TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Difteri adalah infeksi menular akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria yang ditandai oleh pembentukan pseudomembran
mukosa. Difteri menyebar dari orang ke orang melalui droplet pernapasan dari
tenggorokan saat sedang batuk atau bersin serta dari benda atau makanan yang
terkontaminasi.
B. Epidemiologi
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di
negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang
belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi.
Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis
dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab kematian yang umum pada bayi dan anakanak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang
diantaranya meninggal karena penyakit ini. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat
mnyebabkan kematian.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (diphtheria, Pertusis dan tetanus) penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit ini dibandingkan
dengan anak yang mendapatkan vaksin.
C. Etiologi
Penyebab dari penyakit difteri adalah Corynebacterium diptheriae. kuman ini
berbentuk batang garam positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati dalam pemanasan 60OC, tahan dalam keadaan beku dan kering.
Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina.
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi
pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
Terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbul manifestasi klinis setelah toksin
terfiksasi dalam sel. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis
toksin dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ atau jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system konduksi.
Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak dan selaput myelin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubular akut pada ginjal.
E. Manifestasi klinis
Manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan
atau penyakit hipertoksik serta fatal. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya
manifestasi klinik, factor primer adalah imunitas penjamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diptheriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Factor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang
sudah sebelumnya. Difteri mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38.9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
Difteri hidung
Awalnya menyerupai common cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Secret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membrane putih pada septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lama dibuat.
Difteri tonsil faring
Gejala difteri tonsil faring adalah anoreksia, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu dapat
menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke
laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikal dan submandibular. Bila limfadenitis
terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas akan bermanifestasi
3
sebagai bullneck. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma dan kematian dapat terjadi dalam1 minggu sampai
10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa
disertai pentulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terkelupas
dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain seperti napas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi
suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan pada membrane yang
menyumbat jalan napasbisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membrane
dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai
perlusan dari difteria faring,maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga
Difteri tipe ini merupakan tipe yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit
tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Keainan ini cenderung menahun.
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan
berbau.
F. Diagnosis
1. Gejala utama
Berupa membran khas terutama pada tonsil dan dinding faring dengan sifat membran :
tebal, putih kelabu, pinggir hiperemis dan udem, sukar diangkat dan mudah berdarah.
2. Gejala tambahan
a. Difteri hidung
Ditemukan sekret serosanguinus dari lubang hidung dan tanda-tanda infeksi pada
lubang hidung dan bibir atas.
b. Difteri tonsil dan faring.
- Demamsubfebril
- Anorexia, sakit menelan
- Pembesaran kelenjar servikal/submandibula
- Bull neck (adenitis servikal, periadenitis dan udem jaringan sekitarnya. Dimana
Pemeriksaan penunjang
a. Bakteriologik.
Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(nasofaringeal swab)
b. Darah rutin : Hb, leuosit, hitung jenis
c. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
d. Enzim CPK, segera saat masuk RS
e. Ureum dan kreatinin (bila curiga ada komplikasi ginjal)
f. EKG dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada
indkasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
G. Diagnosis banding
Penyakit yang menyerupai difteri hidung ialah rhinorrhen (common cold,
sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues congenital). Difteri faring
harus dibadakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan oleh Streptokokus,
mononukleus infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis hepatica primer,
moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi. Gejala difteri laring dapat menyerupai
laryngitis, infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada
laring dan benda asing dalam laring. Difteri kulit perlu dibadakan dengan impetigo dan
infeksi kulit yang disebabkan streptokokus atau stafilokokus.
H. Penyulit
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi local atau akibat aktivitas
eksotoksin. Maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam obstruksi jalan napas,
dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf, ginjal serta infeksi sekunder oleh
bakteri lain.
Obstruksi jalan napas disebabkan oleh tertutpnya jalan napas oleh membrane
difteri atau oleh edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
Dampak toksin dapat bemanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat
terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis
terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini ataupun lambat sekitar minggu ke-6.
Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardi, suara jantung redup, terdengar bising
jantung atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan
elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR dan heart
block.
Penyulit pada saraf biasanya lambat dan bersifat bilateral, terutama mengenai
saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada palatum molle pada
minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara
minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstrimitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor serebrospinal.
Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis
frenikus dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator
mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.
I. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan oenderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheria untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteria
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlewati dan biakan hapus tenggorok negatef
2x berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Tirah baring
lebih kurang 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteri
laring, dijaga agar napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan
nebulizer.
Khusus
1. Anti toksin : anti diphtheria serum (ADS)
Diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada
hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan uji mata terlebih dahulu Karen
apada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1.000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0.1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif jika
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. uji mata dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Hasil positif jika dalam 20 menit
tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Jika uji kulit atau
mata positif, ADS diberikan secara desensitisasi. Bila uji hipersensitivitas negative,
ADS diberikan sekaligus secara intravena. ADS diberikan berdasarkan berat penyakit
dan lama sakit, bukan berdasarkan berat badan pasien, berkisar antara 20.000
120.000 KI (lihat tabel). Pengamatan terhadap efek samping obat atau reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat.
Dosis ADS menurut lokasi embran dan lama sakit.
Tipe difteri
Difteri hidung
difteri tonsil
Difteri faring
Difteri laring
Kombinasi lokal di atas
Difteri+penyulit, bullneck
Terlambat berobat (>72 jam),
Cara pemberian
IM
IM atau IV
IM atau IV
IM atau IV
IV
IV
IV
2. Antibiotik
Diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin
50.000 100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hipersensitivitas
penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
3. Kortikosteroid
Belum terdapat kesamaan pendapat dalam kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi
saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak dengan bullneck) dan bila terdapat
penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti. Kortikosteroid yang dapat diberikan adalah Prednison 2 mg/kgBB/hari
selama 3 minggu, Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia)
4. Pengobatan penyulit
Penobatan terutama ditujukan untuk menjaga hemodinamik tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas
serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi untuk trakeostomi.
5. Pengobatan kontak
Pada seorang anak yang mengalami kontak dengan dengan pasien sebaiknya diisolasi
sampai tindakan berikut terlaksana yaitu :
a. Biakan hidung dan tenggorokan
b. Seyogyanya dilakukan uji schick (uji kerentanan terhadap difteri)
c. Gejala klinis diikuti setiap hari selama masa tunas terlewati.
Anak yang telah diimunisasi dasar dapat diberikan booster toksoid difteri.
6. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tiak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schisk
negative tetapi megandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yangdapat
diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral atau suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi atau
adenoidektomi.
Table pengobatan untuk kontak difteri.
Biakan
Uji
Tindakan
(-)
Schick
(-)
(+)
(-)
(+)
(+)
(+)
(-)
J. Pencegahan
5. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem
kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV
diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sarna bagi
orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan
respon kekebalan yang optimal.
BAB II
10
ILUSTRASI KASUS
Nama
Umur
:ANNH
: 5 tahun 8 bulan 12 hari
Jenis kelamin
: laki-laki
Alamat
Suara serak sejak 7 hari yang lalu, semakin lama semakin bertambah
serak
Nyeri tenggorokan sejak 4 hari yang lalu
Demam tidak ada
Batuk, pilek , sesak nafas tidak ada
Nyeri dada tidak ada
Riwayat tidur mendengkur / suara nafas ngorok saat usia 1 tahun,
hilang timbul
Anak kembali tidur ngorok sejak 1 minggu yang lalu.
Nafsu makan berkurang sejak sakit.
Buang air kecil jumlah dan warna biasa.
Buang air besar warna dan konsistensi biasa
Anak sudah dibawa berobat ke dokter 2 hari yang lalu di mentawai,
dikatakan anak menderita amandel. Karena tidak ada perbaikan anak
dibawa ke dokter spesialis anak di padang dan langsung dirujuk
dengan keterangan suspek difteria.
11
12
DPT
Polio
Campak
: 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 13 bulan
Membaca dan menulis : 50 bulan
Kesan : normal
Perkembangan puberitas : status pubertas A1M1P1
Pemeriksaan fisik
-
Kesadaran : sadar
KU : sedang
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90x/menit
Suhu : 370C
Pernapasan : 28x/menit
TB : 122 cm
BB : 31 kg
Keadaan gizi : kurang
BB/U : 124 %
TB/U : 96 %
BB/TB : 134 %
Kepala
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Tenggorokan
diangkat
Faring hiperemis, tampak bercak putih keabuan.
: mukosa mulut dan bibir basah
14
Leher
Dada
Diagnosis kerja
Suspek difteria tonsil dan faring
15
Albumin (-)
Reduksi (-)
Feces :
Terapi
ADS 20.000 IU selama 2 hari berturut-turut 1x 40.000
Penisillin prokain 1x 1.200.000 IU (10 HARI)
ML 6X 300cc
Rencana : swab membran di tenggorok
Konsul THT
Pemeriksaan EKG pada har I, III, VII, XIV
Ro Thoraks
Follow up
16
dari sebelumnya
Suara masih serak
Kebiruan tidak ada
Anak masih dipuasakan
BAB dan BAK biasa
O/
17
EKG : frekuensi 125x/menit, PR interval 0.16 dt, kesan : tidak ada pemanjangan
PR interval
O/
berkurang
Thoraks : Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-),
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
18
O/
berkurang
Thoraks : Pulmo ; vesikuler, ronki (-), wheezing (-),
Cor : irama teratur, bising tidak ada
19
O/
20
21
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang anak perempuan berumur 6 tahun 1 bulan dengan
diagnosis kerja obstruksi laring grade III susp difteri.
Diagnosis ditegakkan
pasien
masuk,
pada
hari
ke-2
prednison
digantikan
prednison
dilakukan
selama
minggu
dengan
Dalam literature,
dan
pemberian
22