PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya
berkaitan dengan proses tumbuh kembang seorang anak, baik mas bayi, balita,
maupun anak besar. Peran atopi pada asma anak sangat besar dan merupakan
faktor terpenting yang harus dipertimbangkan baik untuk diagnosis dan upaya
penatalaksanaan. Mekanisme sensitasi terhadap alergen serta perkembangan
perjalanan alamiah penyakit alergi dapat memberi peluang untuk mengubah dan
mencegah terjadinya asma melalui kontrol lingkungan dan pengobatan pada
seorang anak. Pendidikan pada pasien dan untuk meminimalkan morbiditas fisik
dan psikis serta mencegah disabilitas.
Upaya pengobatan asma anak tidak dapat dipisahkan dari pemberian
kortikosteroid yang merupakan anti-inflamasi terpilih untuk semua jenis dan
tingkatan asma. Pemberiaan kortikosteroid topikal melalui inhalasi memberikan
hasil yang sangat baik untuk mengontrol asma tanpa pengaruh buruk. Walaupun
pada anak kecil tidak begitu mudah untuk dilakukan sehingga masih memerlukan
alat bantu inhalasi.
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap
merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti
asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini
diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain
karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi, anak,
dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi
khusus pada penetalaksanaannya. Pengetahuan dasar tentang masalah sensitasi
alergi dan inflamasi khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap
pengobatan asma anak, terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu
pengobatan asma pada anak.Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang
faktor genetik, sensitasi dini,oleh alergen dan polutan , infeksi virus, serta masalah
lingkungan dan sosioekonomi dan psikologi anak dengan asma diharapkan dapat
membawa perbaikan dalam penatalaksanaan asma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.I DEFINISI
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap
merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan
peneliti asma.1Global Initiative for Asthma (GINA) mengeluarkan batasan
asma yang lengkap, yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar
mekanisme terjadinya asma sebagai berikut : asma ialah gangguan inflamasi
kronik saluran pernapasan dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel
mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini
menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan
dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, sebagian
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi
ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai
rangsangan. Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan
klinis untuk anak tidak praktis. Karena itu para perumus Konsensus
Internasional dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama
yaitu: Mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah
yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah
disingkirkan. 1,2,3
Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya
menyepakati kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan atopi pada penderita atau keluarganya.2
II.II EPIDEMIOLOGI
Asma Bronkial atau lebih popular disebut asma atau sesak napas,
telah dikenal luas masyarakat adalah penyakit saluran pernapasan kronik
yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius
di berbagai Negara diseluruh dunia. Penyakit ini bisa timbul pada semua
usia paling banyak pada usia anak (PDPI,2006). Data WHO pada tahun
2005 prevalensi asma di berbagai Negara sangat bervariasi diperkirakan
bahwa jumlah asma akan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025
(GINA,2006). 4
Menurut America Academy of Allergy Organization Di Amerika
Serikat jumlah penderita asma terus bertambah. 1 dari 12 menderita
asma pada tahun 2009 dibandingkan dengan 1 dari 14 orang (sekitar 20 juta
atau 7%) pada tahun 2001. 4
Menurut WHO tahun 2005, beban penyakit asma di Asia
Tenggara sangat berat yaitu 1 dari 4 orang penderita asma dewasa tidak
bekerja dan kehilangan hari kerja selama lebih dari 6 hari karena asma
mencapai
(WHO)
atau
National
Health
Interview
Survey
dengan
mengemukakan
bahwa,
di Indonesia
prevalensi
gejala
dengan prevalensi
asma
lebih
tinggi
dari
angka nasional
Berdasarkan
RISKESDA
tahun
2013
prevalensi
asma
tertinggi
terdapat di Sulawesi
Tengah
Tenggara
Timur
Yogyakarta
Selatan
Tabel 1
(6,7%). 5
Prevalensi Penyakit
(7,3%),
DI
3. Faktor lain
a) Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b) Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,
eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c) Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d) Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di
samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma
yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya.Karena jika stresnya belum diatasi,
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e) Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
berbagai
macam
mediator.
Beberapa
mediator
yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi
setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16--24 jam, bahkan
kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.6
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapa terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi
melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.6
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang
merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain
dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.6
Ringan
Sedang
Berat
fungsi paru,
laboratorium
Sesak timbul
pada saat
(breathless)
napas
Berjalan
Bayi :
menangis
keras
Bicara
Ancaman henti
Kalimat
Berbicara
Bayi :
Tangis pendek
dan lemah
Kesulitan makan
Penggal kalimat
Istirahat
Bayi : berhenti
makan
Kata-kata
Posisi
Kesadaran
Sianosis
Mengi
Bisa
Lebih suka
Duduk
berbaring
duduk
bertopang
Mungkin
Biasanya iritable
Tidak ada
Nyaring,
iritable
Tidak ada
Sedang,
lengan
Biasanya
sepanjang
iritable
Ada
Sangat nyaring,
sering
ekspirasi
terdengar tanpa
hanya pada
inspirasi
stetoskop
Sedang
Biasanya ya
Berat
Ya
Kebingungan
Nyata
Sulit/tidak
terdengar
akhir
Sesak napas
Otot bantu napas
ekspirasi
Minimal
Biasanya
tidak
Retraksi
Gerakan
paradok
torakoabdomina
Dangkal,
Sedang,ditamba
Dalam,ditamba
retraksi
h retraksi
h napas cuping
l
Dangkal/hilang
interkostal
suprasternal
hidung
Laju napas
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Menurun
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar :
Usialaju napas normal
< 2 bulan
< 60 /menit
2 -12 bulan
< 50 / menit
1-5 tahun< 40 / menit
6-8 tahun
< 30 / menit
Laju Nadi
Normal
takikardi
Takikardi
Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak :
Usialaju napas normal
2 -12 bulan
< 160 / menit
1-2 tahun
< 120 / menit
3-8 tahun
< 110 / menit
Pulsus
paradoksus
(pemeriksaannya
tidak praktis)
PEFR atau FEV1
- Pra b.dilator
- Pasca
b.dilator
SaO2%
Tidak ada
< 10 mmHg
Ada
10 20 mmgHg
Ada
>20 mmgHg
Tidak ada
Tanda kelelahan
otot napas
(% nilai
dugaan
% nilai terbalik)
40-60%
60-80%
>60%
>80%
>95%
91-95%
<40%
<60%
Respons <2 jam
90%
10
PaO2
Normal
>60 mmHg
<60 mmHg
<45 mmHg
>45 mmHg
(biasanya
tidak perlu
PaCO2
diperiksa)
<45 mmHg
11
12
pemeriksaan
FEV1.
3. Analisa Gas Darah
4. X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan
asma . Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk
menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk
menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus.Uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil
uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semikuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi,
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan
menggunakan
nebulasi
droplet
ekstrak
alergen
spesifik
dapat
13
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin.
II.IX. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana asma anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya,
penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu
ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung
pada kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang
menanganinya. Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma
secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi
pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi
serangan, dan sebagainya.2
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran
yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus
yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang
berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi.
Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan
terhadap saluran respiratorik.2
Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu
tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang. Pada saat serangan
pemberian -2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan
cepat.Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan
sedang dan berat.2
Tatalaksana Serangan Akut 7
Serangan Asma Ringan
- Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik
-
14
serangannya sedang.
Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu di
observasi dan ditangani di ruang rawat sehari (RSS). Pada serangan asma
sedang, diberikan kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan
mendeteksi
komplikasi
pneumotoraks
dan/atau
pneumomediastinum.
Jika ada dehidrasi dan asidosis diatasi dengan pemberian cairan intravena
15
dosis inisial.
Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4
mg/kgBB/jam
Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
16
Jika
kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk evaluasi ulang
tatalaksana.
Gambar 4 Alur tatalaksana Serangan Asma pada Anak2
Tatalaksana Jangka Panjang 7
Prinsip Umum
-
Terapi Medikamentosa
Obat yang dipakai adalah kelompok obat pengendali, dengan berbagai
bentuk sediaan dan dosis.
Asma Episodik Jarang
- Hanya butuh obat reliever (pereda) saja (2-agonis, teofilin, dll), yang
diberikan saat dalam serangan saja (lebih lengkap lihat tata laksana asma
jangka pendek atau akut)
- Tidak perlu diberi obat pengendali.
- Jika pemakaian 2-agonis hirupan lebih dari 3x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau serangan sedang/berat
muncul >1x/bulan, maka tatalaksana diperlukan sebagai asma episodik
sering.
Asma Persisten
Terdapat 2 alternatif :
-
Steroid hirupan tetap dalam dosis rendah dan dikombinasi dengan salah
satu obat, yaitu :
LABA (long
acting
2-agonist):
Prokaterol,
Bambuaterol
Salmeterol atau
18
Flutikason)
Usia > 12 tahun : Budenoside> 600 g/hr (>300 g/hr Flutikason)
19
BAB III
KESIMPULAN
Asma adalalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
disebabkan oleh berbagai macam ransangan, seperti infeksi, polutan ,atau alergen
yang menyebabkan penyempitan saluran napas yang ditandai dengan edema lokal
saluran pernapasan. Spasme bronkus. Hipersekresi mukus , dan bronkokostriksi
yang menyebabkan gejala sulit bernapas, sesak, nyeri dada , mengi dan batuk pada
malam hari. Gejala-Gejala tersebut bersifat episodik atau berulang, bersifat
nocturnal atau serangan terjadi pada malam hari dipengaruhi oleh aktivitas atau
setelah beraktivitas, bersifat musiman, dan ditandai dengan adanya riwayat alergi
atau atopi pada keluarga.
20
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. kib Arwin AP. Asma pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2 September 2002.
p. 78-82.
2. Supriyatno H. Bambang. Diagnosis dan Penatalaksaan Terkini Asma pada
Anak. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 3, Maret 2005. p. 237-243.
3. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000. p.
50-67.
4. Anriyani Desi, Jemadi, Rasmaliah. Karakteristik Penderita Asma Bronkial
Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Tahun 2009-2012. FKM
USU. 2012. p. 1-7.
5. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2013.p. 85-86
6. Rengganis Iris, Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt
Indon, Volum: 58, Nomor: 11, Nopember 2008. p. 444-451.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. IDAI. 2009. p.
269-272, 303-309.
8. Purnomo. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma
21