebesar OQ2, yang dijual untuk konsumsi
masyarakat adalah sebesar OQ2 dan yang dibeli oleh pemerintah adalah sebesar
Q1Q2
Harga
D

Pf
Pm
S
0

D
Q1

Q0

Q2

kuantitas

Sumber : Soekartawi, 2002

Gambar 4. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Dasar pada saat Panen Raya
Selain harga di tingkat petani, dalam hal ini beras yang mekanisme
pasarnya banyak diintervensi pemerintah, perkembangan harga yang juga menjadi

33

perhatian adalah harga di tingkat konsumen. Untuk itu perlu diketahui bagaimana
perilaku harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagai berikut:
Pbt = pb(Qbt, Qdt, Pbt-1) ........................................................................ (20)
Harga beras (Pb) dipengaruhi oleh jumlah beras yang diproduksi (Qb), jumlah
konsumsi beras (Qd) dan harga beras yang berlaku periode sebelumnya.
Untuk melindungi konsumen, pemerintah menetapkan harga maksimum
atau harga atap (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan
pedagang kepada konsumen. Pada situasi paceklik yaitu pada saat jumlah
produksi yang tersedia terbatas, sementara jumlah konsumen tetap atau bahkan
terus bertamabah. Dalam keadaan seperti ini, harga pasar cenderung tinggi atau
lebih tinggi dari harga keseimbangan bila saja tidak diberlakukan harga atap.
Keadaan pada saat paceklik ini merupakan kebalikan dari situasi panen raya. Bila
pada saat panen raya pemerintah harus membeli sejumlah kelebihan produksi,
pada saat paceklik pemerintah harus menjual persediaan atau cadangan (Stock)
beras.
Harga

Pm
Pc
S
D
0

Q1

Q0

Q2

kuantitas

Sumber : Soekartawi, 2002

Gambar 5. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Atap pada saat Paceklik

34

Pada Gambar 5 terlihat bahwa OQ0 adalah jumlah produksi yang dijual
dan akan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (Pc). Disini
terlihat bahwa Pc lebih tinggi dari Pm. Bila tidak diberlakukan harga atap, maka
perbedaan Pc dan Pf akan semakin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka
jumlah produksi yang dijual adalah sebesar OQ1, pada saat itu harga pasar (Pm)
melebihi harga dasar. Agar harga atap tersebut berfungsi pada posisi Pm, maka
pemerintah perlu menjual stock sebesar Q1Q2. Dengan demikian situasinya
adalah sebagai berikut; komoditi pertanian yang berada di pasar sebesar OQ2
(yang terbeli pada harga pasar) yang terdiri dari produksi yang dijual produsen
sebesar OQ1 dan yang disuplai oleh pemerintah sebesar Q1Q2.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Saat ini dunia sedang mengalami krisis keuangan global, karena itu
sebagian negara

di dunia

mengalami krisis pangan. Bahkan pada tahun

2007/2008 terjadi lonjakan harga komoditas, baik di pasar domestik maupun


internasional. Harga beras di Thailand bahkan melambung hingga 800 dollar AS
per ton, beras Vietnam mencapai 600 dollar AS per ton. Begitu pula beras China,
India, dan Pakistan turut melonjak. Lonjakan harga komoditas memicu ketakutan
di negara-negara pengekspor beras. China, India dan Pakistan bahkan
menghentikan ekspor sementara waktu. Akibatnya suplai beras ke pasar dunia
merosot. Melihat gejala buruk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen
meningkatkan produksi tanaman beras, jagung dan kedelai (Kompas, Desember
2008)
Untuk menjaga ketahanan pangan, saat ini pemerintah Indonesia
mengupayakan sawasembada beras, karena swasembada pangan bagi negara
Indonesia dapat diartikan juga sebagai swasembada beras, karena beras

35

merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Perlu
diingat bahwa sejak munculnya Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman, sejak itu tidak ada lagi kemampuan pemerintah mengontrol
budidaya pertanian. Petani bebas memilih komoditas apa yang akan mereka tanam
tanpa ada tekanan atau paksaan untuk menanam komoditas tertentu yang
diinginkan pemerintah. Sejak itu impor beras terus meningkat dan puncaknya
tahun 1999, dimana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang
sejarah Indonesia. Melalui Undang-Undang itu pula, era liberalisasi budidaya
pertanian dimulai, karena tidak ada kendali pemerintah atas usaha tani. Satusatunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka
tanam adalah faktor keuntungan.
Dalam rangka memberikan insentif kepada petani untuk menanam padi,
pemerintah menaikan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, baik di
tingkat petani maupun usaha penggilingan, dengan begitu diharapkan keuntungan
petani meningkat dan muncul kegairahan untuk menanam padi. Hasil yang
diperoleh, luas tanam padi musim hujan periode Oktober 2007-Maret 2008
mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4% diatas pencapaian luas tanam pada periode
sama 2006/2007 (Kompas, Desember 2008).
Produktivitas sawah Indonesia sekarang ini menduduki peringkat ketiga
dunia, setelah China dan Vietnam, yaitu sebesar rata-rata 4,6 ton/ha. Sementara itu
negara Thailand yang telah berhasil mengekspor beras, tingkat produktivitasnya
hanya sebesar 3 ton/ha. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa faktor yang
kurang mendukung produktivitas sawah di Indonesia diantaranya, suplai pupuk
tahun 2007/2008 nyaris tanpa perubahan. Kelangkaan pupuk urea terjadi dimanamana sehingga banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya

36

banyak

tanaman

padi milik

petani

yang terlambat

dipupuk sehingga

pertumbuhannya tidak optimal. Dari 5,8 juta ton kebutuhan pupuk urea,
pemerintah hanya mampu mengalokasikan 4,3 juta ton pada musim tanam 2008
(kompas, Desember 2008). Selain itu faktor perubahan iklim yang tidak menentu
juga dapat menghambat produktivitas. Selain hambatan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas, tingginya laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian, serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk juga akan menghambat
swasembada beras di Indonesia.
Dengan beberapa faktor yang kurang mendukung diatas, hingga saat ini
masih ada komitmen yang kuat terutama dari pemerintah untuk swasembada
beras. Untuk itu dalam penelitian ini akan menguraikan perkembangan produksi
dan konsumsi beras di Indonesia dalam kurun waktu 37 tahun terakhir. Setelah itu
akan diduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di
Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan
simultan. Setelah melakukan identifikasi dan evaluasi model, akan dilakuakan
analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
beras di Indonesia.
Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah melakukan proyeksi
produksi dan konsumsi beras dalam negeri, dalam lima tahun ke depan 20092013. Parameter elastisitas yang diperoleh dari pendugaan model produksi dan
konsumsi beras di Indonesia, digunakan untuk membuat proyeksi produksi dan
konsumsi beras untuk lima tahun kedepan. Setelah itu akan dianalisis
implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
pemerintah dalam rangka pencapaian swasembada beras di Indonesia.

37

Masalah kerawanan pangan dan


ketahanan pangan

Dunia

Diperlukan upaya
swasembada pangan

Ketersediaan
beras dunia
terus
menyusut

Beras merupakan
komoditas pangan utama
penduduk Indonesia

Diversifikasi
pangan
Masih sulit
diterapkan

Program
swasembada beras

Perkembangan produksi dan


konsumsi beras di Indonesia

Pendugaan faktor-faktor yang


mempengaruhi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia

(Metode analisis deskriptif)


(Persamaan Simultan dengan
metode pendugaan 2SLS)

Diperoleh faktor-faktor yang


mempengaruhi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia
serta parameter elastisitasnya
Proyeksi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia
tahun 2009-2013

Hasil dan implikasi terhadap pencapaian


swasembada beras di Indonesia
Keterangan :

: Dianalisis

: Tidak dianalisis

Gambar 6. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional

38

IV. METODE PENELITIAN


4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil data dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Departemen Pertanian yang berlokasi di Jakarta dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian yang berlokasi di Bogor. Waktu
penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2009.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
berbentuk data time series. Semua data diperoleh dari Badan Pusat Statistik,
Departemen Pertanian, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian serta literatur-literatur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini
yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian
Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data
yang digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia, antara lain:
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
No.
Jenis Data
1.
Luas Areal Panen (Ribu Ha)
2.
Produktivitas (Ton/Ha)
3.
Produksi Padi (Ton/ha)
4.
Produksi Beras (Ribu Ton)
5.
Konsumsi Beras (RibuTon)
6.
Luas Areal Irigasi (Ribu Ha)
7.
Luas Areal Intensifikasi (Ribu Ha)
8.
Harga Gabah di tingkat petani (Rp/kg)
9.
Harga Beras (Rp/kg)
10.
Harga Jagung (Rp/kg)
11.
Harga Pupuk Urea (Rp/Kg)
12.
Upah Buruh Tani (Rp/HOK)
13.
Jumlah Penggunaaan Pupuk Urea (Kg/Ha)
14.
Jumlah Penduduk Indonesia (Ribu Jiwa)
15.
PDB Indonesia (Rp.T)
16.
Indeks Konsumen

Sumber Data
BPS, Deptan
BPS, Deptan
BPS, Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS

39

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data


Metode analisis deskriptif dengan tabulasi sederhana digunakan untuk
tujuan penelitian pertama yaitu menganalisis perkembangan produksi dan
konsumsi beras di Indonesia. Analisis deskriptif dalam penulisan digunakan untuk
memberikan penjelasan serta interpretasi atas informasi dan data hasil penelitian.
Tujuan penelitian kedua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia dianalisis menggunakan persamaan simulatan, dan
tujuan penelitian ketiga yaitu dengan menggunakan parameter elastisitas yang
diperoleh dari hasil pendugaan model produksi dan konsumsi beras di Indonesia
akan dilakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia untuk lima
tahun kedepan serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia
dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan
software Microsoft office Excel dan Eviews 5.0.
4.3.1. Perumusan Model
Perumusan model merupakan langkah pertama dan langkah paling penting
yang harus kita lakukan dalam memulai studi atau mempelajari berbagai
hubungan antar variabel. Model digunakan untuk mewakili hubungan variabelvariabel dalam bentuk matematik dimana suatu fenomena ekonomi dapat
dipelajari secara empirik (Koutsoyiannis, 1997). Salah satu model pendekatan
yang dapat dipakai dalam menganalisis suatu fenomena ekonomi adalah dengan
menggunakan model ekonometrika. Model ekonometrika merupakan suatu pola
khusus dari model aljabar yang bersifat stokastik, mencakup satu atau lebih
variabel pengganggu yang memperhitungkan unsur-unsur yang sifatnya random.

40

Luas Irigasi
(LIRt)

Trend

Luas Areal
Panen (LAPt)

Harga Urea
(HPUt)

L.Intensifikasi
(LINt)

Produktivitas
Padi (PVt)

Rasio Harga Gabah


dan Upah Tani

(HG t/UBTt)
Konversi
(Kt)

Jumlah
Pupuk (JPUt)
(HGt)
Produksi Padi
(PPt)

Produksi Beras
(PBt)
Lag Prod.Beras
(PBt-1)

Lag Harga
Beras (HBt-1)
(HGt)

Surplus/Defisit
Beras (SDt)
Populasi
(POPt)

Harga Beras
(HBt)
Konsumsi
Beras (KBt)
Pert. Konsumsi
(PKBt)

Harga
Jagung (HJt)
PDB riil
(PDBt)

Variabel Endogen :

Variabel Eksogen :

Gambar 7. Bagan Kerangka Model Ekonometrika

41

Dalam membangun model ekonometrika ada empat tahap utama yang


harus dijalani yaitu: (1) spesifikasi, (2) pendugaan, (3) validasi, (4) penerapan
model (Koutsoyinanis, 1977). Spesifikasi model merupakan tahap yang paling
penting, karena pada tahap ini peneliti harus menspesifikasi model yang akan
digunakan dalam penelitian atas dasar gamabaran ekonomi, teknis, dan
kelembagaan dari fenomena ekonomi yang dipelajari ke dalam hubungan
matematik dan statistik.
Tahap spesifikasi menurut Koutsoyiannis (1997) meliputi penentuan (1)
variabel dependen (dependent variables) dan variabel penjelas (explanatory
variables) yang akan dimasukan dalam model, (2) harapan teoritis apriori
mengenai tanda dan besaran parameter dari setiap persamaan. Dasar definisi
apriori adalah pengetahuan mengenai teori, logika, dan fakta empiris yang ada
dari hubungan ekonomi antar variabel dependen dan penjelas yang dipelajari, dan
(3) bentuk matematis dari model (linier atau non linier, jumlah persamaan).
Pada Gambar 7 dirumuskan persamaan-persamaan struktural yang
menggambarkan hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen
ataupun antara variabel endogen tersebut. Akan dikemukakan pula tanda besaran
parameter yang diperkirakan secara apriori berdasarkan pemahaman teori
ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan peneliti terdahulu.
Persamaan luas areal panen tanaman padi, produktivitas padi, konsumsi beras, dan
harga beras adalah persamaan operasional yang telah mengalami respesifikasi
dan menghasilkan tanda parameter dugaan yang sesuai dengan harapan.
4.3.1.1. Luas Areal Panen Tanaman Padi
Luas areal panen tanaman padi diduga dipengaruhi oleh rasio harga riil
gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga pupuk

42

urea dan trend waktu. Persamaan luas areal panen tanaman padi dirumuskan
sebgai berikut :
LAPt = a0 + a1HGt/UBTt + a2 LIRt + a3HPUTt + T + t
Dimana:
LAPt = Luas areal panen tanaman padi tahun ke-t (Ribu Ha)
HGt

= Harga riil gabah di tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

UBTt = Upah riil buruh tani tahun ke-t (Rp/HOK)


LIRt

= Luas areal irigasi tahun ke-t (Ribu Ha)

HPUt = Harga riil pupuk urea tahun ke-t (Rp/Kg)


T

= Trend waktu

a0

= Intersep

ai

= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)

= Error

Nilai dugaan yang diharapkan a1, a2>0 ; a3 < 0


4.3.1.2. Produktivitas Padi
Produktivitas padi diduga dipengaruhi oleh rasio harga riil gabah di tingkat
petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal
intensifikasi. Persamaaan produktivitas ditulis sebagai berikut :
PVt

= b0 + b1HGt/UBTt + b2JPUt + b3 LINt + t

Dimana :
PVt

= Produktivitas padi padi tahun ke- t (Ton/Ha)

HGt

= Harga riil gabah di tingkat petani tahun ke-t (Rp/Kg)

UBTt = Upah riil buruh tani tahun ke-t (Rp/HOK)


JPUt

= Jumlah penggunaan pupuk Urea tahun ke-t (Kg/Ha)

LINt

= Luas areal intensifikasi tahun ke-t (Ribu Ha)

43

bi

= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)

= Error

Nilai dugaan yang diharapkan; b1,b2,b3 > 0


4.3.1.3. Produksi Padi
Produksi padi pada tahun ke-t (PPt) merupakan perkalian antara luas areal
panen (LAPt) dengan produktivitas padi pada tahun tersebut (PVt). Persamaan
produksi padi dirumuskan sebgai berikut :
PPt

= LAPt x PVt

Dimana :
PPt

= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)

LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ribu Ha)


PVt

= Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha)

4.3.1.4. Produksi Beras


Produksi beras (PBt) merupakan perkalian antara konversi atau tingkat
rendemen pengolahan dari padi menjadi beras (Kt) dan produksi padi pada tahun
tersebut (PPt). Secara empiris persamaan produksi beras dirumuskan sebgai
berikut:
PBt

= Kt x PPt

Dimana :
PBt

= Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)

Kt

= Angka konversi padi ke beras sebesar 0,63

PPt

= Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)

4.3.1.5. Konsumsi Beras


Jumlah konsumsi beras di Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga beras,
jumlah penduduk Indonesia, PDB riil Indonesia dan harga jagung sebagai salah

44

satu subtitusi pangan pengganti beras. Pada kenyataannya diversifikasi pangan


penduduk Indonesia lebih terarah pada konsumsi gandum berupa (tepung terigu,
roti terutama mie), namun karena ketrbatasan data time series untuk gandum,
maka penelitian ini menggunakan jagung sebagai salah satu subtitusi pangan
pengganti beras. Persamaan konsumsi beras di Indonesia dapat dituliskan sebhgai
berikut :
KBt

= c0 + c1HBt + c2POPt + c3PDBt + c4HJt + t

Dimana:
KBt

= Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)

HBt

= Harga riil beras pada tahun ke-t (Rp/Kg)

POPt = Jumlah penduduk pada tahun ke-t (Ribu Jiwa)


PDBt = PDB riil Indonesia pada tahun ke-t (Rp.T)
HJt

= Harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/Kg)

c0

= Intersep

ci

= Parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)

= Error

Nilai dugaan yang diharapkan; c1,c3<0; c2,c4>0


4.3.1.6. Harga Beras
Harga beras diduga di pengaruhi oleh produksi beras pada tahun
sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras, harga beras pada tahun sebelumnya
serta trend waktu. Persamaan harga beras dapat dituliskan sebagai berikut :
HBt

= d0 + d1PBt-1 + d2PKBt + d3HBt-1 + T + t

Dimana :
PBt-1

= Produksi beras pada tahun ke- t-1 ( Ribu Ton)

PKBt = Pertumbuhan konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)

45

HBt-1 = Harga riil beras pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)


d0

= Intersep

di

= Parameter yang diduga (i = 1,2,3)

Nilai dugaan yang diharapkan; d1 < 0 ; d2 > 0 ; 0<d3<1


4.3.1.7. Surplus atau Defisit
Untuk mengetaui apakah Indonesia mencapai swasembada beras atau
tidak, dapat dilihat dari hasil pengurangan antara produksi dan konsumsi beras,
jika hasilnya positif maka Indonesia mencapai swasembada beras yang dalam hal
ini berarti surplus beras, begitu sebaliknya. Persamannya dapat ditulis berikut :
Surplus/Defisit = PBt - KBt
Dimana :
PBt

= Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)

KBt

= Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)

4.3.2. Identifikasi Model


Masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaan-persamaan yang
didalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus diestimasi secara statistik
(dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul dalam persamaan-persamaan
definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi equilibrium, karena
dalam hubungan-hubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran (Kotsoyiannis,
1977).
Berdasarkan koutsoyiannis (1977), dalam teori ekonometrika terdapat dua
kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu :
1) Persamaan Underidentified
Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak
tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih

46

persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika


suatu persamaan atau model underidentified maka tidak mungkin dilakukan
pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik ekonometrik
manapun.
2) Pesamaan Identified
Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan
tersebut dapat diidentifikasi, dan persamaan tersebur bisa exactly identified
atau overidentified. Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien yang
terdapat didalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly
identified maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least
Square (ILS). Sedangkan jika persamaan overidentified maka metode yang
dapat digunakan salah satunya adalah Two-Stages Least Square (2SLS).
Dua tahapan identifikasi menurut Koutsoyiannis (1977), yaitu :
1) Order Condition
Order condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan
yang ada identified atau underidentified. Langkah-langkah dalam order
condition, yaitu :
a.) Bila (K M) (G 1), maka persamaan tersebut identified.
b.) Bila (K M) < (G 1), maka persamaan tersebut underidentified.
Dimana :
K = Total variabel dalam model
M = Total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang akan
diidentifikasi
G = Total persamaan dalam variabel.

47

2) Rank Condition
Rank condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah
dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi,
yang untuk selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified
atau over identified. Langkah-langkah rank condition adalah :
a) Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas
kanannya nol.
b) Susun matriks koefisien dari semua variabel yang ada untuk persamaanpersamaan tersebut.
c) Jika kita ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris
persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut.
d) Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat
dihitunng.
e) Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka
simpulkan :
i) Persamaan tersebut over identified, bila (K M) > (G 1)
ii) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K M) = (G 1).
Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut under
identified.
Model persamaan simultan yang terdiri dari 7 persamaan dengan 20 total
variabel dalam model. Di dalam model terdapat 7 variabel endogen dan 11
variabel eksogen dan 2 variabel lag. Uji Order condition menghasilkan
kesimpulan dapat diidentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model,
dimana hasil pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel

48

endogen dan eksogen dalam persamaan (M) yang diidentifikasi lebih besar dari
hasil pengurangan total persamaan (G) dalam model dengan satu.
Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identifikasi untuk
masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua
determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil
pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan (M) lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan
dalam model (G) dengan satu. Hasil identifikasi yang menghasilkan kesimpulan
overidentifikasi memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan Two-Stage
Least Squares (2SLS).
4.3.3. Evaluasi Model
Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model
ekonometrika yaitu: (1) kriteria ekonomi, (2) kriteria satistik, (3) dan kriteria
ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977). Berdasarkan kriteria ekonomi, model
dievaluasi dengan melihat apakah tanda dan besarnya parameter dugaan variabelvariabel penjelas dalam persamaan sesuai dengan hipotesis. Berdasarkan kriteria
statistik, akan dilihat besarnya nilai koefisien determinasi (R2), nilai uji-f dan uji-t.
Pada kriteria ekonometrik yang digunakan ialah dengan melihat adanya
Autokorelasi dan Heteroskkedastisitas. Berikut serangkaian evaluasi model yang
dilakukan:
4.3.3.1. Kesesuaian Model
Kesesuaian model (Goodness Of Fit) dihitung dengan nilai koefisien
determinasi R2. koefisien determinasi R2 bertujuan untuk mengukur keragaman
variabel dependen yang dapat diterapkan oleh variabel independen. R2

49

menunjukan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel


dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
R2 =

jumlah kuadrat regresi


jumlah kuadrat galat
= 1jumlah kuadrat total
jumlah kuadrat total

Selang R2 yang digunakan adalah 0<R2<1. R2 = 1 berarti semua variasi


respon dari variabel dapat dijelaskan dengan fungsi regresi, sedangkan R2 = 0
berarti tidak satupun variasi pada variabel dapat dijelaskan oleh fungsi regresi.
Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang 0 sampai 1 dengan interpretasi
relatif terhadap ekstrim 0 dan 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1,
maka model tersebut semakin baik.
4.3.3.2. Uji-f
Dalam Koutsoyiannis (1977), pengujian terhadap dugaan persamaan
secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan uji f-statistik. Uji f-statistik
dapat menjelaskan kemampuan variabel eksogen secara bersama-sama dalam
menjelaskan keragaman dari variabel eksogen.
Hipotesis yang diuji dari persamaan diatas adalah variabel eksogen yang
berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hipotesis ini disebut hipotesisis
nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan
secara statistik (uji f-statistik) :
H0 : a1 = a2 = ... = ai = 0 atau variasi peubahan nilai variabel independen
tidak dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen.
H1 : minimal ada satu nilai parameter dugaan (ai) yang tidak sama dengan
nol atau variasi perubahan nilai variabel independen dapat
menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen.
Untuk i = 1,2,3....,k

50

a = dugaan parameter
Statistik uji yang digunakan dalam uji-f :
f hitung =

SSR / (k - 1)
SSE / (n - k)

Dengan derajat bebas = (k 1), (n k)


Dimana :
SSR

= jumlah kuadrat regresi

SSE

= jumlah kuadrat sisa

= jumlah parameter

= jumlah pengamatan

Kemudian dilakukan pengujian dimana f-hitung dari hasil analisis


dibandingkan dengan f-tabel. Jika f-hitung > f-tabel maka tolak H0 berarti ada
minimal satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap
keragaman variabel endogen. Sedangkan jika f-hitung < f-tabel maka terima H0
yang berari secara bersama-sama variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan
secara nyata keragaman dari varibel endogen.
4.3.3.3. Uji-t
Uji parsial (uji-t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen
yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel
endogen. Mekanisme uji staristik t adalah seperti berikut :
Hipotesis :
H0

= Perubahan satu variabel eksogen secrara individu tidak


berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.

H1

= Perubahan satu variabel eksogen secara individu berpengaruh


nyata terhadap perubahan variabel endogen.

51

t tabel = t (/2), (n-k-1)


Statistik uji yang dapat digunakan dalam uji-t :
t hitung =

bi
S (bi )

Dimana :
bi

= koefisien parameter dugaan

S (bi) = standar deviasi parameter dugaan


Kriteria uji :
t hitung < t tabel ; maka terima h0
t hitung > t tabel ; maka tolak h0, dan terima h1
Semakin banyak h0 yang ditolak maka suatu model akan semakin baik
untuk dijadikan model pendugaan persamaan simultan.
4.3.3.4. Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas
Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time-series yang
mengandung lagged endogenous variable. Pada jenis data seperti ini sering
ditemukan masalah autokorelasi, dimana terjadi hubungan error-term antar dua
pengamatan.

Dalam

Koutsoyiannis

(1977),

adanya

autokorelasi

dapat

menyebabkan terjadinya :
1 ) Varians yang diperoleh dari pendugaan lebih kecil daripada nilai
varians yang sesungguhnya.
2 ) Hasil dugaan dengan metode 2SLS bersifat inefisien, artinya
variansnya lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrik
lainnya.
Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya
autokorelasi adalah uji d (Durbin Watson Statistic). Namun dikarenakan dalam

52

persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable maka uji d menjadi
tidak valid. Sehingga dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi digunakan
Breusch Godfrey Serial Correlation LM Test. Dimana jika nilai probability
Breusch Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf yang
digunakan maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak terdapat
masalah autokorelasi.
Sedangkan untuk masalah heteroskedastisitas, dalam penelitian ini
menggunakan White Heteroskedastisity Test. Dimana jika nilai probability White
Heteroskedastisity Test lebih besar dari taraf yang digunakan maka disimpulkan
tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
4.3.4. Pengukuran Elastisitas
Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar derajat
kepekaan variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan yang terjadi
pada variabel eksogen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut :

Esr Yt , Xi =

ai Xi
( Yt)

Dimana :

Esr Yt , Xi

= Elastisitas variabel Yt terhadap Variabel Xt

ai

= Parameter dugaan variabel eksogen Xi

Xi

= Rata-rata variabel eksogen Xi dalam periode pengamatan

Yt

= Rata-rata variabel endogen Yt dalam periode pengamatan

53

Kriteria uji :
1) Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E > 1), dikatakan elastis (responsive)
karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan
variabel endogen lebih dari satu persen.
2) Jika nilai elastisitas antara nol dan satu ( 0 < E< 1), dikatakan inelastis (tidak
responsive),

karena

perubahan

satu

persen

variabel

eksogen

akan

mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen.


3) Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0), dikatakan inelatis sempurna.
4) Jika nilai elastisitasnya tak hingga (E = ), dikatakan elastis sempurna.
5) Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E = 1), dikatakan unitary elastis.
Selanjutnya, untuk kepentingan proyeksi, digunakan parameter elastisitas
yang diperoleh dari hasil pendugaan fungsi areal panen dan fungsi produkstivitas.
Dengan demikian proyeksi areal panen, produktivitas dan produksi suatu
komoditas (Adnyana,1999) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Ait

= Ait-1(1 + ii + izz)

Yit

= Yit-1(1 + ii + kwk)

Qgit

= Ait x Yit

Dimana :
Ait

= Luas areal panen padi pada waktu t,

Ait-1

= Luas areal panen padi pada waktu t-1,

= Elastisitas areal panen terhadap harga sendiri (gabah),

= Laju pertumbuhan harga riil gabah,

iz

= Elastisitas areal panen terhadap faktor lainnya z,

= Laju pertumbuhan faktor lain z,

Yit

= Produktivitas padi pada periode t,

54

Yit-1

= Produktivitas padi pada periode t-1,

= Elastisitas hasil terhadap harga sendiri (gabah),

= Elastisitas hasil terhadap input lainnya k,

wk

= Laju pertumbuhan input lainnya k,

Qgit

= Total produksi padi pada tahun t.

Proyeksi produksi beras dilakukan dengan mengalikan produksi padi


dengan angka konversi padi ke beras. Sedangkan proyeksi konsumsi beras
dilakukan dengan menggunakan elastisitas permintaan (konsumsi) beras terhadap
perubahan harga beras dan jumlah penduduk. Model proyeksi permintaan beras
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Qdit

= Qdit-1(1 + ii + ii)

Diaman:
Qdit

= Permintaan beras pada wakktu t,

Qdit-1 = Permintaan beras pada waktu t-1


i

= Elastisitas permintaan terhadap harga sendiri (beras),

= Laju pertumbuhan harga riil beras,

= Elastisitas permintaan beras terhadap jumlah penduduk

= Laju pertumbuhan penduduk.

4.3.5. Validasi Model


Untuk mengetahui apakah model yang diduga dapat merefleksikan dengan
baik realitas dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memenuhi tujuan
aplikasi model dan peramalan atau proyeksi maka sebelum diaplikasi model
terlebih dahulu divalidasi. Kriteria statistik yang sering digunakan untuk validasi
nilai pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Percent Error

55

(RMSPE) dan Theils Coefficient (U) (Pyndick dan Rubinfeld,1998) adalah


sebagai berikut :

1 T Y e Y a
RMSPE = t a t
Yt
T t 1

1 T
e
a 2
T Yt Yt
t 1

U=

1 T
e 2
T Yt
t 1

0 .5

0 .5

0 .5

2
1 T
Yt a
T t 1

0 .5

Dimana :
RMSPE

= Akar tengah kuadrat persen galat

= Koefisien ketidaksamaan Theil

Yt e

= Nilai dugaan model

Yt a

= Nilai pengamatan contoh

= Jumlah pengamatan dalam simulasi


Statistik RMSPE digunakan untuk mengetahui seberapa jauh nilai-nilai

peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya


dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dapat nilai-nilai dugaan itu mengikuti
perkembangan nilai aktualnya. Sementara statistik U juga untuk mengukur
besarnya penyimpangan nilai-nilai dugaan tersebut yang bermanfaat untuk
mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien
ketidaksamaan Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka pendugaan
model adalah sempurna, dan jika U = 1 maka pendugaan model adalah naif. Pada
dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U semakin baik pendugaan model.

56

4.3.6. Definisi Operasional


1)

Data time series adalah data yang dikumpulkan dari beberapa tahapan waktu
secara kronologis pada serangkaian variabel yang diamati pada interval
waktu tertentu, misalnya mingguan, bulanan, dan tahunan.

2)

Gabah atau padi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabah kering
giling (GKG).

3)

Beras adalah semua hasil total dari konversi padi dalam satuan ribu ton.

4)

Produksi beras adalah jumlah total produksi beras di Indonesia dalam satuan
ribu ton.

5)

Konsumsi beras adalah konsumsi beras total yang terdiri dari konsumsi
untuk pangan, konsumsi untuk industri pangan dan non pangan, konsumsi
benih setara beras dan konsumsi lainnya yang dinyatakan dalam satuan ribu
ton.

6)

Luas areal panen merupakan luas seluruh areal produktif atau panen tanaman
padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.

7)

Produktivitas padi merupakan hasil bagi antara produksi padi Indonesia


dengan luas areal panen tanaman padi.

8)

Harga riil gabah merupakan merupakan harga gabah ditingkat petani yang
dideflasi dengan indeks harga konsumen (tahun 2000=100) dinyatakan
dalam satuan Rp/Kg.

9)

Harga riil beras merupakan harga beras medium setelah dideflasi dengan
Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam
satuan Rp/Kg.

57

10 ) Harga riil jagung merupakan harga jagung setelah dideflasi dengan Indeks
Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan
Rp/Kg.
11 ) Harga riil pupuk urea merupakan harga pupuk urea setelah dideflasi dengan
Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam
satuan Rp/Kg.
12 ) Upah riil buruh tani merupakan upah yang dibayarkan kepada pekerja tani
setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun
2000=100) yang dinyatakan dalam satuan Rp/HOK.
13 ) Luas areal irigasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang memperoleh
air irigasi dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
14 ) Luas areal intensifikasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang
memperoleh program intensifikasi, dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
15 ) Swasembada Beras merupakan suatu keadaan dimana produksi total beras
domestik melebihi tingkat konsumsi beras total, minimal tingkat produksi
yang diperoleh sama dengan tingkat konsumsinya.

58

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia seperti yang
terlihat pada Tabel 6 dari tahun ke tahun terlihat adanya fluktuasi dengan
kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Akibat adanya peningkatan
produktivitas dan luas areal tanaman padi, produksi padi nasional mengalami
trend yang terus meningkat. Selama kurun waktu 37 tahun produksi beras nasional
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,8% per tahun dengan rata-rata
produksi sebanyak 26.725,78 ribu ton per tahun.
Upaya meningkatkan produksi beras untuk mencapai swasembada beras
telah dilakukan sejak tahun 1968/9, selain mengembangkan Bimas Gotong
Royong dengan Panca usaha taninya pemerintah juga membangun industri pupuk
berkapasitas

besar,

menetapkan

harga

eceran

tertinggi

(HET)

dan

mendistribusikan pupuk bersubsidi. Sarana irigasi dibangun dan diperbaiki, baik


yang berskala besar, sedang maupun kecil. Kebijakan stabilisasi harga gabah dan
beras dibuat dengan menetapkan harga dasar, stabilisasi harga dalam negeri.
Stabilisasi harga dilakukan oleh Bulog dengan hak monopoli pengadaan dalam
negeri, impor, penyimpanan dan penyaluran beras. Dukungan program yang
lengkap, besar dan sentralistis memungkinkan produksi padi Indonesia meningkat.
Peningkatan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia
berswasembada beras, namun setelah tahun 1984, dukungan pembangunan
perberasan nasional semakin berkurang. Pembangunan nasional diarahkan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri. Sebagai
akibatnya produksi padi tidak pernah dapat memenuhi kebutuhan nasional dan
menyebabkan Indonesia kembali menjadi importir beras.

59

Tabel 6. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia


Tahun
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1970-1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1980-1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
1990-1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2000-2006
Rata-rata

Produksi
Beras
(Ribu Ton)
12.893,78
13.466,73
12.935,53
14.333,50
14.989,50
14.900,25
15.541,73
15.572,54
17.189,66
17.530,53
14 935.38
19.777,82
21.860,38
22.400,33
23.547,11
25.437,01
26.034,97
26.497,75
26.732,15
27.798,01
29.831,96
24 991,75
30.134,23
29.807,06
32.176,09
32.136,79
31.109,88
33.179,34
34.084,70
32.934,50
32.816,29
33.927,88
32.230,68
34.615,96
33.657,35
34.343,63
34.736,58
35.005,29
35.287,86
35.570,44
34.745,30
26.725,78

Pert.
(%)
4,4
-3,9
11
4,6
-0,6
4,3
0,2
10
2
3,6
13
11
2,5
5,1
8
2,4
1,8
0,9
4
7,3
5,5
1
-1,1
7,9
-0,1
-3,2
6,7
2,7
-3,4
-0,4
3,4
1,4
2
-2,8
2
1,1
0,8
0,8
0,8
0,7
2,8

Konsumsi
Beras Total
(Ribu Ton)
13.507,14
14.638,32
15.118,85
15.490,67
15.911,09
17.014,91
17.459,94
17.773,04
18.465,41
20.120,41
16.549.98
20.359,07
21.792,65
23.296,86
23.545,36
24.473,10
25.812,37
25.780,52
27.643,28
28.815,52
29.893,19
25.141.19
30.741,01
30.848,90
31.533,19
32.174,38
32.811,99
34.950,98
33.839,26
34.302,63
35.799,43
37.641,75
33.464.35
36.924,78
36.558,67
36.725,34
36.126,95
36.053,94
35.901,68
35.675,91
36.281,04
27.859,14

Pert.
(%)
8,4
3,3
2,5
2,7
6,9
2,6
1,8
3,9
9
4,6
1,2
7
6,9
1,1
3,9
5,5
-0,1
7,2
4,2
3,7
4,1
2,8
0,4
2,2
2
2
6,5
-3,2
1,4
4,4
5,1
2,4
-1,9
-1
0,5
-1,6
-0,2
-0,4
-0,6
-0,7
2,6

Selisih
produksi dan
konsumsi
-613,36
-1.171,59
-2.183,32
-1.157,17
-921,58
-2.114,66
-1.918,21
-2.200,50
-1.275,75
-2.589,88
-1.614,60
-581,25
67,73
-896,53
1,75
963,91
222,60
717,23
-911,13
-1,017,51
-61,23
-149,44
-606,78
-1.041,84
642,90
-37,59
-1.702,11
-1.771,64
245,44
-1.368,13
-2.983,14
-3.713,87
-1.233,68
-2.308,82
-2.901,32
-2.381,71
-1.390,37
-1.048,65
-613,81
-105,47
-1.535,74
-1.133,36

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

60

Tahun 1998 merupakan tahun penting bagi sejarah perberasan nasional.


Banjir yang sebagai akibat El-Nino menyebabkan produksi padi merosot hingga
4%. Pada saat yang sama terjadi krisis ekonomi yang membuat banyak penduduk
kehilangan pekerjaan serta pendapatannya menurun sehingga tingkat kemiskinan
meningkat tajam. Dalam situasi tersebut datang saran IMF untuk meliberalisasi
sektor pertanian. Liberalisasi pertanian diwujudkan dengan menghapus berbagai
instrumen kebijakan beras seperti subsidi input, monopoli Bulog, dan subsidi
lainnya. Subsidi pupuk dicabut yang diikuti dengan liberalisasi pupuk yang
sebelumnya dimonopoli Pusri. Monopoli impor beras oleh Bulog dicabut pada
akhir tahun 1999 dan impor terbuka bagi siapa saja sehingga tidak terkontrol.
Pertengahan periode tahun 2000-2006, produksi padi kembali ditingkatkan dengan
upaya revitalisasi pertanian, dari itu secara perlahan prosuksi padi mulai
meningkat kembali.
Kondisi konsumsi beras di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kebutuhan akan beras juga
turut meningkat baik untuk konsumsi pangan maupun sebagai bahan baku industri
pangan dan non pangan, konsumsi benih dan konsumsi lainnya. Selama kurun
waktu 37 tahun pertumbuhan rata-rata konsumsi beras sebesar 2,6% per tahun
dengan rata-rata konsumsi tiap tahunnya sebanyak 27.859,14 ribu ton. Secara
keseluruhan selama kurun waktu 37 tahun ini konsumsi beras rata-rata per tahun
lebih tinggi dibandingkan produksi beras rata-rata per tahun, karena itu produksi
beras domestik seringkali masih belum

menutupi konsumsi beras domestik,

sehingga untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah mengimpor beras dari


luar negeri. Peningkatan konsumsi beras domestik selain karena laju pertumbuhan
penduduk, juga dikarenakan beralihnya penduduk Indonesia yang tadinya bukan

61

konsumen beras menjadi konsumen beras. Meskipun demikian, seperti yang


terlihat pada Tabel 6 laju pertumbuhan konsumsi beras domestik tiap dekadenya
mengalami penurunan, hal ini menunjukan adanya pergeseran selera konsumen
dari beras terhadap komoditas yang lebih beragam seiring dengan peningkatan
kesejahteraan penduduk Indonesia.
5.1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1970-1979
Pada periode 1970-1979 perkembangan produksi dan konsumsi beras di
Indonesia mengalami fluktuasi dengan rata-rata produksi sebanyak 14.935,38 ribu
ton per tahun dan rata-rata pertumbuhannya sebesar 3,6% per tahun. Karena laju
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, konsumsi beras pada periode ini
memiliki angka rata-rata yang lebih tinggi dari produksi yaitu sebanyak 16.549,98
ribu ton per tahun, dengan laju pertumbuhan rata-rata yang juga lebih tinggi dari

000 Ton

laju pertumbuhan produksi yaitu sebesar 4,6% per tahun


21,000.00
20,000.00
19,000.00
18,000.00
17,000.00
16,000.00
15,000.00
14,000.00
13,000.00
12,000.00
11,000.00
10,000.00
1970

1971

1972

1973

1974

1975

1976

1977

1978

1979

Tahun
Produksi

Konsumsi

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

Gambar 8. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1970-1979


Produksi padi rata-rata pada periode ini juga menunjukan pertumbuhan
yang sangat lambat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 rata-rata pertumbuhan luas
areal panen hanya 0,99% per tahun, bahkan produktivitas memiliki rata-rata
pertumbuhan 0,47 % per tahun, sehingga rata-rata pertumbuhan produksi padi

62

hanya 1,43% per tahunnya. Bahkan pada tahun 1972 terjadi penurunan produksi
beras yang cukup tajam hingga 3,9% yang disebabkan oleh gagal panen karena
pengaruh musim, yang pada masa itu Indonesia bagian tengah megalami musim
kering yang hebat, sehingga produksi padi menurun karena luas areal panennya
menurun hingga 3,97%.
Tabel 7. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19701979
Tahun
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
Ratarata

Areal
panen
(000 Ha)
8.135,08
8.324,39
7.993,98
8.403,60
8.518,60
8.495,10
8.368,76
8.359,57
8.929,17
8.803,56

Pert.
(%)

Produktivitas
(Ton/ha)

Pert.
( %)

1,52
2,33
-3,97
5,12
1,37
-0,28
-1,49
-0,11
6,81
-1,41

3,11
3,17
3,21
3,34
2,64
2,63
2,78
2,79
2,89
2,99

5,68
2,06
1,26
4,14
-21,03
-0,42
5,90
0,32
3,33
3,43

Produksi
padi
(000 ton)
25.269,24
26.392,18
25.351,11
21.489,24
22.464,38
22.330,65
23.300,94
23.347,13
25.771,57
26.282,.66

8.433,18

0,99

2,95

0,47

24.199.91

Pert.
(%)
7,28
4,44
-3,9
-15
4,54
-0,6
4,35
0,2
10,4
1,98
1,34

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.


Penurunan produksi padi tersebut menyebabkan pada tahun 1972
Indonesia mengalami krisis beras yang ditandai dengan kenaikan harga beras
secara tajam di pasaran. Krisis beras tahun 1972 ini terjadi karena adanya optimis
yang berlebihan dalam produksi dan supply beras, yaitu akan terjadi kenaikan
produksi yang berarti pada tahun 1972, karena produksi tiga tahun sebelumnya
melebihi target, sehingga pemerintah mengurangi impor beras, dan ternyata
aktivitas pembelian dalam negeri dari Bulog tidak cukup. Selain itu krisis beras
yang terjadi tahun 1972 juga disebabkan oleh faktor luar negeri yakni keadaan
dunia yang juga mangalami kekurangan beras. Setelah tahun 1972 produksi beras
kembali mengalami peningkatan, namun krisis beras yang mulai muncul di kuartal
penghabisan tahun 1972 ini berlanjut sampai kuartal penghabisan tahun 1973

63

(Hurabarat, 1974). Sampai pada periode 1974/1975 luas areal panen dan
produktivitas belum dapat ditingkatkan karena hama wereng, sehingga terjadi
penurunan produksi padi hingga 0,6%. Tahun 1975 mulai ditanam varietas baru
yang tahan hama wereng yaitu PB 24, sehingga produksi padi kembali meningkat
untuk tahun-tahun berikutnya. Pada dasawarsa ini seperti yang terlihat pada
Gambar 8 garis konsumsi selalu berada di atas garis produksi beras, sehingga
dapat disimpulkan bahwa produksi beras dalam negeri belum cukup untuk
memenuhi konsumsi beras total di Indonesia, dengan kata lain Indonesia
mengalami defisit beras.
5.1.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1980-1989
Dengan tersedianya cukup banyak ragam varietas baru pada pelita III,
program intensifikasi berjalan lancar, disamping Insus (Intensifikasi Khusus)
untuk daerah berpengairan baik, dilakukan pula Opsus (Operasi Khusus) untuk
daerah yang memiliki berbagai hambatan dalam program intensifikasi.
Tabel 8.Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19801989
Tahun
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
Ratarata

Areal
panen
(000 Ha)
9.005,07
9.381,84
8.988,46
9.162,47
9.763,58
9.902,29
9.988,45
9.922,59
10.138,16
10.521,21

Pert.
(%)

Produktivitas
(Ton/ha)

Pert.
( %)

2,29
4,18
-4,19
1,94
6,56
1,42
0,87
-0,66
2,17
3,78

3,29
3,49
3,74
3,85
3,91
3,94
3,98
4,04
4,11
4,25

10,32
6,07
6,96
3,13
1,38
0,92
0,89
1,48
1,86
3,38

Produksi
padi
(000 ton)
29.651,91
32.774,18
33.583,68
35.303,11
38.136,45
39.032,95
39.726,76
40.078,20
41.676,17
44.725,58

9.677,41

1,84

3,86

3,64

37.468,90

Pert.
(%)
12,8
10,5
2,47
5,12
8,03
2,35
1,78
0,88
3,99
7,32
5,53

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

64

Pada Tabel 8 produktivitas padi pada periode ini memiliki pertumbuhan


rata-rata yang lebih besar dari periode sebelumnya yaitu sebesar 3,86 % per tahun,
peningkatan pertumbuhan produktivitas juga diiringi dengan peningkatan luas
areal panen sebesar 1,84 % per tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi dapat
ditingkatkan hingga 5,55% per tahun.
Produksi beras dalam negeri periode 1980-1989 terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata produksi sebanyak 24.911,75 per tahun. Pada
puncaknya tahun 1984 produksi padi meningkat hingga 8,04% dari tahun
sebelumnya, sehingga produksi beras dalam negeri dapat menutupi konsumsi
beras domestik hingga mencapai surplus sebanyak 963,91 ribu ton, sehingga pada

000 Ton

tahun ini Indonesia berswasembada beras untuk pertama kalinya.


32,000.00
31,000.00
30,000.00
29,000.00
28,000.00
27,000.00
26,000.00
25,000.00
24,000.00
23,000.00
22,000.00
21,000.00
20,000.00
19,000.00
1980

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

Ta hun
P roduk s i

K ons um s i

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

Gambar 9. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1980-1989


Swasembada beras yang dicapai hanya dapat dipertahankan sampai tahun
1986 yang pada saat itu produksi beras mengalami surplus sebesar 717,23 ribu
ton, setelah itu Indonesia kembali mengalami defisit beras. Hal ini karena laju
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat sehingga rata-rata konsumsi beras
masih lebih tinggi dari rata-rata produksi yaitu 25.141,19 ribu ton per tahun,
dengan laju pertumbuhan rata-ratanya sebesar 4,6% per tahun. Apabila

65

dibandingkan periode sebelumnya tahun 1970-1979, periode ini jauh lebih baik
karena dapat mengantarkan Indonesia pada swasembada beras untuk pertama
kalinya.
5.1.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1990-1999
Pada periode 1990-1999 seperti yang terlihat pada Gambar 10 produksi
dan konsumsi beras Indonesia sangat berfluktuasi, dengan rata-rata pertumbuhan
produksi sebesar 1,4 % per tahun dan rata-rata produksi sebanyak 32.230,68 ribu
ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras masih lebih besar dari rata-rata
pertumbuhan produksi beras yaitu sebesar 2,4 % per tahun, dengan konsumsi rata-

000 Ton

rata per tahunnya sebanyak 33.464,35 ribu ton.


39,000.00
38,000.00
37,000.00
36,000.00
35,000.00
34,000.00
33,000.00
32,000.00
31,000.00
30,000.00
29,000.00
28,000.00
1990 1991 1992 1993 1994

1995 1996 1997 1998 1999

Ta hun
P roduksi

konsum si

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

Gambar 10. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1990-1999
Pada pada tahun 1992 dan 1996 produksi beras melebihi kebutuhan
konsumsi beras total, masing-masing mengalami surplus sebesar 642,90 ribu ton
dan 245,44 ribu ton. Hal tersebut dapat diraih karena pada tahun 1992 ada
peningkatan luas areal panen hingga 7,99% dari tahun sebelumnya, sehingga
produksi padi dapat ditingkatkan hingga 7,95%. Pada tahun 1996, luas areal panen
dan produksivitas masing-masing meningkat 1,14% dan 1,59%, sehingga produksi
padi meningkat 2,87%. Pada periode ini juga terjadi beberapa kali El Nino yaitu

66

pada tahun 1991, 1994 dan 1997 sehingga menurunkan luas areal panen masingmasing sebesar 2,10%, 2,53% dan penurunan yang paling tinggi terjadi pada
tahun 1997 sebesar 3,71%, yang mengakibatkan penurunan produksi beras
masing-masing sebesar 1,1 %, 3,2 % dan yang terparah saat terjadi krisis beras
pada tahun 1997 penurunan sebesar 3,4%, namun konsumsi beras tetap
meningkat. Karena itulah pada tahun 1997 Indonesia kembali mengalami krisis
beras.
Tabel 9. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19901999
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Ratarata

Areal
panen
(000 Ha)

Pert.
(%)

Produktivitas
(Ton/ha)

Pert.
( %)

Produksi
padi
(000 ton)

Pert.
(%)

10.502,36
10.281,52
11.103,32
11.012,78
10.733,83
11.438,76
11.569,73
11.140,59
11.730,33
11.963,20

-0,18
-2,10
7,99
-0,82
-2,53
6,57
1,14
-3,71
5,29
1,99

4,30
4,35
4,35
4,38
4,35
4,35
4,42
4,43
4,20
4,26

1,22
1,02
-0,02
0,69
-0,69
0,09
1,59
0,32
-5,30
1,41

45.178,75
44.688,25
48.240,01
48.181,09
46.641,52
49.744,14
51.173,51
49.377,05
49.236,69
50.866,39

1,01
-1,1
7,95
-0,1
-3,2
6,65
2,87
-3,5
-0,3
3,31

11.147,64

1,36

4,34

0,03

48.332,74

1,36

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.


Saat trjadi krisis beras pada tahun 1997/1998, untuk mengisi kekurangan
tersebut pemerintah terpaksa mengimpor dalam jumlah yang cukup besar yaitu
5,78 juta ton, merupakan rekor tertinggi selama 30 tahun. Mulai bulan September
1998, impor beras tidak lagi dimonopoli oleh Bulog, pihak swasta diperkenankan
mengimpor beras. Pihak swasta memperoleh perlakuan yang sama dengan Bulog
bila mereka mengimpor beras, sehingga dalam kurun waktu empat bulan pihak
swasta telah mengimpor sebanyak 1,3 juta ton, sehingga impor Indonesia secara
keseluruhan berjumlah 7,1 juta ton pada tahun 1998, padahal kekurangan dalam
negeri hanya 3,2 juta ton. Sejak itu, pihak swasta selalu mengimpor lebih banyak

67

dari pemerintah (Bulog). Pada

tahun 1999 produksi beras nasional kembali

membaik, produksi padi meningkat 3,4 % disebabkan faktor iklim yang kondusif
(Suryana dkk, 2001).
5.1.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
2000-2006
Periode 2000-2006 produksi padi ditingkatkan melalui revitalisasi
pertanian, sehingga produksi yang diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 20002008
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Ratarata

Areal
panen
(000 Ha)

Pert.
(%)

Produktivitas
(Ton/ha)

Pert.
( %)

Produksi
padi
(000 ton)

11.793,48
11.500,00
11.530,68
11.452,60
11.922,97
11.839,06
11.786,43

-1,42
-2,49
0,27
-0,68
4,11
-0,70
-0,44

4,41
4,39
4,47
4,54
4,54
4,57
4,62

3,59
-0,48
1,82
1,57
-0,04
0,84
1,01

50.069,26
50.460,78
51.489,69
52.137,60
54.088,47
54.151,10
54.454,94

-1,6
0,78
2,04
1,26
3,74
0,12
0,56

11.689,32

-0,19

4,51

1,19

52.407,41

0,98

Pert.
(%)

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.


Pada periode ini produksi padi lebih ditingkatkan melalui peningkatan
produktivitas, dengan rata-rata pretumbuhan produktivitasnya sebesar 1,19% per
tahun. Sedangkan luas areal panen pada periode ini cenderung menurun dengan
rata-rata penurunan sebesar 0,19% per tahun. Karena persentase peningkatan
produktivitas masih lebih tinggi dari persentase penurunan luas areal panen, maka
produksi beras masih meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,98 % per
tahun.
Seiring dengan perkembangan produksi padi, produksi beras pada periode
2000-2006 memiliki pertumbuhan rata-rata sebesar 0,7% per tahun, dengan
produksi rata-rata sebesar 34.745,3 ribu ton. Sedangkan laju konsumsi beras pada
periode ini menunjukan hal yang berbeda dengan periode sebelumnya. Konsumsi

68

beras total cenderung mengalami penurunan dengan laju -0,7% per tahun, namun
rata-rata konsumsi per tahunnya masih lebih tinggi dari rata-rata produksinya

000 Ton

yaitu sebesar 36.281,04 ribu ton per tahun.


37500
37000
36500
36000
35500
35000
34500
34000
33500
33000
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Tahun
Produksi

Konsumsi

Sumber: BPS, Deptan (2008) diolah.

Gambar 11. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 2000-2006
Pada periode ini hampir tiap tahunnya terjadi penurunan konsumsi beras
sehingga pertumbuhan laju konsumsi beras terus menurun hingga mencapai angka
negatif. Menurut Pusat Data Informasi Pertanian (2005) dalam Adriana (2007)
penurunan tersebut merupakan dampak dari keberhasilan program diversifikasi
pangan, serta beralihnya selera penduduk ke komoditas lain sebagai sumber
alternatif karbohidrat seperti gandum, kentang, dan umbi-umbian lainnya.
Penurunan konsumsi beras menunjukan keberhasilan diversifikasi pangan jika
penduduk beralih ke alternatif pangan lain seperti kentang atau umbi-umbian lain
seperti ubi atau singkong yang merupakan pangan lokal Indonesia, sehingga
diharapkan akan berimplikasi pada penurunan ketergantungan bangsa Indonesia
terhadap beras. Pada kenyataannya diversifikasi pangan kita lebih terarah pada
konsumsi gandum berupa (tepung terigu, roti dan terutama mie). Oleh karena itu,
hal ini tidak dapat dikatakan suatu keberhasilan, karena tanaman gandum
merupakan tanaman subtropis, bukan pangan lokal Indonesia sehingga tidak

69

cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Penurunan konsumsi beras yang trjadi di


Indonesia dikarenakan adanya pergeseran selera penduduk terhadap pangan yang
lebih beragam seiring dengan peningkatan kesejahteraan.
5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Beras di
Indonesia
Hasil dugaan model dalam penelitian ini cukup baik. Nilai koefisien
determinasi (R2) masing-msing persamaan struktural berkisar antara 0,75 sampai
0,96. Dengan demikian secara umum peubah-peubah penjelas yang ada dalam
persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik setiap peubah endogennya.
Selain itu, semua peubah penjelas tersebut memiliki parameter dugaan yang
tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori
ekonomi.
Besarnya nilai f statistik umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 25,03
sampai 224,06, maka dapat diinterpretasikan bahwa peubah-peubah penjelas
dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama mampu menjelaskan
dengan baik variasi peubah endogennya.
Nilai statistik t digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah
penjelas secara individual berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil
statistik-t yang diperoleh menunjukan bahwa sebagian besar peubah penjelas
signifikan pada taraf yang digunakan yaitu 0,05-0,15.
Pengujian masalah autokorelasi dapat dilakuakan dengan uji Durbin
Watson (D.W) statistic, karena dalam persamaan terdapat variabel lag maka uji
D.W satistic menjadi tidak valid, maka dalam penelitian ini mnggunakan uji
Breusch-Godfrey Serial Corelation LM Test. Nilai probability Obs*R-squared dari
Breusch-Godfrey Serial Corelation LM Test yang diperoleh dari hasil analisis

70

(Lampiran 3) lebih besar dari taraf yang digunakan yaitu 0,05-0,15, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi.
Pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan White Heteroskedasticity test. Hasil analisis (Lampiran 4)
menunjukan bahwa pada persamaan luas areal panen dan harga beras tidak
terdapat masalah heteroskedastisitas, karena nilai probability Obs*R-squared dari
White Heteroskedasticity test lebih besar dari taraf yang digunakan, sedangkan
untuk persamaan produktivitas padi dan konsumsi beras menghasilkan nilai
probability Obs*R-squared dari White Heteroskedasticity test yang kurang dari
dari taraf yang digunakan, sehingga disimpulkan terdapat masalah
heteroskedastisitas. Pada dasarnya pengujian heteroskedastisitas lebih cenderung
digunakan untuk data cross section, karena dalam penelitian ini menggunakan
data time series maka masalah heteroskedastisitas tidak mempengaruhi validasi
estimasi.
Untuk masalah multikolinieritas, dalam persamaan simultan dapat
diabaikan jika nilai koefisien sesuai dengan teori atau logis dari sudut pandang
teori ekonomi. Multikolinieritas dipandang sebagai gejala dalam persamaan
simultan yang tidak mempengaruhi validasi estimasi.
5.2.1. Dugaan Model Ekonometrika
Setelah dilakukan beberapa spesifikasi model, akhirnya diperoleh model
produksi dan konsumsi beras dalam negeri yang terdiri dari empat persamaan
struktural sebagai berikut:
5.2.1.1. Luas Areal Panen Tanaman Padi
Hasil dugaan persamaan luas areal panen tanaman padi menunjukan
bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat

71

dilihat pada Tabel 11. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,9607 yang berarti
bahwa keragaman luas areal tanaman padi sebesar 96,07% dapat dijelaskan oleh
keragaman rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, luas
areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend waktu. Sedangkan sisanya 3,93%
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model.
Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter Luas Areal Panen Tanaman Padi
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas Nama Variabel
C
5692,800
4,366888
0,0001
Intersep
HGt/UBTt 3577,304
2,117356* 0,0421
0,0419
Rasio harga G/U
LIRt
0,340971
1,589206
0,1218
Luas teririgasi
HPUt
-24,43849
-0,754560 0,4560
Upah tani
T
137,3534
15,81934* 0,0000
Trend waktu
R-sq
0,960731
Adj R-sq
0,955822
F-stat
195,7219
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%
Berdasarkan uji-f menunjukan bahwa, keragaman rasio harga riil gabah
dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend
waktu secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman luas areal panen
tanaman padi dan secara statistik nyata pada level 0,0000. Sedangkan berdasarkan
uji-t menunjukan bahwa, secara individu luas areal panen tanaman padi
dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani
dan trend waktu.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap luas areal panen padi yaitu dengan parameter dugaan
sebesar 137,3534. Rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani berhubungan
positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal panen padi. Hal ini menunjukan
bahwa peningkatan harga gabah memberikan insentif bagi petani untuk
meningkatkan luas areal panen padi, dalam bentuk rasio antara harga riil gabah

72

dengan upah riil buruh tani. Nilai parameter dugaan yang diperolaeh sebesar
3577,304 yang berarti jika rasio harga riil gabah dan upah riil buruh tani
meningkat satu satuan maka luas areal panen akan meningkat 3577,304 ribu Ha,
cateris paribus. Nilai elastisitas luas areal panen padi terhadap rasio harga riil
gabah dengan upah riil buruh tani sebesar 0,0419, berarti luas areal panen padi
tidak responsif terhadap perubahan rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh
tani. Apabila rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani meningkat satu
persen maka luas areal panen hanya akan meningkat 0,0419%, cateris paribus.
5.2.1.2. Produktivitas Padi
Hasil dugaan persamaan produktivitas padi Indonesia menunjukan bahwa
semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Produktivitas Tanaman Padi
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas Nama Variabel
C
-0,454467
-0,772051 0,4456
Intersep
HGt/UBTt 4,621644
3,999916* 0,0003
0,1421
Rasio harga G/U
JPUt
0,003777 1,852695** 0,0729
0,1250
Jumlah urea
LINt
0,000630
5,225209* 0,0000
0,8520
Luas intensifikasi
R-sq
0,8415
Adj R-sq
0,8271
F-stat
58,41498
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% ; **=Nyata pada taraf 10%
Nilai koefisien determinasi dari model produktivitas padi adalah sebesar
0,8415. Artinya 84,15% keragaman produktivitas padi dapat diterangakan oleh
keragaman peubah-peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah dengan
upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, serta luas areal intensifikasi.
Sedangkan sisanya sebesar 15,85 % dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat
dalam model.

73

Dengan menggunakan uji-f diperoleh bahwa keragaman rasio harga riil


gabah dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal
intensifikasi secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman produktivitas
padi dan secara statistik nyata pada level 0,0000. Hasil uji-t menunjukan bahwa
secara individu produktivitas padi dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil
gabah dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, dan luas areal
intensifikasi.
Rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani berhubungan positif dan
berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Hal ini menunjukan bahwa
peningkatan harga riil gabah dapat meningkatkan produktivitas padi dalam bentuk
rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani. Nilai parameter dugaan yang
diperoleh sebesar 4,621644 yang berarti jika rasio harga riil gabah dengan upah
riil buruh tani meningkat satu satuan maka produktivitas akan meningkat
4,621644 Ton/Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas produktivitas padi terhadap
rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani sebesar 0,1421, berarti
produktivitas padi tidak responsif terhadap perubahan rasio harga riil gabah
dengan upah riil buruh tani. Apabila rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh
tani meningkat satu persen maka produktivitas padi hanya meningkat 0,1421%,
cateris paribus.
Banyaknya penggunaan pupuk urea pada takarannya berhubungan positif
dan berpengaruh nyata terhadap produktivitas padi. Nilai parameter dugaan
sebesar 0,003777 menunjukan bahwa jika penggunaan pupuk urea meningkat
satu Kg/Ha, maka produktivitas padi akan meningkat 0,003777 Ton/Ha, cateris
paribus. Nilai elastisitas produktivitas padi terhadap jumlah penggunaan pupuk
sebesar 0,1250, menunjukan bahwa produktivitas padi tidak responsif terhadap

74

perubahan jumlah penggunaan pupuk urea. Apabila jumlah penggunaan pupuk


urea meningkat satu persen maka produktivitas padi hanya meningkat 0,1250%,
cateris paribus.
Variabel luas areal intensifikasi berhubungan positif dan berpengaruh
nyata pada terhadap produktivitas padi. Nilai parameter dugaan 0,000630 yang
berarti jika luas areal intensifikasi meningkat seribu hektar, maka produktivitas
padi meningkat sebesar 0,000630 Ton/Ha, cateris paribus. Nilai elastisitas
produktivitas padi terhadap luas areal intensifikasi sebesar 0,8520, menunjukan
bahwa produktivitas padi tidak responsif terhadap luas areal terintensifikasi.
Apabila luas areal intensifikasi meningkat satu persen maka produktivitas hanya
akan meningkat 0,8520%, cateris paribus.
5.2.1.3. Konsumsi Beras
Hasil dugaan persamaan konsumsi beras menunjukan bahwa semua tanda
parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilihat pada Tabel 13.
Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,9653 yang berarti bahwa keragaman
luas areal tanaman padi sebesar 96,53% dapat dijelaskan oleh keragaman harga
beras, populasi, PDB riil dan harga jagung. Sedangkan sisanya 3,47 % dijelaskan
oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model.
Tabel 13. Hasil Dugaan Parameter Konsumsi Beras
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas
C
-23882,63
-3,280358
0,0025
HBt
-305,3941 -1,672872*** 0,1041
-0,2133
POPt
0,326100
5,899774*
0,0000
2,6614
PDBt
-4,836930
-1,346653
0,1876
HJt
460,6333
1,149004
0,2591
R-sq
0,9653
Adj R-sq
0,9610
F-stat
224,0560
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% ;***= Nyata pada taraf 15%

Nama Variabel
Intersep
Harga beras
Populasi
PDB riil
Harga jagung

75

Berdasarkan uji-f menunjukan bahwa keragaman harga beras, populasi,


PDB riil dan harga jagung secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman
konsumsi beras dan nyata secara statistik pada level 0,0000. Hasil uji t
menunjukan bahwa secara individu konsumsi beras dipengaruhi secara nyata oleh
harga beras dan populasi. Sedangkan PDB riil dan harga jagung tidak berpengaruh
nyata.
Harga beras berhubungan negatif dan berpengaruh nyata terhadap
konsumsi beras. Nilai parameter dugaan yang diperoleh -305,3941 yang berarti
jika trjadi kenaikan harga beras satu Rp/Kg maka konsumsi beras akan menurun
305,3941 ribu ton, cateris paribus. Nilai elastisitas konsumsi beras terhadap
perubahan harga beras sebesar -0,2133, menunjukan bahwa konsumsi beras tidak
responsif terhadap perubahan harga beras. Apabila harga beras meningkat satu
persen maka konsumsi hanya akan menurun 0,2133%, cateris paribus. Konsumsi
beras tidak responsif terhadap perubahan harga beras, karena beras merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia yang hingga saat ini belum dapat digantikan
oleh komoditas lainnya, sehingga berapapun harga beras, tidak akan terlalu
banyak mempengaruhi penduduk Indonesia untuk tidak mengkonsumsi beras.
Banyaknya populasi berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap
konsumsi beras. Nilai parameter dugaan 0,326100 yang berarti jika terjadi
kenaikan jumlah penduduk sebanyak seribu jiwa maka konsumsi beras akan naik
326,100 ton. Nilai elastisitas konsumsi beras terhadap perubahan populasi sebesar
2,6614, menunjukan bahwa konsumsi beras responsif terhadap perubahan
populasi. Apabila populasi meningkat satu persen maka konsumsi beras akan
meningkat 2,6614%, cateris paribus.

76

PDB riil berhubungan negatif dan tidak berpengaruh nyata terhadap


konsumsi beras. Semakin tinggi PDB riil maka konsumsi beras

cenderung

menurun karena seiring dengan peningkatan kesejahteraan penduduk, permintaan


terhadap makanan semakin beragam. Untuk variabel harga jagung yang
berhubungan positif tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi beras
karena, walaupun harga jagung lebih murah dari harga beras, penduduk Indonesia
tidak serta merta beralih mengkonsumsi jagung.
5.2.1.4. Harga Beras
Hasil dugaan persamaan harga beras domestik menunjukan bahwa semua
tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat dilihat pada
Tabel 14. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,7578 yang berarti bahwa
keragaman harga beras sebesar 75,78% dapat dijelaskan oleh keragaman produksi
beras tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras dan harga beras pada tahun
sebelumnya. Sedangkan sisanya 24,22% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang
tidak dimasukan dalam model.
Tabel 14. Hasil Dugaan Parameter Harga Beras Domestik
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas
C
3,112823 1,016503 0,3170
PBt-1
-3,23E-05 -0,193308 0,8479
PKBt
0,095552 0,787086 0,4370
HBt-1
0,747394 5,895602* 0,0000
T
0,116259 1,027490 0,3119
R-sq
0,7578
Adj R-sq
0,7275
F-stat
25,03203
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%

Nama Variabel
Intersep
Lag Prod. beras
Pert. Konsumsi
Lag harga beras
Trend waktu

Nilai uji-f yang dihasilkan menunjukan bahwa peubah-peubah penjelas


yang terdapat dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
harga beras domestik. Nilai uji-t yang diperoleh menunjukan bahwa yang

77

berpengaruh nyata terhadap harga beras adalah harga beras tahun sebelumnya.
Produksi beras tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras dan trend waktu
tidak berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Tanda yang diperoleh
untuk variabel produksi beras tahun sebelumnya dan pertumbuhan konsumsi
beras, sesuai dengan terori penawaran dan permintaan, yang dalam hal ini
produksi sebagai penawaran berhubungan negatif terhadap harga beras,
menunjukan bahwa ketika produksi beras pada tahun sebelumnya yang dalam
penelitian ini berperan sebagai penawaran naik atau berlimpah maka harga beras
akan turun, sedangkan konsumsi beras yang dalam penelitian ini sebagai
komponen permintaan bertanda positif yang memiliki arti ketika konsumsi naik,
harga akan naik.
Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik dengan
nilai koefisien dugaannya sebesar 0,747394. Artinya jika terjadi peningkatan
harga beras domestik tahun sebelumnya sebesar satu Rp/Kg maka harga beras
akan naik sebesar 0,747394 rupiah per kilogram, cateris paribus. Parameter
peubah bedakala harga beras yang berbeda nyata dan mendekati satu berarti harga
beras memerlukan tenggang waktu yang relatif lambat dalam menyesuaikan
berbagai perubahan situasi ekonomi yang memepengaruhinya.
5.3.

Proyeksi Produksi dan Konsumsi beras tahun 2009-2013 serta


Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia

5.3.1. Hasil Validasi Model


Setelah melalui uji validasi model (Lampiran 5), diperoleh nilai RMSPE
dibawah lima puluh persen untuk persamaan produktivitas sebesar 0,250. Nilai
RMSPE diatas lima puluh persen terjadi pada persamaan harga beras sebesar
1,682, persamaan luas areal panen sebesar 258,290 dan persamaan konsumsi beras

78

sebesar 1462,340. Nilai koefisien ketidaksamaan Theil (U) yang diperoleh yaitu
0,013 untuk persamaan luas areal panen, 0,032 untuk persamaan produktivitas,
0,026 untuk persamaan konsumsi beras dan 0,044 untuk persamaan harga beras.
Dari hasil validasi yang diperoleh menunjukan bahwa secara keseluruhan
pendugaan model cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk proyeksi.
5.3.2. Proyeksi Produksi Padi
Setelah diperoleh pendugaan model yang baik, maka dilanjutkan pada
proses proyeksi untuk mengetahui seberapa besar penawaran beras dalam negeri
pada tahun-tahun berikutnya. Proyeksi penawaran beras dalam bahasan ini lebih
difokuskan pada kemampuan produksi dalam negeri untuk mengimbangi
konsumsi beras domestik. Proyeksi produksi padi dihitung atas perkalian areal
panen dan produktivitas tanaman padi. Dalam kurun waktu 5 tahun kedepan
(2009-2013), areal panen padi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,01% per
tahun begitu juga dengan produktivitas dapat ditingkatkan rata-rata 3,05% per
tahun sehingga produksi padi masih dapat ditingkatkan rata-rata 3,06% per tahun.
Tabel 15. Proyeksi Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi
Luas Areal Panen Produktivitas Produksi Padi
Tahun
(000Ha)
(Ton/Ha)
(000 Ton)
2009
11790,52
5,06
59610,80
2010
11791,88
5,21
61436,32
2011
11793,24
5,37
63317,75
2012
11794,60
5,53
65256,79
2013
11795,97
5,70
67255,21
Pert.
0,01%
3,05%
3,06%

Kondisi ini memberi gambaran yang optimis terhadap produksi padi di


Indonesia. Luas areal panen tanaman padi dan produktivitas padi terus meningkat
tiap tahunnya, sehingga produksi padi terus maningkat dalam lima tahun kedepan,
sehingga diharapkan dapat mengantarkan Indonesia pada keadaan surplus beras.

79

5.3.3. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras


Proyeksi produksi beras diperoleh dari hasil produksi padi dikali dengan
angka konversi dari padi ke beras sebesar 0,63 dengan alasan karena angka inilah
yang berlaku saat ini sebagai angka rendemen dari padi ke beras.
Proyeksi konsumsi beras menggunakan asumsi pertumbuhan penduduk
tiap tahunnya meningkat 1,24% dan diasumsikan pertumbuhan trsebut menurun
0,03% per tahun. Berdasarkan hasil proyeksi konsumsi beras total diperoleh
bahwa konsumsi beras kedepan meningkat 1,95% per tahun. Dengan demikian
konsumsi beras untuk 5 tahun kedepan akan meningkat seperti yang terlihat pada
Tabel 16.
Tabel 16. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras
Produksi Beras Konsumsi Beras
Tahun
(000 Ton)
(000 ton)
2009
37554,81
38176,55
2010
38704,88
38958,94
2011
39890,18
39732,40
2012
41111,78
40495,78
2013
42370,78
41247,89
Pert.
3,06%
1,95%

Senjang
-621,74
-254,05
157,78
615,99
1122,89

Laju pertumbuhan produksi beras sebesar 3,06% lebih tinggi dibandingkan


laju pertumbuhan konsumsi beras sebesar 1,95%, sehingga ada kemungkinan
untuk Indonesia sampai pada keadaan surplus beras. Seperti yang terlihat pada
Tabel 16. Tahun 2009 hingga 2010 Indonesia masih mengalami defisit beras,
namun apabila ada upaya yang keras dalam mepertahankan bahkan meningkatkan
produksi padi yang telah diraih sekarang, Indonesia dapat sampai pada posisi
surplus beras pada tahun 2011.
Dengan melihat hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras pada Tabel 16
Indonesia akan menjadi negara yang surplus beras pada tahun 2011. Produksi

80

dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan
Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya, sehingga
impor beras untuk menutupi konsumsi beras domestik dapat dikurangi.
5.3.4. Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia
Senjang antara produksi dan konsumsi beras dihitung beradasarkan
kemampuan memproduksi di dalam negeri untuk mengimbangi permintaan atau
konsumsi beras. Khusus beras, volume produksi dalam negeri dikonversi dari
produksi gabah kering panen dengan satu faktor konversi yang berlaku saat ini
yaitu 0,63. Senjang yang disajikan dalam bahasan ini mencerminkan kondisi akhir
dari kedua sisi produksi dan konsumsi beras.
Berdasarkan hasil proyeksi yang diperoleh, dalam kurun waktu lima tahun
(2009-2013), Indinesia mengalami defisit beras hingga tahun 2010. Untuk
menutupi kebutuhan beras dalam jangka pendek pemerintah dapat mengimpor
beras dengan kecenderungan menurun, namun ekspornya juga akan meningkat,
karena produksi beras domestik terus meningkat hingga tahun 2013 dengan angka
pertumbuhan yang lebih tinggi dari angka pertumbuhan konsumsi beras domestik
yaitu 3,06% per tahun. Jika pemerintah ingin tidak mengimpor beras untuk
mengatasi defisit beras pada tahun 2009 dan 2010, berdasarkan hasil proyeksi
dengan asumsi produktivitas meningkat 3,05% per tahun, maka pada tahun 2009
luas areal panen yang harus ditambah seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010
luas areal panen harus ditambah seluas 77,40 ribu Ha sehingga kebutuhan
konsumsi beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Dalam
rangka meningkatkan luas areal panen salah satu cara yang dapat dilakukan oleh
pemerintah ialah dengan memberi insentif pada petani dengan meningkatkan
harga gabah di tingkat petani.

81

Swasembada beras dalam arti surplus beras berdasarkan hasil proyeksi


dapat diraih pada tahun 2011. Dalam rangka meraih swasembada tersebut
tentunya banyak hal yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam rangka
meningkatkan produksi padi. Dalam meningkatkan pertumbuhan produksi padi,
dapat dilakukan dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan, berupa
pengembangan areal tanam melalui ekstensifikasi dan intensifikasi, berikut ini
adalah upaya yang dapat dilakukan dalam jangka panjang untuk meraih
swasembada beras di Indonesia diantaranya:
1) Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan
Konversi lahan pertanian merupakan masalah yang serius dalam
peningkatan produksi padi nasional, karena sebagian besar terjadi di pulau Jawa
yang memiliki lahan pertanian dengan tingkat produktivitas tinggi. Menurut
Adriana (2007) pada tahun 1993 Pulau Jawa memiliki pangsa lebih dari 60%
produksi beras nasional, namun kini akibat konversi lahan yang besar di Jawa,
pada tahun 2006 Pulau Jawa mengalami penurunan pangsa produksi padi nasional
yakni sebesar 55%. Proporsi konversi lahan di Pulau Jawa sebesar 79,3%. Dari
total konversi lahan pertanian secara nasioanal, 68,3% diantaranya adalah lahan
sawah. Berdasarkan data (BPS, 1995) dalam Ilham et all (2005) menemukan
bahwa di Jawa semua jenis irigasi mengalami konversi, dimana sawah tadah hujan
menempati urutan pertama (310.000 Ha), diikuti oleh sawah irigasi teknis
(234.000 Ha) dan sawah irigasi sederhana (167.000 Ha).
Dengan semakin tingginya konversi lahan sawah ke non sawah
menimbulkan upaya pengembangan areal sawah melalui ekstensifikasi sulit untuk
dilakukan, namun berdasarkan data, masih tersedia lahan yang sesuai untuk

82

menanam padi yang belum diupayakan, sehingga potensi ekstensifikasi masih ada,
seperi yang terlihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Lahan yang Sesuai untuk Budidaya Sumber Bahan Pangan (Juta Ha)
Penggunaan Lahan
Lahan yang Lahan yang sudah Potensi
sesuai
digunakan
Ekstensifikasi
Sawah dan lahan basah
24,5
8,5
16,1
Tegalan
25,2
30,1
-4,8
Tanaman tahunan
50,9
25,5
25,4
Total
100,7
64,1
36,7
Sumber : Badan Litbang Pertanian 2004
Sepeti yang terlihat pada Tabel 17, potensi ekstensifikasi untuk tanaman
padi memang masih ada, namun jika dilihat proporsinya terhadap tanaman lain,
produksi padi tetap memiliki keterbatasan dalam sumberdaya lahan. Untuk itu
teknologi budidaya pada lahan marginal dan kurang subur, baik dilahan kering
maupun pada agroekosistem lainnya seperti di lahan pasang surut yang sudah
banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang Pertanian maupaun
oleh perguruan tinggi perlu dikembangkan dan mulai diterapkan. Dengan
demikian upaya perluasan areal tanam khususnya diluar pulau jawa masih dapat
diupayakan. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar
lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama Sumatera dan
Kalimantan.
2) Menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi
Menurut Adnyana (1999) pengoptimalan pemnafaatan air baik yang
bersumber dari irigasi maupun air hujan/air tanah dapat meningkatkan indeks
pertanaman (IP). Untuk itu irigasi merupakan hal yang penting diperhatikan dalam
meraih swasembada beras, karena kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum
memadai. Lebih dari 20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi
sentra produksi nasional rentan terhadap kekeringan (Deptan, 2008). Dengan

83

demikian bila pemerintah masih berkomitmen untuk berswasembada beras maka


infrastruktur irigasi perlu diperbaiki atau bahkan ditambah, karena pengairan
sangat berpengaruh terhadap produksi padi.
3) Meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi
Peningkatan intensifikasi dalam rangka pencapaian swasembada beras
masih sangat diperlukan. Dalam upaya intensifikasi dapat diterapkan diantaranya
dengan meningkatkan indeks pertanaman dan produkstivitas lahan disemua
daerah penghasil padi baik dilahan sawah maupun dilahan kering.
Produktivitas dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi yang
tersedia. Menurut Suryana (2006) dalam Adriana (2007) selama periode 19952005 telah dilepas 58 Varietas Unggul Baru (VUB) yang telah menghabiskan
dana 12-25 miliar/tahun. Dampak ekonomi dari penerapan varietas baru tahun
2005 diperkirakan mencapai sekitar 2,07 triliun serta meningkatkan produktivitas
padi sebesar 9,8-34,3%. Adanya perkembangan inovasi trsebut merupakan suatu
sinyal positif bagi peningkatan produktivitas.
Menurut Adnyana (1999) salah satu upaya terobosan yang diharapkan
mampu meningkatkan produksi padi

nasional secara cepat yaitu dengan

meningkatkan intensitas pertanaman menjadi 2-3 kali setahun atau IP 200-300,


terutama pada sawah irigasi. Penerapan teknologi pemanfaatan dan pemanenan air
pada lahan kering dapat mendukung usaha peningkatan indeks pertanaman
tersebut.
4) Perbaikan penyampaian (delivery) dan penerimaan (receiving) inovasi
teknologi di tingkat petani.
Pengadaan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang juga harus
diiringi dengan perbaikan subsistem penyampaian (delivery) dan penerimaan

84

(receiving) agar adopsi teknologi dan difusi inovasi ditingkat petani berjalan
efektif sehingga berdampak positif terhadap produktivitas padi. Hal ini perlu
diperhatikan karena menurut penelitian Mundy (2000) dalam Adriana (2007),
diperlukan sekitar dua tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian diketahui oleh 50% dari PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis)
dan enam tahun sebelum 80% PPS mendengar teknologi tersebut. Tenggang
waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut oleh petani tentu lebih
lama lagi.
Untuk menjembatani permasalahan tersebut, maka pada tahun 2004
Departemen Pertanian melalui Badan Litbang merumuskan Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi teknologi Pertanian (Prima Tani). Menurut
Simatupang (2004) dalam Adriana (2007) tujuan utama Prima Tani adalah untuk
mempercepat waktu dalam meningkatkan dan memperluas adopsi teknologi yang
dihasilkan oleh Badan Litbang. Pelaksanaan program ini dilakukan pada tahun
2005 pada 14 propinsi dan tahun 2006 menjadi 25 propinsi. Dalam
perkembangannya program ini menunjukan sinyal positif, untuk itu perlu adanya
komitmen yang kuat dari segala pihak yang terkait program ini untuk
melaksanakan program ini secara konsisten agar berjalan efektif dan efisien.

85

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan
1)

Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung


meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 37 tahun (1970-2006),
pertumbuhan produksi beras di Indonesia 2,8% per tahun. Angka ini lebih
tinggi dari pertumbuhan konsumsi beras yang sebesar 2,6% per tahun.
Pertumbuhan produksi beras per tahun memang lebih tinggi dari konsumsi
beras, namun rata-rata konsumsi beras per tahun masih lebih tinggi dari ratarata produksi beras yaitu sebanyak 27.859,14 ribu ton sedangkan rata-rata
produksi beras per tahun hanya 26.725,78 ribu ton. Karena itu secara umum
produksi beras Indonesia selama kurun waktu 37 tahun terakhir ini masih
belum dapat menutupi konsumsi beras, sehingga pemerintah masih
mengimpor beras.

2)

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas


areal panen dan produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat
petani dengan upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal
intensifikasi dan trend waktu. Sementara itu, faktor yang mempengaruhi
konsumsi beras adalah harga beras dan populasi.

3)

Hasil proyeksi luas areal panen, produktivitas, dan produksi padi cukup
optimis. Luas areal panen cenderung meningkat dalam 5 tahun kedepan
(2009-2013) dengan laju peningkatan sebesar 0,01 % per tahun dan
produktivitas memiliki laju peningkatan yang lebih tinggi sebesar 3,05 % per
tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi/beras meningkat 3,06% per
tahun. Dalam periode yang sama, konsumsi beras dalam negeri untuk 5
tahun ke depan diperkirakan meningkat 1,95% per tahun. Berdasarkan hasil

86

proyeksi pada tahun 2009-2010 Indonesia masih mengalami defisit beras,


sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras, pemerintah dapat
mengimpor beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen
pada tahun 2009 seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 seluas 77,40
ribu Ha dengan asumsi produktivitas meningkat 3,05% per tahun. Pada tahun
2011 produksi beras domestik melebihi konsumsi beras, dengan kata lain
Indonesia akan mengalami surplus beras. Untuk meraih swasembada beras
dalam

jangka

panjang

upaya

yang

dapat

dilakukan

diantaranya;

memanfaatkan lahan tidur, khususnya yang terdapat di luar Jawa, menambah


dan memperbaiki infrastruktur irigasi, meningkatkan produktivitas dan
inovasi teknologi serta melakukan perbaikan penyampaian (delivery) dan
penerimaan (receiving) inovasi teknologi di tingkat petani.
6.2. Saran
1)

Selain meningkatkan luas areal irigasi dan intensifikasi dalam rangka


meningkatkan produksi padi, perlu juga diperhatikan kebijakan yang
memberi insentif dan meningkatkan pendapatan petani misalnya, penetapan
kebijakan pada harga dasar gabah yang dapat mempengaruhi harga gabah
dan selanjutnya harga gabah di tingkat petani tersebut dapat memacu petani
untuk meningkatkan produksi padi.

2)

Terus dikembangkannya penelitian dibidang pertanian untuk menemukan


teknologi baru yang dapat meningkatkan hasil produksi padi, sehingga
pelandaian produktivitas pertanian akibat terobosan teknologi yang stagnan
tidak terus terjadi.

3)

Perlu dikembangkan sistem deteksi dini dalam mengantisipasi fenomena


anomali iklim, El nino dan curah hujan yang semakin sering terjadi.

87

4)

Kebijakan harga input khususnya subsidi pupuk sebaiknya dilakukan untuk


menghindari tingginya biaya produksi bagi petani, karena penggunaan pupuk
sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas padi, selain itu
distribusi pupuk sebaiknya lebih diperhatikan dalam proses penyebaranya
karena beberapa daerah di Indonesia masih mengalami kelangkaan pupuk.

5)

Dari sisi konsumsi, upaya yang dapat dilakukan ialah dengan memperbaiki
pola pangan harapan di Indonesia menjadi pola pangan harapan yang ideal
dengan komposisi pangan yang seimbang, sehingga konsumsi beras dapat
ditekan.

88

DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. 1999, Penerapan Model Penyesuaian Nerlove dalam Proyeksi
Produksi dan Konsumsi Beras.WWW. ejournal. 2009 (berkala sambung
jaring)
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-oka-adnyanamodel%20penyesuaian(1).pdf
(5 Maret 2009)
Adriana, R. 2007. Penawaran Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras Indonesia
serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Amang, B dan Sawit, M.H. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional
Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: IPB Press.
Ambarinanti, M. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Arifin, B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
[BPS]. 1969-2006. Indikator Ekonomi. Jakarta.
.1969-2006. Statistika Harga Produsen Sektor Pertanian Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik
.1969-2006. Statistika Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statisitk
.1969-2006. Struktur Ongkos Usaha Tani Padi. Jakarta: Badan Pusat
Statisitik
[Deptan]. 1969-2006. Data Based Komoditas Padi. Jakarta: Departemen Pertanian
Republik Indonesia.
.1969-2006. Neraca Bahan Makanan. Jakarta: BKP, Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
. 2005. Revitalisasi Pertanian. WWW. Agribisnis.deptan. 2005. (berkala
sambung jaring)
http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi20pertanian202005.pdf
( 5 Maret 2009)
Farihah, S.S. 2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras serta
Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia.
Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

89

Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Jakarta : Erlangga


Hutabarat, A. 1974. Usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta: Lembaga
Pendidikan dan Konsultasi Pers
Hutauruk, J. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi
Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis.
Magister Sains Pascasarjana IPB.
Khumaidi, M. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa Indonesia,
Keunikan dan Tantangannya. Dalam Orasi Ilmiah. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
[Kompas]. 2008. Setelah Swasembada Beras, Lalu Apa Lagi?. WWW. Kompas.
2008 (berkala sambung jaring)
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/16/09544795/setelah.swasemb
ada.beras.lalu.apa.lagi
(5 Maret 2009).
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. The Macmillan Press. Ltd.
London.
Lokollo, E.M. 1986. Penawaran Beras Indonesia (Suatu Analisis Kontribusi
Peubah Penentu Produksi Beras Indonesia Selama Pelita I Pelita III).
Tesis. Magister Sains Pascasarjana IPB.
Malian, A.H dkk. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi,
dan Harga Beras serta Inflasi Bahan Makanan. Di dalam Jurnal Agro
Ekonomi. Volume 22 Nomor 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi kelima. Terjemahan. Jakarta:
Erlangga.
Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan
Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas suatu Analisis
Simulasi. Disertasi. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nicholson, W. 1991. Teori Mikroekonomi. Terjemahan. Jakarta: Binarupa Aksara
Pindyck, R.S and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic
forecasts. Fourth Edition. Mc Graw-Hill. New York
Pratiwi, P. 2008. Efektifitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional.
Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Ritonga, E. 2004. Analisis Keefektifan Kebijakan Harga Dasar Beras. Tesis.
Magister Sains Pascasarjana IPB.

90

Sari, N.T. 2007. Analisis dampak Kenaikan Harga Beras terhadap Pola Konsumsi
Beras Rumah Tangga, di Cipinang Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bgor.
Sisworo, W.H. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan
Tantangan Abad Dua Satu: Pemanfaatan IPTEK Nuklir. Badan Tenaga
Nuklir Nasional.
Situmorang, M.T, 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Impor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Soekartawi, dkk. 1990. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan
Petani Kecil. Cetakan ke-3 .Jakarta: Universitas Indonesia
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Suryana, A. 2008. Kebijakan dan Kendala Pengembanagn Sumberdaya Pangan.
Di dalam: Akuntansi Sumberdaya Alam: Pangan, Energi dan Air.
Prosididng Seminar Nasional, Jakarta, 10 Desember. Jakarta. Badan
Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian.
Tambunan, 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu
Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia
Tomek,W.G dan K.L. Robinson.1990. Agricultural Prodauct Prices. Edisi Ketiga.
Comel University Press. Itacha and London.

91

LAMPIRAN

92

Lampiran 1. Data yang Digunakan Dalam Model Ekonometrika

Tahun

1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber

Luas
Areal

Produktivitas

Produksi
Gabah

Produksi
Beras

Harga
Gabah

LAPt

PVt

PPt

PBt

HGt

(000 Ton)
8.013,62
8.135,08
8.324,39
7.993,98
8.403,60
8.518,60
8.495,10
8.368,76
8.359,57
8.929,17
8.803,56
9.005,07
9.381.84
8.988,46
9.162,47
9.763,58
9.902,29
9.988,45
9.922,59
10.138,16
10.521,21
10.502,36
10.281,52
11.103,32
11.012,78
10.733,83
11.438,76
11.569,73
11.140,59
11.730,33
11.963,20
11.793,48
11.500,00
11.530,68
11.452,60
11.922,97
11.839,06
11.786,43
BPS
Deptan

(Ton/Ha)
2,94
3,11
3,17
3,21
3,34
2,64
2,63
2,78
2,79
2,89
2,99
3,29
3,49
3,74
3,85
3,91
3,94
3,98
4,04
4,11
4,25
4,30
4,35
4,35
4,38
4,35
4,35
4,42
4,43
4,20
4,26
4,41
4,39
4,47
4,54
4,54
4,57
4,62
BPS
Deptan

(000 Ton)
23.553,85
25.269,24
26.392,18
25.351,11
21.489,24
22.464,38
22.330,65
23.300,94
23.347,13
25.771,57
26.282,66
29.651,91
32.774,18
33.583,68
35.303,11
38.136,45
39.032,95
39.726,76
40.078,20
41.676,17
44.725,58
45.178,75
44.688,25
48.240,01
48.181,09
46.641,52
49.744,14
51.173,51
49.377,05
49.236,69
50.866,39
50.069,26
50.460,78
51.489,69
52.137,60
54.088,47
54.151,10
54.454,94
BPS
Deptan

(000 Ton)
14.838,92
12.893,78
13.466,73
12.935,53
14.333,50
14.989,50
14.900,25
15.541,73
15.572,54
17.189,66
17.530,53
19.777,82
21.860,38
22.400,33
23.547,11
25.437,01
26.034,97
26.497,75
26.732,15
27.798,01
29.831,96
30.134,23
29.807,06
32.176,09
32.136,79
31.109,88
33.179,34
34.084,70
32.934,50
32.816,29
33.927,88
34.615,96
33.657,35
34.343,63
34.736,58
35.005,29
35.287,86
35.570,44
Data
Deptan

(Rp/Kg)
36,73
38,33
40,70
48,85
49,98
51,32
62,62
74,63
79,15
82,36
106,27
121,27
134,96
149,72
168,41
175,04
189,73
167,27
184,73
232,08
267,31
299,08
303,70
284,05
325,83
419,81
432,75
498,27
933,01
1.234,10
1.080,86
1.141,22
1.255,46
1.249,33
1.258,31
1.572,50
1.554,99
1.641,53
Data
Deptan

93

Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber

Harga
Jagung
HJt
(Rp/Kg)
24,20
26,23
20,44
27,32
35,62
46,73
58,75
65,13
62,51
65,73
82,72
70,73
96,28
125,75
122,69
129,13
132,25
147,62
164,32
189,89
212,20
233,17
257,07
264,31
286,04
325,37
367,74
427,86
459,53
632.26
1.045,37
1.028,65
1.138,52
1.212,10
1.255,21
1.366,81
1.410,49
1.477,93
Deptan
BPS

Areal
teririgasi
LIRt
(000 Ha)
3.014,04
3.070,56
3.091,90
3.133,81
3.306,22
4.035,63
4.149,66
4.245,76
4.328,80
4.343,81
4.461,01
4.570,22
4.620,13
4.949,85
4.948,88
5.111,19
5.206,27
5.202,08
5.196,56
4.729,22
4.710,29
4.698,80
4.641,22
4.603,32
4.588,02
4.582,01
4.580,79
4.518,39
4.419,77
4.446,38
4.468,38
4.400,95
4.290,86
4.113,20
4.053,18
4.005,86
3.893,67
3.484,06
Data
Deptan

Areal
Intensifikasi
LINt
(000 Ha)
2.416,57
2.764,20
2.957,46
2.796,85
3.024,66
3.689,41
3.862,19
3.867,43
4.101,56
4.364,05
4.552,59
4.904,36
5.254,60
5.107,58
5.269,48
5.865,91
5.869,95
5.988,63
5.871,18
5.633,86
6.318,43
5.888,03
5.817,38
6.303,80
5.757,07
5.723,17
6.322,06
6.155,21
6.091,15
6.330,61
6.335,51
6.237,42
6.075,55
6,009.67
5.949,72
6.101,91
6.018,75
5.828,49
Data
Deptan

Pupuk
Urea
JPUt
(Kg/Ha)
32,41
53,39
51,57
49,66
36,39
57,04
67,59
58,00
88,69
81,40
74,90
68,70
122,37
137,23
164,54
132,34
147,90
168,51
186,83
186,22
164,78
159,16
202,83
171,90
144,39
157,02
144,83
124,48
157,45
190,41
154,31
125,04
170,85
167,06
154,29
148,96
161,66
166,99
Deptan
BPS

Harga Upah
TK
UBTt
(Rp/HOK)
87,36
107,10
117,37
143,39
211,85
332,08
393,49
489,44
596,79
712,27
994,24
1.414,00
1.714,00
1.932,00
2.158,00
2.371,00
2.553,00
2.757,00
3.098,00
3.441,00
3.807,00
4.013,00
4.294,00
5.034,00
5.560,00
6.136,00
7.128,00
8.301,00
9.799,00
11.064,60
12.502,83
14.253,48
16.678,80
17.475,84
19.986,24
21.488,64
23.270,28
24.977,22
Deptan
BPS

94

Konsumsi
Beras

Populasi

Tahun

1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber

KBt
(000 Ton)
12.749,58
13.507,14
14.638,42
15.118,85
15.490,67
15.911,09
17.014,91
17.459,94
17.773,04
18.465,41
20.120,41
20.359,07
21.792,65
23.296,86
23.545,36
24.473,10
25.812,37
25.780,52
27.643,28
28.815,52
29.893,19
30.741,01
30.848,90
31.533,19
32.174,38
32.811,99
34.950,98
33.839,26
34.302,63
35.799,43
37.641,75
36.924,78
36.558,67
36.725,34
36.126,95
36.053,94
35.901,68
35.675,91
Data
Deptan

POPt
(000 Jiwa)
117.721
120.532
123.402
126.328
129.305
132.326
135.383
138.470
141.584
144.725
147.900
151.107
154.347
157.610
160.879
164.131
167.350
170.530
173.671
176.770
179.828
182.846
185.822
188.756
191.658
194.540
197.410
200.270
203.121
205.969
208.825
211.692
214.574
217.465
220.354
223.224
226.063
228.864
BPS

PDB
Riil
(2000 =
100)
PDBt
(Rp. T)
214,78
232,29
248,54
268,13
294,35
318,65
338,35
358,61
389,59
425,45
455,62
495,38
535,74
541,66
587,43
629,56
651,45
690,31
726,89
773,09
843,33
919,24
1.001,31
1.073,61
1.151,49
1.238,31
1.342,28
1.44487
1.512,78
1.314,20
1.324,59
1.389,77
1.442,98
1.506,12
1.579,55
1.660,57
1.681,21
1.683,07
BPS

Harga
Beras
HBt
(Rp/Kg)
41,26
43,53
43,87
48,78
81,36
95,34
104,68
126,38
130,79
138,30
168,37
196,60
223,86
250,29
300,50
322,95
317,76
342,76
383,43
465,81
493,02
518,69
557,84
603,68
592,25
660,37
776,49
884,52
1.063,80
2.099,03
2.665,52
2.449,00
2.537,09
2.826,06
2.919,85
2.852,03
3.378,32
4.322,21
BPS

Harga
Pupuk
Urea
HPUt
(Rp/Kg)
21,45
21,51
22,91
25,83
30,67
50,89
69,61
71,33
71,18
71,18
72,72
72,01
72,11
81,89
92,66
96,24
100,21
105,57
126,93
135,90
169,25
215,61
227,08
246,62
263,26
292,48
318,07
376,04
443,88
572,56
1.088,40
1.352,81
1.334,29
1.400,32
1.596,87
1.626,77
1.758,06
1.865,46
Deptan
BPS

Indeks
Harga
Konsumen
(2000=100)
IHK
2,33
2,62
2,74
2,91
3,82
5,37
6,39
7,66
8,51
9,20
10,69
12,62
14,16
15,51
17,33
19,15
20,05
21,22
23,19
25,05
26,66
28,74
31,45
33,82
37,09
40,25
44,05
47,56
50,52
80,02
96,41
100,00
111,50
124,75
132,97
141,27
150,03
161,22
BPS

95

Lampiran 2. Output Komputer Dugaan Model Ekonometrika


1) Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Padi
Dependent Variable: LAPT
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/21/09 Time: 16:08
Sample (adjusted): 1970 2006
Included observations: 37 after adjustments
Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT
HBT(-1) PBT(-1) PKBT
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
LIRT
HPUT
T

5692.800
3577.304
0.340971
-24.43849
137.3534

1303.629
1689.515
0.214555
32.38776
8.682626

4.366888
2.117356
1.589206
-0.754560
15.81934

0.0001
0.0421
0.1218
0.4560
0.0000

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)

2) Persamaan

0.960731
0.955822
280.6165
195.7219
0.000000

Mean dependent var


S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

10119.12
1335.091
2519860.
1.600874

Produktivitas Padi

Dependent Variable: PVT


Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/21/09 Time: 16:38
Sample (adjusted): 1970 2006
Included observations: 37 after adjustments
Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT
HBT(-1) PBT(-1) PKBT
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
JPUT
LINT

-0.454467
4.621644
0.003777
0.000630

0.588650
1.155435
0.002038
0.000121

-0.772051
3.999916
1.852695
5.225209

0.4456
0.0003
0.0729
0.0000

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.841533
0.827127
0.266201
58.41498
0.000000

Mean dependent var


S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

3.865973
0.640243
2.338472
1.122364

96

3) Persamaan Konsumsi Beras


Dependent Variable: KBT
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/21/09 Time: 16:14
Sample (adjusted): 1970 2006
Included observations: 37 after adjustments
Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT
HBT(-1) PBT(-1) PKBT
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
HBT
POPT
PDBT
HJT

-23882.63
-305.3941
0.326100
-4.836930
460.6333

7280.495
182.5568
0.055273
3.591817
400.8981

-3.280358
-1.672872
5.899774
-1.346653
1.149004

0.0025
0.1041
0.0000
0.1876
0.2591

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.965346
0.961014
1582.564
224.0560
0.000000

Mean dependent var


S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

27176.29
8015.098
80144255
0.363146

4) Persamaan Harga Beras


Dependent Variable: HBT
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/21/09 Time: 16:10
Sample (adjusted): 1970 2006
Included observations: 37 after adjustments
Instrument list: KT RHGU HPUT LIRT T JPUT LINT POPT PDBT HJT
HBT(-1) PBT(-1) PKBT
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
PBT(-1)
PKBT
HBT(-1)
T

3.112823
-3.23E-05
0.095552
0.747394
0.116259

3.062287
0.000167
0.121399
0.126771
0.113149

1.016503
-0.193308
0.787086
5.895602
1.027490

0.3170
0.8479
0.4370
0.0000
0.3119

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.757811
0.727537
1.809449
25.03203
0.000000

Mean dependent var


S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat

18.74028
3.466512
104.7714
1.410791

97

Lampiran 3.Output Komputer Hasil Uji Autokorelasi


1) Persamaan Luas Areal Panen Padi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
Obs*R-squared

34.43460

Probability

0.153774

Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 12:57
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable

Coefficien
t

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
LIRT
HPUT
T
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)

-1503.690
0.168497
0.160888
124.2407
-13.62610
-0.690761
-0.898502
-0.523960
-0.557947
0.020856
0.221014
0.243169
-0.180870
-0.543430
-0.909601
-1.035604
-1.084502
-1.250824
-0.789879
-0.358528
-0.489582
-0.366717
-0.319766
0.025098
-0.676112
-0.343735
-0.456296
-0.316569
-0.604432
-0.600714
-0.039899
0.507131

682.5832
0.186164
0.139237
50.51809
18.80924
0.289258
0.315429
0.378921
0.334156
0.342075
0.321464
0.328616
0.366344
0.457049
0.636068
0.743877
0.778477
0.797059
0.850692
0.756360
0.638926
0.715832
0.858808
1.036735
1.201167
1.360749
1.499140
1.462488
1.169957
0.929404
0.775852
0.612688

-2.202940
0.905103
1.155494
2.459330
-0.724437
-2.388043
-2.848513
-1.382766
-1.669722
0.060968
0.687523
0.739981
-0.493715
-1.188997
-1.430039
-1.392170
-1.393107
-1.569299
-0.928513
-0.474018
-0.766257
-0.512295
-0.372337
0.024209
-0.562879
-0.252607
-0.304372
-0.216459
-0.516627
-0.646343
-0.051426
0.827715

0.0788
0.4069
0.3001
0.0573
0.5013
0.0625
0.0359
0.2253
0.1558
0.9537
0.5223
0.4926
0.6424
0.2878
0.2121
0.2226
0.2224
0.1774
0.3958
0.6555
0.4781
0.6303
0.7249
0.9816
0.5978
0.8106
0.7731
0.8372
0.6274
0.5465
0.9610
0.4455

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.930665
0.500787
186.9304
174714.9
-209.0106
2.615013

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

2.25E-12
264.5678
13.02760
14.42083
2.164952
0.198554

98

2) Persamaan Produktivitas Padi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
Obs*R-squared

15.72265

Probability

0.204272

Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:00
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
JPUT
LINT
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)

0.152206
-0.109113
0.002178
-7.91E-05
0.476107
-0.193387
0.333009
-0.330274
-0.032738
0.079102
0.065552
-0.079285
0.164593
0.067286
0.224357
-0.008190

0.324461
0.142200
0.002688
0.000112
0.223529
0.244575
0.243499
0.252859
0.268429
0.313610
0.270690
0.275848
0.280601
0.285223
0.281184
0.272991

0.469105
-0.767319
0.810048
-0.707143
2.129952
-0.790704
1.367595
-1.306156
-0.121962
0.252232
0.242166
-0.287422
0.586574
0.235906
0.797900
-0.030001

0.6438
0.4514
0.4270
0.4873
0.0452
0.4380
0.1859
0.2056
0.9041
0.8033
0.8110
0.7766
0.5637
0.8158
0.4339
0.9763

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.424937
0.014177
0.253055
1.344770
8.821135
1.935908

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

1.19E-15
0.254868
0.388047
1.084660
1.034514
0.461436

99

3)

Persamaan Konsumsi Beras

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:


Obs*R-squared

36.15328

Probability

0.169142

Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:22
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
HBT
POPT
PDBT
HJT
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)
RESID(-28)
RESID(-29)

8388.701
-1.377879
-0.130326
9.041984
698.0020
-0.828626
0.003140
-0.136811
-0.645838
-0.468246
-0.164662
-0.840051
-0.113277
-0.207503
-1.422643
-0.209739
0.796596
-1.076586
-1.699459
0.063986
-0.031711
-1.125552
-0.042470
0.078953
-2.711687
-1.662833
0.953768
-1.565328
-3.878989
-1.041468
3.152187
-0.505224
-2.563393
-0.538819

17125.85
2.673825
0.169338
17.53518
469.4557
0.719733
0.472900
0.545248
0.609013
0.499185
0.503400
0.616598
0.604772
0.956825
1.060963
0.790942
1.201224
1.682321
2.150562
1.222607
1.234560
1.900298
2.103182
1.941179
2.165260
2.060277
2.128182
2.783539
4.050489
2.656663
3.083629
3.814303
4.165304
2.604726

0.489827
-0.515321
-0.769618
0.515648
1.486832
-1.151297
0.006640
-0.250914
-1.060467
-0.938021
-0.327099
-1.362397
-0.187305
-0.216866
-1.340897
-0.265177
0.663153
-0.639941
-0.790239
0.052335
-0.025686
-0.592303
-0.020193
0.040673
-1.252361
-0.807092
0.448161
-0.562352
-0.957659
-0.392021
1.022233
-0.132455
-0.615416
-0.206862

0.6578
0.6419
0.4976
0.6417
0.2338
0.3330
0.9951
0.8181
0.3667
0.4174
0.7651
0.2663
0.8634
0.8422
0.2724
0.8081
0.5546
0.5677
0.4871
0.9616
0.9811
0.5953
0.9852
0.9701
0.2992
0.4787
0.6844
0.6132
0.4089
0.7212
0.3819
0.9030
0.5818
0.8494

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.977116
0.725387
781.8895
1834054.
-252.5065
2.262442

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

1.77E-12
1492.055
15.48684
16.96714
3.881625
0.144651

100

3) Persamaan Harga Beras


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
Obs*R-squared

36.07083

Probability

0.171510

Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:03
Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable

Coefficien
t

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
PBT(-1)
PKBT
HBT(-1)
T
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)
RESID(-28)
RESID(-29)

0.000472
-0.001003
-0.333061
1.050914
0.293585
-0.786393
-1.062699
-1.019915
-1.094221
-0.387272
-0.966145
-0.458217
-0.224990
-0.425492
-0.267363
0.020739
-0.102253
0.372431
0.125775
-0.053353
0.207231
0.230475
0.042291
0.545113
0.219658
0.541615
-0.228202
-0.032439
-0.355067
0.156535
-0.664888
0.017771
0.211428
0.204503

0.000314
0.000319
0.190696
0.247981
0.160614
0.298655
0.256502
0.296887
0.260219
0.357190
0.247792
0.316021
0.266311
0.199393
0.209403
0.225810
0.214763
0.278383
0.222549
0.255315
0.215876
0.210690
0.212820
0.262306
0.305895
0.374679
0.238993
0.255180
0.261463
0.571450
0.352912
0.352027
0.279815
0.277986

1.503620
-3.149031
-1.746555
4.237874
1.827887
-2.633116
-4.143039
-3.435368
-4.205003
-1.084218
-3.899023
-1.449959
-0.844837
-2.133934
-1.276786
0.091843
-0.476121
1.337835
0.565155
-0.208971
0.959954
1.093909
0.198719
2.078160
0.718082
1.445543
-0.954849
-0.127124
-1.358002
0.273926
-1.884005
0.050482
0.755601
0.735658

0.2297
0.0513
0.1790
0.0241
0.1650
0.0781
0.0255
0.0414
0.0246
0.3576
0.0299
0.2429
0.4603
0.1226
0.2915
0.9326
0.6665
0.2733
0.6115
0.8479
0.4079
0.3540
0.8552
0.1292
0.5246
0.2441
0.4101
0.9069
0.2676
0.8019
0.1561
0.9629
0.5048
0.5152

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.974887
0.698649
0.936497
2.631081
-3.595545
3.005834

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

3.67E-15
1.705965
2.032192
3.512495
3.529151
0.162966

101

Lampiran 4. Output Komputer Hasil Uji Heteroskedastisitas


1) Persamaan

Luas Areal Panen Padi

White Heteroskedasticity Test:


F-statistic
Obs*R-squared

0.443393
8.142430

Probability
Probability

0.940105
0.881774

Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 12:57
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
RHGU^2
RHGU*LIRT
RHGU*HPUT
RHGU*T
LIRT
LIRT^2
LIRT*HPUT
LIRT*T
HPUT
HPUT^2
HPUT*T
T
T^2

8293475.
-15920762
3697994.
1685.971
942105.3
-73598.43
-2544.778
0.197295
86.77854
2.019730
-411803.3
-6183.412
2354.881
-38913.51
429.4339

13010660
48087695
32076014
8715.208
955148.3
293220.5
4017.727
0.304257
97.99292
36.91583
523231.2
7043.461
4312.222
198476.2
1016.365

0.637437
-0.331078
0.115288
0.193452
0.986345
-0.251000
-0.633388
0.648447
0.885559
0.054712
-0.787039
-0.877894
0.546094
-0.196061
0.422520

0.5304
0.7437
0.9093
0.8484
0.3347
0.8041
0.5330
0.5234
0.3854
0.9569
0.4397
0.3895
0.5905
0.8464
0.6767

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.220066
-0.276256
82884.08
1.51E+11
-461.9154
1.810231

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

68104.32
73367.25
25.77921
26.43228
0.443393
0.940105

102

2) Persamaan

Produktivitas Padi

White Heteroskedasticity Test:


F-statistic
Obs*R-squared

1.950233
14.57681

Probability
Probability

0.086916
0.103236

Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:00
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
RHGU
RHGU^2
RHGU*JPUT
RHGU*LINT
JPUT
JPUT^2
JPUT*LINT
LINT
LINT^2

-2.892749
18.19492
-22.71503
0.029266
-0.003042
-0.017658
-1.91E-05
3.83E-06
0.001124
-1.21E-07

5.081264
20.55921
21.65824
0.042638
0.003534
0.011806
2.11E-05
2.26E-06
0.001647
1.36E-07

-0.569297
0.885001
-1.048794
0.686370
-0.860685
-1.495710
-0.903600
1.697504
0.682798
-0.886361

0.5739
0.3840
0.3036
0.4983
0.3970
0.1463
0.3742
0.1011
0.5006
0.3832

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.393968
0.191957
0.083533
0.188397
45.18148
2.362577

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.063202
0.092926
-1.901702
-1.466318
1.950233
0.086916

103

3) Persamaan

Konsumsi Beras

White Heteroskedasticity Test:


F-statistic
Obs*R-squared

5.475852
28.74960

Probability
Probability

0.000214
0.011296

Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:02
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
HBT
HBT^2
HBT*POPT
HBT*PDBT
HBT*HJT
POPT
POPT^2
POPT*PDBT
POPT*HJT
PDBT
PDBT^2
PDBT*HJT
HJT
HJT^2

3.72E+08
-14217182
160214.7
94.78945
-7881.631
-163828.7
-4044.879
0.009485
-1.884278
123.6959
345697.1
107.8414
-10285.48
-14943882
272794.8

3.55E+08
7648189.
96891.26
66.90231
4414.793
324897.5
4810.854
0.016653
2.245014
217.0230
336525.0
83.00847
16656.43
31168956
653235.9

1.049008
-1.858895
1.653551
1.416834
-1.785278
-0.504247
-0.840782
0.569557
-0.839317
0.569967
1.027255
1.299162
-0.617508
-0.479448
0.417605

0.3056
0.0765
0.1124
0.1705
0.0880
0.6191
0.4095
0.5747
0.4103
0.5745
0.3155
0.2073
0.5432
0.6364
0.6803

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.777016
0.635118
2048155.
9.23E+13
-580.5837
1.839063

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

2166061.
3390676.
32.19371
32.84679
5.475852
0.000214

104

4) Persamaan

Harga Beras

White Heteroskedasticity Test:


F-statistic
Obs*R-squared

1.331888
16.97364

Probability
Probability

0.265733
0.257585

Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:04
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.

C
PBT(-1)
PBT(-1)^2
PBT(-1)*PKBT
PBT(-1)*HBT(-1)
PBT(-1)*T
PKBT
PKBT^2
PKBT*HBT(-1)
PKBT*T
HBT(-1)
HBT(-1)^2
HBT(-1)*T
T
T^2

-108.3462
0.011707
-5.21E-07
-0.000298
8.00E-05
0.000734
2.543947
0.077391
-0.182529
0.385496
9.394599
-0.343556
0.118178
-13.77971
-0.210517

119.1007
0.011393
4.94E-07
0.000259
0.000491
0.000671
4.745758
0.179694
0.156958
0.187804
9.329619
0.171942
0.292569
8.129905
0.223209

-0.909702
1.027524
-1.054391
-1.150911
0.162900
1.093820
0.536046
0.430681
-1.162915
2.052647
1.006965
-1.998088
0.403934
-1.694941
-0.943138

0.3728
0.3153
0.3031
0.2621
0.8721
0.2859
0.5973
0.6709
0.2573
0.0522
0.3249
0.0582
0.6902
0.1042
0.3559

R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat

0.458747
0.114313
5.566388
681.6629
-106.4026
2.618148

Mean dependent var


S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)

2.831658
5.914710
6.562305
7.215380
1.331888
0.265733

105

Lampiran 5. Output Komputer Hasil Validasi Model


1) Hasil Validasi Persamaan Luas Areal Panen Padi
13000
Forecast: LAPTF
Actual: LAPT
Forecast sample: 1969 2006
Included observations: 38

12000
11000

Root Mean Squared Error


Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion

10000
9000
8000

258.2908
219.5763
2.182493
0.012721
0.000159
0.013357
0.986485

7000
1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

LAPTF

2) Hasil Validasi Persamaan Produktivitas Padi


5.5
Forecast: PVTF
Actual: PVT
Forecast sample: 1969 2006
Included observations: 38

5.0
4.5

Root Mean Squared Error


Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion

4.0
3.5
3.0
2.5

0.250089
0.196485
5.272810
0.032123
0.000423
0.052053
0.947524

2.0
1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005
PVTF

106

4) Hasil Validasi Persamaan Konsumsi Beras


44000
Forecast: KBTF
Actual: KBT
Forecast sample: 1969 2006
Included observations: 38

40000
36000
32000

Root Mean Squared Error


Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion

28000
24000
20000
16000

1452.340
1089.522
3.879318
0.025944
0.000003
0.005342
0.994655

12000
8000
1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

KBTF

5) Hasil Validasi Persamaan Harga Beras


32
Forecast: HBTF
Actual: HBT
Forecast sample: 1969 2006
Adjusted sample: 1970 2006
Included observations: 37

28
24

Root Mean Squared Error


Mean Absolute Error
Mean Abs. Percent Error
Theil Inequality Coefficient
Bias Proportion
Variance Proportion
Covariance Proportion

20
16
12
8
1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

1.682753
1.212579
6.089308
0.044254
0.000000
0.069219
0.930781

2005

HBTF

107

Anda mungkin juga menyukai