RETHNA HESSIE
RINGKASAN
RETHNA HESSIE, Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri
serta Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Dibimbing Oleh
ADI HADIANTO
Pangan merupakan kebutuhan yang vital bagi manusia. Saat ini dunia
sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga
pangan, seperti beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat
dunia. Permintaan impor bahan pangan dari negara-negara penghasil bahan pokok
semakin meningkat. Produksi bahan pangan dunia pun sedang menurun akibat
banyaknya bencana alam yang melanda darerah-daerah produktif serta alih fungsi
lahan sawah ke non sawah.Untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia
harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor, yang salah satu
caranya ialah dengan melakukan swasembada beras, karena bagi sebagian besar
bangsa Indonesia beras telah menjadi bahan pangan pokok yang sangat penting
sejak berabad-abad yang lalu.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis produksi dan
konsumsi beras di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1)
menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia, (2)
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di
Indonesia, dan (3) memproyeksikan produksi dan konsumsi beras di Indonesia
untuk lima tahun mendatang (2009-2013), serta implikasinya terhadap
swasembada beras di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berupa data time series selama 38 tahun (1969-2006). Jawaban untuk tujuan
pertama digunakan analisis deskriftif dan untuk menjawab tujuan kedua
digunakan analisis persamaan simultan dengan metode pendugaan 2SLS (Two
Stage Least Squares), sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga
menggunakan parameter elastisitas yang diperoleh dari hasil pendugaan model
untuk menghitung proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta
implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia dianalasis secara deskriptif.
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft office
Excel dan Eviews 5.0.
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia dari tahun ke
tahun berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Selama kurun waktu 37 tahun Indonesia masih belum dapat menutupi konsumsi
beras total, sehingga pemerintah masih mengimpor beras. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi (yang direpresentasikan dari luas areal panen dan
produktivitas) padi adalah rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil
buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, luas areal intensifikasi dan trend
waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras adalah harga beras dan
populasi, sedangkan harga beras hanya dipengaruhi secara nyata oleh harga riil
beras tahun sebelumnya. Hasil Proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia
tahun 2009-2013 menunjukan bahwa Indonesia defisit beras hingga tahun 2010
sehingga untuk menutupi kebutuhan akan beras pemerintah dapat mengimpor
beras dalam jangka pendek atau meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009
seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010 seluas 77,40 ribu Ha. Pada tahun 2011
Indonesia dapat mencapai swasembada beras dalam arti surplus beras.
RETHNA HESSIE
H44052269
ii
Judul
Nama
: Rethna Hessie
NRP
: H44052269
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Adi Hadianto, SP
NIP: 19790615 200501 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Tanggal Lulus:
iii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS DALAM NEGERI SERTA
IMPLIKASINYA TERHADAP SWASEMBADA BERAS DI INDONESIA
BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
Rethna Hessie
H44052269
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1987 di Bandung. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari keluarga Bapak Tarmizi dan
Ibu Mimi Kuswati.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gunung Batu 01, pada
tahun 1993 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002
penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2002
penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun
2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Kemudian diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif
dalam organisasi Resource and Environmental Economic Student Association
(REESA) sebagai staf Study Research and Development (SRD) periode 20072008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri serta Implikasinya
terhadap Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Pertanian Bogor.
Skripsi ini membahas tentang perkembangan produksi dan konsumsi beras
di Indonesia. Skripsi ini juga membahas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di Indonesia serta membahas
mengenai proyeksi produksi dan konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013
serta implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang
membutuhkan.
Penulis
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
dengan petunjuk dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua dan segenap keluarga, serta
penghargaan pada berbagai pihak yang yang telah membantu dalam persiapan,
pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Adi Hadianto, SP. Selaku dosen pembimbing yang telah memberi
bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Dosen penguji utama Bapak Ir. Nindyantoro, MSP dan dosen penguji wakil
departemen Bapak Novindra, SP. Terimakasih atas kritik dan masukannya
dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Adi Setyanto, terimakasih atas masukan dan bantuannya dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati departemen Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan, FEM IPB. Terimakasih atas ilmu dan jasa yang telah
diberikan selama ini.
5. Teman-teman seperjuangan yang telah setia mendukung dan memberi
semangat dalam penyusunan skripsi ini Murti, Ratih, Tri, Rindra, Eva, Nani,
Sapto serta seluruh keluarga besar ESL 42 terimakasih atas kerjasama dan
kebersamaan yang pernah ada.
6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas
bantuan dan dukungannya. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas
kebaikannya.
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .........................................................................................
ii
iii
iv
vi
vii
viii
xi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................
xii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
1.5 Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian ..................................
1
1
4
7
7
8
9
9
10
16
17
21
23
23
27
27
27
30
31
35
39
39
39
40
40
42
viii
43
44
44
44
45
46
46
49
49
50
51
52
53
55
57
59
59
86
86
87
89
LAMPIRAN ...........................................................................................
92
62
64
66
68
70
71
71
73
75
77
78
78
79
80
81
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
2.
11
5.
39
6.
60
7.
63
64
67
68
11.
72
12.
73
13.
75
14.
77
15.
79
16.
80
17.
83
3.
4.
8.
9.
10.
DARTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
20
2.
Kurva Indifferens......................................................................
22
3.
29
33
34
6.
38
7.
41
8.
62
65
66
69
4.
5.
9.
10.
11.
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
93
2.
96
3.
98
4.
102
5.
106
xii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka
urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang vital bagi manusia. Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman (BKP- Departemen Pertanian, 2008).
FAO (2008) dalam Suryana (2008) menyatakan bahwa, pangan merupakan
kebutuhan dasar manuasia (HAM), pemerintah wajib menyediakan pangan yang
layak. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Roma tahun 1996 pada KTT Pangan
Dunia dan Deklarasi Millenium (MDGs) tahun 2000 yang menyepakati penurunan
jumlah penduduk lapar hingga setengahnya pada tahun 2015, dan International
Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICOSOC) yang diratifikasi
dengan UU No. 11 Tahun 2005 yang berisi tentang; Pertama, Hak setiap orang
atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas pangan. Kedua,
Setiap orang harus bebas dari kelaparan. Pangan merupakan kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia. Jika terjadi
kelangkaan dalam kebutuhan vital ini maka keseimbangan dalam kehidupan
manusia juga akan terganggu.
Saat ini dunia sedang mengalami krisis pangan yang ditandai dengan
meningkatnya harga-harga sektor pangan, khususnya harga makanan pokok dunia.
Harga beras dan gandum kian melambung dengan permintaan atas komoditi
tersebut juga semakin meningkat. Permintaan impor bahan pangan dari negara-
negara penghasil bahan pokok pun semakin meningkat. Produksi bahan pangan
dunia pun sedang menurun akibat banyaknya bencana alam yang melanda
darerah-daerah produktif serta alih fungsi lahan produksi pangan menjadi lahan
produksi komoditi lain. Adapun stok pangan dunia pada tahun 2006-2007 dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Stok Pangan Dunia (Juta Ton) 2006-2007
No.
Komoditi
2006/2007 2007/2008 (%)
1.
Beras
105,5
105,0
-0,47
2.
Jagung
119,4
103,0
-13,70
3.
Kedelai
61,1
47,3
-22,57
4.
Gandum
159,5
144,5
-9,40
5.
Sawit
5,4
5,7
5,00
Sumber
: FAO food outlook dalam Suryana (2008)
Keterangan : Stok jagung adalah perkiraan tahun 2008 dan ramalan tahun 2009.
Berdasarkan Tabel 1 kita dapat melihat bahwa stok pangan dunia yang
terdiri dari beras, jagung, kedelai dan gandum mengalami penurunan pada tahun
2008. Untuk itu membangun ketahanan pangan harus menjadi prioritas utama
untuk mengatasi krisis pangan, karena kondisi krisis pangan mempunyai dampak
besar bagi suatu bangsa dan berimbas pada sektor-sektor lain. Sektor yang
berhubungan erat adalah sektor ekonomi. Krisis pangan akan menyebabakan
produktivitas rendah dan memicu krisis ekonomi, krisis pangan juga akan
mengakibatkan tingginya harga komoditas tersebut. Hal ini juga akan berakibat
pada kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia pada khususnya, karena akan
meningkatkan kemiskinan yang akhirnya memicu keresahan/kerusuhan. Selain itu
krisis pangan pun dapat mempengaruhi stabilitas politik suatu bangsa menjadi
instabil.
Semua negara di dunia memandang penting ketahan pangan dan gizi,
begitupun negara Indonesia. Pemerintah Indonesia yang terdiri dari Presiden,
Beras
437,99
Jagung
962,24
Kedelai
1.180,55
Daging sapi
13,60
Gula
822,76
Sumber : FAO dalam Suryana (2008)
13
22
11
33
2
Negara Pengimpor
Terbesar di Dunia
Nigeria
Japan
China
USA
Belgium
negara yang swasembada beras pada tahun 1984, namun setelah itu kondisi
Indonesia mengalami kemunduran dibidang ketahanan pangan. Ketergantungan
terhadap beras sebagai pangan pokok menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan
beras harus dipenuhi melalui impor beras.
Saat ini Indonesia kembali mengupayakan swasembada beras yang pada
masa lalu pernah dicapainya. Di saat dunia sedang mengalami krisis keuangan
global, Indonesia tidak mengalami krisis pangan sebagaimana yang dialami
sebagian negara-negara di dunia, karena menurut data yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008 Indonesia mencapai swasembada beras,
produksi tahun ini meningkat 3,12 juta ton gabah kering giling (GKG) atau
meningkat 5,46 persen dari tahun 2007.
Indikator swasembada beras juga ditunjukan pula dengan keberhasilan
Indonesia untuk tidak mengimpor beras selama tahun 2008 berlangsung. Bahkan
Indonesia secara tidak langsung telah berpartisipasi menurunkan harga beras
dunia akibat stok beras dunia tidak dibeli Indonesia. Dengan dijualnya cadangan
beras yang semula dicadangkan untuk Indonesia ke pasaran internasional, maka
harga beras dunia mulai menurun. Meningkatnya produksi padi nasional dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ketersediaan dan Konsumsi Beras (Ton) Tahun 2005-2008
No Uraian
2005
2006
2007
1.
Produksi padi
54.151.097 54.454.937 57.157.435
(GKG)
2.
Ketersediaan beras 30.668.730 30.840.811 32.371.384
3.
Konsumsi
30.592.434 30.995.189 31.398.084
4.
Impor beras
189.000
437.889
1.293.980
5.
Stok akhir
2.035.324 2.318.835
4.586.114
Sumber : BPS, diolah BKP dalam Suryana (2008)
2008
60.279.897
34.139.805
31.799.017
6.926.902
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada data empat tahun terakhir produksi
beras nasional menunjukan perkembangan yang signifikan. Pada tahun 2005
produksinya mencapai 54.151.097 Ton, maka pada tahun 2006, 2007, 2008
masing-masing produknya meningkat menjadi 54.454.937 Ton (0,56%),
57.157.435 Ton (4,96%), 60.279.897 Ton (5,46%).
Meskipun sudah diakui keberhasilan poduksi padi yang terus meningkat,
namun masih ada sejumlah kendala yang menjadi tantangan. Pertama, jumlah
pupuk bersubsidi yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan yang diusulkan
daerah. Kedua, masih ada penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi diluar
peruntukannya. Ketiga, pabrik pupuk masih beroperasi dibawah kapasitas
terpasang, karena keterbatasan pasokan bahan baku gas maupun non gas.
Keempat, belum optimalnya pelaksanaan pengawasan di daerah.
Dengan demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah kemajuan
produksi beras dapat dipertahankan dan apakah swasembada beras seperti yang
diinginkan akan tercapai secara berkelanjutan. Sedangkan masih banyak faktorfaktor yang kurang mendukung dalam pencapaian swasembada beras diantaranya
yaitu keterbatasan lahan petani serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk.
Menurut Notohadiprawiro (1998) dalam Sisworo (2006) berdasarkan data yang
ada, di pulau Jawa setiap tahun terjadi alih guna lahan pertanian untuk
penggunaan non-pertanian seluas 15.000-20.000 Ha. Di Indonesia, kepemilikan
lahan hanya 358 m2 per orang jauh dibandingkan Thailand yang mencapai 1.500
m2 per orang. Sementara itu infrastruktur yang ada belum memadai, lebih dari
20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi sentra produksi
nasional rentan terhadap kekeringan (BKP-Departemen Pertanian, 2008). Selain
itu faktor lain yang tidak mendukung yaitu faktor perubahan iklim, anomali iklim
saat ini semakin tinggi intensitasnya.
4) 80% perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu; Thailand, Amerika
Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras
internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan
oligopoli tersebut.
5) Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada periode 19971998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia.
6) Hampir banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan
political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak stabil dan
tinggi.
2.2. Kebijakan Perberasan
Beras merupakan komoditas strategis,
menjadi penentu kebijakan pangan nasional dalam pemenuhan hak pangan dan
kelangsungan hidup rakyat. Kebijakan perberasan juga merupakan bagian penting
kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Hampir semua
pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu
melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti
beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik. Adapun kebijakan perberasan
di Indonesia terdiri dari:
1) Kebijakan Peningkatan Produksi Padi/Beras
Untuk memenuhi kebutuhan akan beras maka pemerintah melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan produksi padi dalam negeri. Upaya
meningkatkan produksi padi telah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Secara ringkas perubahan kebijakan peningkatan produksi padi dapat dilihat pada
Tabel 4.
10
1965
Intensifikasi
Masal
1968
Pengenalan
varietas PB5 dan
PB8 (IRRI)
Bimas
Gotong
Royong
1969
Penggunaan
varietas PB5 dan
PB8
Penguatan
kelembagaan
modal swasta
Munculnya
Koperasi Unit
Desa (KUD)
Supra
Intensifikasi
Khusus
1987
Sapta Usahatani
Penguatan
kelompok tani
Kurang berhasil,
produksi stagnan
SUPTA
1995
Varietas Cibodas
dan Membramo
Diversifikasi
pertanian
Tidak Berhasil
INBIS
1997
Varietas Cibodas
dan Membramo
Pendampingan
Petani
Gagal karena El
Nino
Gema
Palagung
1998
Kurang berhasil,
kredit macet
Corporate
Farming
2000
Varietas Cibodas
dan Membramo
Konsolidasi
Petani
sehamparan
Gagal karena
kesalahan
persepasi petani
Proyek
Ketahanan
Pangan
2000
Varietas Cibodas
dan Membramo
Bantuan dana
langsung
Kurang berhasil,
petani sulit
dimonitor
Perpaduan
Sumberdaya
Kelompok usaha
agribisnis dan
penguatan modal
Kurang berhasil,
tekanan
kerjasama luar
negeri
Bantuan benih,
Pupuk bersubsidi,
pupuk organik,
perbaikan irigasi
Pengendalian
OPT, manajemen
pasca panen dan
kelembagaan
Berhasil
meningkatkan
produksi 2,6 juta
ton
Pengelolaan 2001
tanaman dan
Sumberdaya
Terpadu
Program
2007
Peningkatan
Beas
Nasional
Sumber: Pratiwi (2008)
Varietas unggul
meluas
11
12
13
Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga kini
adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM
merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga
beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara
pemotongan harga sekitar 10% 15% di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal dari OPK
adalah penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan
saat krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan
Bulog hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK
diubah namanya menjadi Raskin ( Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin
juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang
volumenya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan
kenaikan harga beras di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).
3) Kebijakan Impor
Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan mengurangi tingkat
ketergantungan impor beras Indoesia. Kebijakan impor diimplementasikan
melalui dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan restriksi nontarif. Adanya
liberalisasi pertanian pada tahun 1998 diwujudkan dengan menghapus berbagai
instrumen kebijakan, diantaranya dengan pencabutan monopoli impor beras oleh
Bulog pada akhir tahun 1999 dan impor terbuka bagi siapa saja, serta adanya
pembebasan bea masuk impor, sehingga mendorong banjirnya impor beras. Hal
ini menyengsarakan petani Indonesia, terutama petani kecil.
Pada tahun 2000, pemerintah melakukan kebijakan protektif dengan
menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430/kg (30% ad volarem). Nilai tarif
ini ternyata lebih kecil dari tariff line yang telah dicatatkan di WTO yaitu sebesar
14
40%, kacuali untuk beras bound rate (160%) dan gula (95%) untuk periode 19952004. Kemudian nilai tarif tersebut dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004
menjadi sebesar Rp 450/Kg yang berlaku mulai awal 2005. Ternyata pengenaan
tarif spesifik tersebut tidak efektif mengangkat harga beras dalam negeri dan
justru mendorong terjadinya penyelundupan beras ke Indonesia (Pratiwi, 2008).
Sebagai alternatif dari kebijakan tarif, pemerintah menerapkan kebijakan
pengaturan impor beras berdasarkan kepmen Perindag No. 9/MPP/Kep/1/2004
yang mengatur pelarangan impor beras satu bulan sebelum dan dua bulan setelah
panen raya, sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada
bulan Januari-Juni, dan pada periode di luar panen raya beras impor dapat masuk
dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu. Proteksi non
tarif juga dilakukan melalui quota tarif dan pengawasan jalur perdagangan.
4) Kebijakan Distribusi
Kebijakan distribusi bertujuan untuk menjamin ketersediaan pangan
sepanjang tahun secara merata dan terjangkau di seluruh lapisan masyarakat.
Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan karena beras
memiliki ciri membutuhkan waktu dalam penyediaannya. Lag penyediaan beras
terjadi karena produksi padi sangat tergantung musim tanam. Karena itu pada
bulan-bulan tertentu, terutama pada musim panen raya (Februari-Mei), pasokan
beras melimpah. Sedangkan pada musim paceklik (Agustus-September) pasokan
beras cenderung berkurang, bahkan sering terjadi kerawanan pangan pada daerahdaerah tertentu. Persediaan beras antar daerah tidak merata karena kemampuan
produksi antar wilayah tidak sama. Sehingga pengaturan distribusi pangan yang
baik sasngat diperlukan.
15
16
kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, (3) revitalisasi sektor pertanian dan
pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, sebagaimana disebut
sebelumnya (Arifin, 2007).
Strategi
tersebut
telah
dijabarkan
lebih
lanjut
dalam
Rencana
17
18
= Jumlah produksi
Xn
= Faktor-faktor produksi
Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan
19
c
b
PT
a
0
Y
PR
X
0
PM
Keterangan :
a
: PM maksimum
b
: e = 1, PR maksimum
c
:e=0
0-b
: Daerah I
(EP > 1)
b-c
: Daerah II
(0 < EP < 1)
c >> : Daerah III (EP < 1)
X
Y
PT
PR
PM
: Hasil Produksi
: Faktor Produksi
: Produk Total
: Produk Rata-Rata
: Produk Marginal.
20
21
I1 I2 I3
Good X
Sumber: Nicholson, 1991
22
melengkung.
Kurva
berbentuk
cembung
terhadap
sumbu
23
Pemda terkait. Hal ini karena masih tingginya potensi peningkatan produksi di
masa mendatang tetapi ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua
adalah mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya
lokal dan yang terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan
pemberian insentif bagi pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian
dapat dikurangi.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sari (2007), mengenai analisis
dampak kenaikan harga beras terhadap pola konsumsi beras rumah tangga, studi
kasus di Cipinang Jakarta Timur. Menyimpulkan bahwa beras merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia dan belum ada bahan pangan lain yang
menggantikannya, sehingga setinggi apapun harga beras, rumah tangga akan tetap
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya terhadap beras.
Farihah (2005) dalam penelitiannya, memperoleh hasil ramalan produksi
dan konsumsi beras dengan menggunakan data BPS menunjukan Indonesia dapat
mencapai swasembada beras untuk enam tahun yang akan datang (2006-2011).
Sedangkan dengan menggunakan deret data modifikasi Indonesia belum dapat
mencapai swasembada beras.
Malian dkk (2004) dalam studinya yang bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras, serta perubahan
harga beras domestik dan indeks harga bahan makanan. Dengan menggunakan
data sekunder yang bersumber dari BPS, Deptan dan Bulog yang diananlisis
dengan menggunakan model ekonometrika. Hasil analisis menunjukan bahwa
kebijakan harga dasar gabah tidak akan efektif apabila tidak diikuti kebijakan
perberasan lainnya. Faktor determinan yang teridentifikasi memberikan pengaruh
adalah: (1) Produksi padi dipengaruhi oleh luas panen padi tahun sebelumnya,
24
impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras dipasar domestik.
(2) Konsumsi beras dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras dipasar
domestik, impor beras tahun sebelumnya, harga jagung pipilan di pasar domestik,
dan nilai tukar riil. (3) Harga beras di pasar domestik dipengaruhi oleh nilai tukar
riil, harga jagung pipilan dipasar domestik dan harga dasar gabah.
Adnyana (!999) berdasasrkan studinya mengenai penerapan model
penyesuaian Nerlove dalam proyeksi produksi dan konsumsi beras, diperoleh
hasil proyeksi luas areal panen padi cenderung menurun dalam 14 tahun kedepan
(2000-2014) sebesar 0,013% per tahun, namun produksi padi cenderung
meningkat karena persentase peningkatan produktivitas lebih besar dari
penurunan luas areal panen. Dalam periode yang sama, konsumsi beras per kapita
diperkirakan menurun 0,014% per tahun. Bila tidak ada upaya khusus dalam
meningkatkan produksi padi dalam 14 tahun kedepan maka Indonesia
diperkirakan akan mengalami peningkatan defisit rata-rata 7,628% per tahun.
Mulyana (1998) menemukan bukti empirirs dari hasil penelitiannya,
bahwa ada beberapa respon dari para petani Jawa dan Bali dengan para petani
diluar Jawa dan Bali (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya) dalam
meningkatkan areal panen. Untuk Jawa dan Bali harga gabah mempunyai
pengaruh posotif terhadap areal dalam
Sedangkan di luar Jawa dan Bali, yang berpengaruh positif terhadap areal panen
hanya harga gabah secara tunggal. Selain itu konversi lahan yang terjadi di Jawa
dan Bali berpengaruh negatif terhadap perluasan areal panen. Elastisitas rasio
harga gabah terhadap harga pupuk dalam jangka pendek di Jawa dan Bali sebesar
0,006 dan dalam jangka panjang sebesar 0,011. Sedangkan di Sumatra
elastisitasnya meningkat menjadi 0,020 dan 0,057. Begitu pula dengan
25
Kalimantan dan Sulawesi masing-masing untuk jangka pendek sebesar 0,188 dan
0,137 dan untuk jangka panjang sebesar 1,944 dan 0,759.
Penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (1998), menunjukan hasil
evaluasi dengan simulasi diketahui bahwa dalam periode 1984-1996 swasembada
beras sebenarnya dapat dipertahankan apabila diterapkan kebijakan tunggal
menaikan haga dasar gabah 15,38%, menambah areal irigasi 3,61%, areal
intensifikasi 5,25% atau mendevaluasi rupiah 100% dari kecenderungan
perubahannya. Kebijakan harga dasar atau devaluasi rupiah akan meningkatkan
kesejahteraan petani, namun mengurangi kesejahteraan konsumen. Sebaliknya
kebijakan penambahan areal irigasi dan intensifikasi lebih berpihak kepada
konsumen dan akan merugikan petani karena bertambahnya produksi padi tidak
diiringi dengan peningkatan pengadaan secara proporsional sehingga harganya
turun.
Tabor et all (1989) dalam Ritonga (2004), mengungkapkan bahwa
rendahnya
elastisitas
harga
beras
memberikan
petunjuk
bahwa
usaha
26
antara lain mengenai penawaran beras, permintaan beras, serta harga dan
intervensi pemerintah.
3.1.1. Penawaran Beras
Penawaran disektor pertanian adalah banyaknya komoditas pertaian yang
diproduksi/ditawarkan oleh para petani/produsen. Dalam hukum penawaran
dinyatakan bahwa semakin tinggi harga dari suatu barang semakin banyak jumlah
barang tersebut yang ditawarkan oleh produsen, karena rangsangan ekonominya
tinggi. Sebaliknya, semakin rendah harganya semakin sedikit jumlah yang
ditawarkan dengan sayarat bahwa faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi
penawaran, seperti luas tanah, cuaca, dan sebagainya tidak berubah (cateris
paribus) (Tambunan, 2003).
Produksi suatu komoditas pertanian (Qg) dalam model agregat merupakan
fungsi dari masukan utama lahan (A), modal (K) tenaga kerja (L) dan masukan
lainnya (Z), yaitu :
Qg = p(A, K, L, Z) ................................................................................. (1)
Penentuan
keputusan
produksi
itu
didasarkan
atas
pilihan
(1)
27
Dimana Pg adalah harga komoditi (dalam penelitian ini adalah gabah), Pa harga
masukan A, Pk harga masukan K, PL harga masukan L, Pz harga masukan Z dan
Bt adalah biaya tetap.
Dengan melakukan penurunan secra prosedur matematika, sehingga dari
persamaan akan dihasilkan:
NPMi = Pi ................................................................................................ (3)
NPMi nilai produksi marjinal dari masukan i, dan i adalah A, K, L, Z,
sementara Pi adalah harga masukan i. Kemudian dari persamaan (3) dapat
diturunkan fungsi permintaan masing-masing masukannya yaitu:
A = a(Pa, Pg, Pk, PL, Pz) ......................................................................... (4)
K = k(Pk, Pa, Pg, PL, Pz) ......................................................................... (5)
L = l(PL, Pa, Pg, Pk, Pz) .......................................................................... (6)
Z = z(Pz, Pa, Pg, Pk, PL) ......................................................................... (7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4) hingga (7) ke persamaan (1) maka
menurut pendekatan masukan produksi akan diperoleh persamaan penawaran
sebagai berikut:
Qg = g(Pg, Pa, Pk, PL, Pz) ....................................................................... (8)
Jadi penawaran merupakan fungsi dari harga gabah (Pg) dan harga faktor produksi
(Pa, Pk, PL, dan Pz).
Besar kecilnya pengaruh harga komoditas pertanian terhadap jumlah yang
diproduksi tergantung pada nilai elastisitas harga dari penawaran. Semakin besar
niali elastisitasnya, semakin besar perubahan penawaran atau lebih besar daripada
perubahan (Gambar 3A). Sebaliknya, jika nilai elastisitasnya semakin kecil,
perubahan jumlah barang yang ditawarkan juga semakin kecil, atau persentase
perubahannya lebih kecil daripada persentase perubahan harganya, atau jumlah
28
yang ditawarkan tidak berubah sama sekali jika nilai elastisitasnya nol (Gambar
3B) (Tambunan, 2003).
(A)
(B)
P1
P0
Q0
Q1
29
Qd
Qn
= Tingkat pendapatan
Pb
= Harga beras
Pn
30
Pbt
= Harga beras
Pnt
Yt
= Tingkat pendapatan
Ot
= Jumlah penduduk.
31
32
harga pasar adalah Pm dan harga dasar adalah Pf, maka Pf lebih besar daripada
Pm. Dengan berlakunya harga dasar ini, konsekuensinya pemerintah harus
membeli kelebihan produksi. Tentu saja kalau pasar dikehendaki bekerja pada
harga dasar. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 4. Pada gambar tersebut
terlihat bahwa OQ0 adalah besarnya produksi yang diminta masyarakat pada harga
pasar (Pm) Yang berada dibawah harga dasar (Pf). Bila harga dasar diberlakukan,
maka jumlah permintaan adalah sebesar OQ1. Namun agar harga dasar dapat
berfungsi dengan baik, maka pemerintah perlu membeli kelebihan produksi
(penawaran) sebesar Q1Q2. Dalam situasi seperti ini maka jumlah produksi yang
seharusnya dijual produsen adalah sebesar OQ2, yang dijual untuk konsumsi
masyarakat adalah sebesar OQ2 dan yang dibeli oleh pemerintah adalah sebesar
Q1Q2
Harga
D
Pf
Pm
S
0
D
Q1
Q0
Q2
kuantitas
Gambar 4. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Dasar pada saat Panen Raya
Selain harga di tingkat petani, dalam hal ini beras yang mekanisme
pasarnya banyak diintervensi pemerintah, perkembangan harga yang juga menjadi
33
perhatian adalah harga di tingkat konsumen. Untuk itu perlu diketahui bagaimana
perilaku harga beras dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagai berikut:
Pbt = pb(Qbt, Qdt, Pbt-1) ........................................................................ (20)
Harga beras (Pb) dipengaruhi oleh jumlah beras yang diproduksi (Qb), jumlah
konsumsi beras (Qd) dan harga beras yang berlaku periode sebelumnya.
Untuk melindungi konsumen, pemerintah menetapkan harga maksimum
atau harga atap (ceilling price), yaitu harga tertinggi yang boleh diterapkan
pedagang kepada konsumen. Pada situasi paceklik yaitu pada saat jumlah
produksi yang tersedia terbatas, sementara jumlah konsumen tetap atau bahkan
terus bertamabah. Dalam keadaan seperti ini, harga pasar cenderung tinggi atau
lebih tinggi dari harga keseimbangan bila saja tidak diberlakukan harga atap.
Keadaan pada saat paceklik ini merupakan kebalikan dari situasi panen raya. Bila
pada saat panen raya pemerintah harus membeli sejumlah kelebihan produksi,
pada saat paceklik pemerintah harus menjual persediaan atau cadangan (Stock)
beras.
Harga
Pm
Pc
S
D
0
Q1
Q0
Q2
kuantitas
Gambar 5. Permintaan dan Penawaran dengan Harga Atap pada saat Paceklik
34
Pada Gambar 5 terlihat bahwa OQ0 adalah jumlah produksi yang dijual
dan akan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (Pc). Disini
terlihat bahwa Pc lebih tinggi dari Pm. Bila tidak diberlakukan harga atap, maka
perbedaan Pc dan Pf akan semakin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka
jumlah produksi yang dijual adalah sebesar OQ1, pada saat itu harga pasar (Pm)
melebihi harga dasar. Agar harga atap tersebut berfungsi pada posisi Pm, maka
pemerintah perlu menjual stock sebesar Q1Q2. Dengan demikian situasinya
adalah sebagai berikut; komoditi pertanian yang berada di pasar sebesar OQ2
(yang terbeli pada harga pasar) yang terdiri dari produksi yang dijual produsen
sebesar OQ1 dan yang disuplai oleh pemerintah sebesar Q1Q2.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Saat ini dunia sedang mengalami krisis keuangan global, karena itu
sebagian negara
di dunia
35
merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Perlu
diingat bahwa sejak munculnya Undang-Undang No.12 tahun 1992 tentang sistem
budidaya tanaman, sejak itu tidak ada lagi kemampuan pemerintah mengontrol
budidaya pertanian. Petani bebas memilih komoditas apa yang akan mereka tanam
tanpa ada tekanan atau paksaan untuk menanam komoditas tertentu yang
diinginkan pemerintah. Sejak itu impor beras terus meningkat dan puncaknya
tahun 1999, dimana impor beras mencapai 4,7 juta ton atau tertinggi sepanjang
sejarah Indonesia. Melalui Undang-Undang itu pula, era liberalisasi budidaya
pertanian dimulai, karena tidak ada kendali pemerintah atas usaha tani. Satusatunya faktor yang menjadi acuan petani memilih komoditas yang akan mereka
tanam adalah faktor keuntungan.
Dalam rangka memberikan insentif kepada petani untuk menanam padi,
pemerintah menaikan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, baik di
tingkat petani maupun usaha penggilingan, dengan begitu diharapkan keuntungan
petani meningkat dan muncul kegairahan untuk menanam padi. Hasil yang
diperoleh, luas tanam padi musim hujan periode Oktober 2007-Maret 2008
mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4% diatas pencapaian luas tanam pada periode
sama 2006/2007 (Kompas, Desember 2008).
Produktivitas sawah Indonesia sekarang ini menduduki peringkat ketiga
dunia, setelah China dan Vietnam, yaitu sebesar rata-rata 4,6 ton/ha. Sementara itu
negara Thailand yang telah berhasil mengekspor beras, tingkat produktivitasnya
hanya sebesar 3 ton/ha. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa faktor yang
kurang mendukung produktivitas sawah di Indonesia diantaranya, suplai pupuk
tahun 2007/2008 nyaris tanpa perubahan. Kelangkaan pupuk urea terjadi dimanamana sehingga banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk. Akibatnya
36
banyak
tanaman
padi milik
petani
yang terlambat
dipupuk sehingga
pertumbuhannya tidak optimal. Dari 5,8 juta ton kebutuhan pupuk urea,
pemerintah hanya mampu mengalokasikan 4,3 juta ton pada musim tanam 2008
(kompas, Desember 2008). Selain itu faktor perubahan iklim yang tidak menentu
juga dapat menghambat produktivitas. Selain hambatan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas, tingginya laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian, serta minimnya infrasrtruktur irigasi dan waduk juga akan menghambat
swasembada beras di Indonesia.
Dengan beberapa faktor yang kurang mendukung diatas, hingga saat ini
masih ada komitmen yang kuat terutama dari pemerintah untuk swasembada
beras. Untuk itu dalam penelitian ini akan menguraikan perkembangan produksi
dan konsumsi beras di Indonesia dalam kurun waktu 37 tahun terakhir. Setelah itu
akan diduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras di
Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan
simultan. Setelah melakukan identifikasi dan evaluasi model, akan dilakuakan
analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi
beras di Indonesia.
Tahap selanjutnya dalam penelitian ini adalah melakukan proyeksi
produksi dan konsumsi beras dalam negeri, dalam lima tahun ke depan 20092013. Parameter elastisitas yang diperoleh dari pendugaan model produksi dan
konsumsi beras di Indonesia, digunakan untuk membuat proyeksi produksi dan
konsumsi beras untuk lima tahun kedepan. Setelah itu akan dianalisis
implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan
pemerintah dalam rangka pencapaian swasembada beras di Indonesia.
37
Dunia
Diperlukan upaya
swasembada pangan
Ketersediaan
beras dunia
terus
menyusut
Beras merupakan
komoditas pangan utama
penduduk Indonesia
Diversifikasi
pangan
Masih sulit
diterapkan
Program
swasembada beras
: Dianalisis
: Tidak dianalisis
38
Sumber Data
BPS, Deptan
BPS, Deptan
BPS, Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
Deptan
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
39
40
Luas Irigasi
(LIRt)
Trend
Luas Areal
Panen (LAPt)
Harga Urea
(HPUt)
L.Intensifikasi
(LINt)
Produktivitas
Padi (PVt)
(HG t/UBTt)
Konversi
(Kt)
Jumlah
Pupuk (JPUt)
(HGt)
Produksi Padi
(PPt)
Produksi Beras
(PBt)
Lag Prod.Beras
(PBt-1)
Lag Harga
Beras (HBt-1)
(HGt)
Surplus/Defisit
Beras (SDt)
Populasi
(POPt)
Harga Beras
(HBt)
Konsumsi
Beras (KBt)
Pert. Konsumsi
(PKBt)
Harga
Jagung (HJt)
PDB riil
(PDBt)
Variabel Endogen :
Variabel Eksogen :
41
42
urea dan trend waktu. Persamaan luas areal panen tanaman padi dirumuskan
sebgai berikut :
LAPt = a0 + a1HGt/UBTt + a2 LIRt + a3HPUTt + T + t
Dimana:
LAPt = Luas areal panen tanaman padi tahun ke-t (Ribu Ha)
HGt
= Trend waktu
a0
= Intersep
ai
= Error
Dimana :
PVt
HGt
LINt
43
bi
= Error
= LAPt x PVt
Dimana :
PPt
= Kt x PPt
Dimana :
PBt
Kt
PPt
44
Dimana:
KBt
HBt
c0
= Intersep
ci
= Error
Dimana :
PBt-1
45
= Intersep
di
KBt
46
47
2) Rank Condition
Rank condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan yang setelah
dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi,
yang untuk selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified
atau over identified. Langkah-langkah rank condition adalah :
a) Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas
kanannya nol.
b) Susun matriks koefisien dari semua variabel yang ada untuk persamaanpersamaan tersebut.
c) Jika kita ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris
persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut.
d) Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat
dihitunng.
e) Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka
simpulkan :
i) Persamaan tersebut over identified, bila (K M) > (G 1)
ii) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K M) = (G 1).
Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut under
identified.
Model persamaan simultan yang terdiri dari 7 persamaan dengan 20 total
variabel dalam model. Di dalam model terdapat 7 variabel endogen dan 11
variabel eksogen dan 2 variabel lag. Uji Order condition menghasilkan
kesimpulan dapat diidentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model,
dimana hasil pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel
48
endogen dan eksogen dalam persamaan (M) yang diidentifikasi lebih besar dari
hasil pengurangan total persamaan (G) dalam model dengan satu.
Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identifikasi untuk
masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua
determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil
pengurangan total variabel dalam model (K) dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan (M) lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan
dalam model (G) dengan satu. Hasil identifikasi yang menghasilkan kesimpulan
overidentifikasi memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan Two-Stage
Least Squares (2SLS).
4.3.3. Evaluasi Model
Terdapat tiga kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi model
ekonometrika yaitu: (1) kriteria ekonomi, (2) kriteria satistik, (3) dan kriteria
ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977). Berdasarkan kriteria ekonomi, model
dievaluasi dengan melihat apakah tanda dan besarnya parameter dugaan variabelvariabel penjelas dalam persamaan sesuai dengan hipotesis. Berdasarkan kriteria
statistik, akan dilihat besarnya nilai koefisien determinasi (R2), nilai uji-f dan uji-t.
Pada kriteria ekonometrik yang digunakan ialah dengan melihat adanya
Autokorelasi dan Heteroskkedastisitas. Berikut serangkaian evaluasi model yang
dilakukan:
4.3.3.1. Kesesuaian Model
Kesesuaian model (Goodness Of Fit) dihitung dengan nilai koefisien
determinasi R2. koefisien determinasi R2 bertujuan untuk mengukur keragaman
variabel dependen yang dapat diterapkan oleh variabel independen. R2
49
50
a = dugaan parameter
Statistik uji yang digunakan dalam uji-f :
f hitung =
SSR / (k - 1)
SSE / (n - k)
SSE
= jumlah parameter
= jumlah pengamatan
H1
51
bi
S (bi )
Dimana :
bi
Dalam
Koutsoyiannis
(1977),
adanya
autokorelasi
dapat
menyebabkan terjadinya :
1 ) Varians yang diperoleh dari pendugaan lebih kecil daripada nilai
varians yang sesungguhnya.
2 ) Hasil dugaan dengan metode 2SLS bersifat inefisien, artinya
variansnya lebih besar dibandingkan dengan metode ekonometrik
lainnya.
Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya
autokorelasi adalah uji d (Durbin Watson Statistic). Namun dikarenakan dalam
52
persamaan yang diamati terdapat lagged endogenous variable maka uji d menjadi
tidak valid. Sehingga dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi digunakan
Breusch Godfrey Serial Correlation LM Test. Dimana jika nilai probability
Breusch Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf yang
digunakan maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak terdapat
masalah autokorelasi.
Sedangkan untuk masalah heteroskedastisitas, dalam penelitian ini
menggunakan White Heteroskedastisity Test. Dimana jika nilai probability White
Heteroskedastisity Test lebih besar dari taraf yang digunakan maka disimpulkan
tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
4.3.4. Pengukuran Elastisitas
Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar derajat
kepekaan variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan yang terjadi
pada variabel eksogen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut :
Esr Yt , Xi =
ai Xi
( Yt)
Dimana :
Esr Yt , Xi
ai
Xi
Yt
53
Kriteria uji :
1) Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E > 1), dikatakan elastis (responsive)
karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan
variabel endogen lebih dari satu persen.
2) Jika nilai elastisitas antara nol dan satu ( 0 < E< 1), dikatakan inelastis (tidak
responsive),
karena
perubahan
satu
persen
variabel
eksogen
akan
= Ait-1(1 + ii + izz)
Yit
= Yit-1(1 + ii + kwk)
Qgit
= Ait x Yit
Dimana :
Ait
Ait-1
iz
Yit
54
Yit-1
wk
Qgit
= Qdit-1(1 + ii + ii)
Diaman:
Qdit
55
1 T Y e Y a
RMSPE = t a t
Yt
T t 1
1 T
e
a 2
T Yt Yt
t 1
U=
1 T
e 2
T Yt
t 1
0 .5
0 .5
0 .5
2
1 T
Yt a
T t 1
0 .5
Dimana :
RMSPE
Yt e
Yt a
56
Data time series adalah data yang dikumpulkan dari beberapa tahapan waktu
secara kronologis pada serangkaian variabel yang diamati pada interval
waktu tertentu, misalnya mingguan, bulanan, dan tahunan.
2)
Gabah atau padi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabah kering
giling (GKG).
3)
Beras adalah semua hasil total dari konversi padi dalam satuan ribu ton.
4)
Produksi beras adalah jumlah total produksi beras di Indonesia dalam satuan
ribu ton.
5)
Konsumsi beras adalah konsumsi beras total yang terdiri dari konsumsi
untuk pangan, konsumsi untuk industri pangan dan non pangan, konsumsi
benih setara beras dan konsumsi lainnya yang dinyatakan dalam satuan ribu
ton.
6)
Luas areal panen merupakan luas seluruh areal produktif atau panen tanaman
padi di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
7)
8)
Harga riil gabah merupakan merupakan harga gabah ditingkat petani yang
dideflasi dengan indeks harga konsumen (tahun 2000=100) dinyatakan
dalam satuan Rp/Kg.
9)
Harga riil beras merupakan harga beras medium setelah dideflasi dengan
Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam
satuan Rp/Kg.
57
10 ) Harga riil jagung merupakan harga jagung setelah dideflasi dengan Indeks
Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam satuan
Rp/Kg.
11 ) Harga riil pupuk urea merupakan harga pupuk urea setelah dideflasi dengan
Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun 2000=100) dinyatakan dalam
satuan Rp/Kg.
12 ) Upah riil buruh tani merupakan upah yang dibayarkan kepada pekerja tani
setelah dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia (tahun
2000=100) yang dinyatakan dalam satuan Rp/HOK.
13 ) Luas areal irigasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang memperoleh
air irigasi dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
14 ) Luas areal intensifikasi merupakan luas keseluruhan areal sawah yang
memperoleh program intensifikasi, dinyatakan dalam satuan ribu Ha.
15 ) Swasembada Beras merupakan suatu keadaan dimana produksi total beras
domestik melebihi tingkat konsumsi beras total, minimal tingkat produksi
yang diperoleh sama dengan tingkat konsumsinya.
58
besar,
menetapkan
harga
eceran
tertinggi
(HET)
dan
59
Produksi
Beras
(Ribu Ton)
12.893,78
13.466,73
12.935,53
14.333,50
14.989,50
14.900,25
15.541,73
15.572,54
17.189,66
17.530,53
14 935.38
19.777,82
21.860,38
22.400,33
23.547,11
25.437,01
26.034,97
26.497,75
26.732,15
27.798,01
29.831,96
24 991,75
30.134,23
29.807,06
32.176,09
32.136,79
31.109,88
33.179,34
34.084,70
32.934,50
32.816,29
33.927,88
32.230,68
34.615,96
33.657,35
34.343,63
34.736,58
35.005,29
35.287,86
35.570,44
34.745,30
26.725,78
Pert.
(%)
4,4
-3,9
11
4,6
-0,6
4,3
0,2
10
2
3,6
13
11
2,5
5,1
8
2,4
1,8
0,9
4
7,3
5,5
1
-1,1
7,9
-0,1
-3,2
6,7
2,7
-3,4
-0,4
3,4
1,4
2
-2,8
2
1,1
0,8
0,8
0,8
0,7
2,8
Konsumsi
Beras Total
(Ribu Ton)
13.507,14
14.638,32
15.118,85
15.490,67
15.911,09
17.014,91
17.459,94
17.773,04
18.465,41
20.120,41
16.549.98
20.359,07
21.792,65
23.296,86
23.545,36
24.473,10
25.812,37
25.780,52
27.643,28
28.815,52
29.893,19
25.141.19
30.741,01
30.848,90
31.533,19
32.174,38
32.811,99
34.950,98
33.839,26
34.302,63
35.799,43
37.641,75
33.464.35
36.924,78
36.558,67
36.725,34
36.126,95
36.053,94
35.901,68
35.675,91
36.281,04
27.859,14
Pert.
(%)
8,4
3,3
2,5
2,7
6,9
2,6
1,8
3,9
9
4,6
1,2
7
6,9
1,1
3,9
5,5
-0,1
7,2
4,2
3,7
4,1
2,8
0,4
2,2
2
2
6,5
-3,2
1,4
4,4
5,1
2,4
-1,9
-1
0,5
-1,6
-0,2
-0,4
-0,6
-0,7
2,6
Selisih
produksi dan
konsumsi
-613,36
-1.171,59
-2.183,32
-1.157,17
-921,58
-2.114,66
-1.918,21
-2.200,50
-1.275,75
-2.589,88
-1.614,60
-581,25
67,73
-896,53
1,75
963,91
222,60
717,23
-911,13
-1,017,51
-61,23
-149,44
-606,78
-1.041,84
642,90
-37,59
-1.702,11
-1.771,64
245,44
-1.368,13
-2.983,14
-3.713,87
-1.233,68
-2.308,82
-2.901,32
-2.381,71
-1.390,37
-1.048,65
-613,81
-105,47
-1.535,74
-1.133,36
60
61
000 Ton
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
Tahun
Produksi
Konsumsi
62
hanya 1,43% per tahunnya. Bahkan pada tahun 1972 terjadi penurunan produksi
beras yang cukup tajam hingga 3,9% yang disebabkan oleh gagal panen karena
pengaruh musim, yang pada masa itu Indonesia bagian tengah megalami musim
kering yang hebat, sehingga produksi padi menurun karena luas areal panennya
menurun hingga 3,97%.
Tabel 7. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19701979
Tahun
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
Ratarata
Areal
panen
(000 Ha)
8.135,08
8.324,39
7.993,98
8.403,60
8.518,60
8.495,10
8.368,76
8.359,57
8.929,17
8.803,56
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/ha)
Pert.
( %)
1,52
2,33
-3,97
5,12
1,37
-0,28
-1,49
-0,11
6,81
-1,41
3,11
3,17
3,21
3,34
2,64
2,63
2,78
2,79
2,89
2,99
5,68
2,06
1,26
4,14
-21,03
-0,42
5,90
0,32
3,33
3,43
Produksi
padi
(000 ton)
25.269,24
26.392,18
25.351,11
21.489,24
22.464,38
22.330,65
23.300,94
23.347,13
25.771,57
26.282,.66
8.433,18
0,99
2,95
0,47
24.199.91
Pert.
(%)
7,28
4,44
-3,9
-15
4,54
-0,6
4,35
0,2
10,4
1,98
1,34
63
(Hurabarat, 1974). Sampai pada periode 1974/1975 luas areal panen dan
produktivitas belum dapat ditingkatkan karena hama wereng, sehingga terjadi
penurunan produksi padi hingga 0,6%. Tahun 1975 mulai ditanam varietas baru
yang tahan hama wereng yaitu PB 24, sehingga produksi padi kembali meningkat
untuk tahun-tahun berikutnya. Pada dasawarsa ini seperti yang terlihat pada
Gambar 8 garis konsumsi selalu berada di atas garis produksi beras, sehingga
dapat disimpulkan bahwa produksi beras dalam negeri belum cukup untuk
memenuhi konsumsi beras total di Indonesia, dengan kata lain Indonesia
mengalami defisit beras.
5.1.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1980-1989
Dengan tersedianya cukup banyak ragam varietas baru pada pelita III,
program intensifikasi berjalan lancar, disamping Insus (Intensifikasi Khusus)
untuk daerah berpengairan baik, dilakukan pula Opsus (Operasi Khusus) untuk
daerah yang memiliki berbagai hambatan dalam program intensifikasi.
Tabel 8.Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19801989
Tahun
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
Ratarata
Areal
panen
(000 Ha)
9.005,07
9.381,84
8.988,46
9.162,47
9.763,58
9.902,29
9.988,45
9.922,59
10.138,16
10.521,21
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/ha)
Pert.
( %)
2,29
4,18
-4,19
1,94
6,56
1,42
0,87
-0,66
2,17
3,78
3,29
3,49
3,74
3,85
3,91
3,94
3,98
4,04
4,11
4,25
10,32
6,07
6,96
3,13
1,38
0,92
0,89
1,48
1,86
3,38
Produksi
padi
(000 ton)
29.651,91
32.774,18
33.583,68
35.303,11
38.136,45
39.032,95
39.726,76
40.078,20
41.676,17
44.725,58
9.677,41
1,84
3,86
3,64
37.468,90
Pert.
(%)
12,8
10,5
2,47
5,12
8,03
2,35
1,78
0,88
3,99
7,32
5,53
64
000 Ton
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
Ta hun
P roduk s i
K ons um s i
65
dibandingkan periode sebelumnya tahun 1970-1979, periode ini jauh lebih baik
karena dapat mengantarkan Indonesia pada swasembada beras untuk pertama
kalinya.
5.1.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1990-1999
Pada periode 1990-1999 seperti yang terlihat pada Gambar 10 produksi
dan konsumsi beras Indonesia sangat berfluktuasi, dengan rata-rata pertumbuhan
produksi sebesar 1,4 % per tahun dan rata-rata produksi sebanyak 32.230,68 ribu
ton. Rata-rata pertumbuhan konsumsi beras masih lebih besar dari rata-rata
pertumbuhan produksi beras yaitu sebesar 2,4 % per tahun, dengan konsumsi rata-
000 Ton
Ta hun
P roduksi
konsum si
Gambar 10. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 1990-1999
Pada pada tahun 1992 dan 1996 produksi beras melebihi kebutuhan
konsumsi beras total, masing-masing mengalami surplus sebesar 642,90 ribu ton
dan 245,44 ribu ton. Hal tersebut dapat diraih karena pada tahun 1992 ada
peningkatan luas areal panen hingga 7,99% dari tahun sebelumnya, sehingga
produksi padi dapat ditingkatkan hingga 7,95%. Pada tahun 1996, luas areal panen
dan produksivitas masing-masing meningkat 1,14% dan 1,59%, sehingga produksi
padi meningkat 2,87%. Pada periode ini juga terjadi beberapa kali El Nino yaitu
66
pada tahun 1991, 1994 dan 1997 sehingga menurunkan luas areal panen masingmasing sebesar 2,10%, 2,53% dan penurunan yang paling tinggi terjadi pada
tahun 1997 sebesar 3,71%, yang mengakibatkan penurunan produksi beras
masing-masing sebesar 1,1 %, 3,2 % dan yang terparah saat terjadi krisis beras
pada tahun 1997 penurunan sebesar 3,4%, namun konsumsi beras tetap
meningkat. Karena itulah pada tahun 1997 Indonesia kembali mengalami krisis
beras.
Tabel 9. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 19901999
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
Ratarata
Areal
panen
(000 Ha)
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/ha)
Pert.
( %)
Produksi
padi
(000 ton)
Pert.
(%)
10.502,36
10.281,52
11.103,32
11.012,78
10.733,83
11.438,76
11.569,73
11.140,59
11.730,33
11.963,20
-0,18
-2,10
7,99
-0,82
-2,53
6,57
1,14
-3,71
5,29
1,99
4,30
4,35
4,35
4,38
4,35
4,35
4,42
4,43
4,20
4,26
1,22
1,02
-0,02
0,69
-0,69
0,09
1,59
0,32
-5,30
1,41
45.178,75
44.688,25
48.240,01
48.181,09
46.641,52
49.744,14
51.173,51
49.377,05
49.236,69
50.866,39
1,01
-1,1
7,95
-0,1
-3,2
6,65
2,87
-3,5
-0,3
3,31
11.147,64
1,36
4,34
0,03
48.332,74
1,36
67
membaik, produksi padi meningkat 3,4 % disebabkan faktor iklim yang kondusif
(Suryana dkk, 2001).
5.1.4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
2000-2006
Periode 2000-2006 produksi padi ditingkatkan melalui revitalisasi
pertanian, sehingga produksi yang diperoleh seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Indonesia Periode 20002008
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Ratarata
Areal
panen
(000 Ha)
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/ha)
Pert.
( %)
Produksi
padi
(000 ton)
11.793,48
11.500,00
11.530,68
11.452,60
11.922,97
11.839,06
11.786,43
-1,42
-2,49
0,27
-0,68
4,11
-0,70
-0,44
4,41
4,39
4,47
4,54
4,54
4,57
4,62
3,59
-0,48
1,82
1,57
-0,04
0,84
1,01
50.069,26
50.460,78
51.489,69
52.137,60
54.088,47
54.151,10
54.454,94
-1,6
0,78
2,04
1,26
3,74
0,12
0,56
11.689,32
-0,19
4,51
1,19
52.407,41
0,98
Pert.
(%)
68
beras total cenderung mengalami penurunan dengan laju -0,7% per tahun, namun
rata-rata konsumsi per tahunnya masih lebih tinggi dari rata-rata produksinya
000 Ton
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Produksi
Konsumsi
Gambar 11. Selisih Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun 2000-2006
Pada periode ini hampir tiap tahunnya terjadi penurunan konsumsi beras
sehingga pertumbuhan laju konsumsi beras terus menurun hingga mencapai angka
negatif. Menurut Pusat Data Informasi Pertanian (2005) dalam Adriana (2007)
penurunan tersebut merupakan dampak dari keberhasilan program diversifikasi
pangan, serta beralihnya selera penduduk ke komoditas lain sebagai sumber
alternatif karbohidrat seperti gandum, kentang, dan umbi-umbian lainnya.
Penurunan konsumsi beras menunjukan keberhasilan diversifikasi pangan jika
penduduk beralih ke alternatif pangan lain seperti kentang atau umbi-umbian lain
seperti ubi atau singkong yang merupakan pangan lokal Indonesia, sehingga
diharapkan akan berimplikasi pada penurunan ketergantungan bangsa Indonesia
terhadap beras. Pada kenyataannya diversifikasi pangan kita lebih terarah pada
konsumsi gandum berupa (tepung terigu, roti dan terutama mie). Oleh karena itu,
hal ini tidak dapat dikatakan suatu keberhasilan, karena tanaman gandum
merupakan tanaman subtropis, bukan pangan lokal Indonesia sehingga tidak
69
70
(Lampiran 3) lebih besar dari taraf yang digunakan yaitu 0,05-0,15, sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi.
Pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan White Heteroskedasticity test. Hasil analisis (Lampiran 4)
menunjukan bahwa pada persamaan luas areal panen dan harga beras tidak
terdapat masalah heteroskedastisitas, karena nilai probability Obs*R-squared dari
White Heteroskedasticity test lebih besar dari taraf yang digunakan, sedangkan
untuk persamaan produktivitas padi dan konsumsi beras menghasilkan nilai
probability Obs*R-squared dari White Heteroskedasticity test yang kurang dari
dari taraf yang digunakan, sehingga disimpulkan terdapat masalah
heteroskedastisitas. Pada dasarnya pengujian heteroskedastisitas lebih cenderung
digunakan untuk data cross section, karena dalam penelitian ini menggunakan
data time series maka masalah heteroskedastisitas tidak mempengaruhi validasi
estimasi.
Untuk masalah multikolinieritas, dalam persamaan simultan dapat
diabaikan jika nilai koefisien sesuai dengan teori atau logis dari sudut pandang
teori ekonomi. Multikolinieritas dipandang sebagai gejala dalam persamaan
simultan yang tidak mempengaruhi validasi estimasi.
5.2.1. Dugaan Model Ekonometrika
Setelah dilakukan beberapa spesifikasi model, akhirnya diperoleh model
produksi dan konsumsi beras dalam negeri yang terdiri dari empat persamaan
struktural sebagai berikut:
5.2.1.1. Luas Areal Panen Tanaman Padi
Hasil dugaan persamaan luas areal panen tanaman padi menunjukan
bahwa semua tanda parameter dugaan sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
71
dilihat pada Tabel 11. Koefisien determinasi menunjukan nilai 0,9607 yang berarti
bahwa keragaman luas areal tanaman padi sebesar 96,07% dapat dijelaskan oleh
keragaman rasio harga riil gabah di tingkat petani dengan upah riil buruh tani, luas
areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend waktu. Sedangkan sisanya 3,93%
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam model.
Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter Luas Areal Panen Tanaman Padi
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas Nama Variabel
C
5692,800
4,366888
0,0001
Intersep
HGt/UBTt 3577,304
2,117356* 0,0421
0,0419
Rasio harga G/U
LIRt
0,340971
1,589206
0,1218
Luas teririgasi
HPUt
-24,43849
-0,754560 0,4560
Upah tani
T
137,3534
15,81934* 0,0000
Trend waktu
R-sq
0,960731
Adj R-sq
0,955822
F-stat
195,7219
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5%
Berdasarkan uji-f menunjukan bahwa, keragaman rasio harga riil gabah
dengan upah riil buruh tani, luas areal irigasi, harga riil pupuk urea dan trend
waktu secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman luas areal panen
tanaman padi dan secara statistik nyata pada level 0,0000. Sedangkan berdasarkan
uji-t menunjukan bahwa, secara individu luas areal panen tanaman padi
dipengaruhi secara nyata oleh rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani
dan trend waktu.
Terdapat pengaruh positif perkembangan teknologi yang diwakili oleh
variabel trend terhadap luas areal panen padi yaitu dengan parameter dugaan
sebesar 137,3534. Rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani berhubungan
positif dan berpengaruh nyata terhadap luas areal panen padi. Hal ini menunjukan
bahwa peningkatan harga gabah memberikan insentif bagi petani untuk
meningkatkan luas areal panen padi, dalam bentuk rasio antara harga riil gabah
72
dengan upah riil buruh tani. Nilai parameter dugaan yang diperolaeh sebesar
3577,304 yang berarti jika rasio harga riil gabah dan upah riil buruh tani
meningkat satu satuan maka luas areal panen akan meningkat 3577,304 ribu Ha,
cateris paribus. Nilai elastisitas luas areal panen padi terhadap rasio harga riil
gabah dengan upah riil buruh tani sebesar 0,0419, berarti luas areal panen padi
tidak responsif terhadap perubahan rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh
tani. Apabila rasio harga riil gabah dengan upah riil buruh tani meningkat satu
persen maka luas areal panen hanya akan meningkat 0,0419%, cateris paribus.
5.2.1.2. Produktivitas Padi
Hasil dugaan persamaan produktivitas padi Indonesia menunjukan bahwa
semua tanda parameter dugaan telah sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Dugaan Parameter Produktivitas Tanaman Padi
Variabel
Koefisien
t-hitung
P
Elastisitas Nama Variabel
C
-0,454467
-0,772051 0,4456
Intersep
HGt/UBTt 4,621644
3,999916* 0,0003
0,1421
Rasio harga G/U
JPUt
0,003777 1,852695** 0,0729
0,1250
Jumlah urea
LINt
0,000630
5,225209* 0,0000
0,8520
Luas intensifikasi
R-sq
0,8415
Adj R-sq
0,8271
F-stat
58,41498
Prob(F0,000000
statistic)
Keterangan: * = Nyata pada taraf 5% ; **=Nyata pada taraf 10%
Nilai koefisien determinasi dari model produktivitas padi adalah sebesar
0,8415. Artinya 84,15% keragaman produktivitas padi dapat diterangakan oleh
keragaman peubah-peubah penjelas yang terdiri dari rasio harga riil gabah dengan
upah riil buruh tani, jumlah penggunaan pupuk urea, serta luas areal intensifikasi.
Sedangkan sisanya sebesar 15,85 % dijelaskan oleh faktor lain yang tidak terdapat
dalam model.
73
74
Nama Variabel
Intersep
Harga beras
Populasi
PDB riil
Harga jagung
75
76
cenderung
Nama Variabel
Intersep
Lag Prod. beras
Pert. Konsumsi
Lag harga beras
Trend waktu
77
berpengaruh nyata terhadap harga beras adalah harga beras tahun sebelumnya.
Produksi beras tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi beras dan trend waktu
tidak berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik. Tanda yang diperoleh
untuk variabel produksi beras tahun sebelumnya dan pertumbuhan konsumsi
beras, sesuai dengan terori penawaran dan permintaan, yang dalam hal ini
produksi sebagai penawaran berhubungan negatif terhadap harga beras,
menunjukan bahwa ketika produksi beras pada tahun sebelumnya yang dalam
penelitian ini berperan sebagai penawaran naik atau berlimpah maka harga beras
akan turun, sedangkan konsumsi beras yang dalam penelitian ini sebagai
komponen permintaan bertanda positif yang memiliki arti ketika konsumsi naik,
harga akan naik.
Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik dengan
nilai koefisien dugaannya sebesar 0,747394. Artinya jika terjadi peningkatan
harga beras domestik tahun sebelumnya sebesar satu Rp/Kg maka harga beras
akan naik sebesar 0,747394 rupiah per kilogram, cateris paribus. Parameter
peubah bedakala harga beras yang berbeda nyata dan mendekati satu berarti harga
beras memerlukan tenggang waktu yang relatif lambat dalam menyesuaikan
berbagai perubahan situasi ekonomi yang memepengaruhinya.
5.3.
78
sebesar 1462,340. Nilai koefisien ketidaksamaan Theil (U) yang diperoleh yaitu
0,013 untuk persamaan luas areal panen, 0,032 untuk persamaan produktivitas,
0,026 untuk persamaan konsumsi beras dan 0,044 untuk persamaan harga beras.
Dari hasil validasi yang diperoleh menunjukan bahwa secara keseluruhan
pendugaan model cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk proyeksi.
5.3.2. Proyeksi Produksi Padi
Setelah diperoleh pendugaan model yang baik, maka dilanjutkan pada
proses proyeksi untuk mengetahui seberapa besar penawaran beras dalam negeri
pada tahun-tahun berikutnya. Proyeksi penawaran beras dalam bahasan ini lebih
difokuskan pada kemampuan produksi dalam negeri untuk mengimbangi
konsumsi beras domestik. Proyeksi produksi padi dihitung atas perkalian areal
panen dan produktivitas tanaman padi. Dalam kurun waktu 5 tahun kedepan
(2009-2013), areal panen padi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,01% per
tahun begitu juga dengan produktivitas dapat ditingkatkan rata-rata 3,05% per
tahun sehingga produksi padi masih dapat ditingkatkan rata-rata 3,06% per tahun.
Tabel 15. Proyeksi Luas Areal Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi
Luas Areal Panen Produktivitas Produksi Padi
Tahun
(000Ha)
(Ton/Ha)
(000 Ton)
2009
11790,52
5,06
59610,80
2010
11791,88
5,21
61436,32
2011
11793,24
5,37
63317,75
2012
11794,60
5,53
65256,79
2013
11795,97
5,70
67255,21
Pert.
0,01%
3,05%
3,06%
79
Senjang
-621,74
-254,05
157,78
615,99
1122,89
80
dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri, keadaan ini akan mengantarkan
Indonesia menjadi negara yang mandiri dalam pemenuhan pangannya, sehingga
impor beras untuk menutupi konsumsi beras domestik dapat dikurangi.
5.3.4. Implikasinya terhadap Swasembada Beras di Indonesia
Senjang antara produksi dan konsumsi beras dihitung beradasarkan
kemampuan memproduksi di dalam negeri untuk mengimbangi permintaan atau
konsumsi beras. Khusus beras, volume produksi dalam negeri dikonversi dari
produksi gabah kering panen dengan satu faktor konversi yang berlaku saat ini
yaitu 0,63. Senjang yang disajikan dalam bahasan ini mencerminkan kondisi akhir
dari kedua sisi produksi dan konsumsi beras.
Berdasarkan hasil proyeksi yang diperoleh, dalam kurun waktu lima tahun
(2009-2013), Indinesia mengalami defisit beras hingga tahun 2010. Untuk
menutupi kebutuhan beras dalam jangka pendek pemerintah dapat mengimpor
beras dengan kecenderungan menurun, namun ekspornya juga akan meningkat,
karena produksi beras domestik terus meningkat hingga tahun 2013 dengan angka
pertumbuhan yang lebih tinggi dari angka pertumbuhan konsumsi beras domestik
yaitu 3,06% per tahun. Jika pemerintah ingin tidak mengimpor beras untuk
mengatasi defisit beras pada tahun 2009 dan 2010, berdasarkan hasil proyeksi
dengan asumsi produktivitas meningkat 3,05% per tahun, maka pada tahun 2009
luas areal panen yang harus ditambah seluas 195,20 ribu Ha dan pada tahun 2010
luas areal panen harus ditambah seluas 77,40 ribu Ha sehingga kebutuhan
konsumsi beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Dalam
rangka meningkatkan luas areal panen salah satu cara yang dapat dilakukan oleh
pemerintah ialah dengan memberi insentif pada petani dengan meningkatkan
harga gabah di tingkat petani.
81
82
menanam padi yang belum diupayakan, sehingga potensi ekstensifikasi masih ada,
seperi yang terlihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Lahan yang Sesuai untuk Budidaya Sumber Bahan Pangan (Juta Ha)
Penggunaan Lahan
Lahan yang Lahan yang sudah Potensi
sesuai
digunakan
Ekstensifikasi
Sawah dan lahan basah
24,5
8,5
16,1
Tegalan
25,2
30,1
-4,8
Tanaman tahunan
50,9
25,5
25,4
Total
100,7
64,1
36,7
Sumber : Badan Litbang Pertanian 2004
Sepeti yang terlihat pada Tabel 17, potensi ekstensifikasi untuk tanaman
padi memang masih ada, namun jika dilihat proporsinya terhadap tanaman lain,
produksi padi tetap memiliki keterbatasan dalam sumberdaya lahan. Untuk itu
teknologi budidaya pada lahan marginal dan kurang subur, baik dilahan kering
maupun pada agroekosistem lainnya seperti di lahan pasang surut yang sudah
banyak ditemukan oleh Balit/Puslit lingkup Badan Litbang Pertanian maupaun
oleh perguruan tinggi perlu dikembangkan dan mulai diterapkan. Dengan
demikian upaya perluasan areal tanam khususnya diluar pulau jawa masih dapat
diupayakan. Karena secara nasional diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar
lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama Sumatera dan
Kalimantan.
2) Menambah dan memperbaiki infrastruktur irigasi
Menurut Adnyana (1999) pengoptimalan pemnafaatan air baik yang
bersumber dari irigasi maupun air hujan/air tanah dapat meningkatkan indeks
pertanaman (IP). Untuk itu irigasi merupakan hal yang penting diperhatikan dalam
meraih swasembada beras, karena kondisi infrastruktur irigasi di Indonesia belum
memadai. Lebih dari 20% irigasi rusak dan sekitar 80% areal irigasi di propinsi
sentra produksi nasional rentan terhadap kekeringan (Deptan, 2008). Dengan
83
84
(receiving) agar adopsi teknologi dan difusi inovasi ditingkat petani berjalan
efektif sehingga berdampak positif terhadap produktivitas padi. Hal ini perlu
diperhatikan karena menurut penelitian Mundy (2000) dalam Adriana (2007),
diperlukan sekitar dua tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian diketahui oleh 50% dari PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis)
dan enam tahun sebelum 80% PPS mendengar teknologi tersebut. Tenggang
waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut oleh petani tentu lebih
lama lagi.
Untuk menjembatani permasalahan tersebut, maka pada tahun 2004
Departemen Pertanian melalui Badan Litbang merumuskan Program Rintisan dan
Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi teknologi Pertanian (Prima Tani). Menurut
Simatupang (2004) dalam Adriana (2007) tujuan utama Prima Tani adalah untuk
mempercepat waktu dalam meningkatkan dan memperluas adopsi teknologi yang
dihasilkan oleh Badan Litbang. Pelaksanaan program ini dilakukan pada tahun
2005 pada 14 propinsi dan tahun 2006 menjadi 25 propinsi. Dalam
perkembangannya program ini menunjukan sinyal positif, untuk itu perlu adanya
komitmen yang kuat dari segala pihak yang terkait program ini untuk
melaksanakan program ini secara konsisten agar berjalan efektif dan efisien.
85
2)
3)
Hasil proyeksi luas areal panen, produktivitas, dan produksi padi cukup
optimis. Luas areal panen cenderung meningkat dalam 5 tahun kedepan
(2009-2013) dengan laju peningkatan sebesar 0,01 % per tahun dan
produktivitas memiliki laju peningkatan yang lebih tinggi sebesar 3,05 % per
tahun, sehingga pertumbuhan produksi padi/beras meningkat 3,06% per
tahun. Dalam periode yang sama, konsumsi beras dalam negeri untuk 5
tahun ke depan diperkirakan meningkat 1,95% per tahun. Berdasarkan hasil
86
jangka
panjang
upaya
yang
dapat
dilakukan
diantaranya;
2)
3)
87
4)
5)
Dari sisi konsumsi, upaya yang dapat dilakukan ialah dengan memperbaiki
pola pangan harapan di Indonesia menjadi pola pangan harapan yang ideal
dengan komposisi pangan yang seimbang, sehingga konsumsi beras dapat
ditekan.
88
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. 1999, Penerapan Model Penyesuaian Nerlove dalam Proyeksi
Produksi dan Konsumsi Beras.WWW. ejournal. 2009 (berkala sambung
jaring)
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(6)%20soca-oka-adnyanamodel%20penyesuaian(1).pdf
(5 Maret 2009)
Adriana, R. 2007. Penawaran Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras Indonesia
serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Amang, B dan Sawit, M.H. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional
Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: IPB Press.
Ambarinanti, M. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Ekspor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Arifin, B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
[BPS]. 1969-2006. Indikator Ekonomi. Jakarta.
.1969-2006. Statistika Harga Produsen Sektor Pertanian Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik
.1969-2006. Statistika Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statisitk
.1969-2006. Struktur Ongkos Usaha Tani Padi. Jakarta: Badan Pusat
Statisitik
[Deptan]. 1969-2006. Data Based Komoditas Padi. Jakarta: Departemen Pertanian
Republik Indonesia.
.1969-2006. Neraca Bahan Makanan. Jakarta: BKP, Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
. 2005. Revitalisasi Pertanian. WWW. Agribisnis.deptan. 2005. (berkala
sambung jaring)
http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi20pertanian202005.pdf
( 5 Maret 2009)
Farihah, S.S. 2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras serta
Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia.
Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
89
90
Sari, N.T. 2007. Analisis dampak Kenaikan Harga Beras terhadap Pola Konsumsi
Beras Rumah Tangga, di Cipinang Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bgor.
Sisworo, W.H. 2006. Swasembada Pangan dan Pertanian Berkelanjutan
Tantangan Abad Dua Satu: Pemanfaatan IPTEK Nuklir. Badan Tenaga
Nuklir Nasional.
Situmorang, M.T, 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Impor Beras Indonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Soekartawi, dkk. 1990. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan
Petani Kecil. Cetakan ke-3 .Jakarta: Universitas Indonesia
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Suryana, A. 2008. Kebijakan dan Kendala Pengembanagn Sumberdaya Pangan.
Di dalam: Akuntansi Sumberdaya Alam: Pangan, Energi dan Air.
Prosididng Seminar Nasional, Jakarta, 10 Desember. Jakarta. Badan
Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian.
Tambunan, 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu
Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia
Tomek,W.G dan K.L. Robinson.1990. Agricultural Prodauct Prices. Edisi Ketiga.
Comel University Press. Itacha and London.
91
LAMPIRAN
92
Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber
Luas
Areal
Produktivitas
Produksi
Gabah
Produksi
Beras
Harga
Gabah
LAPt
PVt
PPt
PBt
HGt
(000 Ton)
8.013,62
8.135,08
8.324,39
7.993,98
8.403,60
8.518,60
8.495,10
8.368,76
8.359,57
8.929,17
8.803,56
9.005,07
9.381.84
8.988,46
9.162,47
9.763,58
9.902,29
9.988,45
9.922,59
10.138,16
10.521,21
10.502,36
10.281,52
11.103,32
11.012,78
10.733,83
11.438,76
11.569,73
11.140,59
11.730,33
11.963,20
11.793,48
11.500,00
11.530,68
11.452,60
11.922,97
11.839,06
11.786,43
BPS
Deptan
(Ton/Ha)
2,94
3,11
3,17
3,21
3,34
2,64
2,63
2,78
2,79
2,89
2,99
3,29
3,49
3,74
3,85
3,91
3,94
3,98
4,04
4,11
4,25
4,30
4,35
4,35
4,38
4,35
4,35
4,42
4,43
4,20
4,26
4,41
4,39
4,47
4,54
4,54
4,57
4,62
BPS
Deptan
(000 Ton)
23.553,85
25.269,24
26.392,18
25.351,11
21.489,24
22.464,38
22.330,65
23.300,94
23.347,13
25.771,57
26.282,66
29.651,91
32.774,18
33.583,68
35.303,11
38.136,45
39.032,95
39.726,76
40.078,20
41.676,17
44.725,58
45.178,75
44.688,25
48.240,01
48.181,09
46.641,52
49.744,14
51.173,51
49.377,05
49.236,69
50.866,39
50.069,26
50.460,78
51.489,69
52.137,60
54.088,47
54.151,10
54.454,94
BPS
Deptan
(000 Ton)
14.838,92
12.893,78
13.466,73
12.935,53
14.333,50
14.989,50
14.900,25
15.541,73
15.572,54
17.189,66
17.530,53
19.777,82
21.860,38
22.400,33
23.547,11
25.437,01
26.034,97
26.497,75
26.732,15
27.798,01
29.831,96
30.134,23
29.807,06
32.176,09
32.136,79
31.109,88
33.179,34
34.084,70
32.934,50
32.816,29
33.927,88
34.615,96
33.657,35
34.343,63
34.736,58
35.005,29
35.287,86
35.570,44
Data
Deptan
(Rp/Kg)
36,73
38,33
40,70
48,85
49,98
51,32
62,62
74,63
79,15
82,36
106,27
121,27
134,96
149,72
168,41
175,04
189,73
167,27
184,73
232,08
267,31
299,08
303,70
284,05
325,83
419,81
432,75
498,27
933,01
1.234,10
1.080,86
1.141,22
1.255,46
1.249,33
1.258,31
1.572,50
1.554,99
1.641,53
Data
Deptan
93
Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber
Harga
Jagung
HJt
(Rp/Kg)
24,20
26,23
20,44
27,32
35,62
46,73
58,75
65,13
62,51
65,73
82,72
70,73
96,28
125,75
122,69
129,13
132,25
147,62
164,32
189,89
212,20
233,17
257,07
264,31
286,04
325,37
367,74
427,86
459,53
632.26
1.045,37
1.028,65
1.138,52
1.212,10
1.255,21
1.366,81
1.410,49
1.477,93
Deptan
BPS
Areal
teririgasi
LIRt
(000 Ha)
3.014,04
3.070,56
3.091,90
3.133,81
3.306,22
4.035,63
4.149,66
4.245,76
4.328,80
4.343,81
4.461,01
4.570,22
4.620,13
4.949,85
4.948,88
5.111,19
5.206,27
5.202,08
5.196,56
4.729,22
4.710,29
4.698,80
4.641,22
4.603,32
4.588,02
4.582,01
4.580,79
4.518,39
4.419,77
4.446,38
4.468,38
4.400,95
4.290,86
4.113,20
4.053,18
4.005,86
3.893,67
3.484,06
Data
Deptan
Areal
Intensifikasi
LINt
(000 Ha)
2.416,57
2.764,20
2.957,46
2.796,85
3.024,66
3.689,41
3.862,19
3.867,43
4.101,56
4.364,05
4.552,59
4.904,36
5.254,60
5.107,58
5.269,48
5.865,91
5.869,95
5.988,63
5.871,18
5.633,86
6.318,43
5.888,03
5.817,38
6.303,80
5.757,07
5.723,17
6.322,06
6.155,21
6.091,15
6.330,61
6.335,51
6.237,42
6.075,55
6,009.67
5.949,72
6.101,91
6.018,75
5.828,49
Data
Deptan
Pupuk
Urea
JPUt
(Kg/Ha)
32,41
53,39
51,57
49,66
36,39
57,04
67,59
58,00
88,69
81,40
74,90
68,70
122,37
137,23
164,54
132,34
147,90
168,51
186,83
186,22
164,78
159,16
202,83
171,90
144,39
157,02
144,83
124,48
157,45
190,41
154,31
125,04
170,85
167,06
154,29
148,96
161,66
166,99
Deptan
BPS
Harga Upah
TK
UBTt
(Rp/HOK)
87,36
107,10
117,37
143,39
211,85
332,08
393,49
489,44
596,79
712,27
994,24
1.414,00
1.714,00
1.932,00
2.158,00
2.371,00
2.553,00
2.757,00
3.098,00
3.441,00
3.807,00
4.013,00
4.294,00
5.034,00
5.560,00
6.136,00
7.128,00
8.301,00
9.799,00
11.064,60
12.502,83
14.253,48
16.678,80
17.475,84
19.986,24
21.488,64
23.270,28
24.977,22
Deptan
BPS
94
Konsumsi
Beras
Populasi
Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber
KBt
(000 Ton)
12.749,58
13.507,14
14.638,42
15.118,85
15.490,67
15.911,09
17.014,91
17.459,94
17.773,04
18.465,41
20.120,41
20.359,07
21.792,65
23.296,86
23.545,36
24.473,10
25.812,37
25.780,52
27.643,28
28.815,52
29.893,19
30.741,01
30.848,90
31.533,19
32.174,38
32.811,99
34.950,98
33.839,26
34.302,63
35.799,43
37.641,75
36.924,78
36.558,67
36.725,34
36.126,95
36.053,94
35.901,68
35.675,91
Data
Deptan
POPt
(000 Jiwa)
117.721
120.532
123.402
126.328
129.305
132.326
135.383
138.470
141.584
144.725
147.900
151.107
154.347
157.610
160.879
164.131
167.350
170.530
173.671
176.770
179.828
182.846
185.822
188.756
191.658
194.540
197.410
200.270
203.121
205.969
208.825
211.692
214.574
217.465
220.354
223.224
226.063
228.864
BPS
PDB
Riil
(2000 =
100)
PDBt
(Rp. T)
214,78
232,29
248,54
268,13
294,35
318,65
338,35
358,61
389,59
425,45
455,62
495,38
535,74
541,66
587,43
629,56
651,45
690,31
726,89
773,09
843,33
919,24
1.001,31
1.073,61
1.151,49
1.238,31
1.342,28
1.44487
1.512,78
1.314,20
1.324,59
1.389,77
1.442,98
1.506,12
1.579,55
1.660,57
1.681,21
1.683,07
BPS
Harga
Beras
HBt
(Rp/Kg)
41,26
43,53
43,87
48,78
81,36
95,34
104,68
126,38
130,79
138,30
168,37
196,60
223,86
250,29
300,50
322,95
317,76
342,76
383,43
465,81
493,02
518,69
557,84
603,68
592,25
660,37
776,49
884,52
1.063,80
2.099,03
2.665,52
2.449,00
2.537,09
2.826,06
2.919,85
2.852,03
3.378,32
4.322,21
BPS
Harga
Pupuk
Urea
HPUt
(Rp/Kg)
21,45
21,51
22,91
25,83
30,67
50,89
69,61
71,33
71,18
71,18
72,72
72,01
72,11
81,89
92,66
96,24
100,21
105,57
126,93
135,90
169,25
215,61
227,08
246,62
263,26
292,48
318,07
376,04
443,88
572,56
1.088,40
1.352,81
1.334,29
1.400,32
1.596,87
1.626,77
1.758,06
1.865,46
Deptan
BPS
Indeks
Harga
Konsumen
(2000=100)
IHK
2,33
2,62
2,74
2,91
3,82
5,37
6,39
7,66
8,51
9,20
10,69
12,62
14,16
15,51
17,33
19,15
20,05
21,22
23,19
25,05
26,66
28,74
31,45
33,82
37,09
40,25
44,05
47,56
50,52
80,02
96,41
100,00
111,50
124,75
132,97
141,27
150,03
161,22
BPS
95
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
LIRT
HPUT
T
5692.800
3577.304
0.340971
-24.43849
137.3534
1303.629
1689.515
0.214555
32.38776
8.682626
4.366888
2.117356
1.589206
-0.754560
15.81934
0.0001
0.0421
0.1218
0.4560
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
2) Persamaan
0.960731
0.955822
280.6165
195.7219
0.000000
10119.12
1335.091
2519860.
1.600874
Produktivitas Padi
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
JPUT
LINT
-0.454467
4.621644
0.003777
0.000630
0.588650
1.155435
0.002038
0.000121
-0.772051
3.999916
1.852695
5.225209
0.4456
0.0003
0.0729
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.841533
0.827127
0.266201
58.41498
0.000000
3.865973
0.640243
2.338472
1.122364
96
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
HBT
POPT
PDBT
HJT
-23882.63
-305.3941
0.326100
-4.836930
460.6333
7280.495
182.5568
0.055273
3.591817
400.8981
-3.280358
-1.672872
5.899774
-1.346653
1.149004
0.0025
0.1041
0.0000
0.1876
0.2591
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.965346
0.961014
1582.564
224.0560
0.000000
27176.29
8015.098
80144255
0.363146
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PBT(-1)
PKBT
HBT(-1)
T
3.112823
-3.23E-05
0.095552
0.747394
0.116259
3.062287
0.000167
0.121399
0.126771
0.113149
1.016503
-0.193308
0.787086
5.895602
1.027490
0.3170
0.8479
0.4370
0.0000
0.3119
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.757811
0.727537
1.809449
25.03203
0.000000
18.74028
3.466512
104.7714
1.410791
97
34.43460
Probability
0.153774
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 12:57
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficien
t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
LIRT
HPUT
T
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)
-1503.690
0.168497
0.160888
124.2407
-13.62610
-0.690761
-0.898502
-0.523960
-0.557947
0.020856
0.221014
0.243169
-0.180870
-0.543430
-0.909601
-1.035604
-1.084502
-1.250824
-0.789879
-0.358528
-0.489582
-0.366717
-0.319766
0.025098
-0.676112
-0.343735
-0.456296
-0.316569
-0.604432
-0.600714
-0.039899
0.507131
682.5832
0.186164
0.139237
50.51809
18.80924
0.289258
0.315429
0.378921
0.334156
0.342075
0.321464
0.328616
0.366344
0.457049
0.636068
0.743877
0.778477
0.797059
0.850692
0.756360
0.638926
0.715832
0.858808
1.036735
1.201167
1.360749
1.499140
1.462488
1.169957
0.929404
0.775852
0.612688
-2.202940
0.905103
1.155494
2.459330
-0.724437
-2.388043
-2.848513
-1.382766
-1.669722
0.060968
0.687523
0.739981
-0.493715
-1.188997
-1.430039
-1.392170
-1.393107
-1.569299
-0.928513
-0.474018
-0.766257
-0.512295
-0.372337
0.024209
-0.562879
-0.252607
-0.304372
-0.216459
-0.516627
-0.646343
-0.051426
0.827715
0.0788
0.4069
0.3001
0.0573
0.5013
0.0625
0.0359
0.2253
0.1558
0.9537
0.5223
0.4926
0.6424
0.2878
0.2121
0.2226
0.2224
0.1774
0.3958
0.6555
0.4781
0.6303
0.7249
0.9816
0.5978
0.8106
0.7731
0.8372
0.6274
0.5465
0.9610
0.4455
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.930665
0.500787
186.9304
174714.9
-209.0106
2.615013
2.25E-12
264.5678
13.02760
14.42083
2.164952
0.198554
98
15.72265
Probability
0.204272
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:00
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
JPUT
LINT
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
0.152206
-0.109113
0.002178
-7.91E-05
0.476107
-0.193387
0.333009
-0.330274
-0.032738
0.079102
0.065552
-0.079285
0.164593
0.067286
0.224357
-0.008190
0.324461
0.142200
0.002688
0.000112
0.223529
0.244575
0.243499
0.252859
0.268429
0.313610
0.270690
0.275848
0.280601
0.285223
0.281184
0.272991
0.469105
-0.767319
0.810048
-0.707143
2.129952
-0.790704
1.367595
-1.306156
-0.121962
0.252232
0.242166
-0.287422
0.586574
0.235906
0.797900
-0.030001
0.6438
0.4514
0.4270
0.4873
0.0452
0.4380
0.1859
0.2056
0.9041
0.8033
0.8110
0.7766
0.5637
0.8158
0.4339
0.9763
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.424937
0.014177
0.253055
1.344770
8.821135
1.935908
1.19E-15
0.254868
0.388047
1.084660
1.034514
0.461436
99
3)
36.15328
Probability
0.169142
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:22
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
HBT
POPT
PDBT
HJT
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)
RESID(-28)
RESID(-29)
8388.701
-1.377879
-0.130326
9.041984
698.0020
-0.828626
0.003140
-0.136811
-0.645838
-0.468246
-0.164662
-0.840051
-0.113277
-0.207503
-1.422643
-0.209739
0.796596
-1.076586
-1.699459
0.063986
-0.031711
-1.125552
-0.042470
0.078953
-2.711687
-1.662833
0.953768
-1.565328
-3.878989
-1.041468
3.152187
-0.505224
-2.563393
-0.538819
17125.85
2.673825
0.169338
17.53518
469.4557
0.719733
0.472900
0.545248
0.609013
0.499185
0.503400
0.616598
0.604772
0.956825
1.060963
0.790942
1.201224
1.682321
2.150562
1.222607
1.234560
1.900298
2.103182
1.941179
2.165260
2.060277
2.128182
2.783539
4.050489
2.656663
3.083629
3.814303
4.165304
2.604726
0.489827
-0.515321
-0.769618
0.515648
1.486832
-1.151297
0.006640
-0.250914
-1.060467
-0.938021
-0.327099
-1.362397
-0.187305
-0.216866
-1.340897
-0.265177
0.663153
-0.639941
-0.790239
0.052335
-0.025686
-0.592303
-0.020193
0.040673
-1.252361
-0.807092
0.448161
-0.562352
-0.957659
-0.392021
1.022233
-0.132455
-0.615416
-0.206862
0.6578
0.6419
0.4976
0.6417
0.2338
0.3330
0.9951
0.8181
0.3667
0.4174
0.7651
0.2663
0.8634
0.8422
0.2724
0.8081
0.5546
0.5677
0.4871
0.9616
0.9811
0.5953
0.9852
0.9701
0.2992
0.4787
0.6844
0.6132
0.4089
0.7212
0.3819
0.9030
0.5818
0.8494
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.977116
0.725387
781.8895
1834054.
-252.5065
2.262442
1.77E-12
1492.055
15.48684
16.96714
3.881625
0.144651
100
36.07083
Probability
0.171510
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:03
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficien
t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PBT(-1)
PKBT
HBT(-1)
T
RESID(-1)
RESID(-2)
RESID(-3)
RESID(-4)
RESID(-5)
RESID(-6)
RESID(-7)
RESID(-8)
RESID(-9)
RESID(-10)
RESID(-11)
RESID(-12)
RESID(-13)
RESID(-14)
RESID(-15)
RESID(-16)
RESID(-17)
RESID(-18)
RESID(-19)
RESID(-20)
RESID(-21)
RESID(-22)
RESID(-23)
RESID(-24)
RESID(-25)
RESID(-26)
RESID(-27)
RESID(-28)
RESID(-29)
0.000472
-0.001003
-0.333061
1.050914
0.293585
-0.786393
-1.062699
-1.019915
-1.094221
-0.387272
-0.966145
-0.458217
-0.224990
-0.425492
-0.267363
0.020739
-0.102253
0.372431
0.125775
-0.053353
0.207231
0.230475
0.042291
0.545113
0.219658
0.541615
-0.228202
-0.032439
-0.355067
0.156535
-0.664888
0.017771
0.211428
0.204503
0.000314
0.000319
0.190696
0.247981
0.160614
0.298655
0.256502
0.296887
0.260219
0.357190
0.247792
0.316021
0.266311
0.199393
0.209403
0.225810
0.214763
0.278383
0.222549
0.255315
0.215876
0.210690
0.212820
0.262306
0.305895
0.374679
0.238993
0.255180
0.261463
0.571450
0.352912
0.352027
0.279815
0.277986
1.503620
-3.149031
-1.746555
4.237874
1.827887
-2.633116
-4.143039
-3.435368
-4.205003
-1.084218
-3.899023
-1.449959
-0.844837
-2.133934
-1.276786
0.091843
-0.476121
1.337835
0.565155
-0.208971
0.959954
1.093909
0.198719
2.078160
0.718082
1.445543
-0.954849
-0.127124
-1.358002
0.273926
-1.884005
0.050482
0.755601
0.735658
0.2297
0.0513
0.1790
0.0241
0.1650
0.0781
0.0255
0.0414
0.0246
0.3576
0.0299
0.2429
0.4603
0.1226
0.2915
0.9326
0.6665
0.2733
0.6115
0.8479
0.4079
0.3540
0.8552
0.1292
0.5246
0.2441
0.4101
0.9069
0.2676
0.8019
0.1561
0.9629
0.5048
0.5152
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.974887
0.698649
0.936497
2.631081
-3.595545
3.005834
3.67E-15
1.705965
2.032192
3.512495
3.529151
0.162966
101
0.443393
8.142430
Probability
Probability
0.940105
0.881774
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 12:57
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
RHGU^2
RHGU*LIRT
RHGU*HPUT
RHGU*T
LIRT
LIRT^2
LIRT*HPUT
LIRT*T
HPUT
HPUT^2
HPUT*T
T
T^2
8293475.
-15920762
3697994.
1685.971
942105.3
-73598.43
-2544.778
0.197295
86.77854
2.019730
-411803.3
-6183.412
2354.881
-38913.51
429.4339
13010660
48087695
32076014
8715.208
955148.3
293220.5
4017.727
0.304257
97.99292
36.91583
523231.2
7043.461
4312.222
198476.2
1016.365
0.637437
-0.331078
0.115288
0.193452
0.986345
-0.251000
-0.633388
0.648447
0.885559
0.054712
-0.787039
-0.877894
0.546094
-0.196061
0.422520
0.5304
0.7437
0.9093
0.8484
0.3347
0.8041
0.5330
0.5234
0.3854
0.9569
0.4397
0.3895
0.5905
0.8464
0.6767
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.220066
-0.276256
82884.08
1.51E+11
-461.9154
1.810231
68104.32
73367.25
25.77921
26.43228
0.443393
0.940105
102
2) Persamaan
Produktivitas Padi
1.950233
14.57681
Probability
Probability
0.086916
0.103236
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:00
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGU
RHGU^2
RHGU*JPUT
RHGU*LINT
JPUT
JPUT^2
JPUT*LINT
LINT
LINT^2
-2.892749
18.19492
-22.71503
0.029266
-0.003042
-0.017658
-1.91E-05
3.83E-06
0.001124
-1.21E-07
5.081264
20.55921
21.65824
0.042638
0.003534
0.011806
2.11E-05
2.26E-06
0.001647
1.36E-07
-0.569297
0.885001
-1.048794
0.686370
-0.860685
-1.495710
-0.903600
1.697504
0.682798
-0.886361
0.5739
0.3840
0.3036
0.4983
0.3970
0.1463
0.3742
0.1011
0.5006
0.3832
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.393968
0.191957
0.083533
0.188397
45.18148
2.362577
0.063202
0.092926
-1.901702
-1.466318
1.950233
0.086916
103
3) Persamaan
Konsumsi Beras
5.475852
28.74960
Probability
Probability
0.000214
0.011296
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:02
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
HBT
HBT^2
HBT*POPT
HBT*PDBT
HBT*HJT
POPT
POPT^2
POPT*PDBT
POPT*HJT
PDBT
PDBT^2
PDBT*HJT
HJT
HJT^2
3.72E+08
-14217182
160214.7
94.78945
-7881.631
-163828.7
-4044.879
0.009485
-1.884278
123.6959
345697.1
107.8414
-10285.48
-14943882
272794.8
3.55E+08
7648189.
96891.26
66.90231
4414.793
324897.5
4810.854
0.016653
2.245014
217.0230
336525.0
83.00847
16656.43
31168956
653235.9
1.049008
-1.858895
1.653551
1.416834
-1.785278
-0.504247
-0.840782
0.569557
-0.839317
0.569967
1.027255
1.299162
-0.617508
-0.479448
0.417605
0.3056
0.0765
0.1124
0.1705
0.0880
0.6191
0.4095
0.5747
0.4103
0.5745
0.3155
0.2073
0.5432
0.6364
0.6803
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.777016
0.635118
2048155.
9.23E+13
-580.5837
1.839063
2166061.
3390676.
32.19371
32.84679
5.475852
0.000214
104
4) Persamaan
Harga Beras
1.331888
16.97364
Probability
Probability
0.265733
0.257585
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Date: 08/25/09 Time: 13:04
Sample: 1970 2006
Included observations: 37
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PBT(-1)
PBT(-1)^2
PBT(-1)*PKBT
PBT(-1)*HBT(-1)
PBT(-1)*T
PKBT
PKBT^2
PKBT*HBT(-1)
PKBT*T
HBT(-1)
HBT(-1)^2
HBT(-1)*T
T
T^2
-108.3462
0.011707
-5.21E-07
-0.000298
8.00E-05
0.000734
2.543947
0.077391
-0.182529
0.385496
9.394599
-0.343556
0.118178
-13.77971
-0.210517
119.1007
0.011393
4.94E-07
0.000259
0.000491
0.000671
4.745758
0.179694
0.156958
0.187804
9.329619
0.171942
0.292569
8.129905
0.223209
-0.909702
1.027524
-1.054391
-1.150911
0.162900
1.093820
0.536046
0.430681
-1.162915
2.052647
1.006965
-1.998088
0.403934
-1.694941
-0.943138
0.3728
0.3153
0.3031
0.2621
0.8721
0.2859
0.5973
0.6709
0.2573
0.0522
0.3249
0.0582
0.6902
0.1042
0.3559
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.458747
0.114313
5.566388
681.6629
-106.4026
2.618148
2.831658
5.914710
6.562305
7.215380
1.331888
0.265733
105
12000
11000
10000
9000
8000
258.2908
219.5763
2.182493
0.012721
0.000159
0.013357
0.986485
7000
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
LAPTF
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
0.250089
0.196485
5.272810
0.032123
0.000423
0.052053
0.947524
2.0
1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005
PVTF
106
40000
36000
32000
28000
24000
20000
16000
1452.340
1089.522
3.879318
0.025944
0.000003
0.005342
0.994655
12000
8000
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
KBTF
28
24
20
16
12
8
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
1.682753
1.212579
6.089308
0.044254
0.000000
0.069219
0.930781
2005
HBTF
107