Oleh
3
penatalaksanaan dari beberapa komplikasi diatas, yaitu: eklampsia, gagal ginjal,
kedaruratan hipertensi, serta hipertensi ensefalopati dan kebutaan kortikal.
EKLAMPSIA
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia
tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil
akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada
wanita dengan eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi
vasospasme serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi,
edema vasogenik dan kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam
deteksi dan penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum
kematian ibu yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar
15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh
dunia disebabkan oleh eklampsia.
4
eklampsia yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada wanita hamil
yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia
Traumatik cerebrovaskuler
Perdarahan intraserebral
Trombosis arteri dan vena serebral
Penyakit hipertensi
Hipertensi ensefalopati
Pheochromocytoma
Penekanan lesi pada susunan syaraf pusat
Tumor otak
Abses
Kelainan metabolic
Hipoglikemia
Uremia
Inappropriate antidiuretic hormone secretion resulting in water intoxiccation
Infeksi
Meningitis
Encefalitis
Trombotik trombositopenik purpura
Epilepsi idiopatik
Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari
20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada
kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang
karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa
jam sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator
klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak
menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut
(kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu
postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi
eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada
penatalaksanaan
wanita
dengan
eklampsia
meliputi
beberapa
aspek,
yaitu
mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah,
5
mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah
terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam
mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit, obat
anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih untuk
mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita
yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus
dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita
yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6
gram MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan
untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja
MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme
kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak
juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,
mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek
antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-Daspartat (yang merupakan
fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang
eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek anti
konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan mengontrol
kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini banyak peneliti
menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena sangat berpotensi
untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna
ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung
6
dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan dengan
tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya peningkatan
tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti menganjurkan
untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah
diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg,
walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami
hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh darahnya,
sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang normal atau rendah
mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar tekanan darah yang
lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan persisten (>160/110 mmHg)
harus diatasi untuk mencegah perdarahan serebrovaskular. Penatalaksanaannya
termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV, diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus
sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap
10-20 menit dengan dosis ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal,
dengan dosis kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau
mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah
ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan
eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan
komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis, pnemonitis
aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi. Namun, pemilihan
jenis obat untuk keadaan ini
7
Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara
random menerima Magnesium atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer
adalah kejang rekuren dan kematian maternal. Wanita dengan terapi
Magnesium mendapatkan separuh angka kejang rekuren dibandingkan dengan
diazepam (13% dan 28%). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada
kematian maternal atau perinatal atau angka komplikasi diantara kedua
kelompok. Wanita yang diberi magnesium memiliki sepertiga angka kejang
rekuren dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian
penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8% yang menerima
perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5% menjadi
pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan fenitoin. Tidak ada
perbedaan signifikan pada angka kematian maternal dan perinatal.
Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik
koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin
hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih
sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak
secara selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada
wanita dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan
MgSO4 adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase
pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang
dalam adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi
>12X/menit, urine output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum
magnesium tidak diperlukan jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara
ketat untuk membuktikan toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak
suatu konsentrasi ambang yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang,
meskipun telah direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL. Dosis harus
disesuaikan menurut respon klinis pasien, sesuai table 2.
8
Evaluasi pada persalinan
Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia
kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu
menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu,
terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan cara yang
paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan
posisi janin. Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan preeklampsia berat /
eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang
belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk
mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi
yang terlalu lama harus dihindari.
Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan
keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini
tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi ibu dapat
membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu, hiperkarbia dan
hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan dengan takikardi janin
kompensata bahkan dengan deselerasi denyut jantung janin sementara yang akan pulih
kembali dalam waktu 20 sampai 30 menit.
Prognosis
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga 70 % kasus, meliputi DIC,
gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular, ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti
jantung paru, pneumonitis aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan.
Kerusakan hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan abnormalitas
neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi kerusakan serebrovaskular akibat
perdarahan atau iskemia akan mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen.
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu penelitian retrospektif
terhadap 990 kasus eklampsia menemukan angka kematian ibu secara keseluruhan adalah
13,9% (138/990). Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok wanita
dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Tingkat kematian ibu dan
komplikasi yang berat paling rendah dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan
9
prenatal yang teratur pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier.
Satu penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita eklampsia
menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari wanita yang meninggal dalam waktu 2 hari
akibat kejang pada otaknya menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral.
Perdarahan kortikal petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi
lobus occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif lebih jarang dijumpai.
Trombosis vena serebral sering dijumpai pada wanita dengan eklampsia paska persalinan.
Angka kematian perinatal pada kehamilan eklamptik adalah 9-23% dan berhubungan
erat dengan usia kehamilan. Angka kematian perinatal pada satu penelitian terhadap 54
parturien dengan eklampsia sebelum usia kehamilan 28 minggu adalah 93%; angka ini
hanya sebesar 9% pada penelitian lain dengan rata-rata usia kehamilan pada saat
melahirkan 32 minggu. Kematian perinatal terutama diakibatkan oleh persalinan
prematur, solusio plasenta dan asfiksia intrauterin.
Kehamilan berikutnya
Eklampsia dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Risiko tersebut dapat
dikurangi dengan pemantauan ibu yang ketat dan intervensi segera jika terjadi
preeklampsia. Tetapi belum ada cara yang efektif untuk mencegah terjadinya
preeklampsia. Tingkat rekurensia eklampsia diperkirakan berkisar sekitar 2%.
Kehamilan berikutnya pada wanita dengan riwayat preeklampsia berat / eklampsia
juga meningkatkan risiko komplikasi obstetri lainnya dibandingkan dengan wanita tanpa
riwayat tersebut, termasuk solusio plasenta (2,5-6,5% berbanding 0,8%), persalinan
preterm (15-21% berbanding 7-8%), pertumbuhan janin terhambat (12-23% berbanding
10%) dan peningkatan tingkat kematian perinatal (4,6-16,5% berbanding 1-3%). Wanita
dengan riwayat preeklampsia/eklampsia pada kehamilan < 28 minggu, memiliki risiko
tertinggi untuk terjadinya komplikasi tersebut. Risiko tersebut tampaknya sama, baik
pada preeklampsia berat maupun eklampsia.
10
belum jelas. Analisis retrospektif terhadap 383 kasus eklampsia di Inggris menemukan
hanya 59% wanita eklampsia menunjukkan satu atau lebih gejala prodromal sakit
kepala, gangguan penglihatan (skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia,
hemianopsia homonimus), atau nyeri epigastrium sebelum terjadinya kejang eklampsia.
Selanjutnya, besarnya peningkatan tekanan darah tampaknya tidak dapat memprediksi
terjadinya eklampsia, walaupun keadaan tersebut berhubungan erat dengan insidensi
terjadinya gangguan serebrovaskular. Analisis retrospektif menunjukkan bahwa
eklampsia merupakan manifestasi pertama dari penyakit hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan pada 20-38% kasus. Temuan yang sama juga dilaporkan pada
penelitian di Swedia, Skotlandia dan Amerika Serikat. Pada salah satu dari penelitian
tersebut, faktor-faktor tersebut paling tidak secara parsial bertanggung jawab terhadap
gagalnya pencegahan terhadap eklampsia (179 kasus) merupakan kesalahan dokter
(36%), kegagalan magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%), onset dini
sebelum kehamilan 21 minggu (3%), onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang
kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-kasus eklampsia tampaknya tidak dapat
dicegah, walaupun pada wanita-wanita dengan asuhan prenatal yang teratur.
11
Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada saat memberikan
terapi kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan serviks sebelum
perencanaan persalinan pada wanita dengan preeklampsia berat. Terapi harus dilanjutkan
hingga 24 sampai 48 jam pascapersalinan dan risiko terjadinya kejang adalah rendah.
Regimen magnesium sulfat yang paling sering digunakan adalah dosis awal 4 sampai 6 g
diberikan intravena lebih dari 20 menit, diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam sebagai infus
kontinyu. Tidak jelas apakah semua wanita dengan preeklampsia memerlukan profilaksis
untuk mencegah terjadinya kejang pada sejumlah kecil pasien (0,6 3,2%). Selanjutnya
pada wanita hipertensi tanpa proteinuria , insidensi terjadinya kejang adalah sangat
rendah (< 0,1%) yang akan aman bila tidak diberikan profilaksis kejang pada wanita
tersebut.
Dosis awal
Dosis rumatan
Kadar terapi
4-8 mEq/L*
5 g IM setiap 4 jam
Seperti diatas
Terapi yang direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap magnesium sulfat
Fenitoin
250-500 mg setiap
Diazepam
10 mg/jam IV infuse
Chlormethiazole
60 ml/jam IV infus
10-20 g/ml
-
GAGAL GINJAL
Gagal ginjal akut ditandai dengan pelepasan reduksi pada filtrasi glomerular, yang
mengarah kepada eksesif retensi urea dan air sama halnya dengan sejumlah elektrolit dan
gangguan keseimbangan asam basa. Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi yang
jarang terjadi pada preeklampsia, tetapi keadaan yang sebenarnya tetap tidak bisa
ditentukan. Berdasarkan pengalaman pada satu senter, 18% dari semua kasus gagal ginjal
12
akut berasal dari kasus obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi
dengan didahului oleh preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi
sindroma hemolisis uremia, penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.
Etiologi dan Patogenesis
Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah adanya endoteliasis
glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak dengan sel-sel endotel
bervakuola. Gambaran histologis ini, berpasangan dengan vasokonstriksi umum yang
menandai preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma
ginjal dan glomerular filtrasi dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun,
kerusakan fungsional pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum
bersifat ringan dan mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh,
gagal ginjal akut pada wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang terjadi.
Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori besar;
prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim),
intraarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan
postrenal (yang berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal dan
intrarenal (akut tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada
preeklampsia.
Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat paling
umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna setelah
persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29% dari kasus-kasus
gagal ginjal akut pada kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih serius dan dihubungkan
dengan
angka
kematian
maternal
dan
angka
kematian
perinatal
beserta
komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada wanita dengan latar belakang hipertensi
kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal sebagai penyakit parenkim ginjal, solusio
plasenta atau DIC.
Prognosis
Pada tahun 1990, Sibai dan kawan-kawan melaporkan pengalaman mereka tentang hasil
kehamilan preterm, keluaran kehamilan selanjutnya, dan mengontrol prognosis pada 31
pasien dengan preeklamsia yang berkomplikasi dengan gagal ginjal akut yang
13
dikumpulkan lebih dari 11 tahun. Insisdensi nyata gagal ginjal akut tidak bisa ditentukan
karena sebagian besar pasien dikirim dari institusi lain. Angka kematian maternal adalah
10 % (3/31). Secara keseluruhan 14 dari 31 pasien (46,6%) memerlukan dialisis, dan
tidak ada perbedaan dalam presentase antara wanita yang memerlukan dialisis untuk
preeklampsia (50%) dan hipertensi kronik dengan superimpos preeklampsia (42%). Dari
ke-18 pasien dengan gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklampsia mengalami akut
tubular nekrosis, dengan resolusi lengkap dari fungsi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklamsia harus difokuskan
pada penyingkiran diagnosis lain, khususnya kondisi-kondisi yang mungkin bersifat
reversibel (misal dehidrasi atau obstruktif uropati). Terapi suportif meliputi kontrol
tekanan darah, pengaturan posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah ginjal, koreksi
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan nutrisi yang adekuat. Bila
14
dialisis diperlukan selama masa kehamilan, maka hemodialisis yang dianjurkan bukan
dengan dialisis peritoneal.
KEDARURATAN HIPERTENSI
Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana yang
terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya mungkin berbeda pendekatan
evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama, dengan tujuan utama untuk mencegah
terjadinya hipertensi ensefalopati dan serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang
yang belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan
terjadinya eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai akibat dari hipertensi akut
merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.
Diagnosis banding
Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai macam kelainan
ini. Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus diberikan untuk berbagai
kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika manifestasi kliniknya atipikal.
Diagnosia alternatif yang mungkin antara lain : kromositoma, trombosis vena renalis,
gejala rebound pada pemberian klonidin, penyalahgunaan kokain dan metamfetamin,
hiperemi akut pada kulit akibat penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang
melatarbelakangi terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk
atau eksaserbasi akut dari preeklampsia.
Patofisiologi
Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan yang lainnya
tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk mendifinisikan ambang parameter
dari krisis hipertensi dan mengeluarkan pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus
lebih dari 115 mmHg dan/ atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan
diagnosis hipertensi krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA
dapat terjadi pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter
diatas. Para ahli yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah
15
dibandingkan dengan pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab terjadinya
kerusakan otak.
Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio retina dan
atau perdarahan pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard, gagal ginjal, gagal
hati, solusio plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana semuanya ini dapat terjadi
akibat hipertensi akut yang tidak terkontrol. Bukti-bukti klinis dari akibat kerusakan pada
organ akhir tersebut harus segera mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang
mengacu pada pengontrolan tekanan darah.
Sebagian besar pasien dirawat tanpa menggunakan pengawasan hemodinamik
yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat sebaiknya dirawat pada
pusat rujukan tersier dengan dibawah pengawasan dokter-dokter yang memiliki keahlian
dalam bidang kedaruratan medik (critical care medicine).
Penatalaksanaan
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang sangat
bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi krisis
adalah untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara tibatiba harus dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %,
dengan target untuk sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga
hasilnya akan sangat membantu dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang
refrakter dalam terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan terminasi
kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea perimortem perlu
dilakukan.
Pada hipertensi akut dengan komplikasi hipertensi ensefalopati penatalaksanaanya
harus dilakukan dengan menggunakan fasilitas ICU. Pemberian sodium nitropruside
merupakan obat pilihan utama antihipertensi pada keadaan ini. Pada dosis yang melebihi
dari 8 g/kg/menit, hati-hati terjadinya akumulasi sianida dan tiosianat pada janin .
Dianjurkan dilakukan pengawasan ketat dari kadar sianida pada pasien-pasien yang
mendapat sodium nitropruside dosis tinggi. Obat-obat lainnya yang dapat digunakan pada
keadaan ini untuk menurunkan tekanan darah secara akut telah dirangkum dalam tabel 3.
16
Dosis
Keterangan
10 mg iv bolus
perfusi uteroplasenta.
perfusi uteroplasenta.
dihindari
nitroprusid
800 g/min)
Nitrogliserin
5 g/min iv
kebutuhan
setiap
menit
sampai
dosis
Kontraindikasi
relatif
pada
otak
dan
tekanan
intrakranial.
keadaan ini jika tidak ada bukti-bukti terjadinya koagulopati dan tidak ada kontraindikasi
untuk dilakukannya anestesi regional. Pada pasien-pasien ini penting untuk mencegah
terjadinya hipotensi. Jika dibutuhkan anestesi umum maka diperlukan pengawasan
tekanan darah dan diperlukan premedikasi untuk mencegah peningkatan tekanan darah
yang seringkali dijumpai pada fase induksi dari anestesi umum.
17
Patofisiologi
Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh suatu sistim
autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan sistemik yang mempunyai
rentang yang bervariasi. Untuk penatalaksanaan hipertensi sistemik, arteriol-arteriol
serebral perlu dilebarkan untuk mempertahankan perfusi yang adekuat, dimana
pembuluh-pembuluh mengalami penyempitan sebagai respon dari tingginya tekanan
sistemik. Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi, dapat terjadi ensefalopati hipertensi
. Hipertensi ensefalopati merupakan suatu sindroma neurologik subakut yang ditandai
dengan sakit kepala, kejang, penurunan penglihatan dan gangguan-gangguan neurologik
lainnya (perubahan status mental, gejala-gejala fokal neurologik) pada keadaan tekanan
darah yang meningkat. Walaupun sindroma ini bersifat reversibel jika hipertensi yang
terjadi diobati secara dini, namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali
atau jika pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan
diagnosisnya mungkin sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang
menderita penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi seperti CVA,
trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis dari hipertensi ensefalopati. MRI
berguna dalam menegakkan diagnosa pada kasus-kasus klinik yang sesuai.
Studi studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960 menghasilkan suatu
pendapat bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih sering dihubungkan dengan
meluasnya edema serebral. Lesi yang paling sering dijumpai adalah perdarahan petekie
multipel pada daerah kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena
perdarahan petekie berkaitan dengan adanya trombus kapiler, maka para ahli
18
menyimpulkan bahwa lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu gangguan vaskuler yang
menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang edema difus yang berat
tampak pada
eklampsia, namun semakin spesifik lesi, maka edem otak semakin terlokalisir pada
jaringan penghubung substansia alba dan grisea pada lobus oksipital. Kerentanan dari
sirkulasi posterior pada lesi hipertensi ensefalopati sudah dikenal, tapi fenomena
terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu penjelasan yang mungkin adalah
terdapatnya hubungan dengan heterogenitas regional dari penemuan simpatis vaskuler.
Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-arteriol
intrakranial telah terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan tekanan darah yang
bermakna. Kemudian , studi-studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa sistim karotis
interna mendapat suplai yang lebih baik dengan inervasi simpatis jika dibandingkan
dengan sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut menurut hipotesa ini dapat menstimulasi
saraf-saraf simpatis perivaskuler, yang dapat melindungi bagian anterior tapi tidak
inervasi bagian posterior yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa tersebut dapat
menghasilkan suatu hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat pada
lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.
Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan klinis dan
radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I menyatakan bahwa
hipertensi ensefalopati disebabkan karena adanya spasme dari vaskular serebral sebagai
respon dari hipertensi akut, yang juga dapat menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis
arteriol, dan edema sitotoksik. Hipotesis alternatif yang terbaru adalah sindrom-sindrom
yang berasal dari rusaknya autoregulasi dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol
serebral, yang mengacu pada peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan
dan protein sampai disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik ( hidrostatik).
Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari progresifitas penyakit adalah edema serebral
fokal. Terdapatnya edema serebral pada hasil CTscan dan MRI kepala, tidak membantu
dalam
mendefinisikan
mekanisme
yang
melatarbelakangi
terjadinya
hipertensi
19
Pada tahun 1992, Schwarts dkk melaporkan pada penggunaan CT MRI dan
SPECT pada 14 pasien dengan ensefalopati hipertensi, termasuk 8 diantaranya menderita
preeklampsia. Semua pasien mempunyai lesi-lesi hipodens pada lobus oksipital yang
tampak pada CT, yang berkaitan dengan lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang
terdapat pada T2 weighted MRI . SPECT yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode
hipertensi pada area yang terbuka akan meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan
dengan lesi-lesi yang ditemukan pada CT-scan dan MRI. Data-data ini menunjang konsep
yang menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi merupakan hasil primer dari peningkatan
permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema vasogenik. Jika vasospasme dan
resultan iskemia merupakan hal-hal yang penting, penurunan perfusi serebral pada
SPECT mungkin akan lebih diawasi dengan infark yang mungkin terjadi. Namun infark
ini jarang terjadi baik secara klinis maupun secara eksperimental.
Penatalaksanaan
Buta kortikal dan manifestasi lainnya dari ensefalopati hipertensi merupakan suatu
kontraindikasi untuk dilakukannya perawatan dari preeklampsia dalam kehamilan.
Kelahiran bayi dan plasenta merupakan satu-satunya terapi yang kuratif. Tanggung jawab
lainnya dari penatalaksanan ini termasuk menyingkirkan penyebab lainnya dari kebutaan
(mis : perdarahan oksipital, dan ablasio retina) dan pengontrolan tekanan darah . Buta
kortikal
akan
sembuh
secara
sempurna
sesudah
kelahiran
walaupun
masa
KESIMPULAN
Preeklampsia merupakan suatu penyebab yang bermakna dari penyebab kematian
maternal dan perinatal serta komplikasinya. Sekali diagnosis dari preeklampsia dibuat,
pilihan dari terapi adalah terbatas.
20
Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah dengan agresifitas dan
intervensi dini dari komplikasi preeklampsia, mungkin dapat mengurangi kerugian yang
terdapat pada janin dari ibu yang mengalami preeklampsia berat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Barrilleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45:
22-34
Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia. Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45:
308-329
Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd ed.
Philadelphia.Baltimore.New
York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2001:101
Briggs GG, Freeman RK. Drug in pregnancy and lactation. 6th ed. Philadelphia.Baltimore.New
York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot Williams & Wilkins, 2002:995
American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in pregnancy. ACOG Technical
Bulletin No. 219. Washington, DC: ACOG, 1996
Gilstrap LC, 3rd, Cunningham FG, Whalley PJ. Mangement of pregnancy-induced hypertension in the
nulliparous patient remote from term. Semin Perinatol. 1978;2:73
Campbell DM, Templeton AA. Is eclampsia preventable? In: Bonnar J, MacGillivray I, Symonds ED,
eds. Pregnancy Hypertension. Baltimore: University Park Press, 1980:483
Lucas MJ, Leveno KJ. Cunningham FG. A comparison of magnesium sulfate with phenytoin for the
prevention of eclampsia. N Eng J Med. 1995;333:201
Hall DR, Odendaal HJ, Smith M. Is the prophylactic administration of magnesium sulphate in women
with preeclampsia indicated prior the labour? Br J Obstet Gynaecol. 2000;107:903
Sibai BM, Villar MA, Mabie BC. Acute renal failure in hypertensive disorders of pregnancy:
Pregnancy outcome and remote prognosis in thirty-one consecutive cases. Am J Obstet Gynecol.
1990;162:777-783
Stratta P, Canavese C, Colla L, et al. Acute renal failure in preeclampsia-eclampsia. Gynecol Obstet
Invest. 1987;24:225-231
Sibai BM, Ramadhan MK. Acute renal failure in pregnancies complicated by hemolysis, elevated liver
enzymes, and low platelets. Am J Obstet Gynecol. 1993;168:1682-1687
Apollon KM, Robinson JN, Schwartz RB, et al. Cortical blindness in severe preeclampsia: Computed
tomography, magnetic resonance imaging and single-photon emisson computed tomography findings.
Obstet Gynecol. 2000;95:1017-1019
Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes in acute hypertension: An
ultrastructural study. Lab Invest. 1977;39:150-161
21
Hipertensi kronik
Diobservasi sebelum kehamilan atau usia kehamilan 20 minggu, tekanan darah
lebih 140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 6 jam
Hipertensi dalam kehamilan
Transient hypertension dalam kehamilan: tanpa gejala preeklampsia dan tekanan
darah kembali normal setelah 12 minggu setelah melahirkan
Hipertensi kronik
Didiagnosis jika kenaikan tekanan darah menetap
Preeklampsia/eklampsia
Biasanya terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Hipertensi yang
disertai oleh proteinuria (protein lebih dari 0,3 g dalam 24 jam pemeriksaan).
Diduga apabila adanya gejala-gejala yang khas yakni peningkatan tekanan darah,
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri perut, jumlah platelet rendah, peningkatan
enzim-enzim hati.
Superimpus preeklampsia pada hipertensi kronik
Ketika preeklampsia dijumpai pada wanita yang menderita hipertensi, prognosis
pada ibu dan janin yang lebih jelek dari kondisi sebenarnya.
22
Lampiran 2. Obat-obatan antihipertensi selama kehamilan
Obat
Dosis nonakut
Efek samping
Keterangan
Methyldopa
hipertensi posturnal,
drowsicness, retensi cairan
Biasanya digunakan
pada hipertensi dalam
kehamilan, potensi
ringan
Hidralazine
Biasanya digunakan
untuk kontrol jangka
pendek
Labetalol
Nifedipine
Thiazide
Furosemide
Nitoprusside
23
Rejimen
Antepartum
I
II
III
IV
Postpartum
I
II
III
Pengobatan Primer
Pengobatan Sekunder
Pengobatan Tersier
Methyldopa
Felodipine
Felodipine
Hydralazine
Labetalol
Diuretic
Labetalol
Labetalol
Hydralazine
Nifedipine XL/
Felodipine
Labetalol
Diuretic
Beta blocker
Nifedipine XL/
Felodipine
ACE inhibitor
Labetalol
24
Penatalaksanaan
Dosis
Kontra indikasi
TD konsisten >
160/105,plg tidak
pada dua kali pe-meriksaan pd kakasus darurat
Labetalol (hidra
lazin digunakan
sbg agen alternatif pilihan per
tama)
Dosis I:5-10
mg iv,kmd
dosis diberi
kan 2x lipat
per 15 mnt
sampai men
capai dosis
maks 300mg.
Hidralazin
Nifedipin dpt
dipakai sebagai agen alter
natif.
Pertimbangkan
partus dg penggunaan sodium
nitroprusside
10 mg peroral
Bukti klinis
setiap 10-15
adanya hipomenit sampai
perfusi sereTercapai dobral.
sis maks 90 mg.
0,25 ug/kg/mnt
(ditimgkatkan
sebanyak 0,25
ug/kg/mnt setiap 5 mnt sampai mencapai
dosis maks 10
ug/kg/mnt)
Keterangan
Pemantauan ibu
dengan TD regu
ler setiap 10 me
nit, tes labor,
manifestasi klinis, pengawasan janin secara
berkelanjutan.
-
Harus dirawat
di ICU dg pengawasan TD,
Pengawasan ja
nin, monitoring keracunan
sianida.
25
Penatalaksanaan
Dosis
Kontraindikasi
Keterangan
TD konsisten >
160/105 plg tdk
pd 2 kali pemeriksaan
Umumnya 250
mg peroral dibiarkan selama
24 jam- 48 jam
untuk mencapai efek optimal. Tingkatkan sampai
mencapai dosis
maksimal 2 g/hr
(Sebaiknya digunakan dosis
terbagi shg efek
yg lebih stabil
dapat dicapai )
TD tdk adekuat
walaupun dikontrol dg regimen
diatas (setelah men
capai dosis tertentu dimana metildopa telah mencapai dosis terapeutik).
Labetalol
Umumnya 100
mg peroral 2X
sehari, ditingkaatkan sampai mencapai
dosis maksimal
2400 mg/hr. Gunakan dosis 4 x
sehari jika diper
lukan, nadi dpt di
gunakan sbg indikator adanya
blokade B.
Umumnya 10 mg
peroral 3 x sehari
spi maks 90mg/hr
Gagal jantung
kongestif
partus
perhatikan penggunaan
dua agen yg mempunyai
efek inotropik negatif
-
26
Lampiran 6. Pengobatan pada hipertensi akut yang berat pada kehamilan
Obat
Anjuran
1. Hidralazin
2. Labetalol
3. Nifedipin
4. Sodium Nitroprusside Dipakai pada kasus-kasus hipertensi yang tidak memberikan respon pada
penggunaan obat-obat diatas, ditemukannya manifestasi klinis dari ensefalopati
hipertensi, atau keduanya. Dimulai dengan dosis rata-rata 0,25 mg/kg/mnt
sampai mencapai dosis maksimum 5 mg/kg/mnt. Keracunan sianida pada janin
dapat terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam, perhatikan gangguan intra arterial.
27
Pengobatan medisinalis
Segera MRS
Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
Infus D5: RL = 2 : 1 (60-125 ml/jam)
Antasida
Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
Obat-obatan anti kejang: sulfas magnesikus (MgSO4)
a. Dosis awal 8 g MgSO4 (20 ml 40 %) im: 4 g bokong kanan 4 g bokong kiri
b. Dosis ulangan: tiap 6 jam diulangi 4 g MgSO4 (10 ml 40 %) im
c. Syarat-syarat pemberian sulfas magnesikus
i. Tersedia kalsium glukonas 1 g = 10 ml 10 % iv pelan 3 menit
ii. Reflek patella (+) kuat
iii. Pernapasan > 16 x/m tanpa tanda-tanda distress pernapasan
iv. Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/KgBB/jam)
d. Dihentikan bila:
i. Adanya tanda-tanda intoksikasi
ii. Setelah 24 jam pascapersalinan
iii. 6 jam pascapersalinan normotensif, selanjutnya dg luminal 3 x 30 60
C. Mencegah komplikasi
1. Diuretika diberikan atas indikasi:
a. Edema paru
b. Payah jantung kongestif
c. Edema anasarka
d. Kelainan fungsi ginjal (bila faktor prerenal sudah diatasi) yang dipakai adalah derivat
furosemid (lasix 40 mg im)
2. Antihipertensi diberikan atas indikasi:
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg, diastolic > 110 mmHg
Preparat:
a. Clonidine (Catapres) 1 amp = 0,15 mg/ml + 10 ml NaCl fls/aquades, masukkan 5 ml iv pelan,
tunggu 5 menit, kemudian TD diukur, bila tak turun berikan sisanya (5 ml iv pelan 5 menit).
Pemberian obat dapat diulangi tiap 4 jam sampai TD normotensif.
b. Nifedipin: 4 x 10 mg (p.o) sampai diastolic 90 100 mmHg
c. Hidralazin (Apresolin) 1 amp = 20 mg, 1 amp diencerkan, diberikan iv pelan, melalui selang
infus, dapat diulangi setelah 20 30 menit.
3. Kardiotonika a.i terdapat tanda-tanda menjurus payah jantung
Diberikan cedilanid, digitalisasi cepat sebaiknya kerja sama dg penyakit jantung
28
4.
Lain-lain:
a. Antipiretika a.i suhu rectal > 38,5 oC, Xylomidon 2 ml dan atau kompres.
b. Antibiotika kalau ada indikasi
c. Analgetika a.i kesakitan/gelisah: 50-75 mg pethidin < 2 jam sblm janin lahir
D. Pengobatan obstetrik
Cara pengakhiran kehamilan/persalinan
1. Belum inpartu:
a. Induksi persalinan:
i. amniotomi
ii. drip oksitosin dg syarat skor Bhisop 5
b. Seksio sesar bila:
i. syarat drip oksitosin tak terpenuhi
ii. 12 jam sejak drip oksitosin belum masuk fase aktif
iii. pada primipara cendrung seksio sesar
2. Inpartu:
a. Kala I : - fase laten tunggu 6 jam, tetap fase laten seksio sesar
- fase aktif: amniotomi + drip oksitosin
6 jam pembukaan tidak lengkap seksio sesar
b. Kala II: Tindakan dipercepat sesuai dg syarat yg dipenuhi
II. Perawatan konservatif
A. Indikasi perawatan konservatif
Bila terdapat keadaan:
1. Kehamilan < 37 minggu
2. Keadaan janin baik
3. Tidak ada impending eklampsia
B. Pengobatan medisinalis
1. Awal diberikan 8 g MgSO4 40 % im bokong kanan-bokong kiri dilanjutkan dg 4 g im tiap 6
jam
2. Bila ada perbaikan atau tetap teruskan 24 jam
3. Apabila setelah 24 jam ada tanda-tanda perbaikan maka pengobatan diteruskan sbb:
a. Diberikan tablet luminal 3 x 30-60 mg
b. Anti hipertensi oral bila TD masih > 160/110 mmHg
C. Pengobatan obstetrik
1. Observasi dan evaluasi sama dg perawatan aktif, hanya tidak dilakukan pengakhiran
kehamilan
2. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan selambatlambatnya 24 jam.
D. Lebih dari 24 jam tak ada perbaikan maka perawatan konservatif dianggap gagal dan dilakukan
terminasi kehamilan.
E. Penderita boleh pulang bila:
1. Penderita sudah mencapai perbaikan dg tanda-tanda preeklampsia ringan, perawatan
dilanjutkan hingga 3 hari lagi.
2. Bila selama 3 hari keadaan tetap baik (tanda-tanda preeklampsia ringan) maka penderita bisa
dipulangkan.